Jumat, 05 Januari 2018

Piknik Mewah (Bagian 2)

Perhentian Berikut: Watu Goyang
Cerita ini masih sambungan dari cerita di atas. Keluar dari sawah Sukorame, saya dan mbak pacar menyusuri jalan pulang. Ingin langsung pulang, tetapi tanggung, sudah sampai di lokasi yang menyediakan banyak obyek wisata. Tetapi mau ke mana? Kebun Buah? Hutan Pinus? Seribu Batu dan Rumah Hobbit? Watu Lawang? Air Terjun? Nah, di sini persamaan saya dan mbak pacar. Kami sama-sama kurang tertarik dengan obyek wisata yang sudah terkenal dan kebanjiran wisatawan. Kami lebih tertarik dengan obyek wisata yang baru dikembangkan. Masih bisa kita dapat hawa aslinya. 

Karena belum memutuskan mau ke mana, patokannya hanya pada niat awal bahwa intinya jalan-jalan, kami mencari tempat istirahat dan membuka bekal yang kami bawa. Di pinggiran hutan pinus kami duduk dan makan. Selesai makan, belum juga ada kesepakatan ke mana kami akan pergi. Akhirnya kami memutuskan pulang. Bila sepanjang jalan pulang ada obyek yang menarik maka akan kami singgahi.
Menuruni bukit, kami baru ingat, ada sebuah tempat yang menarik. Kami lewati ketika datang tadi. Kelihatan masih baru. Setahun lalu kami lewat sini belum kelihatan. Kami akan mampir ke sana. Watu Goyang. Demikian nama lokasi wisata ini. Dari arah bukit pinus, terletak di sebelah kanan jalan.
Memasuki pintu Watu Goyang yang menanjak kami langsung disuguhi pemandangan bagus. Aneka bunga warna-warni bermekaran. Tanaman bunga yang ditata sedemikian ruma membuat bukit kecil ini sedap dipandang. Begitu menariknya, kami menghabiskan waktu hampir sejam di pelataran parkir, hanya untuk memandangi bukit yang indah ini. Puas memandangi bunga, kami melangkah masuk dengan terlebih dahulu membawar karcis masuk. Murah dan ramah, hanya Rp.2.000/orang.
Dari loket ke puncak bukit, jalannya ditata bertangga. Sepanjang sisi anak tangga ada tanaman maskisa yang tengah berbuah. Di sebelahnya hamparan tanaman bunga yang kami lihat dari pelataran parkir tadi. Crek..crek..crek.. Gambar terekam. Obyeknya bunga dan mbak pacar. Cieeeee....
Seperti biasa, setiap berkunjung ke sebuah obyek wisata kami selalu penasaran dengan riwayat dan juga pengelolaannya. Untuk itu kami mampir ke salah satu lapak jajan di situ. Disambut bapak-ibu pemilik warung yang ramah, kami memesan kelapa muda. Di sini namanya degan. Sebuah berdua. Bukan mau romantis, tetapi kelapanya memang jumbo. Daripada tak habis nanti.
Seperti beberapa obyek wisata lainnya, Watu Goyang juga merupakan inisiatif warga untuk mengembangkan potensi alam di desa ini. Dengan sedikit kreativitas, bukit yang dulunya tidur dibangunkan, didandani sedemikian rupa sehingga menarik. Dandanannya aneka bunga berbagai jenis dan berwarna-warni. Banyak bunga yang tidak saya ketahui namanya. Hanya dua yang saya tahu, bunga matahari dan jengger ayam. Hahahah....
Lanjut, setelah menikmati kelapa muda dan cerita singkat dengan pemilik warung, kami menuju puncak. Luar biasa. Puncak bukit langsung menyajikan panorama memukau, dengan kota Jogja di kejauhan. Saya hanya bisa terpesona dan kagum. Sebagai anak desa, pemandangan bukit bukan hal baru. keterpesonaan dan kekaguman saya pada ide dan inisiatif warga setempat menyulap tempat ini. Beberapa lokasi disediakan spot foto yang bagus. Luar biasa.
O iya. Tentang nama Watu Goyang, diambil dari keunikan yang dapat ditemukan di puncak bukit: sebongkab batu besar seakan diletakkan begitu saja di atas batu yang lain. Tersimpan sedemikian ruma sehingga batu itu dapat digoyangkan. Tentu dengan sedikit mengerahkan tenaga.
Watu Goyang
Pulang ke Jogja, saya berpikir perjalanan ini bukan tentang piknik. Perjalanan kali ini lebih tentang belajar dari warga bagaimana mengelola setiap potensi daerah yang kita miliki. Salut buat warga.

                                                                                                                  Jombor, 3 Januari 2018








Piknik Mewah (Bagian 1)

Perhentian Awal: Piknik Mewah - Mendatangi Sawah
Libur kali ini tak ada pilihan jalan-jalan. Sebenarnya yang tepat adalah tak mau merencanakan kegiatan pengisi liburan. Ke mana-mana macet. Dimaklumi saja. Sebagai daerah wisata, Jogja selalu menarik untuk didatangi wisatawan. Jangankan liburan akhir tahun. Akhir pekan saja selalu kebanjiran wisatawan. Padat. Saya malah merasa kalau tahun ini jauh lebih padat dari tahun-tahun sebelumnya. Jalanan Jogja seakan showroom kendaraan. Mini sampai jumbo ada.
Karena padatnya lalulintas segala arah, hasrat jalan-jalan akhirnya ditunda. Rencananya demikian. Umumnya liburan akan berakhir tepat 1 Januari, dan tanggal 2 Januari kebanyakan sudah kembali ke aktivitas masing-masing. Mau tidak mau banyak wisatawan sudah kembali ke tempat asal mereka pada 1 Januari. Sementara saya dan mbak pacar masih punya waktu beberapa hari. Libur kami sampai 8 Januari. Maka agenda kami adalah mulai berkeliling pada 3 Januari.
Pilihan pertama: Ke arah Imogiri. Sebenarnya tidak ada satu tujuan pasti harus ke salah satu obyek wisata di daerah Imogiri. Intinya jalan saja, keluar sebentar dari kota Jogja. Perjalanan yang santai, mendaki bukit, menyusuri lereng bukit lalu menuruni lembah, pemandangan hutan menjadi suguhan istimewa bagi mata. Tanpa sadar kami hampir mendekati daerah Wonosari. Akhirnya kami memutuskan pulang, melalui jalan jang sama ketika kami datang.
Waktu masih pagi, kira-kira pukul sepuluh. Di tengah perjalanan, tepatnya di Dusun Sukorame, Mangunan, kami berhenti di tepi sawah. Memang sawahnya di pinggir jalan. Hamparan padi yang menghijau, udara pagi yang masih sehar memberi kesan sendiri. Tanpa isyarat mbak pacar sudah masuk ke sawah, menyusuri pematang. Saya sendiri memilih menunggu saja. Toh sawahnya kurang lebih sama sama dengan di kampung saya. Keluarga besar saya umumnya petani, punya sawah beberapa bidang di Bokis dan Kaubele. Almarhum bapak meninggalkan sebidang tanah di Supun yang digarap menjadi sawah tadah hujan. Saya sendiri mendapat warisan dari kakek berupa sebidang sawah. Tidak ada yang istimewa.
Dari tepi jalan saya hanya memandang mbak pacar yang berada di tengah sawah. Saat itulah saya menyadari, ada yang berbeda pada sawah ini. Ada pemandangan unik yang membangkitkan rasa penasaran. Di tengah hamparan padi yang menghijau ada semacam bangunan jembatan, membentuk lingkaran di tengah sawah. Belum begitu menarik perhatian saya. Dan untuk mengisi waktu, saya mau merokok saja.
Ketika saya mengambil rokok, saya baru ingat kalau saya lupa membawa korek api. Saya masih mencari ide mau saya apakan rokok ini ketika mbak pacar tiba dengan ekspresi gembira bahagia. Hahahaha...
“Bangunan itu jembatan bambu yang akan dijadikan satu obyek wisata lagi,” demikian mbak pacar menyampaikan.
“Kata siapa?”
“Itu kata si bapak yang lagi menebar pupuk tadi. Lihat, yuk.”
“Tunggu, cari warung dulu. Saya mau beli korek.”
Kami lalu mencari warung dekat situ. Saat itulah kami mencoba bertanya-tanya tentang bangunan di tengah sawah kepada bapak yang empunya warung. Ceritanya memang lokasi itu tengah dipersiapkan menjadi obyek wisata, dengan suguhan utamanya panorama sawah. Semacam ekowisata begitu. Pengerjaannya oleh masyarakat setempat, dan belum rampung.
“Boleh masuk saja, kalau mau melihat-lihat. Sini lewat belakang rumah saja. Jalan masuknya juga belum dikerjakan.”
Mbak pacar senang. Saya lebih ke penasaran. Sambil bertegur sapa dengan beberapa bapak-ibu yang tengah bekerja di sawah maupun di halaman rumah, kami menuju ke pintu masuk kembatan. Memang menarik. Saya yang tadinya merasa biasa-biasa saja langsung antusias. Tanpa ragu saya keluarkan kamera dan crek...crek..crek..mengambil gambar.
Seorang bapak datang mendekat. Kami saling menyapa, lalu cerita mengalir. Ceritanya, beberapa waktu lalu ada kelompok mahasiswa salah satu universitas yang melakukan kegiatan KKN di dusun Sukorame. Mereka ikut memberikan sumbangan ide bagaimana meningkatkan potensi dusun Sukorame ini. Ternyata tak hanya peningkatan potensi pertanian. Warga ingin punya obyek wisata. Dan si bapak yang kami temui di sini adalah salah satu pencetus ide membuat obyek jembatan bambu di tengah sawah ini.
Dari cerita singkat si bapak, begini. kawasan Mangunan punya banyak obyek wisata. Umumnya panorama bukit dan hutan pinus yang diunggulkan. Warga Sukorame ingin menghadirkan sesuatu yang berbeda. Akhirnya sawah ini yang dipilih. Dan memang berbeda. Meski belum rampung, sudah menarik banyak orang. Karena belum rampung, tiket masuknya masih gratis.









Puas mengambil gambar, kami pamit pulang. Sambil berjanji akan kembali ke sini kalau sudah rampung nanti. Salut buat warga dusun Sukorame.
                                                                                                             Jombor, 3 Januari 2018




Makanan Pengotor Mulut dan Latihan Kesabaran

Kita: anda dan saya pernah tau bahwa dalam ritual makan yang agak berkelas – preeet - ada satu jenis hidangan penutup yang disebut pencuci mulut. Lazimnya jenis hidangan ini adalah aneka buah yang matang ranum mengkal menggoda selera. Menyebut aneka buah di sini tak melulu bermakna sebuah nampan berisi jamak. Dalam kasus umum, satu jenis buah sudah cukup. Misalnya pada pesta permansian kita akan bertemu pisang. Pada pesta sambut baru kita akan bertemu semangka. Pada pesta nikah kita akan bertemu apel (jarang sih...). Pada pesta wisuda kita akan bertemu macam-macam buah yang bersatu dalam satu nama: rujak. Di lain kesempatan kita akan bertemu jambu. Syukurlah, belum ada yang menjadikan bawang sebagai pencuci mulut. Bawang bukan buah.
Di atas kita melihat hal pencuci mulut. Pengalaman bertemu dengan banyak orang, yang salah satu efeknya adalah mengetahui perilaku makan-memakan mereka membuat saya sampai pada sebuah kesimpulan. Karena ada makanan pencuci mulut, harusnya ada jenis makanan yang disebut pengotor mulut. Eh, bukannya semua jenis makanan pada akhirnya mengotori mulut, menyebabkan sisa-sisa sampah pada rongga mulut, membusuk dan bau, menjadi sarang bakteri bila tak dibersihkan?
Bagi teens jaman now, jajan di lapak kuliner semacam menjadi trend. Hadirnya aneka makanan unik hasil kreasi sendiri sampai jenis yang diimpor dari luar dicampursarikan dengan resep lokal menambah tingginya trend ini. Mulai dari yang termasuk makanan berat sampai kelas super ringan-terbang-melayang. Memangnya ada jenis yang terakhir ini? Ada. 

Bagi saya, seorang anak desa yang menjadi salah satu manusia urban di kota, yang sejatinya makan diperkenalkan sejak kecil sebagai kegiatan wajib tiga kali sehari, pagi-siang-malam, makan di luar aturan standar itu terbilang aneh. Maka kadang kalau diajak makan di tempat makan, di luar jam makan, dan makanannya aneh, bukan nasi-sayur-lauk, bawaannya bikin emosi.
Pernah ada kejadian begini. Saya diajak untuk mencoba sejenis makanan yang tengah digandrungi orang-orang. Menu utama di tempat itu sekaligus menjadi nama lapak kuliner tersebut. Karena diajak, saya ikut saja. Tiba di tempat tersebut saya penasaran. Banyak orang. Antrian panjang. Saya lantas bertanya, makanan macam apa sih ini, yang membuat orang rela dan sabar? Semakin panjang antrian semakin tinggi tingkat kesabaran diperlukan. Atau mungkin ini salah satu ajang latihan kesabaran jaman now. Warbyasa.....
Kami ikut antri. Antrian menunggu pesanan. Lima menit. Sepuluh menit, limabelas menit. Duapuluh menit. Saya sabar. Empatpuluh-lima menit. Saya masih sabar. Sejam, saya masih sabar. Sejam limabelas menit. Mulai jengkel. Satu-setengah jam. Satu jam empatpuluh-lima menit. Hidangan datang. Dan WOW. Kami menunggu begitu lama hanya untuk mendapatkan sepotong roti berisi irisan daging kecil, kebanyakan irisan bawang dan bumbu aneh. Aromanya aneh. Rasanya aneh.
Setelah menunggu nyaris dua jam, pesanan datang, tanpa sungkan saya pamit pulang dengan jengkel dan penuh penyesalan. Saya tidak suka. Makanan macam apa ini? Tak lebih dari sampah pengotor mulut. Membayangkan lagi harganya yang terbilang mahal, saya makin jengkel. Ingin rasanya membakarhanguskan makanan itu, sekalian piringnya, sekalian mejanya, sekalian lapaknya.
Pulang ke kos, terbersit ide untuk memberi usulan ke pemilik lapak makanan tersebut. Siapa tau mereka mau mengubah iklannya. “Menu utama: Latihan Kesabaran. Makin sabar makin nikmat.”

                                                                                                Jombor, 2 Januari 2018

Selasa, 02 Januari 2018

Caligula Atau Saya – Catatan Asal-asalan Sebelum Membaca Caligula

Karena beberapa alasan banyak buku yang sudah saya beli tidak pernah saya buka. Belum sempat. Tetapi itu bahasa bohong dari kolektor buku yang munafik. Aslinya sebenarnya terlalu malas membaca buku. Itu cerita 2017. Untuk tahun 2018 saya sudah memutuskan, bahwa mulai hari pertama tahun ini akan saya mulai dengan membaca buku.
Yang lama tetapi baru: Orang Aneh, Sampar, Caligula
Niat itu saya wujudkan. Secara acak saya mengambil salah satu buku lama yang baru. atau buku baru yang lama. Saya bingung bagaimana menyebut mereka itu. Koleksi lama yang masih perawan tak juga terbaca sejak dibeli. Iya, koleksi lama, buku-buku yang sudah lama menghiasi rak buku namun belum terjamah. Banyak yang masih dalam segel plastik. Cara mengambil secara acak menghantar saya pada perjumpaan dengan Albert Camus dan Caligula-nya. Saya sendiri sampai kaget. Saya tidak percaya takdir, juga jodoh. Bertemu Camus dan Caligula bukan takdir-bukan jodoh. Tetapi begitulah. Bahkan diantara buku Albert Camus yang saya miliki: Orang Aneh dan Sampar, Caligula yang muncul. Mungkin ini salah satu bakat judi yang saya miliki. Hah... 
Membuka segel palstiknya, aroma tubuh buku yang terdiri dari campuran kertas, tinta juga lem membangkitkan hasrat. HSSSSSSHHHHH... Saya menghirupnya dalam-dalam. Menggoda. Dan mendadak saya rakus. Dan buku itu saya buka.
O iya, sebelum lupa. Nama Albert Camus sendiri sebenarnya tidak asing. Pertama kali saya mendengar nama itu beberapa tahun silam. Tepatnya ketika tengah menyelami ilmu filsafat, khususnya ketika mencoba mengenal para pemikir eksistensialis Perancis. Yang saya ingat tentang Camus adalah bahwa hidup manusia penuh absurditas. Manusia yang bergerak menuju masa depan hanya akan semakin dekat kepada kematian. Menghadapi ini manusia melarikan diri pada hal seperti agama, atau malah memilih bunuh diri. Gerakan ini menurut Camus hanya punya satu solusi: pemberontakan – keberanian menghadapi hidup. PERLU SAYA BERI CATATAN DI SINI: Ingatan tentang Camus ini tidak memadai. Perlu dilengkapi dengan referensi yang benar – bagi siapa saja yang ingin menyelami pemikiran Camus. Saya tidak.
Lalu Caligula? Saya pernah mendengarnya. Hanya mendengarnya. Sepintas. Jauh dari memadai. Dan saya miskin, sangat miskin tentang dia. Sebenarnya bagusnya adalah saya mencari dahulu catatan tentang Caligula sebelum menyelami Caligula-nya Camus. Tetapi nanti. Kalau demikian, kenikmatan buku ini bisa berbeda. Jalani saja yang ini. Tak ada metode baku untuk diri sendiri. Kalaupun perlu, nanti tinggal saya balik kembali urutannya.
Cover DVD film Caligula
Link gambar dari sini
Seingat saya, pernah saya dan sekelompok teman menonton film berjudul Caligula. Malam-malam kami tonton fim itu. Ekspresi tak jelas. Lha bagaimana, nonton dalam keadaan lampu dipadamkan. Hanya bayangan gestur dan helaan napas dengan jelas menunjukkan deraan tegang-lemas bergantian. Apa benar ada manusia yang anehnya separah itu? Pertanyaan tidak penting. Menurut catatan, memang demikian adanya Caligula. Tetapi namanya film, seperti halnya film pada umumnya, hal yang biasa harus dikemas luar biasa agar mendapat pasar dan mendatangkan keuntungan. Ingat kan, bagaimana sebuah buku jatuh yang hanya sepersekian detik mesti dibuat gerak-lambat hampir semenit, bahkan diulang dua-tiga kali. Seperti begitu itulah. Tentu tidak semua. Banyak film yang bagus-bagus. Kesimpulan saat itu: Caligula gila. 
Mengingat kesimpulan bahwa Caligula itu gila malah membuat saya berkaca. Bisa jadi saya yang gila, sementara Caligula adalah kewarasan paling sempurna? Bah!!! Ah, sudahlah. Sekarang saatnya baca buku.  Baiklah, mulai. Caligula-nya Camus adalah tiga buah drama yang dibukukan. Drama pertama adalah Caligula, yang kemudian menjadi judul buku ini. Kesimpulan tentang siapa yang waras dan siapa yang gila akan saya sampaikan setelah menggelutinya.
Jombor, 1 Januari 2018.