Senin, 25 Januari 2016

BULLYING DALAM DUNIA PENDIDIKAN bagian-1

Catatan Awal
Bahasa kekerasan tampaknya kian mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Keterbukaan informasi, memberi akses mudah bagi kita untuk menyaksikan kekerasan sebagai bahasa yang “ringan” digunakan, baik melalui liputan media di televisi, media cetak, maupun media online baik situs (portal) berita maupun jejaring sosial. Tawuran antar warga, tawuran pelajar, bentrok warga dan aparat, adalah bahasa kekerasan yang mudah kita lihat. Adakah semua tontonan kekerasan itu telah dijadikan “tuntunan” oleh siswa untuk melakukan bullying terhadap sesama pelajar di sekolah.

Bullying adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan pelajar di lingkungan sekolah, selain tawuran antar pelajar. Perilaku agresif pelajar dalam bentuk tawuran, mendapat perhatian yang cukup, baik dari pendidik, orang tua, pemerintah dan aparat kepoisian. Sedangkan bullying, meskipun sebenarnya sudah lama terjadi di lingkungan pendidikan, tampaknya  tidak mendapat perhatian yang memadai.

Mungkin karena  bullying  dianggap sebagai hal yang tidak serius, karena “hanya” dalam bentuk mengintimidasi temannya, memalak, mengucilkan, sehingga siswa yang menjadi korban malas pergi ke sekolah. Pelaku bullying di sekolah  ternyata bukan hanya siswa, tetapi juga berpotensi dilakukan oleh guru. Sebagai contoh, seorang guru di Watapone Sulawesi memukul muridnya setelah sebelumnya melempar anak didiknya dengan menggunakan sandal. Seorang guru di Situbondo Jawa Timur, menempeleng  satu siswanya. Di Bengkulu, seorang guru menempeleng 30 siswanya. Kasus-kasus tersebut, berujung ke ranah hukum.

Bullying dapat terjadi  pada semua tingkatan sekolah,  mulai dari TK sampai dengan SMA, bahkan sampai dengan Perguruan Tinggi.  Pada tingkat SLTA bullying paling sering terjadi yaitu dalam bentuk tawuran antar pelajar. Pada tingkat ini sering terjadibullying,  karena dalam usia remaja (sebagai masa transisi dalam perkembangan manusia), tidak jarang muncul adanya dorongan dalam diri remaja untuk  ingin kelihatan lebih dihargai, memiliki  kekuasaan dan ingin memperlihatkan jati dirinya.

Terminologi Bullying
Kata  “bully” dapat dilacak sejauh ini hingga  tahun 1530 (Harper, 2008). Pada dasarnya, ini menyangkut perilaku dua orang atau lebih yang mengancam atau mengintimidasi  seorang korban mereka. Penyalahgunaan ini menggunakan kekuatan fisik. Bullying muncul ketika  manusia Neanderthal digantikan oleh Homo Sapiens yang lebih kuat dan lebih berkembang. Tema utama yang terekam dari berbagai sejarah mengenai perilaku bullying adalah eksploitasi yang lemah oleh yang kuat, bukan secara tidak sengaja, namun secara purposif atau bertujuan.
Bullying merupakan kata serapan dari bahasa Inggris (bully) yang berarti menggertak atau mengganggu orang (pihak) yang lemah. Bullying sebenarnya bukan hanya terjadi di lembaga pendidikan/sekolah, tetapi juga di  tempat kerja, masyrakat, bahkan komunitas virtual).  Luasnya cakupan bullying juga menyebabkan munculnya pelbagai definisi.
Sekalipun telah sejak berabad-abad lalu bullying  menjadi  masalah, namun bullying tidak mendapatkan  perhatian penelitian yang signifikan sampai tahun 1970-an (Olweus, 1978). Dan Olweus adalah ilmuwan pertama yang memfokuskan diri pada topik bullying,  dan mengkontribusikan data ilmiahnya pada literatur bullying. Riset-riset  Olweus memberi penjelasan,  mengapa beberapa anak melakukanbullying dan mengapa beberapa lainnya menjadi korbannya. Namun yang terpenting adalah,  Olweus  menunjukkan bahwa bullying di sekolah dapat direduksi secara signifikan.
Penelitian di Norwegia dan Swedia pada tahun 1980-an yang dilakukan Olweus, mengarah pada kampanye intervensi nasional pertama untuk menentang bullying. Riset itu kemudian memotivasi negara-negara lain seperti Finlandia, Inggris, dan Irlandia untuk meneliti bullying (Ross, 2002; Smith&Brain, 2000). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada akhir tahun 1980 mulai  melaksanakan penelitian-penelitian lintas bangsa setiap empat tahun sekali, berkenaan dengan perilaku sehat pada anak-anak usia sekolah. Sampel usia 11, 13, dan 15 tahun dari berbagai dunia dinilai, dan bullying dimasukan sebagai suatu aspek penting dari penelitian tersebut.
Jepang menjadi pelopor di Asia  yang  melakukan upaya-upaya untuk memahami bullying dan mengembangkan cara-cara untuk mencegahnya. Jepang menggunakan kata ijime untuk menerjemahkan  “bullying”. Menurut Kawabata (2001), ijime merujuk pada bullying yang menyebabkan hasil-hasil dalam trauma dan dalam beberapa kasus fobia sekolah.  Tanaka ( 2001) menggambarkan, shunning sebagai suatu tipe bullying yang khas ditemukan di Jepang. Shunning merupakan tindakan  sekolompok teman sebaya secara kolektif yang mengabaikan dan mengeluarkan seorang korban  dari kelompoknya.
Bullying menjadi isu yang  serius di Amerika Serikat. Menurut Ross (2002), bullying  dianggap bentuk agresi yang paling dominan yang ditemukan di sekolah-sekolah Amerika, dan berpengaruh kuat pada sebagian besar para siswa apabila  dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lain.
 Menurut Rigby (2005; dalam Anesty, 2009) merumuskan bahwa bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti, yang diperlihatkan dalam aksi sehingga menyebabkan seseorang menderita. Aksi tersebut  dilakukan secara langsung oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat dan tidak bertanggung jawab. Tindakan bullying dilakukan secara berulang-ulang dan dengan perasaan senang (Retno Astuti, 2008: 3).
Pakar lain menilai, bullying bukan hanya sekedar keinginan untuk menyakiti orang lain. Ahli yang tak sepakat dengan definisi tersebut di atas  mengatakan,  bahwa antara “keinginan untuk menyakiti seseorang” dan “benar-benar menyakiti seseorang” adalah  dua hal yang jelas berbeda. Para ahli psikologi  behavioral kemudian menambahkan, bahwa bullying merupakan sesuatu yang dilakukan bukan sekedar dipikirkan oleh pelakunya, keinginan untuk menyakiti orang lain dalam bullying selalu diikuti oleh tindakan negatif.
Dalam hal school bullying, Olweus, mendefinisikan tingkah-laku bullying sebagai: “A student is being bullied or victimized when he or she is exposed, repeatedly and over time, to negative actions on the part of one or more other students” (Olweus, 2001).   Peter K Smith, seorang periset dari Inggris menambahkan mengenai school bullyingbahwa: “a systematic abuse of power” (Smith & Sharp, 1994), and that the repeated intentional aggression is brought against an individual who cannot defend him or herself (Smith, 2004). Craig dan Pepler (1998) mempertegas,  bullying sebagai “tindakan negatif secara fisik atau lisan yang menunjukkan sikap permusuhan, sehingga menimbulkan  stress bagi korbannya, berulang dalam kurun waktu tertentu dan melibatkan perbedaan kekuatan antara pelaku dan korbannya.”
Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2001) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif kekuasaan terhadap siswa yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/kelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa lain yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti orang tersebut.

Tipe  Bullying
  1. Physical bullying (Kontak fisik langsung): memukul, mendorong, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimliki orang lain.
  2. Verbal bullying (kontak verbal langsung): mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name–calling), sarkasme, merendahkan (put-down), mencela/mengejek, mengintimidsi, mengejek, menyebarkan gosip).
  3. Non Verbal bullying (Perlaku non-verbal langsung): melihat dengan sinis, menjulurkan lidah menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam, biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal).
  4. Indirect non verbal (Perilaku non verbal tidak langsung): mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
  5. Social Alienation (Alienasi sosial):  mengecualikan seseorang dari kelompok, seperti dengan  menyebarkan rumor,  dan mengolok-olok.
  6. Cyber bullying (Bullying elektronik): merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan pelakunya dengan menggunakan  sarana elektronik seperti komputer, handphone, internet, website, chatting room, e-mail, SMS dan sebagainya. Tujuannya,  meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman video atau film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan. Bullying jenis ini biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman cukup baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bullying
Bullying dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: temperamen dan kepribadian dengan control yang rendah. Perilaku agresif dan impulsivitas sering diasosiasikan dengan perilaku Bullying. Ketidak-pedulian serta rendahnya self esteem dan kurangnya assertion (ketegasan) sering diasosiasikan dengan victimation (Boyle, 1996, dalam Trevi, 2010).
Faktor keluarga yang menyangkut  faktor kualitas hubungan orang tua dengan anak,  yang  penggunaan hukuman fisik di rumah, dinilai sangat signifikan dengan faktor resiko terjadinya bullying (Olweus, dalam Trevi, 2010). Olweus juga melaporkan adanya ketidakacuhan maternal, pendekatan disiplin yang permisif serta orang tua yang mengunakan hukuman fisik, sering diasosiasikan dengan frekuensi tinggi munculnya perilaku agresif yang terjadi pada berbagai situasi.
Anak yang sering terkena bully, mempunyai kecenderungan hubungan yang tidak harmonis pada lingkungan keluarganya. Anak tersebut biasanya  bermasalah dalam menjalin komunikasi yang baik. Padahal, hal ini dapat membantu anak untuk mengembangkan pikiran yang positif tentang dirinya dan mempunyai kemampuan berinteraksi dengan sesamanya (Noller &Clan, dalam Trevi, 2010).
Rigby (2002, dalam Trevi, 2010) dalam penelitiannya membuat kesimpulan, bahwa ketika komunikasi antar keluarga minim, anak akan terlibat dalam Bullying dan dapat menjadi korban. Rigby juga mengatakan bahwa sebagian besar pelaku bully itu berasal dari keluarga yang tidak harmonis dimana sering dikarakteristikan dengan kurangnya kasih sayang dan dukungan penuh dari keluarga. Selanjutnya, Bowers (dalam Trevi, 2010) juga mengatakan bahwa struktur tingkat hirarki yang tinggi tepatnya ketika seorang ayah menghukum anaknya dengan kekerasan fisik dapat memicu anak menjadi pelaku Bullying. Biasanya keluarga yang seperti ini tidak mengawasi pergaulan anaknya sehingga anak dapat memasuki pergaulan dengan teman sebaya yang sifatnya negative dan cenderung mempunyai sifat perilaku anti sosial.
Dalam skema kognitif korban yang diteliti oleh Riauskina dkk menyebutkan, korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena a) Tradisi, Balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), b) Ingin menunjukkan kekuasaan, c) Marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, d) Mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan), e) Iri hati (menurut korban perempuan).
Menurut Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban  Bullying karena a) Penampilan menyolok, b) Tidak berperilaku dengan sesuai, c) Perilaku dianggap tidak sopan, dan menganggap ini adalah Tradisi (Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, 2005, dalam Trevi, 2010).
Juwita dan Mellor (dalam Trevi, 2010) juga mengatakan bahwa Bullying dapat terjadi akibat faktor lingkungan, keluarga, sekolah, media, dan peer groupnya. Astuti (2008, dalam Trevi, 2010) mengatakan, bullying disebabkan oleh lingkungan sekolah yang kurang baik, senioritas yang tidak pernah diselesaikan, guru memberikan contoh yang kurang baik pada siswa, kehidupan yang kurang harmonis di rumah, dan karakter anak itu sendiri.
Kompleksifitas masalah keluarga,  seperti misalnya ketidakhadiran ayah, ibu menderita depresi, kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak, perceraian atau ketidakharmonisan orang tua, dan ketidakmampuan sosial ekonomi, merupakan faktor penyebab tindakan agresi yang signifikan (Wolf dalam pearce, Elliot, ed., 1997, dalam Trevi, 2010).
Situasi keluarga yang penuh dengan permasalahan, membuat anak merasa tertekan. Malah,  dalam situasi seperti itu orang tua tak jarang  memberikan hukuman fisik kepada anak-anaknya. Hal itu  dapat memicu anak untuk menjadi korban maupun pelaku bullying.
Bullying juga terjadi jika pengawasan dan bimbingan etika dari para guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak, dan peraturan yang tidak konsisten. Perbedaan kelas, seperti senioritas, etnis, ekonomi, dan agama menjadi salah satu pemicu terjadinya Bullying. Tradisi senioritas seringkali diperluas oleh siswa sendiri sebagai kejadian yang bersifat laten, bagi mereka keinginan untuk melanjutkan masalah senioritas ada untuk hiburan, penyaluran dendam, irti hati, atau mencari populatritas, melanjutkan tradisi, atau untuk melanjutkan kekuasaan (wawancara dengan pelaku Bullying, astuti, 2008, dalam Trevi, 2010).
Media massa juga bisa menjadi faktor penyebab terjadinya bullying. Penelitian yang dilakukan oleh Anderson seperti dikutip oleh Rigby, 2002, menyimpulkan bahwa kekerasan melalui televisi atau film, serta video game mejadi bukti konkret untuk memicu terjadinya bullying baik dalam kurun waktu yang cepat ataupun lama. Efeknya juga akan terlihat berupa bentuk perilaku bullying mulai dari yang sifatnya ringan sampai dengan yang dapat menelan korban jiwa.
Di Indonesia terdapat kasus bullying yang disebabkan oleh tayangan sinetron ditelevisi yang mengangkat kisah tentang kebrutalan, kekerasan (perkelahian) yang secara tidak langsung memberikan dampak yang negative bagi masyarakat terutama remaja yang masih duduk dibangku sekolah. Tontonan televisi  tampaknya menjadi alat  paling ideologis yang dapat mempengaruhi karakter serta paradigma berfikir para siswa untuk meniru adegan-adegan kekerasan yang ada dalam televisi tersebut. (www.kompas.com).
Karakter anak sebagai pelaku umumnya adalah anak yang selalu berprilaku agresif, baik secara fisikal maupun verbal, anak yang ingin populer, anak yang tiba-tiba sering membuat onar atau selalu mencari kesalahan orang lain dengan memusuhi umumnya termasuk dalam kategorti ini. Anak ini biasanya menjadi salah satu panutan dalam kelompoknya. Anak dengan perilaku agresif ini telah menggunakan kemampuannya untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya pada kondisi tertentu korban, misalnya perbedaan etinis/ras, fisik, golongan/agama, jender. Selain itu  ada juga karakter anak yang pendendam atau iri hati, anak pendendam atau iri hati sulit dideteksi perilakunya, karena belum tentu ia anak yang agresif. perilakunya juga tidak terlihat secara fisikal maupun mental, namun dalam penelitian Astuti, (2002, dalam Trevi, 2010) ditemui bahwa ada anak yang menaruh dendam pada korbannya sehingga ia melakukan Bullying.
Merasa  merasa tertekan, terancam, terhina, dendam dan sebagainya. Keadaan lingkungan keluarga yang tidak harmonis, dapat  membentuk kepribaian seseorang  menjadi agresif dan kurang mampu mengendalikan emosi, sehingga memicu munculnya aksi bullying. Keluarga yang berantakan, menurut  Psikolog dari Jagadnita Counseling, Clara Wriswanto, dapat mendorong    seseorang menjadi pelaku “bullying”.
Faktor lain adalah, kondisi kehidupan sosial (terutama  di kota-kota besar) yang   mengidap penyakit frustasi sosial, menyebabkan terjadinya  adult oriental di masyarakat, sehingga dapat mendorng terjadinya bullying.  Orang tua kurang memberi perhatian  terhadap anak, sehingga membuat anak mencari perhatian (caper) dari orang lain. Disoreintasi mendorong anak melakukan kekerasan, agar  selalu mendapat perhatian orang lain.
Masalah gender sebagai laki-laki dengan  kecenderungan untuk berkelahi. Orang tua menekankan agar anak laki-lakinya  itu harus kuat,  tidak boleh kalah dalam persaingan. Sayangnya,  orang tua tidak memberi contoh dari hal-hal yang diajarkan itu,  sehingga anak salah dalam memahami makna “kuat” itu bagaimana, menang dari persaingan itu seperti apa.
Faktor psikologis dari orang tua, dimana orang tua yang memiliki kesehatan mental dan jiwa yang kurang baik berpotensi besar memiliki anak yang melakukan tindakanbullying. Anak memiliki riwayat korban kekerasan. Biasanya, anak yang pernah mengalami kekerasan khususnya dari orang tua lebih cenderung ‘balas dendam’ pada temannya di luar rumah.  Faktor ingin mendapat pujian dari orang lain, seperti  kadang-kadang “berkelahi”. Dia beranggapan, hal itu untuk membuktikan, bahwa  kekuatan bisa menjadikan seseorang ketagihan untuk tetap melakukannya. Bisa jadi, siswa berkelai karena mereka senang  memperoleh “pujian” (sesat) banyak orang.
Korban siklus bullying. Pelaku bullying sangat boleh jadi sebelumnya adalah  korban dari pelaku bullying sebelunmnya. Ketika menjadi korban, mereka membentuk skema kognitif yang salah, bahwa bullying bisa dibenarkan.  Bullying juga terjadi karena seseorang ingin menujukkan, bahwa ia punya kekuatan, atau ingin mendapat kepuasan, iri hati.


BERSAMBUNG....