Selasa, 17 November 2015

REGULASI EMOSI, KUALITAS PERTEMANAN DAN CYBERBULLYING

1.        Topik permasalahan: CYBERBULLYING
A.      Pengertian CYBERBULLYING
Masa remaja merupakan masa perkembangan transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana terjadi perubahan-perubahan biologis, kognitif, sosial, dan emosional (Santrock, 2002). Proses-proses perubahan yang terjadi pada diri remaja mengakibatkan remaja mengalami tekanan-tekanan, baik itu tekanan dari dalam dirinya maupun tekanan dari orang-orang di sekitarnya, terutama teman sebayanya. Hal ini membuat remaja rentan terlibat dalam tindakan-tindakan kekerasan.
Pada tahun 2007, data KPAI menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan yang terjadi pada anak mencapai 4.398.625 kasus dan pada tahun 2008 mencapai 13.447.921 kasus. Pada tahun 2009, kepolisian mencatat dari seluruh laporan kasus kekerasan, 30% diantaranya dilakukan oleh anak-anak, yang dimana 48% terjadi di lingkungan sekolah dengan motif dan kadar yang bervariasi. Selain itu, berdasarkan data laporan kasus yang masuk ke Komnas per November 2009 setidaknya terdapat 98 kasus kekerasan fisik, 108 kekerasan seksual, dan 176 kekerasan psikis pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Berbagai sumber menunjukkan kekerasan terhadap remaja cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Salah satu bentuk kekerasan yang kerap terjadi pada remaja adalah bullying. Pada tahun 2008, Plan Indonesia, SEJIWA, dan Universitas Indonesia melakukan survei tentang perilaku bullying di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bogor pada 1500 siswa SMA dan 75 guru. Hasil survei menunjukkan 67,9% responden melaporkan terjadi bullying di sekolah mereka, berupa bullying verbal, psikologis, dan fisik. Pelaku bullying pada umumnya adalah teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah, dan preman di sekitar sekolah. Sementara itu, 27,9% persen siswa SMA mengaku ikut melakukan bullying dan 25,4% siswa SMA mengambil sikap diam saat melihat kejadian bullying (Indra, 2011).
Olweus (dalam Hinduja & Patchin, 2008) menjelaskan bahwa bullying adalah perilaku agresif, intens dan berulang yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuatan yang lebih besar daripada orang yang menjadi korbannya. Lebih lanjut Olweus menyatakan bahwa bullying merupakan perilaku negatif secara berulang kali dan dari waktu ke waktu yang dilakukan oleh satu remaja atau lebih. Perilaku negatif tersebut berupa usaha atau perbuatan nyata untuk melukai atau membuat orang lain tidak nyaman baik itu melalui kontak fisik, kata-kata, melalui ekspresi wajah, atau secara sengaja mengucilkan seseorang dari kelompok.
Konsep bullying yang diteliti pada umumnya memfokuskan pada kekerasan secara fisik dan perilaku agresif secara verbal. Tetapi fakta menunjukkan bahwa konsep bullying telah berkembang seiring perkembangan zaman. Pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan perubahan yang signifikan dalam pola jaringan sosial. Jaringan sosial memberikan kesempatan kepada semua orang untuk saling terkoneksi secara positif, tetapi juga membuka peluang tindak kekerasan (bullying).  Salah satu bentuk bullying yang sering terjadi adalah cyberbullying (Rahayu, 2012).
Cyberbullying berasal dari kata cyber dan bullying. Cyber adalah jaringan elektronik yang menghubungkan satu pengguna dengan pengguna lain, misalnya internet sedangkan bullying adalah sebuah bentuk perilaku agresif yang terwujud dalam sebuah penyiksaan. Bullying melibatkan penghinaan secara verbal, serangan atau kekerasan fisik dan ditujukan pada korban tertentu atas dasar suku, bangsa, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, atau kemampuan diri. Sedangkan menurut US Legal Definitions, Cyberbullying hanya sebatas untuk memposting gosip tentang seseorang melalui internet. Gosip tersebut bisa saja tentang kebencian, atau mungkin pada identitas pribadi sesorang dan hal–hal tersebut sangat mempermalukan dan mencemarkan nama orang tersebut. (En.m.wikipedia.org/wiki/ Cyberbullying)
Hinduja dan Patchin (2008) mendefinisikan cyberbullying dengan mengadaptasi definisi bullying dari Olweus. Cyberbullying adalah perilaku agresif, intens, berulang, yang dilakukan oleh individu dan perorangan dengan menggunakan bentuk-bentuk pemanfaatan teknologi dan elektronik sebagai media untuk menyerang orang tertentu. Cyberbullying mengacu pada bullying yang terjadi melalui instant messaging, email, chat room, website, video game, atau melalui gambaran atau pesan yang dikirim melalui telepon selular. Cyberbullying merupakan salah satu bentuk dari bullying secara verbal dan non-verbal yang dilakukan melalui media elektronik seperti komputer atau telepon selular, seperti mengirimkan pesan singkat yang berisi kebencian terhadap seseorang, mengatakan hal-hal yang menghina perasaan orang lain dalam sebuah chat, atau menyebarkan isu yang tidak benar mengenai seseorang melalui internet. Mengacuhkan seseorang dalam sebuah chat room,atau mengejek seseorang melalui media online juga merupakan salah satu bentuk dari cyberbullying.
Pada dasarnya, motivasi dasar atau faktor pendorong terjadinya tindakan bullyingtradisional maupun cyberbullying adalah sama, yaitu pembalasan dendam dan keinginan pelaku akan kekuasaan serta kontrol (Shariff dalam O’ Dwyer, 2012).
Blumenfeld (2005) berpendapat bahwa ada beberapa persamaan antara bullying tatap muka dengan cyberbullying. Antara bullying tatap muka atau bullying tradisional dan cyberbullying, keduanya sama-sama melibatkan hubungan antar manusia, kekuatan, dan kontrol. Keduanya juga mencakup apa yang disebut oleh psikolog dengan “Leveling Effect”, yaitu seseorang yang melakukan penindasan akan menjatuhkan orang lain untuk menunjukan rasa egonya yang merefleksikan rasa ketidakamanannya.
Namun terdapat perbedaan karakteristik antara bullying tradisional dan cyberbullying. Menurut Campbell (2005), karakteristik yang membedakan antara bullying tradisional dan cyberbullying adalah:
a.       Distribusi Worldwide
Materi cyberbullying dapat didistribusikan secara mendunia dan sering kali tidak dapat dihilangkan. Dalam cyberbullying terdapat potensi untuk menarik lebih banyak penonton. Apalagi dengan luasnya jaringan intenet, memudahkan pelaku untuk menyebarkan gangguannya terhadap target ke dunia yang lebih luas.
b.      Kekuatan Kata Tertulis
Ketika pembuli melecehkan secara verbal dan tatap muka, mungkin korban tidak mengingat setiap kata-kata yang dilontarkan, namun dalam kasus email atau SMS, chat rooms danwebsite, korban dapat membaca apa yang dikatakan pembuli secara berulang-ulang
c.       Anonimitas
Pelaku bullying umumnya bersifat anonim, menggunakan nama lain atau berpura-pura sebagai orang lain. Dengan sifat anonim ini, pelaku tidak perlu bertatap muka dengan target, sehingga hal ini dapat memberikan kesempatan bagi siapapun untuk melakukan perilakucyberbullying
d.      Terjadi Kapan Saja dan Dimana Saja
Sulit untuk korban cyberbullying untuk melarikan diri dari bentuk penindasan ini, karena tindakan bullying seperti ini dapat terjadi dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun. Teknologi, khususnya internet mengizinkan kita semua untuk dengan segera mengakses informasi. Sehingga hal ini dapat mempermudah perlaku untuk menyerang korban dimanapun dan kapanpun melalui koneksi online atau offline
Suler (2004) juga menambahkan bahwa yang menjadi perbedaan antar cyberbullying dengan bentuk bullying tradisional lainnya yaitu pengguna teknologi sering kali melakukan hal ini (cyberbullying) di dunia maya karena mereka biasanya tidak dapat melakukan ini ketika berinteraksi secara tatap muka.
Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa permasalahan cyberbullying semakin membahayakan akhir-akhir ini dan perlu mendapat perhatian yang serius. Penyebabnya pertama adalah karena cyberbullying seringkali lebih tidak terlihat oleh orang dewasa daripada bentuk bullying lainnya.
Berdasarkan beberapa fakta dan data hasil penelitian, ditemukan bahwa cyberbullying bisa menjadi lebih berbahaya karena beberapa alasan. Alasan pertama, cyberbullying mudah untuk dimulai. Hanya diperlukan beberapa kali ‘klik’ saja, dan anonimitas dari internet bisa menghilangkan banyak hambatan yang ditemui dalam aksi bullying tradisional. Alasan kedua, aksi cyberbullying sulit dihentikan. Kata-kata dan gambar yang disebarkan secara online bisa tersebar ke seluruh dunia kapanpun dan kadang sulit untuk dihapus. Alasan ketiga, cyberbullying sangat jelas terlihat untuk anak dan remaja, namun tidak jelas terlihat oleh orang dewasa. (Rahayu, 2012).
Penelitian yang dilakukan Hinduja & Patchin (2010) mengungkapkan bahwa 20% responden dilaporkan pernah berpikir secara serius untuk bunuh diri. Semua bentuk bullying secara signifikan berkaitan dengan meningkatnya keinginan untuk bunuh diri. Dan percobaan bunuh diri yang dicoba dilakukan oleh korban cyberbullying jumlahnya hampir dua kali lebih banyak daripada remaja yang tidak pernah mengalami cyberbullying.

B.       Jenis dan bentuk Cyberbullying
Adapun jenis dari cyberbullying menurut Willard (2007) yaitu flaming (pesan dengan amarah), harassment (gangguan), denigration (pencemaran nama baik), impersonation (peniruan), outing (penyebaran), trickery (tipu daya), exclusion (pengeluaran), dan cyberstalking (merendahkan).
Penelitian yang dilakukan oleh Price dan Dalgeish (2009) menyatakan bahwa bentuk cyberbullying yang banyak terjadi yaitu called name (pemberian nama negatif), abusive comments (komentar kasar), rumour spread (menyebarkan rumor atau desas desus), threatened physical harm (mengancam yang membahayakan fisik), ingored atau exclude (pengabaian dan pengucilan), opinion slammed (pendapat yang merendahkan), online impersonation (peniruan secara online), sent upsetting image (mengirim gambar yang mengganggu), dan image of victim spread (penyebaran foto).

C.      Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi terjadinya Cyberbullying
Cyberbullying terjadi karena beberapa faktor. Sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang mempengaruhi terjadinya cyberbullying, yaitu:
a.      Bullying tradisional
Menurut Maulida (2011), peristiwa bullying yang dialami di dunia nyata memiliki pengaruh besar pada kecenderungan individu untuk menjadi cyberbullies (pelaku cyberbullying).
b.      Anonimitas
Salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi praktek cyberbullying adalah sifat anonimitas yang membuat pelaku mampu melecehkan atau mengganggu korban selama 24 jam. Mawardah dan Adiyanti (2014) mengemukakan bahwa anonimitas yang terdapat dalam setiap komunikasi elektronik tidak hanya menyamarkan identitas namun dapat mengurangi akuntabilitas sosial, sehingga memudahkan pengguna untuk terlibat dalam permusuhan dan tindakan agresif.
c.       Strain
Agnew (1992, dalam Maulida, 2011) memaparkan strain adalah suatu kondisi psikis yang ditimbulkan dari hubungan negatif dengan orang lain yang menghasilkan efek negatif yang mengarah pada kenakalan. Strain adalah suatu kondisi ketegangan psikis yang ditimbulkan dari hubungan negatif dengan orang lain yang menghasilkan afek negatif (terutama rasa marah dan frustasi) yang mengarah pada kenakalan (Agnew, 1992). Teori strain menitikberatkan pada hubungan yang negatif dengan orang lain, hubungan dimana seseorang tidak diperlakukan sebagaimana dirinya ingin diperlakukan. Remaja yang mengalami strain memiliki kecenderungan untuk membully atau men-cyber bully orang lain daripada remaja yang tidak mengalami strain (Hinduja & Patchin, 2011). Cyberbullying dapat terjadi karena ingin mengurangi ketegangan, membalaskan dendam, atau meringankan emosi negatif terutama ketika pelaku bullying tidak memiliki kemampuan dan sumber-sumber untuk mengatasi peristiwa penuh stres karena dukungan sosial dan kontrol dirinya rendah (Agnew, 1992).
d.      Pengawasan Orang tua
Hinduja & Patchin (2014) mengemukakan peran orang tua dalam mengawasi pola penggunaan internet sangat berpengaruh pada kecenderungan terjadinya cyberbullying pada anak. Selain mengawasi, orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik anak tentang manfaat media cyber dan bagaimana hendaknya berberilaku secara positif di dunia maya.
e.       Iklim sekolah
Lingkungan sekolah adalah tempat di mana siswa, pendidik dan orang tua saling berinteraksi. Lingkungan sekolah membentuk satu citra kepribadian yang sering disebut iklim sekolah, yang mana iklim turut memberi andil dalam perkembangan orang-orang yang ada di dalamnya. Hinduja & Patchin (2014) juga meneliti hubungan antara cyberbullying dan iklim sekolah, di mana sekolah dengan iklim sekolah yang positif mengalami sedikit peluang terhadap bullying, baik langsung maupun cyberbullying. Pendapat ini didukung oleh Narpaduhita dan Suminar (2014) dalam penelitian mereka tentang perbedaan perilaku cyberbullying ditinjau dari persepsi siswa terhadap iklim sekolah di SMK Negeri 8 Surabaya. Hasil temuan mereka menunjukkan bahwa siswa yang mempersepsikan iklim sekolahnya positif cenderung memiliki perilaku cyberbullying lebih rendah dibanding dengan siswa yang mempersepsikan iklim sekolahnya negatif.
f.        Kontrol Diri yang Rendah
Gottfredsonv dan Hisrchi dalam Aroma dan Suminar (2012), menyatakan bahwa  individual yang memiliki kontrol diri rendah cenderung bertindak impulsif, lebih memilih tugas sederhana dan melibatkan kemampuan fisik, egois, senang mengambil resiko, dan  mudah kehilangan kendali emosi karena mudah frustasi. Individu dengan  karaktersistik ini lebih mungkin terlibat dalam hal bullying, kriminal dan perbuatan menyimpang daripada mereka yang memiliki tingkat kontrol diri yang tinggi. dari paparan singkat ini dapat dilihat bahwa salah satu bentuk kontrol diri adalah kemampuan meregulasi emosi. Regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi yang berhubungan dengan emosi, dan reaksi yang berhubungan dengan emosi. Hubungan antara regulasi emosi dan perilaku cyberbullying pernah diteliti oleh Mawardah dan Adiyanti (2014), di mana ditemukan hubungan negatif antara regulasi emosi dan pelaku cyberbullying. Seseorang yang cenderung menjadi pelaku cyberbullying memiliki regulasi emosi yang rendah.
g.      Harga Diri
Dalam sebuah penelitian mengenai Cyberbullying and Self Esteem mengemukakan bahwa para remaja yang melakukan cyberbullying adalah remaja yang mempunyai kepribadian otoriter dan kebutuhan yang kuat untuk menguasai dan mengontrol orang lain (Hinduja & Patchin, 2010). Remaja tersebut hanya mementingkan dirinya sendiri dibandingkan diri orang lain dan seringkali ia menganggap orang lain tidak ada artinya. Selain itu, hasil dari penelitian pada 30 sekolah menengah atas di Amerika Serikat dengan menggunakan random sampling, juga menekankan pada self-esteem seorang remaja dalam melakukancyberbullying, yang mana seseorang yang melakukan cyberbullying cenderung mempunyai self-esteem yang rendah karena hal ini merupakan suatu perilaku yang tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri dan hanya akan mengarah pada perilaku agresif seseorang. Perilaku tidak terpuji ini juga sangat berdampak pada pelaku cyberbullyingitu sendiri, yang mana dengan memiliki self esteem yang rendah akan berdampak pada prestasi akademiknya di sekolah, perilaku kriminal, dan kesehatan yang buruk.


2.        Variabel X1: Regulasi Emosi
Variabel regulasi emosi merupakan bagian dari kontrol diri yang lemah yang menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya cyberbullying. Thompson (Kostiuk & Gregory, 2002) menggambarkan regulasi emosi sebagai kemampuan merespon proses-proses eks-trinsik dan intrinsik untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi yang intensif dan menetap untuk mencapai suatu tujuan. Ini berarti apabila seseorang mampu mengelola emosinya secara efektif, maka ia akan memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi masalah.
Kemampuan mengekspresikan emosi yang dilakukan baik secara lisan maupun tulisan dapat membantu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan psikologis dan fungsi fisik pada seseorang saat mengha-dapi peristiwa traumatik dalam hidupnya dan membantu mengatasi distres psiko-logis (Greenberg & Stone, 1992; Mendolia & Kleck, 1993; Strobee, Stroebe, Schut, Zech, & Bout, 2002).
Thompson (1994), membagi aspek-aspek regulasi emosi yang terdiri dari tiga macam:
a.           Kemampuan memonitor emosi (emotions monitoring) yaitu kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi didalam dirinya, perasaannya, pikirannya dan latar belakang dari tindakannya.
b.          Kemampuan mengevaluasi emosi (emotions evaluating) yaitu kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan untuk mengelola emosi khususnyan emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam dan benci akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh secara mendalam yang dapat mengakibatkan individu tidak dapat berfikir secara rasional.
c.           Kemampuan memodifikasi emosi (emotions modification) yaitu kemampuan individu untuk meruba emosi sedemikian rupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam putus asa, cemas dan marah. Kemampuan ini membuat individu mampu bertahan dalam masalah yang sedang dihadapinya.


3.        Variabel X2: Kualitas Persahabatan (Quality of Friendship)
A. Pengertian persahabatan dan kualitas persahabatan
Persahabatan merupakan hubungan emosional antar dua individu atau lebih, baik antara sejenis maupun yang berbeda jenis, yang didasari saling pengertian, menghargai, mempercayai antara satu dan lainnya (Dariyo dalam Purwanita, 2010).Persahabatan juga didefinisikan oleh Baron & Byrne, (2009) sebagai hubungan yang membuat dua orang menghabiskan waktu bersama, berinteraksi dalam berbagai situasi tidak mengikutkan orang lain dalam hubungan tersebut, dan saling memberikan dukungan emosional.
Setiap orang dalam menjalin sebuah persahabatan, tidak akan terlepas dari adanya kuantitas persahabatan, yaitu berupa popularitas, jumlah hubungan sahabat, jumlah teman yang tercantum (Demir & Urberg, 2004).  Sedangkan kualitas persahabatan mereka sehingga mereka dapat memahami lebih mendalam antara satu sama lain. Dalam beberapa literatur sahabat yang baik didefinisikan sebagai individu yang memiliki persahabatan dengan kualitas yang tinggi (Berndt,2002).
Berndt (2002) juga menyatakan bahwa sebuah persahabatan yang berkualitas tinggi dicirikan oleh tingginya tingkat perilaku prososial, keintiman, dan fitur positif lainnya,serta rendahnya tingkat konflik, persaingan, dan fitur negatif lainnya. Selain itu, oleh Lansford dkk, (2006) kualitas persahabatan didefinisikan dengan suatu hubungan yang memiliki afeksi yang timbal- balik (reciprocal affection), keterbukaan yang intim (intimate disclosure), tetap bersama (validation), memberikan support diantar kedua individu (support between two individuals), dan saling menerima antara anggota sebaya dalam kelompok.
Berdasarkan definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa quality of friendship adalah suatu keadaan untuk melihat seberapa baik hubungan persahabatan timbal balik yang terjadi melalui aspek-aspek tertentu.
Berndt (2002) mengistilahkan ciri-ciri persahabatan yang positif dan negatif sebagai kualitas persahabatan. Ciri-ciri positif dari kualitas persahabatan yang dimaksud yaitu pembukaan diri {self disclosure), keakraban (intimacy), dukungan dalam harga diri (Self esteem support), kesetiaan (loyality) dan pcrilaku sosial (prosoeial behavior). Sedangkan ciri-ciri negatif dari kualitas persahabatan menurut Bemdt (2002) yang dimaksud adalah persaingan dan konflik.

 B.     Aspek-Aspek Kualitas Persahabatan
Menurut Parker dan Asher (1993) terdapat enam aspek kualitas persahabatan yaitu:
a.       Dukungan dan kepedulian (validation and caring), sejauh mana hubungan ditandai dengan kepedulian, dukungan dan minat.
b.      Pertemanan dan rekreasi (companionship and recreation) adalah sejauh mana menghabiskan waktu bersama dengan teman-teman baik di dalam maupun di luar lingkungan akademik atau kerja.
c.       Bantuan dan bimbingan (help and guidance), sejauh mana teman-teman berusaha membantu satu sama lain dalam menghadapi tugas-tugas rutin dan menantang.
d.      Pertukaran yang akrab (intimate change), sejauh mana hubungan ditandai dengan pengungkapan informasi pribadi dan perasaan.
e.       Konflik dan penghianatan (conflict and betrayal), sejauh mana hubungan ditandai dengan argumen, perselisihan, rasa kesal, dan ketidakpercayaan.

Aspek-aspek yang mendukung kualitas persahabatan menurut Asher & Parker (dalam Purwanita, 2010) , yaitu :
a)         Dukungan dan kepedulian (validation and caring). Dukungan dan perhatian merupakan derajat hubungan yang dikarakteristikkan oleh saling peduli antara satu sama lain, dukungan yangdiberikan (support) dan minat satu sama lain.
b)        Konflik dan penghianatan (conflict and betrayal). Konflik dan penghianatan dalam suatu hubungan dilambangkan perbedaan pendapat (argumen), ketidaksetujuan, gangguan/ kejengkelan, serta kecurigaan/ ketidakpercayaan.
c)         Berkawan dan rekreasi (companionship and recreation). Menghabiskan waktu bersama di luar sekolah dan di dalam sekolah.
d)        Pertolongan dan bimbingan (help and guidance). Ditandai dengan tingkat usaha teman untuk membantu dan membimbing satu sama lain dalam rutinitas atau tugas-tugas yang menantang.
e)         Perubahan keakraban (intimate exchange). Aspek ini ditandai dengan terbukanya informasi pribadi dan perasaan satu sama lain.
f)         Pemecahan masalah (conflict resolution). Aspek ini ditandai dengan pemecahan masalah (kesalahpahaman) dalam hubungan persahabatan terselesaikan secara efisien dan adil.

4.        Pengaruh Regulasi Emosi Terhadap Perilaku Cyberbullying
Regulasi emosi adalah cara individu mengolah emosi yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya dan bagaimana mereka mengalami atau mengekspresikan emosi tersebut. Ketidakmampuan mengolah dan mengekspresikan emosi secara benar akan menghantar individu pada perilaku negatif, salah satunya adalah dengan melakukan bullying. Karena dibatasi oleh suang dan waktu individu yang bersangkutan lalu menggunakan media cyber untuk meluapkan emosi negatifnya. Dengan demikian terdapat hubungan antara regulasi emosi dengan perilaku cyberbullying, dimana regulasi emosi yang rendah menjadi salah satu faktor timbulnya cyberbullying.

5.        Pengaruh Kualitas Persahabatan Terhadap Perilaku Cyberbullying
Perilaku cyberbullying dapat terjadi karena kualitas persahabatan yang rendah. Hubungan yang negatif (stain) dapat menjadi pemicu timbulnya sikap saling merendahkan, permusuhan, persaingan tidak sehat dan ketidakharmonisan serta ketidakmampuan menyesuaikan diri secara psikososial. Sangat sedikit yang mengetahui bagaimana risiko secara psikososial keterlibatan pelaku maupun korban dalam praktik cyberbullying (Mawardah dan Adiyanti, 2014). Kualitas persahabatan yang negatif ini cenderung memberi peluang bagi timbulnya cyberbullying.

Dari kesimpulan ini dapat dilihat bahwa dengan meningkatkan kualitas persahabatan perilaku cyberbullying dapat dihindari.


Daftar Pustaka

Baron, Robert A. & Byrne, Donn. (2008). Social Psychology (10th ed.). Jakarta: Erlangga.
Berndt, Thomas J. (2002). Friendship Quality and Social Development (journal). EBSCO. American Psychological Society. 
Garber, J., & Dodge, K. A. (2004). The Development of Emotion Regulation and Dysregulation. New York: Cambridge University Press
Kostiuk, L. M., & Gregory T. F. (2002). Understanding of emotions and emo-tion regulation in adolescent females with conduct problems: a qualitatif analysis. The Qualitative Reports, 7(7).
Narpaduhita, Rr. Putri Danirmala & Suminar, Dewi Retno. (2014). Perbedaan Perilaku Cyberbullying Ditinjau Dari Persepsi Siswa Terhadap Iklim Sekolah Di SMK Negeri 8 Surabaya. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. Volume 03 No.3
Mawardah, Mutia & Adiyanti, MG. (2014). Regulasi Emosi dan Kelompok Teman Sebaya Pelaku Cyberbullying. Jurnal Psikologi. Volume 41. No.1
Hinduja, S. & Patchin, J. W. (2008). Cyberbullying: an Exploratory Analysis of Factors Related to Offending and Victimation. Deviant Behavior. 29: 129-156
Hinduja, S. & Patchin, J. W. (2010). Cyberbullying and Self-Esteem. Journal of School Health. 80 (12), 614-621
Hinduja, S. & Patchin, J. W. (2011). Traditional and nontraditional bullying among youth: A test of general strain theory. Youth and Society, 43(2), 727-751.
Hinduja, S. & Patchin, J. W. (2014). Cyberbullying: Identification, Prevention & Response. Cyberbullying Research Center. www.cyberbullying.us
Rahayu, Florensia Sapty (2012). Cyberbullying Sebagai Dampak Negatif Penggunaan Teknologi Informasi, Journal of Information Systems, Volume 8, Issue 1
Price, M dan Dalgeish, J. (2009). Cyberbullying: Experinces, Impacts and Coping Strategy as Described by Australian Young People. Journal Youth Studies Australian, 29(2), 51-59.
Santrock, J.W. (2002). Life-Span Development, jilid 2, Jakarta: Erlangga
Willard, Nancy, (2007). Educator’s Guide to Cyberbullying and Cyberthreats. Journal Research Presss, United State.