Senin, 01 Desember 2014

Kawin Campur

I. Pengantar

Perkawinan merupakan kenyataan social yang tidak dapat disangkal, menyentuh semua lapisan dan golongan masyarakat manusia. Perkawinan adalah tahap kehidupan, yang di dalamnya laki-laki dan perempuan boleh hidup bersama-sama dan menikmati seksual secara sah. Perkawinan merupakan suatu ikatan resmi dari seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menjadi suami istri. Ikatan ini merupakan suatu lembaga terkecil yang ada dalam masyarakat. Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.

Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.

Namun Gereja juga menyadari akan komplesitas dan pluralitas situasi masyarakat, di mana orang-orang Katolik hidup berdampingan dengan non-Katolik. Selain itu, semangat ekumenis Gereja Katolik untuk merangkul dan bekerjasama dengan pihak-pihak Kristen lainnya, serta kesadaran akan kebebasan beragama, telah mendorong Gereja Katolik sampai pada pemahaman akan realita terjadinya perkawinan campur. Perkawinan campur, yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain, maupun tidak dibaptis). Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.

Keyakinan Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya perkawinan campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua perkawinan, seakan-akan ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang sudah diteguhkan secar sah dan dimohonkan berkat dari Tuhan apapun jenisnya, semuanya berkenan di hadapan Tuhan. Semuanya dipanggil untuk memberi kesaksian akan kasih Kristus kepada manusia. Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin.  Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis) untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.

II. Data Lapangan

Beberapa data yang kami sajikan ini merupakan sedikit informasi yang kami peroleh dari dua sumber, yakni Paroki St.Maria Assumpta dan Paroki Katedral Kristus Raja.

Masalah-masalah Perkawinan:

  • Perselingkuhan

  • KDRT

  • Seks Pranikah

  • Nikah Beda Gereja


Faktor-faktor yang memengaruhi:

  • Kejenuhan

  • Ekonomi

  • Membanding-bandingkan keadaan keluarga

  • Cemburu

  • Anak


III. Strategi Pastoral Kawin Campur

Dari beberapa masalah yang ditemukan, kelompok memfokuskan perhatian pada masalah perkawinan campur. Secara umum hal kawin campur merupakan kenyataan yang biasa bagi dua paroki sampel. Artinya hal ini bisa dikatakan bukanlah persoalan besar dalam mengupayakan dan pelaksanaan perkawinan campur tersebut.

Yang paling krusial adalah masalah anak. Orangtua tetap bertanggung awab soal pendidikan anak. Sejak dulu kawin campur menjadi halangan, sebab menjadi ancaman iman. Maka Gereja mengingatkan bagi mereka yang melakukan kawin campur agar supaya tidak lupa akan janjinya. Selain itu mengingatkan orangtua akan kewajiban mendidik anak. Sebenarnya dua-duanya diingatkan. Yang diharapkan Gereja supaya mereka sadar akan pertumbuhan anak, yang harus dibicarakan sejak awal, sebenarnya hanya untuk membentengi iman. Bagi yang Katolik bila sudah membaptiskan anak berarti sudah melaksanakan janji itu? Belum, sebab soal pendidikan selanjutnya harus dipikirkan. Seandainya mengalami kesulitan besar sehingga tidak membaptiskan anak, tidak berarti tidak berhasil mendidik anak. Yang penting adalah melakukan yang baik untuk anak. Ini adalah resiko orang menikah kawin campur. Memang sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga, tak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya itu kerap kali masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan seluruh umat.

Dalam pandangan Gereja tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggarisbawahi perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada khususnya. Berdasarkan beberapa masalah yang kami peroleh, kami mengajukan dua bentuk pendekatan pastoral yang kiranya perlu diupayakan.

Pastoral Pranikah

Salah satu usaha pastoral tradisional untuk mengurangi kawin campur adalah menggalakkan aktivitas OMK. Namun kita sadari juga bahwa pada akhir-akhir ini minat kaum muda untuk berkumpul, mengadakan aktivitas bersama rekan seiman dirasa menurun. Kiranya peran para orangtua untuk mendorong kaum muda untuk lebih banyak berinteraksi dengan teman OMK perlu kembali ditingkatkan. Orangtua tidak cukup kalau hanya mengharapkan atau bahkan menuntut agar anaknya tidak melakukan kawin campur. Tentu tak kalah pentingnya adalah usaha OMK sendiri untuk mengembangkan diri dan menyiapkan diri sedini mungkin untuk memasuki kehidupan keluarga dan perkawinan.

Banyak calon pasangan sungguh tidak siap memasuki hidup perkawinan dan keluarga. Kaum muda perlu mempersiapan hidup perkawinan sejak dini. Perlu memahami apa itu tujuan perkawinan, sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik. Perlu juga mengetahui halangan-halangan perkawinan, dan sebagainya. Karena itu  hendaknya kaum muda sungguh berani lebih terlibat dalam aktivitas-aktivitas mudika. Di sana kaum muda juga akan berdiskusi bersama dan lewat interaksi itu akan semakin memahami hakekat perkawinan Kristiani dan mempersiapkan diri ke arah itu.

Setelah Menikah

Kiranya pasangan kawin campur tidak hanya menunggu saja, tapi perlu aktif membina diri dan mencari kesempatan untuk memperkembangkan hidup imannya. Memang sudah cukup banyak usaha-usaha pastoral untuk mengurangi kawin campur. Namun seringkali usaha-usaha itu masih sporadis, dan belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kiranya perlu suatu gerakan bersama. Belum lagi kesulitan banyak kaum muda untuk menemukan pasangan hidup yang seiman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini