Selasa, 23 September 2014

KEMATIAN DALAM KULTUR DAWAN BIBOKI

Manusia adalah animal symbolicum, makhluk yang dalam kesehariannya menggunakan symbol-simbol. Demikian kata Ernest Cassier. Keunikan manusia bukan terletak pada kemampuan berpikirnya tetapi pada kemampuannya berbahasa. Dalam pengertian ini bahasa menunjukkan luas cakup pemahaman manusia terhadap realitas yang dialami.
Masyarakat Dawan merupakan etnis terbesar dari penghuni Timor bagian barat, merupakan sebuah kelompok kultur yang memiliki kekunikan dalam dirinya sendiri. Sebuah kultur yang kompleks, dengan tatanan social dan nilai-nilai yang dihayati dalam aktus kesehariannya. Salah satu tolok ukur luas-besarnya kehidupan masyarakat Dawan adalah konsep-konsep yang dianutnya sebagai suatu prinsip umum, yang tertanam dalam pemahaman mereka dan lebih lanjut muncul dalam bentuk bahasa. Mereka memiliki kekayaan budaya yang umumnya masih berbentuk tradisi lisan. Salah satu kekayaan atau nilai budayanya adalah pandangan atau falsafah hidup yang digunakan sebagai pedoman arah dalam mengatur kehidupan bersama, menyelesaikan kesulitan dan dalam berinteraksi dengan sesama. Metode dan proses pewarisan nilai‑nilai tersebut juga masih dalam bentuk lisan dari generasi ke generasi.
Penampakan konsep dan pemahaman dalam bentuk bahasa lisan menyimbolkan makna yang terkandung di balik term atau ungkapan yang digunakan. Hal yang tidak dapat dilepaspisahkan dari kemunculan konsep dan pemahaman orang Dawan tentang realitas adalah pengalaman, yang dialami sebagai sesuatu yang berlangsung dalam aktus hidup, memiliki pertalian antara manusia dan sesuatu yang lain, yang berada di luar diri manusia. Mereka mengalami, memaknai lalu memberikan konsep atas realitas yang dihadapinya.
Dari sekian banyak pengalaman yang berlangsung dalam hidup manusia, peristiwa kelahiran dan kematian merupakan dua hal penting dalam hidup, menjadi titik awal dan akhir yang membingkai keseluruhan hidupnya. Kelahiran menjadi pintu masuk ke dalam keseluruhan hidup dengan tatanannya. Dan kematian adalah pintu terakhir yang menutup keseluruhan pengalaman hidup manusia. Di sini kelahiran diterima sebagai peristiwa yang menggembirakan, mendatangkan sukacita dan kebahagiaan. Pada sisi yang lain kematian diterima sebagai sesuatu yang pasti, namun sering dilihat sebagai pengalaman yang menakutkan, menyedihkan sehingga muncul reaksi semacam penolakan akan kenyataan akhir ini.
Lebih dari pengalaman manusiawi masyarakat Dawan tentang realitas itu, kematian juga dimaknai sebagai sesuatu yang berdimensi social. Hal ini dapat dipahami dari beberapa term yang lazim digunakan untuk menyebut peristiwa itu. Maet, Namneuk, Nasaebon, merupakan kata-kata yang sering digunakan untuk menunjuk peristiwa kematian. Selain itu ada kata Sub, Ta’kono. Taaiba dan Ta’sena yang menunjuk upacara pemakaman, sebuah ritual yang langsung berkaitan dengan peristiwa kematian. Penggunaan term-term itu memiliki makna filosofis dan sosial.
Makna kematian sebagaimana diungkapkan dalam term yang telah disebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut.
  • Maet, secara umum menunjuk pada peristiwa kematian atau hilangnya kehidupan pada makhluk hidup. Maka kata ini dapat dikenakan pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Secara social kata ini dikenakan pada masyarakat biasa pada kelompok orang Dawan.
  • Namneuk, secara harafiah berarti hilang. Dalam pemahaman ini orang Dawan memandang kematian sebagai suatu peristiwa hilangnya kehidupan seseorang. Lebih dari itu kematian dipandang sebagai perpisahan abadi yang menimbulkan rasa kehilangan dari antara keluarga, sanak saudara dan para sahabat kenalan.
  • Nasaebon, secara harafiah berarti mengangkat diri ke tempat yang lebih tinggi. Menurut pemahaman orang Dawan, ketika seseorang meninggal dunia, jiwanya terangkat menuju tempat yang lebih tinggi, dalam hal ini menunjuk ke langit, tempat jiwa manusia masuk ke dalam situasi yang penuh misteri.
  • Sub, berarti dikubur atau ditutup dengan tanah. Menunjuk pada apa yang dilakukan saat pemakaman di mana jenazah dimasukkan/diletakkan ke dalam liang yang telah digali lalu ditimbun dengan tanah.
  • Ta’kono/Taaiba, memiliki makna dipisahkan dari kelompok. Dalam hal ini dunia orang-orang mati dipandang terpisah dan berbeda dengan dunia orang hidup. Ketika dimakamkan, seseorang yang telah meninggal secara langsung dianggap berbeda dengan orang hidup, maka ia dipisahkan dari kelompok orang-orang hidup. Itulah sebabnya mengapa pemakaman selalu ditempatkan di luar pemukiman.
  • Ta’sena, secara farafiah berarti ditanam. Pada pengertian pertama ta’sena dipahami sebagaimana pada sub, tetapi memiliki kedalaman makna, bahwa yang ditanam ini merupakan benih yang akan menumbuhkan kehidupan baru, menghasilkan tunas baru. Hal ini dapat dipahami sebagaimana “hanya biji padi yang mati yang dapat menumbuhkan tunas baru.” Atau dalam Alkitab dikatakan bahwa jika biji gandum itu tidak mati ia akan tetap sebiji saja, tetapi jika ia mati, ia akan tumbuh dan menghasilkan buah.
Akhir kata, catatan kecil ini tentu saja masih sangat jauh dari sempurna. Dan diharapkan bagi para mecinta budaya untuk menggali lebih dalam dan menemukan kebenaran yang lebih baik dari apa yang dipaparkan berdasarkan pengalaman penulis di sini. Sekian.

Manufui, 03/02/2014