Senin, 05 Juni 2017

Bunuh Diri Remaja, Orang Tua Salah Satu Penyebab


Sebuah berita di halaman pertama Kedaulatan Rakyat (KR), Sabtu 3 Juni 2017 cukup menarik perhatian. Diberitakan seorang pelajar SMP di Klaten mengakhiri hidupnya sendiri setelah mendengar hasil ujian, yang mana pelajar tersebut dinyatakan tidak lulus. Kemungkinan merasa khawatir dan takut dimarahi orang tuanya karena nilai ujiannya kurang bagus dan tidak sesuai harapan ibunya, demikian dugaan sementara yang muncul dalam pemberitaan di  KR tersebut. Kejadian bunuh diri remaja seakan bukan hal yang baru. Belum lama ini, seorang siswi SMK di Sumatera Utara pun akhirnya meninggal dunia setelah dirawat di rumah sakit pasca-percobaan bunuh diri dengan menenggak racun tanaman (tirto.id, 11 April 2017).

Fenomena tindakan bunuh diri remaja bukan hal yang baru. Dalam banyak pemberitaan tak jarang kita menemukan hal serupa. Karena alasan tertentu, beberapa remaja usia SMP-SMA nekat mengakhiri hidup sendiri dengan cara yang tidak wajar. Mengutip beritasatu.com (Rabu, 8 Juni 2016) hasil survei yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan menunjukkan 650 siswa SMP dan SMA di Indonesia punya keinginan bunuh diri. Survei yang dilakukan pada 2015 ini melibatkan 10.300 siswa dari seluruh provinsi di Indonesia sebagai sampel.

Untuk menggali lebih jauh problem ini, ada baiknya dipahami lebih dahulu apa itu remaja. Masa remaja merupakan satu periode kronologi kehidupan yang akan dan pasti dilalui semua manusia. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan pada aspek fisik, psikis dan psikososial. Oleh Stanley Hall, masa ini disebut masa storm and stress. Remaja mengalami tekanan-tekanan akibat persinggungan antara nilai-nilai yang riil dan ideal yang dimilikinya. Ketidaksiapan serta ketidakmampuan remaja menghadapi kenyataan yang dialaminya tak jarang membuat remaja terjebak dalam perilaku delinkuensi, bahkan pada tingkatan yang lebih tinggi bisa menyebabkan remaja melakukan tindakan ekstrim: bunuh diri.

Tindakan bunuh diri yang dilakukan remaja merupakan hal yang patut diberi perhatian serius. Untuk kategori remaja sendiri, secara global trend negatif ini menunjukkan angka yang mengejutkan. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan makin tingginya tingkat bunuh diri di kalangan remaja seakan tak juga memberi jawaban tuntas. Bagaimana mungkin seorang remaja mampu mengambil langkah ekstrim seperti ini? Untuk menelusuri secara mendalam hal ini diperlukan penggalian yang komprehensif.

Banyak faktor yang ikut menyumbang andil terhadap tindakan bunuh diri yang dilakukan remaja. Faktor-faktor yang sering ditemukan di lapangan bisa bersifat serius, tapi tak jarang ada beberapa faktor yang tak terpikirkan dan dianggap sepele oleh mayoritas orang, terlebih oleh orang dewasa (orang tua). Kita bisa mencari informasi terkait baik berupa pemberitaan di media massa sampai laporan penelitian ilmiah yang dilakukan banyak pihak. Dari sekian banyaknya tindakan bunuh diri pada remaja, banyak faktor penyebab yang ikut ditemukan. Beberapa faktor yang ditemukan antara lain masalah tuntutan dan tekanan yang berlebihan dari keluarga dalam hal ini orang tua, masalah relasi personal dan sosial, masalah emosi, menjadi korban kejahatan, menjadi korban bullying dengan berbagai variannya, masalah seksual serta gangguan psikologis dan sosial lainnya. Tentu ini hanya beberapa dari sekian banyak faktor yang turut memberi andil terhadap fenomena bunuh diri yang terjadi di kalangan remaja.

Kembali kepada pemberitaan di KR Sabtu, 3 Juni 2017, disinyalir faktor orang tua memberi andil terhadap tindakan remaja mengakhiri hidupnya sendiri. Ini menjadi catatan penting terhadap orang tua. Secara umum orang tua mengharapkan setiap anaknya tumbuh menjadi pribadi yang diharapkan. Hal ini baik, sangat positif. Tetapi kita dapat melihat, persoalan muncul ketika tak jarang harapan orang tua ini disertai tuntutan bahkan tekanan berlebih terhadap anak-anak. Mewajibkan anak bertumbuh dan berkembang sesuai keinginan orang tua sering terjadi. Sikap orang tua seperti ini, ditambah pola asuh yang otoriter dalam berbagai aspeknya menempatkan anak menjadi obyek semata. Anak yang seharusnya tumbuh sebagai individu dengan segala kekhasannya hanya bisa pasrah menghadapi segala tuntutan dari orang tua.

Banyak dampak negatif yang timbul dari pola asuh penuh tekanan seperti ini. Anak cenderung hidup dalam bayang-bayang orang tua, tidak mampu bersosialisasi, merasa minder, terasing dengan lingkungan sosial bahkan juga dengan dirinya sendiri, mengalami stress dan depresi berlebihan, merasa hidupnya tidak berguna, mengalami low self-esteem, dan masih banyak dampak negatif lainnya. Biasanya anak, terlebih yang beranjak memasuki masa remaja bisa memberikan sikap melawan dengan banyak cara. Perlawanan ini oleh orang tua secara umum hanya dianggap kenakalan remaja. Perilaku merokok, menyendiri berlebihan di dalam kamar, mengonsumsi minuman keras dan narkoba, membentuk geng yang sering menimbulkan keresahan masyarakat dan lain-lain merupakan sejumlah kecil manifestasi perlawanan yang dapat muncul. Orang tua lupa, bahkan tidak tahu dampak lain dari sikap menuntut berlebihan terhadap anak. Dalam situasi tak berdaya dan kecewa mendalam, perlawanan anak tak lagi ditujukan pada orang tua. Perlawanan mengarah kepada diri anak sendiri, pada tingkat ekstrim anak mengambil jalan pintas mengakhiri hidupnya sendiri.

Kejadian yang diberitakan KR, juga banyak kejadian serupa hendaknya menjadi catatan penting yang hendaknya diperhatikan para orang tua. Anak-anak yang dilahirkan oleh para orang tua adalah individu yang unik. Mereka hidup dengan kekhasan masing-masing. Kenalilah anak-anak, dukunglah mereka bertumbuh dan berkembang sesuai potensi mereka. Orang tua wajib mengharapkan yang terbaik untuk anak-anak, namun perlu diperhatikan pula cara mendukung yang tepat, yang sesuai apa yang khas pada diri anak. Perlu membedakan mana yang dinamakan tegas pada prinsip, mana yang malah keras dan otoriter. Setiap anak adalah subyek, bukan obyek bagi orang tua. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi para orang tua untuk lebih bijak menaruh harapan pada anak-anak.


Concong Catur, 04/06/2017