Senin, 08 Desember 2014

The Self (Diri) dalam Psikologi Sosial


  1. Pengantar
teori-psikologi-sosial
Salah satu aspek yang dominan dari pengalaman manusia adalah perasaan yang kuat mengenai eksistensi dirinya. Sejak zaman perkembangan filsafat Yunani kuno para filsuf berusaha menggeluti isu/persoalan tentang diri atau identitas pribadi. Salah satu cabang ilmu yang menjadikan diri sebagai objek kajiannya adalah Psikologi, secara khusus pada Psikologi Perkembangan dan Psikologi Sosial. Pada pembahasan selanjutnya kami hanya akan memaparkan tentang DIRI dalam kajian Psikologi Sosial.

  1. Sejarah
Minat Psikologi Sosial terhadap DIRI sebagai objek kajian memiliki sejarah yang tak dapat dideteksi dengan pasti. Tetapi kajian tentang diri dalam Psikologi Sosial modern dimulai sekitar tahun 1950. Pada masa itu psikologi didominasi oleh dua paradigma yakni Behaviorisme dan Psikoanalisis Freudian. Paradigma pertama memberikan pandangan yang samar tentang diri, hanya memberikan sedikit pemahaman tentang harga diri, krisis identitas, atau black-box kesatuan yang tak terlihat seperti diri. Sedangkan paradigm kedua tidak langsung berbicara tentang diri, tetapi lebih menggunakan term ego. Perkembangan perhatian terhadap diri mengalami kemajuan pada tahun 1960-an dan 1970-an.

  1. Pengertian Diri
Untuk memahami pengertian The Self (diri), kita dapat menjadikan beberapa pengertian umum berikut. Secara umum pengertian diri dapat dilihat sebagai berikut:
  1. Pertama, diri sebagai agen internal atau daya batin manusia yang mengontrol dan mengarahkan fungsi-fungsi motif, kebutuhan, dll. Diri merupakan sebuah entitas hipotetis, sebuah aspek yang diasumsikan menjadi bagian dari psike/jiwa dengan suatu peran tertentu yang harus diemban.

  2. Kedua, diri sebagai saksi batin/internal terhadap kejadian, peristiwa atau suatu hal. Diri dilihat dari komponen psike yang mengemban fungsi introspeksi.

  3. Ketiga, diri sebagai totalitas pengalaman dan ekspresi pribadi. Di titik ini istilah diri digunakan secara inklusif dan relative netral, dan istilah lain seperti ego, pribadi, individu dan organisme diterima sebagai sinonimnya.

  4. Keempat, diri sebagai sebuah sintesis, diri sebagai sebuah keseluruhan yang terorganisir, hampir mirip dengan makna ketiga, tetapi dengan konotasi tambahan kalau seseorang lebih berkonsentrasi kepada aspek-aspek yang terintegrasikan di dalamnya.

  5. Kelima, diri sebagai konsepsi sadar, atau lebih disebut sebagai identitas.
Selain dari beberapa pengertian di atas, diri dapat dipahami sebagai keyakinan yang kita pegang tentang kita sendiri sebagai pribadi yang otonom. Keyakinan itu dapat kita peroleh dari kesadaran pribadi sebagai hasil suatu refleksi, dari suatu relasi interpersonal, di mana diri terbentuk dan dikenal karena suatu interaksi dan relasi dengan orang lain, juga dari cara bagaimana kita membuat keputusan dan menggunakan control.

  1. Self-Knowledge
Self-Knowledge (pengenalan diri) kadang-kadang dikenal sebagai self-concept. Corak ini mempertimbangkan orang-orang untuk mengumpulkan informasi dan kepercayaan tentang diri mereka. Self-Awareness seseorang, mengagumi diri sendiri, dan menyangkal diri semua termasuk dalam self-knowledge. Kita belajar sekitar diri kita melalui introspeksi, perbandingan sosial, dan self-perception.
    sosial-dasar
  • Self-Awareness (Kesadaran Diri)
Pengetahuan/pengenalan tentang diri tidak dapat tercapai jika tanpa kesadaran tentang diri. Seseorang hanya bisa mengenal dirinya sendiri jika ia sadar akan dirinya. Makna umum self-awareness adalah suatu kondisi di mana seseorang menjadi sadar atau paham akan dirinya sendiri dalam pengertian yang relative obyektif, terbuka dan bersedia menerima pujian atau kritikan tentang sifat atau wataknya.
Teori self-awareness membuat generalisasi bahwa orang-orang yang sadar akan dirinya cenderung sadar akan kelemahan dan kekurangannya. Akibatnya, pribadi tersebut termotivasi untuk mengarahkan diri pada dua hal, yakni menghilangkan kesadaran dirinya atau menghilangkan kelemahannya.
Self-awareness memiliki padanan dengan self-consciousness yang bermakna sama, di mana seseorang memiliki kesadaran akan dirinya sendiri, yang juga mendapat pengakuan tambahan kalau orang lain juga memiliki kesadaran terhadap diri mereka sendiri.

  • Self-Concepts, Schemas, and Beyond
Self-concepts dimengerti sebagai konsep seseorang tentang dirinya sendiri secara utuh, dengan deskripsi yang menyeluruh dan mendalam yang bisa diberikannya seoptimal mungkin. Self-concepts memberikan penekanan pada penilaian evaluative. Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain.

Self-schemas merujuk pada suatu struktur umum dan menyeluruh tentang diri sendiri, dengan asumsi bahwa skema merupakan rencana mental kognitif yang sifatnya abstrak, berfungsi sebagai penuntun tindakan.

  • Cognitive Roots of Self-Knowledge
Pengetahuan tentang diri merupakan suatu kajian multi dimensi. Salah satunya adalah bagwa diri merupakan suatu komponen pengetahuan atau komponen kognitif. Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang, misalnya “saya ini penakut, saya ini tidak sombong” dll. Komponen kognitif merupakan penjelasan tentang siapa saya, yang akan memberikan gambaran objek tentang diri saya (picture) yang kemudian melahirkan citra diri (image).

  • Motivational Influences on Self-Knowledge
Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Motivasi juga dapat diartikan sebagai semua hal verbal, fisik atau psikologis yang membuat seseorang melakukan sesuatu sebagai respon, termasuk situasi yang mendorong yang timbul dalam diri individu, dan tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan atau akhri daripada gerakan atau perbuatan.
Seseorang senantiasa memiliki motivasi untuk mengenal dirinya sendiri, baik secara internal maupun eksternal.

  • Self-Deception (Penyangkalan Diri)
Self deception memiliki pengertian penyangkalan diri dalam artian tidak memiliki pemahaman yang akurat terhadap keterbatasan-keterbatasan diri. Pengertian ini secara lanjut dapat diartikan pula sebagai suatu sikap penolakan terhadap keadaan diri yang memiliki keterbatasan, yang diperlawankan dengan self-acceptance.
    sef
  •  Self-Esteem and Narcissism
Self-esteem merupakan taraf/derajad seseorang menilai dirinya sendiri atau memberi harga pada dirinya sendiri. Self-esteem menguraikan bagaimana seseorang mengevaluasi diri mereka yang secara positif atau secara negatif. Empat faktor yang berperan untuk penghargaan diri sendiri adalah reaksi yang kita dapatkan dari orang lain, bagaimana kita menyamakan (menyesuaikan) diri dengan orang lain, peranan kita dalam lingkungan sosial, dan identifikasi diri sendiri.

Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri. Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal, maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain

5. Interpersonal Self
  • Self-Presentation
Presentasi diri adalah proses menyajikan/menghadirkan diri sendiri pada suatu hubungan dalam mode-mode tindakan dan perilaku yang diterima secara social. Proses ini dilandaskan pada penggunaan sejumlah strategi spesifik yang dirancang untuk membentuk suatu tampilan diri sesuai yang dipikirkan atau diharapkan orang lain. Cara kita menghadirkan dan memperkenalkan diri kita dalam situasi social dapat mempengaruhi konsep diri kita. Melalui tindakan dan perilaku, kita akan mendapatkan pengetahuan tentang diri kita.

Self-presentation mengacu pada usaha kita untuk mengontrol pesan/kesan yang ingin kita sampaikan. Tujuan dasarnya adalah menata interaksi agar mendapatkan hasil yang kita inginkan, dan hal ini sering merupakan aktivitas yang disengaja. Pada kondisi yang familiar, aktivitas presentasi diri sering berlangsung otomatis. Ketika presentasi diri telah menjadi rutinitas, orang dapat keluar dan melepaskan focus pada kesan dan dapat memfokuskan perhatiannya pada aspek lain.

  •  Self-Concept Change and Stability
Konsep diri merupakan cara seseorang memandang atau menggambarkan dirinya. Kita dapat memiliki gambaran yang baik dan menyenangkan tentang diri kita. Sebaliknya, kita juga bisa mempunyai gambaran yang buruk tentang diri sendiri. Konsep diri menentukan bagaimana kita bereaksi atau menanggapi dunia di luar kita, dan menentukan juga sejauh mana kita puas dengan hidup kita. Konsep diri sebetulnya relatif stabil, tapi tetap dapat berubah secara perlahan.

  1. Executive Function: Self as Agent
    Self-regulation
  • Self-Regulation
Self regulation pada intinya adalah cara orang mengontrol dan mengarahkan tindakannya, bagaimana diri mengatur pikiran, emosi dan tindakan dalam situasi social. Regulasi diri dapat berlangsung secara otomatis tanpa sadar atau pemikiran mendalam. Misalnya kita merespons petunjuk-petunjuk yang menonjol dalam lingkungan dan mengatur perilaku kita. Tetapi kadang-kadang kita secara sadar dan aktif mengintervensi untuk mengontrol pikiran, reaksi dan perilaku kita. Dalam self-regulation, ada tiga hal penting, yakni standar, monitoring dan tekad.

  • Beyond Self-Regulation: Executive Function
Self regulation atau regulasi diri secara bahasa mempunyai arti pengelolaan diri. Individu tidak dapat secara aktif  beradaptasi terhadap lingkungannya selama mampu membuat kemampuan kontrol pada proses psikologi dan prilakunya. Regulasi diri juga berkaitan dengan pembangkitan diri baik pikiran, perasaan, serta tindakan yang direncanakan dan adanya timbal balik yang disesuaikan pada pencapaian  tujuan personal.

Teori regulasi diri memfokuskan perhatian pada mengapa dan bagaimana individu berinisiatif dan mengontrol terhadap segala prilaku mereka sendiri. Regulasi  diri bukan merupakan kemampuan mental seperti intelegensi atau ketrampilan akademik seperti kemampuan membaca, melainkan proses pengarahan atau pengintruksian diri indivdu untuk mengubah kemampuan mental yang dimilikinya menjadi ketrampilan dalam suatu bentuk aktivitas.

Individu bereaksi terhadap lingkungannya terjadi secara reaktif dan proaktif dalam regulasi diri. Strategi reaktif dipakai untuk mencapai tujuan, namun ketika tujuan hampir tercapai strategi proaktif menentukan tujuan baru yang lebih tinggi. Orang akan memotivasi dan membimbing tingkah lakunya sendiri melalui strategi proaktif.

  • Self-Determination Theory
Self-determinanion dapat diterjemahkan sebagai penentuan atau penetapan diri. Makna umum self-determination adalah pengontrolan internal seseorang atas perilakunya sendiri, bertindak menurut basis keyakinan dan nilai pribadi dari pada norma social atau tekanan kelompok.

  • Mengatur berbagai pencapaian tujuan
Sebagai pengatur, diri merupakan suatu system utuh yang bergerak untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan itu merupakan nilai yang harus dicapai, sehingga dengan demikian seluruh dinamika diri diarahkan untuk mencapai tujuan itu.

CLASSICAL CONDITIONING IVAN P. PAVLOV


  1. Pendahuluan


Anak yang merasa ketakutan ketika berjalan sendiri pada malam hari merupakan hasil dari belajar, anak telah belajar menghubungkan kegelapan dengan suatu keadaan yang menyeramkan. Reaksi ini dapat diperoleh secara tidak sadar maupun secara sadar dan juga dapat diperoleh dari hasil belajar.fdg

Secara luas teori belajar selalu dikaitkan dengan ruang lingkup bidang psikologi. Ivan Petrovich Pavlov, ahli psikologi Rusia berpengalaman dalam melakukan serangkaian percobaan yang terkenal pula dengan conditioned response-nya ia juga mempelajari hal belajar pada binatang. Dalam percobaan itu ia melatih anjingnya untuk mengeluarkan air liur karena stimulus yang dikaitkan dengan makanan. Proses belajar ini terdiri atas pembentukan asosiasi (pembentukan hubungan antara gagasan, ingatan atau kegiatan pancaindra) dengan makanan, untuk itu dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang teori belajar Ivan P. Pavlov.

  1. Teori Classical Conditioning Pavlov

    • Riwayat Hidup Pavlov




pavlov2Ivan Pavlov lahir di Rajsan, Rusia Tengah pada tanggal 14 September 1849 dan meninggal pada usia 86 tahun tanggal 27 Februari 1936 di Reningrad. Ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov adalah pendeta di dusunnya, dan ibunya juga seorang putri pendeta. Kedua orangtuanya bekerja keras dari hari ke hari di ladangnya sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ivan kecil adalah anak tertua dari 11 bersaudara sehingga ia dituntut untuk bekerja keras membantu kedua orangtuanya. Pada umur 10 tahun Ivan kecil mengalami kecelakaan ketika dibawah asuhan kakeknya. Selama tinggal bersama kakeknya, ia diwajibkan untuk membuat observasi dan menuliskannya sebelum membaca sesuatu yang baru. Kebiasaan ini kemudian tertanam dalam dirinya sehingga menjadi seorang peneliti laboratorium dan penulis yang sukses di kemudian hari. Karena kecelakaan itu, maka ia terpaksa tinggal bersama orangtuanya, dan ayahnya sendiri yang memberikan privat kepadanya, dengan harapan kelak ia akan menjadi seorang pendeta.

Pavlov sempat belajar teologi ( ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama) di Seminari, tapi karena pengaruh teori Darwin maka ia memilih meninggalkan Seminari dan masuk ke Universitas St. Petersburg pada tahun 1870. Di sana ia belajar kimia dan fisiologi. Tahun 1875 ia tamat, lalu ia melanjutkan studi dalam bidang kedokteran. Tanggal 23 Mei 1883 ia menyelesaikan doktoratnya dengan tesis tentang fungsi otot- otot jantung. Setelah tamat dari kedoteran, ia menikah dengan Saraphima Vasileivna ( seorang mahasiswi pendidikan). Sara adalah seorang teman wanita yang khusus. Ia seorang teman sejati dan pendamping setia Pavlov. Sara seorang wanita yang hebat bukan hanya taat beragama tetapi lebih dari itu bahwa ia punya minat besar pada bukudan tulis menulis. Karena itu, Pavlov menyerahkan semua penelitian dan tulisannya kepada Sara untuk diedit dan di bukukan. Diceritakan pula bahwa selama 10 tahun pertama pernikahannya, mereka hidup serba kekurangan bahkan dapat digolongkan miskin. Mereka belum memiliki rumah karena itu kadang mereka menumpang tidur dirumah teman atau keluarga terdekatnya. Pavlov dan Sara menjadi orangtua untuk ketiga putra dan satu putrinya: Mirchik, Vladimir, Vsevolod, dan putri mereka Vera.

Sebenarnya ia bukan seorang sarjana psikologi dan ia pun tidak mau disebut sebagai ahli psikologi karena ia adalah seorang sarjana ilmu faal yang fanatik. Terlalu fanatiknya, dalam penelitian-penelitiannya ia selalu berusaha menghindari konsep-konsep maupun istilah-istilah psikologi, Pavlov meminta setiap orang yang bekerja di laboratoriumnya menggunakan hanya istilah- istilah fisiologis saja. Jika asistennya ketahuan menggunakan bahasa psikologi maka dia akan mendenda mereka. Kendati demikian, peranan Pavlov dalam psikologi sangat penting karena studinya mengenai refleks-refleks merupakan dasar bagi perkembangan aliran psikologi behaviorisme. Pandangannya yang paling penting adalah bahwa aktivitas psikis sebenarnya tidak lain merupakan rangkaian refleks-refleks belaka. Karena itu, untuk mempelajari aktivitas psikis (psikologi) kita cukup mempelajari refleks-refleks saja.

Dasar pendidikan Pavlov memang ilmu faal. Mula-mula ia belajar ilmu faal hewan dan kemudian ilmu kedokteran di Universitas St. Petersburg. Kemudian selama dua tahun ia belajar di Leipzig dan Breslau. Pada tahun 1890 ia menjadi profesor dalam farmakologi di Akademi Kedokteran Militer di St. Petersburg dan direktur Departemen Ilmu Faal di Institute of Experimental medicine di St. Petersburg. Antara 1895-1924 ia menjadi Professor ilmu Faal di Akademi Kedokteran Militer tersebut, 1924-1936 menjadi direktur Lembaga ilmu Faal di Akademi Rusia Leningrad. Pada 1904 ia mendapat hadiah Nobel untuk penelitiannya tentang pencernaan.

  • Teori Belajar dan Experimen Pavlov


Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) adalah seorang behavioristik terkenal dengan teori pengkondisian asosiatif stimulus-respons dan hal ini yang dikenang darinya hingga kini. Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.

Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti sebuah nada atau sinar untuk membentuk perilaku (respons). Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu. Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.

pavEksperimen Pavlov:

  1. Anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka secara otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).

  2. Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau mengeluarkan air liur.



  • Dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS) setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air liur (UCR) akibat pemberian makanan.



  1. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).


Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar ketika bunyi bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa diberikan makanan. Karena pada awalnya (gambar 2) anjing tidak merespon apapun ketika mendengar bunyi bel.

Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka kemampuan stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan hilang. Hal ini disebut dengan extinction atau penghapusan.

Pavlov mengemukakan empat peristiwa eksperimental dalam proses akuisisi dan penghapusan sebagai berikut:

  1. Stimulus tidak terkondisi (UCS), suatu peristiwa lingkungan yang melalui kemampuan bawaan dapat menimbulkan refleks organismik. Contoh: makanan

  2. Stimulus terkondisi (CS), Suatu peristiwa lingkungan yang bersifat netral dipasangkan dengan stimulus tak terkondisi (UCS). Contoh: Bunyi bel adalah stimulus netral yang di pasangkan dengan stimulus tidak terkondisi berupa makanan.

  3. Respons tidak terkondisi (UCR), refleks alami yang ditimbulkan secara otonom atau dengan sendirinya. Contoh: mengeluarkan air liur

  4. Respos terkondisi (CR), refleks yang dipelajari dan muncul akibat dari penggabungan CS dan US. Contoh: keluarnya air liur akibat penggabungan bunyi bel dengan makanan.


Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan dengan rangsang berkondisi. Dengan kata lain, gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari, dapat berubah karena mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks wajar (unconditioned refleks)-keluar air liur ketika melihat makanan yang lezat dan refleks bersyarat atau refleks yang dipelajari (conditioned refleks)-keluar air liur karena menerima atau bereaksi terhadap suara bunyi tertentu.

Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:

  1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.

  2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer maka kekuatannya akan menurun


Demikianlah maka menurut teori conditioning belajar itu adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (response). Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan-latihan yang continue (terus-menerus). Yang diutamakan dalm teori ini adalah hal belajar yeng terjadi secara otomatis.

Menilik psikologi behavioristik menggunakan suatu pendekatan ekperimental, refleksiologis objektif Pavlov tetap merupakan model yang luar biasa dan tidak tertandingi.

  1. Penutup


3.1 Teori Pavlov dalam Kehidupan Sehari- hari

3Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil daripada conditioning. Yaitu hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap syarat-syarat atau perangsang-perangsang tertentu yang dialaminya dalam kehidupannya. Proses belajar yang digambarkan seperti itu menurut Pavlov terdiri atas pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons refleksif. Dasar penemuan Pavlov tersebut, menurut J.B. Watson diberi istilah Behaviorisme. Watson berpendapat bahwa perilaku manusia harus dipelajari secara objektif. la menolak gagasan mentalistik yang bertalian dengan bawaan dan naluri. Watson menggunakan teori Classical Conditioning untuk semuanya yang bertalian dengan pembelajaran.

Pada umumnya ahli psikologi mendukung proses mekanistik. Maksudnya kejadian lingkungan secara otomatis akan menghasilkan tanggapan. Proses pembelajaran itu bergerak dengan pandangan secara menyeluruh dari situasi menuju segmen (satuan bahasa yang diabstraksikan dari kesatuan wicara atau teks) bahasa tertentu. Materi yang disajikan mirip dengan metode dengar ucap.

Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama seperti pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim yang berkeliling dari rumah ke rumah.Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si pejual es krim sering lewat maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak ada lagu tersebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Contoh lain adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau tombol antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-bunyian dari pedagang makanan (rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering lewat di rumah, bel masuk kelas-istirahat atau usai sekolah dan antri di bank tanpa harus berdiri lama. Contoh lain adalah untuk menambah kelekatan dengan pasangan, jika anda mempunyai pasangan yang “sangat suka (UCR)” dengan coklat (UCS). Disetiap anda bertemu (CS) dengan kekasih anda maka berikanlah sebuah coklat untuk kekasih anda, secara otonom dia akan sangat suka dengan coklat pemberian anda. Berdasarkan teori, ketika hal itu dilakukan secara berulang-ulang,  selanjutnya cukup dengan bertemu dengan anda tanpa memberikan coklat, maka secara otonom pasangan anda akan sangat suka (CR) dengan anda, hal ini dapat terjadi karena pembentukan perilaku antara UCS, CS, UCR, dan CR seperti ekperimen yang telah dilakukan oleh Pavlov. Contoh lain bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau tombol antrian di bank.

Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

  • Aplikasi Teori Belajar Pavlov dalam Pembelajaran


Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori belajar menurut Pavlov adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:

  1. Mementingkan pengaruh lingkungan

  2. Mementingkan bagian-bagian

  3. Mementingkan peranan reaksi

  4. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon

  5. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya

  6. Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan

  7. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.


Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma Pavlov akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.

Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori belajar Pavlov ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Kritik terhadap teori belajar Pavlov adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori Pavlov mempunyai persyaratan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.

Metode Pavlov ini sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.

Penerapan teori belajar Pavlov yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.

Kelemahan dari teori conditioning ini adalah, teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis, keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya. Peranan latihan atau kebiasaan terlalu ditonjolkan. Sedangkan kita tidak tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu manusia tidak semata-mata tergantung kepada pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentukan perbuatan dan reaksi apa yang akan dilakukannya. Teori conditioning ini memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang. Pada manusia teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu. Umpamanya dalam belajar yang mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.

Rabu, 03 Desember 2014

Kenapa Cinta dan Sebal Dapat Muncul Bersamaan?

Fisiologi Jatuh Cinta: Dari mata naik ke otak

Pada dasarnya cinta merupakan kondisi emosional seseorang karena suatu stimulus tertentu. Sebagai sebuah reaksi emosional, cinta adalah reaksi hormon dalam diri manusia akibat adanya rangsangan yang diterima melalui indra. Dan reaksi hormon itu berpusat di otak manusia. Bagaimana proses jatuh cinta itu? Atau bagaimana reaksi otak saat terjadi jatuh cinta?

Pertama, proses berawal dari mata (indra penglihatan). Rekaman gambar hasil tangkapan mata itu dibawa ke thalamus di otak, di mana thalamus merupakan sejumlah pusat syaraf, dan berfungsi sebagai pusat penerimaan untuk sensor data dan sinyal-sinyal motorik. Data yang diterima thalamus lalu dikirimkan ke amigdala dan neo cortex. Amigdala merupakan sekelompok syaraf di otak yang berfungsi dalam pengolahan data sensorik dan ingatan akan emosi. Sedangkan neo cortex adalah ‘otak berpikir’ yang mengumpulkan dan memahami hal-hal yang diserap oleh indra dan kemudian mengolahnya.

Stimulus juga bisa datang dari telinga (indra pendengaran). Suara seseorang, apalagi juga ditambah ucapan yang ditujukan kepada pasangan seperti pujian dapat menjadi stimulus cinta. Suara yang ditangkap telinga dikirimkan ke thalamus dan selanjutnya diproses di amigdala dan neo cortex. Selain itu stimulus bisa datang melalui sentuhan. Pada saat itulah timbul perasaan jatuh cinta.

Reaksi lain dari jatuh cinta adalah jantung berdebar. Pada saat jatuh cinta dialami, peristiwa itu akan tersimpan di hippocampus, yang berfungsi mengingat dan menyimpan kenangan. Hormon-hormon yang bekerja pada saat jatuh cinta antara lain seratonin (hormon yang mengontrol perasaan jatuh cinta), dopamine (perasaan bahagia), adrenalin dan norepinephrine (hormon yang mengatur perasaan gugup, gelisah, euforia).

 Mengapa seseorang merasa sebal?

Menurut kamus umum bahasa indonesia, kata sebal didefinisikan sebagai perasaan mendongkol karena kecewa, tidak senang, dsb. Dan kata menyebalkan merupakan kata kerja yang berarti yang menimbulkan rasa sebal atau mengesalkan hati. Sebal, seperti halnya marah merupakan perasaan tak terkontrol dalam menanggapi frustasi atau hinaan dari ekspresi diri sesuai kehendak hati tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Kemarahan merupakan campuran dari elemen-elemen emosional, fisiologis,dan kognitif.

Emosi mulai memasuki dua struktur bangunan berbentuk almond di dalam otak yang disebut amygdala. Amygdala bertanggung jawab mengidentifikasi ancaman-ancaman, dan mengirimkan peringatan, ketika ancaman teridentifikasi. Amygdala sangat efisien dalam memperingatkan adanya ancaman ini. Sehingga, menyebabkan seseorang mengambil tindakan sebelum ancaman itu sampai ke korteks (bagian otak yang bertanggung jawab untuk berpikir dan menimbang), tanpa mampu mengecek kelayakan reaksi yang terjadi. Dalam kata lain, otak kita punya semacam saluran yang dapat melaksanakan tindakan sebelum konsekuensinya dipertimbangkan secara logis (refleks)

Ketika seseorang merasa sebal, di dalam otak, bahan kimia yang berfungsi sebagai neutrontransmitter yang bernama catecholamine dilepas, menyebabkan ledakan energi yang bertahan selama beberapa menit. Dalam rangkaian yang cepat, tambahan hormon dan neutrontransmitter otak, adrenalin dan noradrenalin dilepaskan, yang akan memicu suatu kondisi rangsangan yang lebih lama. Korteks bagian depan menahan emosi sesuai proporsi rangsangan (marah). Amygdala memulai emosi tersebut, sedangkan korteks bagian depan meredakan emosi melalui penilaian. Korteks bagian depan sebelah kiri dapat meredakan amarah tersebut. Bagian itu bertugas menjaga sesuatu menjadi terkontrol.

Permasalahan “Jatuh Cinta kepada orang yang menyebalkan”

Secara teori, orang akan tertarik pada hal-hal yang menyenangkan dirinya. Maka dapat disimpulkan bahwa orang cenderung jatuh cinta pada hal-hal yang menarik dan menyenangkan. Dalam hal ini kesan pertama yang ditangkap oleh indra bisa menimbulkan rasa cinta dengan reaksi fisik sebagaimana telah dipaparkan di atas. Kesan indrawi pertama ini cenderung menangkap apa yang ada di permukaan, atau apa yang ditampakkan oleh objek di luar diri. Kesan ini tanpa penilaian lebih lanjut.

Teori perilaku menyatakan bahwa cinta timbul karena adanya penguatan positif yang dirasakan seseorang dalam diri. Cinta akan muncul ketika ada sepasang manusia saling memberikan perasaan positif satu sama lain. Teori kognitif menjelaskan bahwa cinta dapat muncul ketika seseorang berpikir bahwa ia mencintai. Teori evolusi mengatakan bahwa cinta muncul karena pada dasarnya setiap orang membutuhkan perlindungan. Sedangkan teori biologi mengemukakan jika cinta muncul karena adanya feromon, yaitu zat kimia yang dihasilkan oleh manusia maupun hewan. Zat ini diproses dalam hipothalamus.

Diantara banyaknya teori yang dapat membantu menjawab pertanyaan ini, teori psikologi humanistik dapat memberikan jawaban yang cukup memuaskan. Psikologi humanistik berpijak pada pangkal kesadaran yang ada pada manusia. Teori cinta menurut psikologi humanistik berpangkal pada kesadaran emosional. Pemenuhan kebutuhan dasar sampai aktualisasi diri dan kebahagiaan menjadi pangkal teori tentang cinta. Cinta bukan semata-mata berdasarkan ketertarikan fisiologis, melainkan suatu pemuasan emosional dengan hasilnya kebahagiaan.

Ketika indra menangkap suatu objek yang menarik, secara spontan informasi itu diolah oleh amigdala, menimbulkan perasaan senang dan bahagia. Namun ternyata informasi dari indra tidak hanya mengendap di amigdala. Informasi itu disampaikan kepada neo cortex, kemudian informasi itu diolah. Tangkapan indra yang bukan hanya sekali itu tentu memberikan banyak informasi bagi neo cortex. Di sini neo cortex membuat keputusan bagaimana reaksi logis terhadap informasi yang diterima. Permasalahannya muncul ketika perasaan senang yang muncul pada amigdala kemudian ditolak oleh neo cortex.

Amigdala memberi respon positif terhadap apa yang ditangkap indra. Paras yang tampan atau cantik, tutur kata yang lembut, sentuhan dan belaian yang memberi rasa nyaman dll. Pada saat yang bersamaan neo cortex memberi peringatan akan sisi lain dari paras yang rupawan, tutur kata yang lembut dan segala sentuhan nyaman yang ternyata hanyalah penampakan permukaan dari apa yang ada sesungguhnya. Reaksi penolakan pun timbul. Di sini seseorang dapat mengalami perasaan sebal atau marah. Dan masalahnya adalah pada saat yang sama ada kesan menyenangkan ketika berhadapan dengan orang lain itu, namun pada saat yang sama pikirannya memberikan penolakan.

Bersambung ke: BAGAIMANA MENYIKAPI RASA SEBAL.




DAFTAR PUSTAKA

Damasio, Antonio. 2009. Memahami Kerja Otak. Yogyakarta: Baca

Kalat, J.W., 2010, Biopsikologi, Jakarta: Salemba Humanika

http://fisiologi-tubuh-manusia-1989.blogspot.com/2011/12/fisiologi-cinta-romantik-manusia.html

http://biologipedia.blogspot.com/2011/10/proses-terjadinya-jatuh-cinta-sains.html

http://health.liputan6.com/read/2032514/tanpa-disadari-sifat-ini-bikin-anda-jadi-pribadi-menyebalkan

https://www.youtube.com/watch?v=5sVM2PJ2YaE

http://www.pulsk.com/105897/inilah-Proses-Jatuh-Cinta.html

http://ada-akbar.com/2011/04/cara-menghilangkan-perasaan-sebal/

Selasa, 02 Desember 2014

GANGGUAN PSIKOTIK

Sejarah Konsep Skizofrenia

Meskipun berbagai bentuk kegilaan telah menimpa manusia sepanjang sejarah, bentuk perilaku yang disebut skizofrenia baru dijelaskan sebagai sindrom medis untuk pertama kalinya pada tahun 1893 oleh Emil Kraepelin. Skizofrenia mungkin merupakan sindrom klinis yang paling membingungkan dan melumpuhkan, merupakan gangguan psikologis yang berhubungan dengan pandangan populer tentang gila atau sakit mental. Hal ini sering menimbulkan rasa takut, kesalahpahaman dan penghukuman, bukannya simpati dan perhatian. Meskipun para peneliti tetap berfokus pada penggalian dasar-dasar psikologis dan biologis dari skizofrenia, gangguan ini dalam banyak hal tetap menjadi suatu misteri. Untuk memahami konseptualisasi modern tentang skizofrenia tidak dapat terlepas dari kontribusi Emil Kraepelin, Eugen Bleuler dan Kurt Schneider.

Emil Kraepelin (1856-1926) menyebut gangguan skizofrenia sebagai dementia praecox, yang mengacu pada hendaya prematur (premature impairment) dari kemampuan mental. Kraepelin meyakini bahwa dementia praecox adalah sebuah proses penyakit yang disebabkan oleh patologi yang spesifik, meskipun tak diketahui di dalam tubuh. Dementia praecox melibatkan hilangnya kesatuan di dalam diri antara pikiran, perasaan dan tindakan. Sindrom dimulai pada masa awal kehidupan, dan proses deteriorasi yang terjadi seringkali menghasilkan disintegrasi dari kepribadian yang menyeluruh. Deskripsi Kraepelin tentang dementia praecox meliputi bentuk-bentuk perilaku seperti waham, halusinasi dan perilaku motorik yang aneh.

Eugen Bleuler (1857-1939) pada tahun 1911 mengganti nama dementia praecox menjadi skizofrenia. Istilah ini berasal dari kata bahasa Yunani Schistos yang berarti terpotong atau terpecah, dan Phren yang berarti otak. Penamaan ini diberikan Bleuler dengan memfokuskan diri pada karakteristik utama dari sindrom, yaitu terpisahnya fungsi otak yang mempengaruhi kognisi, afeksi dan tingkah laku. Meskipun akar bahasa Yunani menunjuk pada otak yang terbelah, hal ini berbeda dengan apa yang disebut gangguan kepribadian ganda (gangguan identitas disosiatif). Dalam gangguan kepribadian disosiatif seseorang mungkin menagalami dan menunjukkan dua atau lebih kepribadian yang berbeda, namun kepribadian-kepribadian tersebut menunjukkan fungsi kognisi, afeksi dan perilaku yang lebih terinteraksi dengan baik. Sedangkan dalam kasus skizofrenia, pemecahan ini memisahkan fungsi kognisi, afeksi dan tingkah laku sehingga sering terjadi ketidaksesuaian antara ketiga aspek ini.

Meskipun Bleuler menerima penjelasan Kraepelin tentang simtom skizofrenia, ia tidak sependapat bahwa skizofrenia harus bermula sejak masa kanak-kanak dan dalam perkembangannya menjadi semakin memburuk. Bleuler mengemukakan bahwa perkembangan skizofrenia lebih bervariasi. Skizofrenia dapat dikenal berdasarkan empat ciri primer, yakni Asosiasi (terganggunya hubungan antara pikiran-pikiran), Afek (respon emosional yang datar atau tidak sesuai), Ambivalensi (konflik terhadap orang lain – misalnya mebenci dan mencintai pada saat yang bersamaan), Autisme (penarikan diri ke dunia fantasi yang tidak terikat oleh prinsip-prinsip logika).

Kurt Schneider (1887-1967) mengatakan bahwa kriteria yang dikemukakan Bleuler terlalu samar untuk tujuan diagnostik dan gagal untuk membedakan secara tepat skizofrenia dan gangguan lainnya. Scheider menggunakan simtom tingkat pertama, yang merupakan ciri-ciri utama skizofrenia yakni halusinasi dan waham, dan simtom tingkat kedua, yakni simtom yang berhubungan dengan skizofrenia dan juga terjadi pada gangguan mental lain.

Beberapa Gangguan Psikotik

  • Gangguan Psikotik Singkat


Gangguan psikotik singkat merupakan gangguan psikotik yang berlangsung dari satu hari hingga satu bulan. Ciri Gangguan: Waham, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisasi, perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik.

Penyebab gangguan sering dihubungkan dengan satu atau beberapa stresor yang signifikan, misalnya kehilangan orang yang dicintai atau trauma perang. Dapat terjadi juga pada perempuan pasca melahirkan.

Penanganan gangguan psikotik singkat secara umum dapat dilakukan melalui psikoterapi dan pada beberapa kasus diperlukan terapi obat (farmakoterapi) untuk mendukung psikoterapi yang dilakukan. Setelah episode akut diselesaikan, individu, keluarga, dan terapi kelompok dapat dianggap untuk membantu mengatasi stres, menyelesaikan konflik, dan meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri.

  • Gangguan Skizofreniform


Gangguan skizofreniform merupakan suatu perilaku abnormal yang mirip identik dengan skizofrenia, yang berlangsung kurang dari enam bulan lamanya. Gangguan psikotik ini belum dapat dikategorikan skizofrenia.

Ciri Gangguan: Kurang responsif, pikiran aneh, ketidakmampuan memahami emosi, pola bicara abnormal, halusinasi, delusi, ketidakmampuan mengekspresikan perasaan, kesulitan memahami bahasa, kesulitan berpikir, kurang memiliki kemampuan sosial, kesulitan mempertahankan hubungan.

Penyebab Gangguan: Faktor biologis, genetika, biokimia, berhubungan dengan lingkungan.

Penanganan/Treatment: Terapi kerja, pengobatan, konseling dan pengobatan psikologis.

  •  Gangguan Delusi


Gangguan delusi merupakan suatu kondisi dimana pikiran terdiri dari satu atau lebih delusi. Delusi diartikan sebagai ekspresi kepercayaan yang dimunculkan kedalam kehidupan nyata seperti merasa dirinya diracun oleh orang lain, dicintai, ditipu, merasa dirinya sakit atau disakiti. Gangguan delusi dapat terjadi pada siapa saja dengan beberapa kondisi tertentu, tanpa mestinya adanya gejala yang menunjukkan skizofrenia.

Secara awam orang yang berhadapan dengan pasien memiliki delusi akan terlihat nyata, hal ini disebabkan ekspresi wajah yang begitu menyakinkan sehingga orang akan mempercayai dengan apa yang diucapkan oleh individu dengan gangguan delusi tersebut. Pasien akan terlihat secara normal layaknya orang lain selama tema episode itu berlangsung. Disebut sebagai gangguan delusi bila kemunculan delusi tersebut bukan disebabkan oleh kondisi medis.

Ada beberapa macam tipe delusi diantaranya delusion of erotomanic; individu atau pasien mempercayai seseorang mempunyai kedudukan penting dan terlibat percintaan dengannya. Delusion of grandiose; pasien mempercayai bahwa ia mempunyai pengetahuan yang lebih, bakat, insight, kekuatan, kepercayaan orang, atau mempunyai hubungan khusus dengan orang terkenal bahkan Tuhan. Delusion of jealous; pasien mempercayai bahwa pasangannya berselingkuh atau tidak dapat dipercaya. Delusion of persecutory; pasien mempercayai bahwa dirinya ditipu, dimata-matai, diikuti, difitnah dan tidak mempercayai orang lain. Delusion of somatic; pasien mempercayai bahwa tubuhnya merasakan sensasi sesuatu atau merasakan salah satu dari bagian organ tubuhnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Selain tipe-tipe delusi di atas, ada juga penderita delusi tipe campuran di mana penderita mempunyai delusi lebih dari satu tipe, juga ada tipe tidak terdefinisi; bila tidak termasuk didalam kategori yang ada diatas; atau tipe lainnya yang berkaitan dengan budaya setempat.

Beberapa tipe delusi lainnya dalam gangguan psikotik: Delusion of control; waham dimana individu beranggapan bahwa dirinya dikendalikan dari luar, atau orang lain. Delusion of influence, pasien merasa dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan dari luar dirinya. Delusion of passivity, dimana individu dalam ketidaberdayaan, merasa dirinya sebagai orang paling malang. Delusion of perception, pengalaman indrawi yang berkenan dengan mistik atau mukjizat.

Ciri Gangguan:

  1. Munculnya delusi atau pikiran aneh-aneh yang merupakan refleksi pemikiran dari situasi tertentu yang kemudian muncul kedalam kehidupan nyata dengan waktu durasi minimal selama 1 bulan atau lebih.

  2. Simtom berbeda dari skizofrenia bila individu belum pernah mengidap gangguan tersebut, kecuali diikuti dengan delusi pembauan secara konsisten bersamaan dengan tema yang ada.

  3. Tidak adanya gangguan perilaku (atau bentuk perilaku yang ganjil) dan gangguan fungsi sosial

  4. Gejala mood menyertai gejala delusi yang muncul berlangsung singkat selama episode delusi berlangsung

  5. Ganguan delusi tidak disebabkan oleh penggunaan obat dan kondisi medis tertentu


Penyebab Gangguan:

Banyak faktor kemunculan delusi, mood yang tidak stabil mempunyai pengaruh terhadap kepercayaan-kepercayaan delusi. Misalnya saja pada tipe persecutory dan cemburu akan memicu munculnya rasa marah dan perilaku kekerasan. Himpitan ekonomi, banyaknya stressor disekeliling individu dapat memicu munculnya delusi hingga individu tersebut menjadi penakut. Individu yang mencoba mengobati dirinya dengan sesuatu yang seharusnya tidak perlu merasakan adanya pengaruh terhadap tubunya merupakan salah satu gambaran tipe somatic.

Penanganan/Treatment:

Gangguan delusi jarang sekali dirasakan sebagai suatu problem bagi individu, sehingga mereka menolak dilakukan intervensi medis, kecuali gangguan tersebut bila dirasakan cukup mengganggu, kehilangan kontak sosial atau munculnya konflik interpersonal.

Assessment dan diagnosa harus dilakukan dengan hati-hati karena kemunculan delusi berhubungan erat dengan beberapa gangguan lainnya; skizofrenia, depresi, demensia, delirium, stress, gangguan keperibadian, penyalahgunaan obat-obatan, narkoba, sakit anggota tubuh, dsb.

Bagi beberapa pasien dengan gangguan delusi, metode supportif kadang cukup membantu, keberhasilan metode ini dengan memberikan dukungan kepada pasien untuk mengikuti treatment secara teratur berupa memberikan pengetahuan dan pendidikan mengenai hubungan sosial (social-skills training) dan mengurangi resiko dari dampak gangguan delusi seperti kehilangan rasa peka, isolasi diri, stress dan menghindari terjebaknya dalam perilaku kekerasan. Disamping itu pasien juga dibimbing dalam menghadapi dunia nyata, bagaimana menyesuaikan harapan dan pikirannya dengan realistic.

Terapi kognitif juga dapat membantu pasien, ini dilakukan terapis dengan membantu pasien mengidentifikasi pikiran-pikiran maladaptif dengan beberapa pertanyaan yang disesuaikan dengan pengalaman individu. Selanjutnya terapis memberikan alternative yang lebih adaptif dan dapat disesuaikan. Diskusi tentang pikiran-pikiran delusi pasien dilaporkan cukup memberikan kontribusi membaiknya pasien.

Untuk membantu pasien dengan gangguan delusi kadang dibutuhkan teman, anggota keluarga atau kelompok diskusi, dukungan dari mereka dapat membantu individu menumbuhkan kembali kepercayaan dan kemampuan dirinya seperti semula. Cara terbaik adalah memberikan dukungan pendekatan positif dengan pasien berupa kritikan dan nasehat secara terus menerus sehingga pasien akan mempunyai pengalaman dalam menghadapi stres sehingga tidak semakim memburuknya delusi tersebut.

  •  Gangguan Spektrum Skizoprenia


Suatu jenis gangguan psikotik dimana individu mengalami baik gangguan mood yang parah dan ciri-ciri yang berhubungan dengan skizofrenia. Istilah ini meliputi gangguan-gangguan tipe skizofrenia yang bervariasi tingkat keparahannya mulai gangguan kepribadian yang lebih ringan, seperti tipe skizotipal dan schizoid, hingga gangguan psikotik yang lebih jelas, seperti skizofrenia dan gangguan skizoafektif. Perbedaan antara skizofrenia dengan Spektrum Skizofrenia mungkin lebih dalam hal derajat daripada jenis.

Ciri Gangguan: Terdiri dari campuran berbagai simtom, termasuk ciri-ciri psikotik seperti halusinasi dan waham, bersama dengan gangguan utama dari mood, seperti maniak dan depresi mayor, kesulitan yang menetap dalam menyesuaikan terhadap tuntutan dari kehidupan orang dewasa.

  • Skizofrenia


Skizofrenia adalah kelainan mental yang ditandai oleh gangguan proses berpikir dan respon emosi yang lemah. Keadaan ini pada umumnya dimanifestasikan dalam bentuk halusinasi pendengaran, paranoid atau waham yang ganjil, atau cara berbicara dan berpikir yang kacau, dan disertai dengan disfungsi sosial dan pekerjaan yang signifikan. Gejala awal biasanya muncul pada saat dewasa muda, dengan prevalensi semasa hidup secara global sekitar 0.3–0.7%. Diagnosis didasarkan atas pengamatan perilaku dan pengalaman penderita yang dilaporkan.

Ciri Gangguan

  1. Gangguan proses berpikir: delusi dan pikiran tidak terorganisasi dan pembicaraan yang tidak koheren

  2. Defisiensi perhatian: kesulitan memberikan perhatian pada stimulus yang relevan dan menyaring keluar stimulus yang tidak relevan

  3. Gangguan perseptual: halusinasi (persepsi sensoris tanpa adanya stimulus eksternal)

  4. Gangguan emosional: emosi yang datar, tumpul atau tidak sesuai

  5. Hendaya lainnya: kebingungan akan identitas diri, hilangya keinginan, perilaku yang sangat bersmangat atau kondisi stupor, gerakan tubuh yang ganjil atau ekspresi wajah yang aneh, ketidakmampuan bersosialisasi.


Penyebab Gangguan

Suatu kombinasi dari faktor genetika dan faktor lingkungan memainkan peranan dalam perkembangan skizofrenia. Seseorang dengan sejarah skizofrenia dalam keluarga yang menderita psikosis transien atau pembatasan diri memiliki kemungkinan 20–40% untuk didiagnosis satu tahun kemudian.

Genetika

Perkiraan dari heritabilitas bervariasi karena kesulitan dalam memisahkan efek yang disebabkan oleh faktor genetika dan lingkungan. Risiko terbesar timbulnya skizofrenia adalah adanya hubungan saudara tingkat pertama dengan penyakit (risikonya 6.5%); lebih dari 40% pada kembar monozigotik dari penderita skizofrenia juga terpengaruh. Tampaknya bahwa banyak gen yang terlibat, setiap bagian kecil memberi efek dan transmisi serta ekspresi yang tidak diketahui. Banyak penyebab yang telah diajukan, termasuk yang spesifik seperti variasi jumlah salinan, NOTCH4, dan lokus protein histon. Sejumlah segala sesuatu yang menyangkut genom seperti misalnya protein jari seng 804A juga telah ditautkan. Terdapat tumpang tindih yang signifikan pada genetika skizofrenia dan kelainan bipolar.

Dengan mengasumsikan adanya dasar kturunan, suatu pertanyaan dari psikologi revolusioner adalah mengapa gen yang meningkatkan kemungkinan psikosis berkembang, dengan asumsi bahwa kondisi ini mungkin disebabkan oleh adanya ketimpangan adaptasi dari pandangan evolusi. Satu teori mengimplikasikan keterlibatan gen dalam evolusi bahasa dan sifat alami manusia, tetapi hingga saat ini ide seperti itu tetap menjadi teori secara alamiah.

Lingkungan

Faktor lingkungan berhubungan dengan timbulnya skizofrenia diantaranya adalah lingkungan tempat tinggal, penggunaan obat dan stres masa kehamilan. Gaya pengasuhan tampaknya tidak memberikan pengaruh besar, walaupun penderita yang mendapat dukungan dari orang tua keadaannya lebih baik daripada penderita dengan orang tua yang suka mengkritik dan kasar. Tinggal di lingkungan urban pada waktu masa kanak-kanak atau masa dewasa secara konsisten tampaknya menaikkan risiko skizofrenia dua kali lipat, bahkan setelah memperhitungkan faktor penggunaan obat, kelompok etnis, dan ukuran dari kelompok sosial. Faktor lain yang memainkan peranan penting termasuk isolasi sosial dan imigrasi yang berhubungan dengan kesulitan sosial, diskriminasi rasial, dssfungsi keluarga, pengangguran, dan kondisi perumahan yang buruk. Penyalahgunaan obat

Sejumlah obat dihubungkan dengan timbulnya skizofrenia, termasuk kanabis, kokain, dan amfetamin. Sekitar sebagian dari penderita skizofrenia merupakan pengguna obat-obatan dan/atau alkohol secara berlebihan. Peran kanabis dapat merupakan penyebab, tetapi obat lainnya dapat digunakan hanya sebagai cara untuk mengatasi depresi, kecemasan, kebosanan dan rasa kesepian.

Ganja di asosiasi kan dengan peningkatan bergantung dosis pada risiko berkembangnya gangguan psikotik di mana penggunaan yang sering berkorelasi dengan dua kali peningkatan risiko psikosis dan skizofrenia. Walaupun penggunaan ganja diterima sebagai sebab yang berkontribusi terhadap skizofrenia oleh banyak pihak, hal itu tetaplah kontroversial. Amfetamin, kokain, dan pada derajat tertentu yang lebih rendah, alkohol, dapat menyebabkan psikosis yang bergejala sangat serupa dengan skizofrenia. Meskipun tidak secara umum dipercaya sebagai satu sebab penyakit, penderita skizofrenia menggunakan nikotin dengan rerata yang jauh lebih besar dibandingkan populasi pada umumnya.

Faktor perkembangan

Faktor-faktor seperti hipoksia dan infeksi, atau stres dan malnutrisi pada ibu di masa perkembangan janin, dapat mengakibatkan sedikit peningkatan resiko skizofrenia di kemudian hari. Orang-orang yang didiagnosis menderita skizofrenia lebih sering dilahirkan pada saat musim dingin atau musim semi (setidaknya di belahan bumi utara ), yang mungkin merupakan akibat dari peningkatan rerata paparan virus di dalam kandungan. Perbedaan ini sekitar 5 sampai 8%.

Penanganan/Treatment

  1. Perawatan biomedis: obat-obat antipsikotik digunakan untuk mengendalikan simtom-simtom psikotik

  2. Penanganan psikososial: pendekatan berdasarkan prinsip belajar, seperti sistem token ekonomi dan pelatihan keterampilan sosial, membantu penderita mengembangkan perilaku yang lebih adaptif.

  3. Rehabilitasi: kelompok-kelompok self-help dan program tempat tinggal yang terstruktur dapat membantu pasien skozofrenia menyesuaikan diri dengan kehidupan komunitas.

  4. Program intervensi keluarga: meningkatkan komunikasi dalam keluarga, mengurangi tingkat konflik dan stres keluarga.


 

Referensi:

Arif Setiadi Imam, 2006, Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien, Bandung: Aditama.

Firdaus Jimmi, Muhammad Syukri, dkk., 2005, SCHIZOPHRENIA, sebuah panduan bagi keluarga skizofrenia, Yogyakarta: Dozz.

Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly, 2009, Psikologi Abnormal, Jilid 2 Edisi Kelima, Alih Bahasa: Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta: Erlangga

http://doktersehat.com/gejala-dan-penyebab-skizofrenia/

http://health.liputan6.com/read/673286/skizofrenia-gangguan-jiwa-akibat-fungsi-otak-terganggu

http://id.wikipedia.org/wiki/Skizofrenia

http://makalahpsikologi.blogspot.com/2010/01/gangguan-psikotik-dan-skizofrenia.html

http://oret2ku.blogspot.com/2010/11/gangguan-psikotik-singkat.html

http://www.pondokpemulihan.com/gangguan-delusi/

MANAJEMEN KELAS BERDASARKAN TEORI B.F.SKINER

skinnerPendahuluan

Living is Learning, merupakan sepenggal kalimat yang dikemukakan oleh Havighurst (1953). Dengan kalimat tersebut memberikan gambaran bahwa belajar merupakan hal yang sangat penting, sehingga tidaklah mengherankan bahwa banyak orang ataupun ahli yang membicarakan masalah belajar. Hampir semua pengetahuan, sikap, ketrampilan, perilaku manusia dibentuk, diubah dan berkembang melalui belajar. Kegiatan belajar dapat berlangsung dimana dan kapan saja. Di rumah, di sekolah, di pasar, di toko, di masyarakat luas, pagi, sore dan malam. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa belajar merupakan masalah bagi setiap manusia. Oleh sebab itu dibutuhkan cara belajar yang tepat untuk menghasilkan perubahan sikap yang baik pula.

Skinner (1958) memberikan definisi belajar “ Learning is a process of progressive behavior adaptation”. Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti bahwa sebagai akibat dari belajar adanya sifat progresifitas, adanya tendensi kearah yang lebih baik dari keadaan sebelumnya.

 Teori Belajar Skinnerskinnerbox

Teori Kondisioning Operan Menurut B.F.Skiner

Asas pengkondisian operan B.F Skinner dimulai awal tahun 1930-an, pada waktu keluarnya teori S-R. Pada waktu keluarnya teori-teori S-R. pada waktu itu model kondisian klasik dari Pavlov telah memberikan pengaruh yang kuat  pada pelaksanaan penelitian. Skinner tidak sependapat dengan pandangan S-R dan penjelasan reflex bersyarat dimana stimulus terus memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur. Menurut Skinner penjelasan S-R tentang terjadinya perubahan tingkah laku tidak lengkap untuk menjelaskan bagaimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya. Bukan begitu, banyak tingkah laku menghasilkan perubahan atau konsekuensi pada lingkungan yang mempunyai pengaruh terhadap organisme dan dengan begitu mengubah kemungkinan organisme itu merespon nanti. Asas-asas kondisioning operan adalah kelanjutan dari tradisi yang didirikan oleh John Watson. Artinya, agar psikologi bisa menjadi suatu ilmu, maka studi tingkah laku harus dijadikan fokus penelitian psikologi. Tidak seperti halnya teoritikus-teoritikus S-R lainnya, Skinner menghindari kontradiksi yang ditampilkan oleh model kondisioning klasik dari Pavlov dan kondisioning instrumental dari Thorndike. Ia mengajukan suatu paradigma yang mencakup kedua jenis respon itu dan berlanjut dengan mengupas kondisi-kondisi yang bertanggung jawab atas munculnya respons atau tingkah laku operan.

Kajian Teori Kondisioning Operan

Kondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan diulangi. Inti dari teori behaviorisme Skinner adalah Pengkondisian operan (kondisioning operan). Ada 6 asumsi yang membentuk landasan untuk kondisioning operan. Asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:

  • Belajar itu adalah tingkah laku.

  • Perubahan tingkah-laku (belajar) secara fungsional berkaitan dengan adanya perubahan dalam kejadian-kejadian di lingkungan kondisi-kondisi lingkungan.

  • Hubungan yang berhukum antara tingkah-laku dan lingkungan hanya dapat di tentukan kalau sifat-sifat tingkah-laku dan kondisi eksperimennya di devinisikan menurut fisiknya dan di observasi di bawah kondisi-kondisi yang di control secara seksama.

  • Data dari studi eksperimental tingkah-laku merupakan satu-satunya sumber informasi yang dapat di terima tentang penyebab terjadinya tingkah laku.


Menurut Skinner unsur yang terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan (reinforcement ) dan hukuman (punishment).Penguatan dan Hukuman. Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku.

Menurut Skinner penguatan berarti memperkuat, penguatan dibagi menjadi dua bagian yaitu:

  1. Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb).

  2. Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll).


Satu  cara untuk mengingat perbedaan antara penguatan positif dan penguatan negatif adalah dalam penguatan positif ada sesuatu yang ditambahkan atau diperoleh. Dalam penguatan negatif, ada sesuatu yang dikurangi atau di hilangkan. Adalah mudah mengacaukan penguatan negatif dengan hukuman. Agar istilah ini tidak rancu, ingat bahwa penguatan negatif meningkatkan probabilitas terjadinya suatu prilaku, sedangkan hukuman menurunkan probabilitas terjadinya perilaku.

asaasaAnalisa Perilaku: terapan dalam pendidikan

Analisis Perilaku terapan adalah penerapan prinsip pengkondisian operan untuk mengubah perilaku manusia. Ada tiga penggunaan analisis perilaku yang penting dalam bidang pendidikan yaitu:

  • Meningkatkan perilaku yang diharapkan


Ada lima strategi pengkondisian operan dapat dipakai untuk meningkatkan perilaku anak yang diharapkan yaitu:

a)      Memilih Penguatan yang efektif

Tidak semua penguatan akan sama efeknya bagi anak. Analisis perilaku terapan menganjurkan agar guru mencari tahu penguat apa yang paling baik untuk anak, yakni mengindividualisasikan penggunaan penguat tertentu. Untuk mencari penguatan yang efektif bagi seorang anak, disarankan untuk meneliti apa yang memotivasi anak dimasa lalu, apa yang dilakukan murid tapi tidak mudah diperolehnya, dan persepsi anak terhadap manfaat dan nilai penguatan. Penguatan alamiah seperti pujian lebih dianjurkan ketimbang penguat imbalan materi, seperti permen, mainan dan uang.

b)      Menjadikan penguat kontingen dan tepat waktu

Agar penguatan dapat efektif, guru harus memberikan hanya setelah murid melakukan perilaku tertentu. Analisis perilaku terapan seringkali menganjurkan agar guru membuat pernyataan “jika…maka”. penguatan akan lebih efektif jika diberikan tepat pada waktunya, sesegera mungkin setelah murid menjalankan tindakan yang diharapkan. Ini akan membantu anak melihat hubungan kontingensi antar-imbalan dan perilaku mereka. Jika anak menyelesaikan perilaku sasaran (seperti mengerjakan sepuluh soal matematika) tapi guru tidak memberikan waktu bermain pada anak, maka anak itu mungkin akan kesulitan membuat hubungan kontingensi.

c)       Memilih jadwal penguatan terbaik

Menyusun jadwal penguatan menentukan kapan suatu respons akan diperkuat. Empat jadwal penguatan utama adalah: Jadwal rasio tetap: suatu perilaku diperkuat setelah sejumlah respon. Jadwal rasio variabel : suatu perilaku diperkuat setelah terjadi sejumlah respon, akan tetapi tidak berdasarkan basis yang dapat diperidiksi. Jadwal interval - tetap : respons tepat pertama setelah beberapa waktu akan diperkuat. Jadwal interval - variabel : suatu respons diperkuat setelah sejumlah variabel waktu berlalu.

d)      Menggunakan Perjanjian (contracting)

Adalah menempatkan kontigensi penguatan dalam tulisan. Jika muncul problem dan anak tidak bertindak sesuai harapan, guru dapat merujuk anak pada perjanjian yang mereka sepakati. Analisis perilaku terapan menyatakan bahwa perjanjian kelas harus berisi masukan dari guru dan murid. Kontrak kelas mengandung pernyataan “jika… maka” dan di tandatangani oleh guru dan murid, dan kemudian diberi tanggal.

e)      Menggunakan penguatan negatif secara efektif

Dalam penguatan negatif, frekuensi respons meningkat karena respon tersebut menghilangkan stimulus yang dihindari seorang guru mengatakan “Fika, kamu harus menyelesaikan PR mu dulu diluar kelas sebelum kamu boleh masuk kelas ikut pembelajaran” ini berarti seorang guru menggunakan penguatan negatif.

  • Menggunakan dorongan (prompt) dan pembentukkan (shaping).


Prompt (dorongan) adalah stimulus tambahan atau isyarat tambahan yang diberikan sebelum respons dan meningkatkan kemungkinan respon tersebut akan terjadi. Shapping (pembentukan) adalah mengajari perilaku baru dengan memperkuat perilaku sasaran.

  • Mengurangi perilaku yang tidak diharapkan.


Ketika guru ingin mengurangi perilaku yang tidak diharapkan (seperti mengejek, mengganggu diskusi kelas, atau sok pintar) yang harus dilakukan berdasarkan analisis perilaku terapan adalah

  1. Menggunakan Penguatan Diferensial.

  2. Menghentikan penguatan (pelenyapan)

  3. Menghilangkan stimuli yang diinginkan.

  4. Memberikan stimuli yang tidak disukai (hukuman).


Kelebihan dan kekurangan Menurut B.F. Skinner

Pada teori ini, pendidik diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya. hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukuman. Hal itu didukung dengan adanya pembentukan lingkungan yang baik sehingga dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya kesalahan. Tanpa adanya sistem hukuman akan dimungkinkan akan dapat membuat anak didik menjadi kurang mengerti tentang sebuah kedisiplinan. hal tersebuat akan menyulitkan lancarnya kegiatan belajar-mengajar. Dengan melaksanakan mastery learning, tugas guru akan menjadi semakin berat.

Beberapa Kekeliruan dalam penerapan teori Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa. Menurut Skinner hukuman yang baik adalah anak merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya. Misalnya anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verbal maupun fisik seperti: kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa.

Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi didalam situasi pendidikan seperti penggunaan rangking Juara di kelas yang mengharuskan anak menguasai semua mata pelajaran. Sebaliknya setiap anak diberi penguatan sesuai dengan kemampuan yang diperlihatkan sehingga dalam satu kelas terdapat banyak penghargaan sesuai dengan prestasi yang ditunjukkan para siswa: misalnya penghargaan di bidang bahasa, matematika, fisika, menyanyi, menari atau olahraga.

Aplikasi Teori Belajar Skinner dalam Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Murid Kelas 4 SDPeneguhan positif

  1. Proses pembelajaran


Belajar itu adalah tingkah laku.

Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, fokus pembelajaran adalah murid dibantu untuk mampu menulis dan membaca secara baik dan mampu mebahasakan kembali isi bacaan. Caranya adalah dengan memberikan materi dan murid diberi kesempatan untuk mempelajari materi, kemudian murid diminta untuk mengungkapkan isi materi sesuai pemahamannya.

Perubahan tingkah-laku (belajar) secara fungsional berkaitan dengan adanya perubahan dalam kejadian-kejadian di lingkungan kondisi-kondisi lingkungan.

Kemampuan murid untuk menangkap materi tergantung dari lingkungan (situsi kelas) yang tengah berlangsung. Guru semampu mungkin menciptakan situasi yang kondusif, misalnya ceria, gembira. Cara yang paling praktis adalah dengan memberikan pengantar yang baik dan ceria.

Penilaian

Dalam proses pembelajaran bahasa indonesia ini guru dapat memberikan penguatan bagi murid untuk semakin mempelajari materi. Guru dapat memberikan dorongan, misalnya “Bahasa Indonesia adalah identitas kita, maka kita harus bisa memahami bahasa indonesia dengan baik.” Atau “Yang mampu berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik akan mendapatkan hadiah.”

 Evaluasi

Evaluasi yang dilaksanakan bukan hanya untuk murid tetapi juga menjadi acuan bagi guru untuk melaksanakan proses pembelajaran lebih lanjut.

 

 Referensi:

Suprijono, Agus, Cooperative Learning; Teori dan Aplikasi Paikem, cet. ke-5. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011

Baharudin dan Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008

Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, cet. Ke-21, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014

http://karyailmiahpopuler.blogspot.com/2013/10/teori-belajar-behavioristik-skinner.html

http://visiuniversal.blogspot.com/2014/03/pengertian-belajar-dan-macam-macam.html

http://amier-uddien.blogspot.com/2014/06/makalah-teori-belajar-bf-skinner.html

Senin, 01 Desember 2014

Orang Miskin Dilarang Bersekolah?

Memanusiakan manusia, itulah tujuan pendidikan. Prinsip yang seharusnya menjadi acuan pokok dan utama dalam benak setiap pendidik. Tidaklah mengherankan jika program pencanangan wajib belajar sangat gencar dipropagandakan pemerintah. Selain itu sertifikasi guru dan tunjangan untuk guru masih diregulasikan dengan baik hingga saat ini. Tujuan yang dicapai adalah pemahaman hidup yang intensif melalui pengembangan kretivitas, pembentukan manusia yang berdaya nalar tinggi, berpikiran kritis, sistematis, logis, dan bermoral, serta berkarakter.

Bercermin pada Realitas

Menurut Prof. Dr. N. Driyarkara,SJ, pendidikan adalah fenomena fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia. Sebab di mana ada kehidupan manusia, di situ bagaimanapun juga ada pendidikan. Hal ini mengandung juga pengertian bahwa pendidikan adalah hak asasi. Sama seperti hak untuk hidup, hak untuk berpendapat, hak untuk berorganisasi. Pendek kata, setiap orang berhak atas pendidikan yang pantas dan layak. Tidak ada sistem pemarginalan; miskin atau kaya, borjouis atau proletar, mampu atau tidak mampu, orang desa atau orang kota, minoritas atau mayoritas.

Akan tetapi, dalam situasi konkret praktis kehidupan, pendidikan di negara kita memang berorientasi ke arah “elite”. Berbagai fenomen sosial dalam kehidupan bermasyarakat kita dapat menjadi bahan tinjauan untuk memahami kenyataan ini. Orang miskin menjadi masyarakat kedua setelah orang kaya di dalam bersekolah. Sekolah-sekolah yang memenuhi standar pendidikan yang layak hanya dapat dipergunakan oleh orang kaya, sementara orang miskin tidak mendapatkan tempat di sana. Sekolah satu atap, sekolah bermutu rendah, dan juga sekolah yang jauh dari akses memperoleh pengetahuan yang cukup, sarana dan prasarana pendidikan yang sangat minim, profesionalitas tenaga pendidik yang belum baik; itulah tempat sekolahnya orang miskin. Secara tidak langsung, kita telah menciptakan suatu sistem kapitalisme pendidikan. Siapa yang memiliki modal, dia juga yang memiliki pendidikan yang layak. Di lain pihak, prinsip yang paling penting dalam proses pembelajaran adalah “pendidikan untuk semua” (education for everyone). Setiap orang menjadi subyek dan obyek pendidikan.

Jadi, benarkah orang miskin dilarang sekolah? Apakah sekolah dan kegiatan pembelajaran hanya ditujukan bagi orang-orang kaya?

Membangun Kesadaran Baru

Jawabannya dari pertanyaan; “apakah orang miskin dilarang bersekolah? Dan juga soal; apakah sekolah dan kegiatan pembelajaran hanya ditujukan bagi orang kaya?” adalah no! Tidak! Pendidikan merangkul semua orang. Dalam proses mendidik tidak dikenal suku, agama, ras, golongan, dan status sosial. Secara undang-undang pun tidak dibenarkan. Di negara kita, aturan perundangan-udangan terutama, UUD 1945, pasal 31 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5 sudah dengan sangat jelas dan terang menjabarkan tentang bagaimana seharusnya pendidikan itu. Pendidikan di sini memuat keharusan pemahaman yakni sebagai upaya yang ditempuh untuk memanusiakan manusia Indonesia. Dengan demikian, maka pembangunan dapat berjalan, kesejahteraan sosial tidak lagi menjadi mimpi, dan akhirnya tumbuhlah kedamaian rakyat, serta kemiskinan dapat dientaskan. Oleh karena itu, kita memerlukan kesadaran baru melalui pendidikan. Motivasi untuk dididik dan mendidik harus tumbuh subur dan dibaharui dalam nubari setiap rakyat Indonesia.

Sebenarnya mendidik dan dididik merupakan perbuatan fundamental manusia. Dan dua faktor penting dalam hal ini adalah pendidik dan didikan. Keduanya merupakan peran manusia. Ada yang berperan sebagai pendidik; kita sebut: Guru (teacher), dan yang lain berperan sebagai didikan; kita sebut: siswa (student) atau dengan kata lain; Pembelajar. Dalam bahasa Prof. Dr. Sudarwan Danim; Kolaborasi dan sifat kooperatif kedua faktor itulah yang membangun manusia pembelajar. Sebab membangun manusia pembelajar adalah pekerjaan pendidikan yang paling khas (educational working). Tugas masing-masing pun berbeda. Pendidik memegang fungsi mengajar, melatih, memandu, memberikan contoh, membangun keteladanan, membentuk, memfasilitasi, bahkan kadang menggurui. Dan student mengambil peran mendengar, berlatih, mengikuti teladan, dan mencari serta mencoba pengetahuan baru/berinovasi.

Manusia secara menyeluruh (jiwa dan raga, sosialitas, kerohanian/spiritual, dan juga aspek politiknya) merupakan komponen penting pendidikan. Manusia dengan segala aspek dirinya yang tidak terpisahkan itu mengambil bagian secara optimal dalam pendidikan manusia itu sendiri. Bertentangan dengan prinsip moral, etika, dan juga agama apabila dalam proses itu manusia saling memarginalkan. Yang seharusnya ada dalam proses menuju kesejatian manusia melalui pendidikan adalah kesadaran ada bersama (koeksistensi) dan juga sikap proeksistensi. Di sini kita harus meninggalkan kemewahan, kekayaan, hedonitas, status sosial, dan berusaha mengedepankan solidaritas, kerja sama, dan toleransi.

Selain itu, memahami secara tepat peranan komponen-komponen penting dalam proses pendidikan sangat ditekankan. Komponen yang dimaksud antara lain; @. Orang Tua. Pendidik pertama dan utama hendaknya terus-menerus dipropagandakan. Bahwa pendidikan tidak dengan sendirinya membebaskan orang tua. Institusi pendidikan hanya membantu orang tua untuk memberikan pembelajaran yang lebih sistematis, terstruktur, dan bersifat formal. Karena dalam hal mendidik, ada dua jalur; melalui pendidikan formal dan non formal. Orang tua hendaknya bergiat peran melalui pendidikan non formal. Orang tua adalah guru pertama dan utama dalam hidup seorang anak manusia. Pendidikan dimulai dari rumah. Orang tua bukan sebagai penanggung jawab hanya dalam tataran biologis. Artinya bahwa, orang tua tidak hanya berperanan untuk melahirkan anak. Dalam bahasa Driyarkara; bagi manusia, berketurunan tidak hanya berarti melahirkan secara biologis. Dengan hanya melahirkan dia belum menurunkan secara insani. Makna terdalam dari pemikiran di atas adalah bahwa kelahiran hendaknya berkelanjutan (to be continue) dengan denatalisasi anak secara insani; membawa anak ke tingkat manusia melalui pendidikan. Hal ini terwujud melalui hubungan fundamental, tritungal berkeluarga; bapak, ibu dan anak dalam kesatuan tugas; mendidik.

@. Guru. Memiliki peranan sangat penting dalam pendidikan formal. Banyak syarat yang dituntut dari seseorang untuk berpredikat guru. Misalnya, tingkat pendidikan, profesionalisme, dan juga keikhlasan. Guru yang baik adalah guru yang bekerja keras, bekerja cerdas, bekerja cermat, bekerja tuntas serta bekerja ikhlas. Guru bertugas membantu peserta didiknya untuk mengenal, memahami, dan memiliki ketrampilan mengelola hidup agar menjadi semakin manusiawi.

Dengan spesifikasi keahlian dalam mengajar, seorang guru diharapkan mampu membawa siswanya mencapai kemanusiaan. Guru-guru hendaknya memahami tujuan pembelajaran di sekolah yang menurut Driyarkara adalah sebagai berikut; pengajaran harus menghasilkan tenaga-tenaga yang penuh keberanian, tanggung jawab dan cerdas; pengajaran harus lebih memperhatikan segi praktis dan berdiri di tengah-tengah kehidupan; fungsi edukatif dari kelompok pelajaran kebudayaan adalah membantu manusia muda dalam memasuki alam kebudayaan; kelompok mata pelajaran sosial membantu manusia muda dalam pertumbuhannya untuk melihat dunianya sebagai mit-welt dan dirinya sebagai mit-sein; dan kelompok mata pelajaran eksakta membantu manusia muda dalam proses penyelaman dan penguasaan alam jasmani: proses ini adalah suatu unsur dalam proses menjadi manusia.

Menuai Harapan Baru

Setiap manusia Indonesia berhak mendapat pendidikan. Itu adalah hak asasi setiap manusia di Indonesia yang tidak diganggu gugat, apalagi dimanipulasi, didiskursuskan, dan diapa-apakan. Proses mendidik dan dididik secara intensif dan berkualitas akan terjadi apabila ada sarana dan prasarana pedukungnya. Dalam hal ini, peranan pemerintah sangat mutlak perlu. Dengan bertindak sebagai pengambil kebijakan-kebijakan pedagogis; melalui perumusan kurikulum, pendanaan, hingga pemberian insentif yang memotivasi pendidik dan didikan, pemerintah telah menjalankan fungsi mengatur dan mengontrol. Sedangkan fungsi mengevaluasi hendaknya menjadi tanggung jawab institusi pendidikan.

Menurut saya, reformasi peran pemerintah agar lebih berorientasi pedagogik merupakan revolusi yang harus segera dikibarkan. Pemerintah hendaknya tidak saja lantang menyuarakan standar kelulusan nasional tetapi juga berani membuka mulut untuk berbicara mengenai alokasi anggaran pendidikan. Jangan sampai, Undang-undang mengharuskan dana 20% dari APBN hanya terealisir sekitar 8,5%. Atau alokasi anggaran yang ada diturunkan menjadai BOS (Bantuan Operasional Sekolah), yang lebih dititikberatkan pada prioritas perbaikan gedung dan penambahan alat-alat praktikum belajar mengajar. Sedangkan anggaran untuk memperbaiki kualitas dan profesionalitas guru dan kurikulum ternyata tidak tersentuh.

Pertauran perundang-undangan yang telah dilegalkan hendaknya diikuti dengan praktek hidup berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan hukum itu. Tidak berlaku system kapitalis dan pemarginalan dalam system pendidikan. Dalam hal ini, kita hanya berharap agar system yang sedang dan akan berlaku membawa semua manusia Indonesia untuk membangun sikap koeksistensi dan juga semakin proeksistensi. Melenyapkan kebodohan dari bumi pertiwi dan menggemgam kemanusiaan yang pintar, bermartabat dan berkarakter Pancasila.

EXPERIENTAL LEARNING

Metode Experiential Learning adalah suatu metode proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalamannya secara langsung. Dalam hal ini, Experiential Learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.

Teori ini dikembangkan oleh David Kolb pada sekitar awal tahun 1980-an. Dengan mendasarkan teorinya pada filsafat empirisme dan pragmatisme, Kolb mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Pengetahuan dianggap sebagai perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman. Experiential Learninng kemudian menjadi dasar model pembelajaran experiential learning yang menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistik dalam proses belajar. Pengalaman kemudian mempunyai peran sentral dalam proses belajar.

Lebih lanjut, Kolb membagi belajar menjadi 4 tahap :

1)      Tahap pengamalan konkrit (Concrete Experience)

Merupakan tahap paling awal, yakni seseorang mengalami sesuatu peristiwa sebagaimana adanya (hanya merasakan, melihat, dan menceritakan kembali peristiwa itu).Dalam tahap ini seseorang belum memiliki kesadaran tentang hakikat peristiwa tersebut, apa yang sesungguhnya terjadi, dan mengapa hal itu terjadi.

2)      Tahap Pengalaman Aktif dan Reflektif (Reflection Observation)

Pada tahap ini sudah ada observasi terhadap peristiwa yang dialami, mencari jawaban, melaksanakan refleksi, mengembangkan pertanyaan- pertanyaan bagaimana peristiwa terjadi, dan mengapa terjadi.

3)      Tahap Konseptualisasi (Abstract Conseptualization)

Pada tahap ini seseorang sudah berupaya membuat sebuah abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, prosedur tentang sesuatu yang sedang menjadi objek perhatian.

4)      Tahap Eksperimentasi Aktif (Active Experimentation)

Pada tahap ini sudah ada upaya melakukan eksperimen secara aktif, dan mampu mengaplikasikan konsep, teori ke dalam situasi nyata.

Experiential Learning merupakan model pembelajaran yang sangat memperhatikan perbedaan atau keunikan, karenanya model ini memiliki tujuan untuk mengakomodasi perbedaan dan keunikan yang dimiliki oleh masing-masing individu.

Selanjutnya Kolb menandaskan bahwa belajar merupakan suatu perkembangan yang melalui tiga fase yaitu, pengumpulan pengetahuan (acquisition), pemusatan perhatian pada bidang tertentu (specialization) dan menaruh minat pada bidang yang kurang diminati sehingga muncul minat dan tujuan hidup baru. Sehingga, walaupun pada tahap awal individu lebih dominan pada gaya belajar tertentu, namun pada proses perkembangannya diharapkan mereka dapat mengintegrasikan semua kategori belajar.

Rekomended:

http://ariefian84.wordpress.com/2010/07/21/teori-belajar-humanistik/

http://alliswellinfo.wordpress.com/2013/02/05/learning-from-experience-experiential-learning/

http://ratu-aby.blogspot.com/2012/01/proses-belajar-experiensial.html

TEORI INSTING (Lanjutan)


  1. Teori Insting Modern


Pembahasan mengenai teori insting modern berhubungan dengan etologi, di mana para etolog mengemukakan beberapa konsep utama mengenai tingkah laku dalam basis teori insting modern.

 Konrad Lorenz Dan Niko Timbergen

Pandangan Lorenz dan Timbergen dalam hal motivasi seperti halnya para teoretisi yang berpendekatan insting (biologis), didasarkan pada konsep etologi dimana konsep etologi sendiri didasarkan pada teori evolusi dari Darwin.Teori evolusi telah banyak memberikan kontribusi dalam bidang psikologis terutama dalam kaitannya adaptasi manusia terhadap lingkunganya.Organisme, oleh Darwin dikonsepsikan sebagai tempat berkumpulnya berbagai macam kebutuhan, dimana setiap kebutuhan tadi memerlukan upaya pemuasan dengan bermacam-macam tindakan. Berbagai macam cara dalam rangka pemuasan kebutuhan tersebut oleh Darwin disebut sebagai upaya atau perjuangan dalam rangka mempertahankan eksistensinya (model or survival) sebagai mahluk hidup. Model for survival ini adalah cara organisme untuk mengadakan penyesuaian diri dengan lingkungannya dalam rangka mempertahankan hidupnya.

Dalam  teori motivasi Lorenz dan Timbergen ada beberapa istilah yang merupakan konsep pokok energi yang mengarahkan organisme pada aktivitas khusus (action specific energy),  mekanisme pelepas bawaan (innate releasing mechanism), stimulus kunci (key stimuli) atau stimulus sinyal atau stimulus tanda (sign stimuli), pemicu sosial (social releaser), pola-pola tindakan tetap (fixed action pattern), perilaku konsumatori, perilaku atetitif, aktivitas vacum (vacum activity) gerakan-gerakan bermaksud (intention movement), perilaku  konflik (conflict behavior),  rantai-rantai reaksi (reaction chains), imprinting dan aktivitas vakum.

  1. Tingkah laku konsumatori dan apetitif


Dipelopori oleh etolog Wallace Craig, yang membedakan tingkah laku instingtif dalam dua kelompok.Pertama, tingkah laku konsumatori yaitu tingkah laku yang terkoordinasi secara baik berdasarkan pola merespons yang tetap terhadap stimulus yang spesifik.Kedua, tingkah laku apetitif yakni tingkah laku yang relative tidak tetap, bersifat fleksibel dan adaptif terhadap lingkungan.

Tingkah laku konsumatori merupakan bawaan, sedangkan tingkah laku apetitif dapat dipelajari atau merupakan hasil dari proses belajar.

  1. Stimulus kunci


Kemunculan setiap perilaku bisa dihambat atau dipicu oleh suatu mekanisme pemicu bawaan yang disebut dengan innate releasing mechanism. Mekanisme pemacu bawaan ini bekerja untuk menyalurkan energi, sehingga muncul aktivitas apabila mendapatkan stimulasi dari objek ekternal. Keduanya (mekanisme pemicu bawaan dan objek ekternal) bekerja seperti halnya mekanisme sebuah kunci yang dapat dibuka hanya dengan anak kuncinya. Objek eksternal yang berkaitan dengan kemunculan mekanisme pemicu bawaan tadi disebut dengan stimulus kunci (key stimuli atau sign stimuli).

Stimulus kunci dalam kondisi normal kadang-kadang tidak cukup kuat untuk memicu munculnya tingkah laku tertentu. Ini dibuktikan oleh pengamatanTimbergen. Timbergen menempatkan telur lain warna putih dengan bintik-bintik hitam diantara telur asli dari burung oystercacher yang berwarna coklat muda dengan bintik-bintik coklat tua. Ternyata burung tadi lebih memilih telur lain yang berwarna putih dengan bintik-bintik hitam untuk dierami dari pada telurnya sendiri. Pada percobaan lain, Timbergen menempatkan telur ayam yang tentunya jauh lebih besar dari telur burung oystercatcher dan dicat dengan bintik-bintik sesuai dengan warna aslinya. Ternyata burung oystercatcher lebih tertarik pada telur yang lebih besar, dibanding dengan telur asli yang berukuran normal. Suatu eksperimen yang menggunakan subyek burung gereja memperkuat teori Timbergen ini. Seekor burung gereja betina diberi stimulus dua ekor burung gereja jantan. Jantan yang satu di kepalanya diberi jambul yang terbuat dari tiga butir mutiara kecil dikomposisikan dengan bulu yang ditempelkan diatas rangkaian mutiara tadi dengan posisi berdiri tegak, sehingga kelihatan seperti mahkota. Jantan yang lain dibiarkan seperti apa adanya tidak diberi aksesoris apapun. Kemudian apa yang terjadi ? Ternyata si betina lebih tertarik pada jantan dengan jambul palsu di kepalanya. Stimulus-stimulus yang tidak seperti biasanyadan ternyata lebih efektif dalam memunculkan tingkah laku seperti terurai di atas tadi, oleh Timbergen disebut dengan stimulus supernormal (supernormal stimuli) .

  1. Pola-pola tindakan tetap


Selain kedua perilaku diatas, ada semacam perilaku yang disebut dengan pola tindakan tetap atau aktivitas vakum (vakum activity). Hal ini dikemukakan berdasarkan hasil pengamatannya terhadap burung piaraannya. Biasanya burung tersebut terbang mengitari ruangan dengan maksud untuk menangkap serangga. Tetapi ada kalanya burung tadi terbang berputar-putar mengitari ruangan padahal tidak dalam rangka menangkap serangga dan di ruangan itu memang tidak ada serangga.

Aktivitas vacum ini terjadi ketika energi dalam organisme berakumulasi karena luapan energi pada ambang tertentu, dimana pada saat itu tidak ada stimulus kunci. Akumulasi dari energi tadi cukup kuat untuk menekan katup (mekanisme pelepas bawaan), sehinga secara spontan katup terbuka dan muncullah perilaku yang disebut dengan aktivitas vakum tadi. Aktivitas vakum ini tentunya terjadi juga pada manusia. Misalnya berjalan-jalan ke kompleks pertokoan tanpa adanya tujuan seperti berbelanja. Bahkan kadang-kadang aktivitasnya tadi berada diluar kontrol sadarnya.

  1. Gerakan-gerakan bermaksud


Gerakan-gerakan bertujuan (intention movements) adalah gerakan yang mengidikasikan intensitas rendah, tidak sempurna dalam arti tidak cukup informatif untk menyampaikan sebuah pesaan, bahkan kadang-kadang kabur. Awalnya gerakan bertujuan ini tidak komunikatif karena tidak lengkap dan tidak jelas seperti tersebut tadi, tetapi melalui proses ritualisasi (dilakukan secara berkala setiap kesempatan dengan arti tertentu) pada akhirnya juga memiliki fungsi komunikatif.

Gerakan tubuh tertentu sering juga memiliki arti tertentu dalam komunikasi manusia yang juga dikenal dengan bahasa tubuh (body language) seperti ekspresi wajah dan gerakan-gerakan tubuh yang lain. Misalnya, ekspresi wajah pada suatu organisme dapat menggambarkan kondisi senang, sedih dan marah. Dari ekspresi wajah, juga dapat ditangkap pesan bahwa yang bersangkutan siap menyerang atau berharap untuk meminta pertolongan. Anggukan dan gelengan kepala yang pada awalnya tidak lebih dari gerakan kepala yang mengarah ke bawah dan ke samping, setelah melalui ritualisasi dalam suatu komunitas dan sistem budaya tertentu akhirnya memiliki arti tertentu juga yaitu setuju (anggukan) atau tidak setuju (gelengan).

Bahasa verbal yang dimaksud sudah bergeser dari arti harfiahnya juga merupakan suatu fernomena dari gerakan bermaksud ini. Misalnya perilaku diam (tidak mengucapkan sepatah katapun) bila melihat tindakan orang lain, biasanya diartikan sebagai tanda setuju, berkenan, atau setidak-tidaknya dapat diartikan tidak ada respon apa-apa.

  1. Tingkah laku konflik


Dalam suatu situasi atau waktu tertentu kemungkinan organisme menghadapi dua atau lebih stimulus. Situasi demikian akan memunculkan kondisi motivasional yang disebut dengan kondisi konflik yang tentunya akan mendorong pada munculnya suatu perilaku yang disebut dengan perilaku konflik. Dalam hal ini ada empat macam perilaku konflik yaitu: perilaku ambivalen suksesif, perilaku ambivalen simultan dan perilaku yang dialiharahkan (redirected).

Perilaku ambivalen suksesif merupakan refleksi dari dua kondisi motivasional yang mendorong organisme untuk memilih antara menghadapi sekaligus menghindar dari stimulus yang sekaligus menjadi objek dari perilaku. Sebagai contoh, perilaku yang muncul dari dorongan untuk menyerang atau melarikan diri dari seekor ikan stickleback jantan apabila ada ikan jantan lain yang melanggar batas wilayahnya (angguk – geleng Freud)

Perilaku ambivalen simultan adalah tingkah laku yang muncul dalam situasi konflik dimana dua kondisi motivasional yang bertentangan diekspresikan secara bersama dalam waktu yang sama. Disini, dicontohkan bila seekor kucing membungkukkan punggung merupakan ekspresi dari dorongan untuk menyerang (kaki belakang menjorok kedepan) sekaligus merefleksikan dorongan untuk melarikan diri (kaki depan ditarik ke belakang). = Reaksin formation (Freud)

Perilaku yang dialih arahkan sinonim dengan istilah displamen dan sublimasi menurut konsep Sigmund Freud. Alih arah yang dimaksud adalah pemindahan arah dari ojek yang berbahaya atau beresiko pada objek yanglebih lemah tidak begitu berbahaya ayau beresiko tinggi. Arah pemindahan objek tersebut bisa tertuju pada suatu organisme seperti manusia atau benda-benda. Dicontohkan oleh Timbergen, dorongan menyerang dan melarikan diri pada seekor Stickleback jantan diarahkan pada perilaku membuat sarang (sublimasi ). Atau dorongan agresif dari seorang suami yang mengalami stres karena selalu mendapatkan omelan dan marah-marah dari pimpinannya di tempat kerja, mengarahkan dorongan agrsifnya terhadap istri dan anaknya di rumah. Hal ini dilakukan, karena istri atau anaknya dirumah. Hal ini dilakukan, karena istri atau anaknya tidaklah lebih berbahaya daripada pimpinannya. Sebaliknya, sering juga terjadi pada seorang suami yang mengalami stres karena tidak berdaya menghadapi istri yang mungkin mengalami Sindrom Delilah dirumah, kemudian melampiaskan dorongan agresifnya pada bawahannya di tempat kerja.

  1. Rantai-rantai reaksi


Selain perilaku sederhana yang merupakan respon terhadap stimulus kunci sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, Lorenz juga mengemukakan tentang adanya perilaku yang lebih kompleks. Kompleksitas dari perilaku tersebut utamanya dibentuk oleh insting yang sifatnya bawaan dan berinteraksi dengan insting yang didapat melalui proses belajar yang disebut dengan interkalasi pengkondisian insting (instict conditioning intercalation). Perilaku ini terdiri dari rangkaian-rangkaian reaksi yang disebut dengan rantai-rantai reaksi (reaction chains).

Rantai-rantai reaksi terdiri dari rangkaian tingkah laku yang sebenarnya berdiri sendiri. Maksudnya setiap mata rantai reaksi, merupakan suatu segmen aktivitas yang terdiri dari komponen enersi spesifik dengan stimulus kuncinya sendiri. Tetapi walaupun demikian, keseluruhan rantai reaksi tadi, merupakan suatu kesatuan yang munculnya berselang-seling sampai tujuan akhir dari perilaku tercapai. Ini dicontohkan oleh Timbergen perilaku kawin dari sepasang ikan stickleback.

Begitu muncul ikan stickleback betina, si jantan mengadakan attaraksi dengan menari-nari zigzag. Tarian zigzag tadi merupakan stimulus kunci yang mendorong si betina untuk menyambut dengan gerakan-gerakan yang merupakan stimulus tanda (sign stimuli) bahwa ia siap untuk bercumbu. Kesediaan bercumbu yang ditunjukkan oleh si betina tadi, menstimulasi (stimulus kunci) munculnya mata rantai berikutnya yaitu si jantan bereaksi lagi dengan  perilaku lain lagi yaitu membimbing dan mengarahkan si betina ke sarang yang sudah tersedia. Selanjutnya terbentuk rantai reaksi lanjutan yaitu si betina mengikuti dan masuk ke sarang dan kemudian si jantan membuahi dengan menggetar-getarkan badannya sebagai mata rantai yang lain lagi. Jadi munculnya si betina sampai perilaku pembuahan dari si jantan terhadap si betina, kemudian si betina bertelur, mengerami sampai telurnya menetas, merupakan rantai-rantai reaksi yang merupakan interkalasi antara faktor bawaan dan faktor belajar.

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sulit kita memahami pola perilaku dengan mekanisme rantai-rantai reaksi ini. Misalnya ada sebuah kasus yang diberitakan sebuah surat kabar, seorang gadis remaja melapor ke polisi bahwa semalam ia telah diperkosa oleh seseorang di sebuah hotel. Bagaimana kronologisnya?  Sekitar jam 19.00 sore si wanita tadi keluar dari sebuah apotik, dan menunggu kendaraan umum untuk pulang, setelah membeli obat untuk ibunya yang sedang sakit. Kemudian, ada sebuah kendaraan peribadi mengahampiri dan setelah sedikit berbasa-basi si pengendara mobil tersebut menawarkan jasa untuk mengantarkannya pulang. Dalam benak si wanita ini adalah tawaran jasa baik lumayan hitung-hitung dapat menghemat ongkos, tidak usah lama-lama menunggu kendaraan umum demi efisiensi waktu, dan si pengendara boleh juga, sopan, keren dan tampan lagi. Pokoknya okelah. Setelah di dalam mobil si pemberi jasa mulai bergerilya dengan pembicaraan yang ringa-ringan, sederhana,  sampai pada pembicaraan yang merupakan jurus rayuan. Memperhatikan respon si wanita, dalam benak si lelaki, orang  ini oke juga, lalu menawarkan bagaima kalau kita cari minum dulu. Si wanita dengan senang hati menerima tawaran tadi. Kemudian mereka sepakat untuk jalan-jalan dulu dengan kendaraan sebelum pulang. Rupanya si gadis tadi sudah mulai lupa kalau ibunya yang sedang sakit lagi menunggu obat yang ia beli di apotik tadi. Setelah melalui beberapa mata rantai reaksi yang lain, tibalah mereka di sebuah hotel, dan besok harinya si wanita melaporkan kalau ia telah diperkosa. Pertanyaannya, dalam kasus ini siapa yang harus dipersalahkan? Mungkinkah akan terjadi perilaku perkosaan tadi apabila mata rantai reaksi diputus terlebih dahulu sebelumnya? Misalnya, si wanita tidak dengan mudah menerima tawaran antaran gratis dari orang yang sama sekali belum pernah ia kenal sebelumnya? atau ketika si lelaki mulai melempar aksi rayuan gombalnya si wanita tidak menanggapi dan minta diturunkan saja? Kenapa perkosaan itu kok sampai terjadi di sebuah hotel ?

  1. Imprinting


Salah satu beentuk dari interaksi antara faktor bawaan dan faktor belajar menurut Konrad Lorenz, adalah imprinting. Menurut konsep Lorenz, imprinting adalah suatu proses sosialisasi organisme muda membentuk pengikatan dengan orang tuanya. Imprinting sebagaimana yang disebut dengan insting sementara (transitory instinct) oleh William James, adalah insting yang hanya terjadi dalam periode tertentu dalam rentang kehidupan organisme. Impriting merupakan proses sosialisasi dari organisme muda dalam bentuk kelekatan (attachement) terhadap organisme tua. Sebagai contoh, anak bebek yang baru ditetaskan berusaha untuk mengikuti kemana saja arah gerakan objek yang pertama kali dilihatnya setelah penetasan. Biasanya anak bebek mengikuti induknya tetapi apabila yang dilihat eprtama kali bukan induknya, misalnya orang, ia akan mengikuti orang tadi dan apabila yang dilihat pertama kali adalah boneka atau bola karet yang bergerak, maka objek yang akan diikutinya adalah boneka atau bola karet tadi. Kelekatan anak-anak bebek terhadap objek yang pertama kali dilihatnya tadi merupakan hasil dari proses belajar, sedangkan proses yang mengarah pada kelekatan bersifat bawaan.

Bagaimana imprinting pada manusia? Imprinting ini terjadi juga pada manusia, yang tentunya tidak seprimitif dengan apa yang terjadi pada binatang. Perilaku yang berkaitan dengan imprinting ini dapat dilihat dari perilaku bayi pada babysitter nya. Ia akan lebih lekat pada baby sitter nya dibandingkan dengan ibunya sendiri sekalipun yang pertama kali dilihatnya adalah ibunya dan ia juga mendapatkan ASI dari ibunya. Ini terjadi  karena sebagian besar waktunya digunakan untuk berinteraksi dengan baby sitter tadi. Apalagi ia tidak mendapatkan  ASI dari ibunya dan ibunya tidak cukup waktu untuk berinteraksi dengan bayi tadi.

 Teori Lorenz dan Timbergen yang dikenal dengan teori insting moderen, juga tidak terlepas dari kritik dari banyak ahli yang lain, seperti halnya yang ditujukan pada teori insting lama dari Williams James dan Williams McDougall, yaitu tidak adanya pemisahan yang jelas yang mana tingkah laku instingtif yang sifatnya bawaan dan yang mana tingkah laku yang didapat melalui proses belajar.  Teori-teori insting ini terlalu menyederhanakan semua tingkah laku dengan menganggap semua tingkah laku sifatnya bawaan. Padahal semua  tingkah laku dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor bawaan dan faktor lingkungan. Dicontohkan, bagaimana pola respon mematuk dari burung camar yang berubah menjadi lebih akurat dan lebih efisien melalui pengaman dalam proses perkembangannya. Hal ini terjadi pola pada anak ayam yang berkembang menjadi lebih akurat dan efisien dan lebih mengarah pada objek khusus yang berkaitan dengan kebutuhannya seiring dengan semakin meningkatnya kedewasaannya.

Kritik lain terhadap teori Lorenz dan Timbergen ini ialah tentang konsep energi sehubungan dengan tingkah laku pemindahan objek (displecement) dan aktivitas vakum yang dianggapnya sebagai luapan enersi yang ada dalam organisme. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian terdahulu, bahwa aktivitas vakum terjadi karena tekanan enersi yang cukup kuat untuk membuka katup mekanisme pemicu bawaan, sekalipun tanpa kehadiran stimulus kunci. Mengenai pemindahan objek dan aktivitas vakum, sebetulnya dapat diterangkan berdasarkan suatu asumsi akan adanya sejumlah kemungkinan respon terhadap suatu stimulus yang dapat muncul secara hirarkis. Dari sejumlah kemungkinan respon tadi, ada beberapa atau salah satu di antaranya lebih dahulu mendapatkan kesempatan untuk muncul. Jadi tingkah laku pemindahan objek dan aktivitas vakum lebih merupakan suatu respon yang mendapatkan kesempatan muncul terlebih dahulu di antara kemungkinan-kemungkinan respon yang lain, dibandingkan dengan sekedar percikan dari akumulasi enersi dalam organisme.

PUSTAKA

Buck, R. 1988. Human Motivation and Emotion, 2th Edition, New York:John Wiley & Sons

Harrison, Thomas L., 2008, Misteri Insting Manusia, Cetakan 1, Yogyakarta: Diva Press Group

Koeswara, E., 1989, Motivasi: Teori dan Penelitiannya, Bandung: Angkasa

Olson, Matthew H. dan Hergenhahn, B.R., 2013, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Petri, Herbert L., 1981, Motivation: Theory and Research, California: Wadsworth, Inc.

Puspitoreni, Ira, 2002, Psikoanalisis Sigmund Freud,Yogyakarta: Ikon Teralitera

Reber, Arthur S., dan Emily, 2010, Kamus Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Weiten, Wayne. 2008. Psychology Themes and Variations Briefer Version 8th edition. Wadsworth: Cengange Learning.

Yuwono, Ino dkk.2005. Psikologi Industri dan Organisasi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.