Minggu, 30 November 2014

MEDIA MASSA SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI POLITIK

Setelah melihat, mengamati serta menjalani perpolitikan yang ada di Republik ini sejak Orde Baru hinggga Reformasi maka pihak manakah yang bertanggung jawab dalam menggiatkan komunikasi politik dalam suatu sisitem politik yang sehat ? Pertama-tama tentu saja partai-partai politik. Lalu baru diikuti dengan media-media lain, dalam hal ini adalah media massa entah berupa media cetak maupun media elektronik.

Apakah partai-partai politik sudah melakukan atau melaksanakan fungsinya dalam komunikasi politik selama masa Orde Baru ? Bukan pada masalah kuantitatif atau jumlah tetapi lebih terletak pada soal kualitatif atau mutu menyangkut seperti apa isi komunikasi politik tersebut. Lantas pertanyaan kedua, sejauh mana peran media massa dalam kredilibilitasnya sebagai media komunikasi politik di mata masyarakat ? Dalam artikel ini kami ingin melontarkan hipotesis atau asumsi bahwa persoalan kualitatif dari peran media massa menjadi media komunikasi politik yang paling urgen dalam dunia perpolitikan.

Media massa sebagai sarana komunikasi bagi masyarakat luas tentang berbagai hal; soal pengetahuan dan teknologi, tentang perkembangan situasi dan kondisi serta sebagai sarana komunikasi politik itu sendiri. Media massa yang kita kenal berupa media cetak maupun media elektronik. Media masa ada yang bersifat lokal tapi ada juga yang nasional dan internasional.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai media komunikasi bagi masyarakat maka media massa juga telah merasul untuk menciptakan peradaban manusia dalam hal ini berbudaya. Berbagai hal dari daerah lain diberitakan atau disiarkan sehingga selain sebagai hiburan juga pendidikan atau pengetahuan bagu masyarakat luas. Maka peran media massa sebagai media komunikasi sangatlah urgen dalam kehidupan suatu bangsa.

Betapa berperannya media massa dan proses pembudayaan masyarakat Indonesia maka media massa hendaknya diberi ruang geraknya sendiri tanpa adanya intervensi atau penggunaan kekuasaan tertentu untuk mencabut atau memblokir media tertentu. Asalkan pemberitaan itu masih dalam taraf yang normal, bukannya seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.

Dalam tataran ontologis, bahasa sebagai alat untuk mengetahui segala sesuatu yang ada, teramsuk juga politik. Maka semakin disadari bahwa bahasa adalah produk zaman. Komulasi ekspresi kebudayaan atau “wakil’ sebuah kekuasaan.

Di era Orde Baru, jelas terlihat bahwa bahasa menjadi wakil dari kekuasaan. Misalkan para anggota Kabinet, Wakil Rakyat di DPR atau anggota partai politik lain harus tunduk pada yang berkuasa bila ingin eksis di posisinya. Maka disini yang mengalami akibatnya adalah media massa. Sehingga mereka menciptakan apa yang dinamakan praktek eufemisme.

Fakta bahwa ilmu politik tidak hanya melihat bahasa semata-mata sebagai ‘alat’. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa bahasa adalah produk suatu zaman atau kebudayaan atau kekuasaan. Lalu bahasa dilihat sebagai paradigama. Sehingga dapat kita katakan bukan lagi manusia yang menggunakan bahasa tetapi bahasa yang menggunakan manusia. Dalam artian bahwa bahasalah yang melingkupi juga menentukan hidup manusia.

Komunikasi politik dari partai-partai umumnya mendapat dua gejala yang jelas. Pertama, orang yang duduk dalam struktur partai adalah mereka yang telah direstui oleh pemerintah. Maka dengan sendirinya harus menjadi orang pemerintah. Kedua, mereka yang semula adalah orang kritis tetapi harus terperangkap dalam eufemisme yang tidak langsung dan menghaluskan berbagai hal yang dianggap tidak pantas dan tidak layak ketika menyampaikan aspirasi.

Sementara itu media massa pun tak mampu berbuat banyak. Media massa hanya diam membungkam demi eksisnya media itu atau bahkan tak punya nyali sama sekali bila berhadapan dengan pemerintah yang berkuasa sehingga media yang seharusnya menjadi sarana komunikasi politik bagi masyarakat tidak bisa berjalan. Tetapi semua situasi ini berubah ketika di tahun 1997 terjadi reformasi yang dipimpin para mahasiswa. Perlahan media massa mengambil peran aktif sebagai media kominikasi. Medias massa secara bebas untuk meliput juga untuk menyiarkan berbagai berita kepada kalayak ramai. Sehingga sejak reformasi media massa dapat menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi dengan baik.

Politik adalah sarana membela kehidupan. Politik adalah syarat yang memungkinkan kehidupan. Politik adalah semua usaha yang ditujukan untuk mencapai keteraturan dalam masyarakat.politik menyagkut kesejahteraan umum, menyangkut perbaikan demi kepentingan umum. Maka politik adalah wajib karena manusia adalah zoon politicon atau makhluk berpolitik. Sebagai makhluk berpolitik maka dalam kehidupannya bersama orang lain harus selalu mengusahakan kesejahteraan bersama. Itu berarti politik adalah pengelolahan kehidupan umum, pengelolaan kehidupan bersama. Politik menyangkut semua tujuan dari masyarakat, kepentingan seluruh masyarakat, kepentingan umum dan bukan golongan.

Politik juga adalah pengujian ketangkasan, kepekaan serta keberanian guna memanfaatkan berbagai kemungkinan dalam mewujudkan satu tujuan yang dapat membawa dampak umum. Politik sebagai usaha bersama untuk mencapai kesejahteraan umum bagi masyarakat beserta anggotanya sebagai bagian dari kesejahteraan dunia. (sebuah catatan MAPENTA Pemuda Katolik, 2006 di Paroki Bolan).

Tujuan politik adalah bonum communae atau kebaikan bersama. Dalam kegiatan bersama akan muncul berbagai kemungkinan dan alternatif, sehingga politik adalah making voice among alternative.

Kalau politik begitu mulia dan luhur dengan tujuannya maka mengapa orang selalu memberi label kepada politik sebagai sesuatu yang jelek, jahat, kotor, licik bahkan berbahaya sehingga kalau ada yang terlibat harus dicegat ? Bukankah sebaliknya politik itu, indah, menarik, asyik dan mempesona? Sebab kebijakan yang diambil dalam tataran politik mutlak berakar dalam kepribadian. Bermuara dalam moral individu. Sehingga kebijaksanaan adalah sungai keadilan bukan diskriminasi, kesejahteraan dan bukan kemiskinan atau kebebasan dan bukan penindasan. Sehingga politik melahirkan demokrasi dan bukan democrazy. Sebab demokrasi bukan hadiah tetapi hasil kesabaran, ketekunan dan ketelatenan.

Oscar Romero berujar, kedamaian bukan produk teror dan ketakutan, bukan suasana tenang dengan banyak mayat di kuburan, bukan pula suasana sunyi oleh penindasan tak terperi. Kedamaian adalah jiwa murah hati. Kedamaian adalah ketenangan milik semua demi kebaikan, siapa saja terjamin martabat luhurnya. Setiap manusia adalah tempat kehadiran Allah memancarkan sinar ilahi. Inilah dampak dari politik yang diperankan manusia karena ia sendiri adalah makhluk politik. Sehingga bonum communae sebagai impian setiap orang yang menjadi warga ibu pertiwi ini.

Bagaimana setiap orang bisa menyadari hak dan kewajiban sebagai anak bangsa ? Maka media massa harus diberi peran untuk mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Media massa hendaknya diberi kebebasan untuk menyampaikan segala informasi sehingga semua orang tahu apa dan bagaimana hak dan kewajibannya dalam pembangunan negeri ini.

RITUAL FUA PAH: ALAM SEPAGAI RUANG PENGALAMAN AKAN YANG TRANSENDEN

I. Pendahuluan
Salah satu karakteristik dari suku Dawan adalah demikian banyaknya ritus keagamaan ‘asli’ yang menandai setiap kegiatan hidup mereka, sekalipun mayoritas orang Dawan sudah memeluk agama Kristiani. Karena itulah masyarakat Dawan disebut oleh Valens Boy (1986: 15-23) sebagai “masyarakat ritual”. Salah satu tradisi ritus agraris yang masih hidup dan terus dikembangkan dalam masyarakat Dawan sampai sekarang ini adalah Tradisi Fua Pah, sebuah tradisi pemujaan terhadap Uis Pah yang dilaksanakan di tempat-tempat tertentu seperti di pohon-pohon, sumber air dan bukit atau gunung batu. Uis Pah ini diyakini bertempat tinggal di pohon-pohon, batu-batu besar, sungai-sungai, serta tempat-tempat tertentu di sekitar kediaman manusia. Untuk mengambil hati dan menghindari kemarahan Uis Pah, masyarakat Dawan seringkali memberikan berbagai korban persembahan dalam upacara adat yang disebut Fua Pah. Upacara Fua Pah merupakan sebuah tradisi pemujaan kepada Uis Pah (Raja Dunia, Sang Penguasa Tanah) dengan cara memberikan sesaji berupa hewan korban.
Fua Pah merupakan salah satu ritus yang didasarkan pada kepercayaan atau religi lokal masyarakat Dawan yang memiliki berbagai makna simbolis. Tradisi pemujaan Fua Pah sampai sekarang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat Dawan. Sebagai sebuah sistem simbol, tradisi ini memuat berbagai makna yang penting bagi masyarakat pendukungnya.

II. Religi Lokal
Tak dapat diragukan bahwa lingkungan budaya tempat tinggal manusia sangat menentukan bentuk, wujud dan tingkatan kepercayaan/agama manusia. Agama merupakan suatu sistem simbol yang dibentuk dan membentuk suatu konsensus bagi makna lambang-lambang dan makna dunia ini, dan yang mengacu kepada kekuatan-kekuatan adikodrati (supranatural), entah kekuatan itu dipersonifikasi atau tidak (Sudarmanto, 1987: 15).
Manusia tradisional pada umumnya melaksanakan kegiatan-kegiatan kultisnya dengan maksud mencapai suatu tujuan tertentu, atau berpamrih. Mereka senantiasa memiliki alasan untuk pembenaran suatu pemujaan, misalnya untuk mencegah kemandulan wanita, menjamin kesuburan ladang, memastikan hujan yang cukup, dan sebagainya (Dhavamony, 1995: 54). Dalam masyarakat tradisional, praktik-praktik ritual atau kultis dilaksanakan dengan pemberian persembahan atau sesajian, mulai dari bentuk-bentuk sederhana seperti persembahan buah-buahan pertama yang diletakkan di hutan atau di ladang, sampai kepada bentuk persembahan yang lebih kompleks di tempat-tempat suci atau umum (Dhavamony, 1995: 168).
Masyarakat Dawan memuja Uis Neno yang berarti Tuhan Langit. Uis Neno ini digambarkan sebagai apinat-aklabat atau ‘yang bernyala dan membara’, dan afinit-amnanut yang artinya ‘yang tertinggi dan mengatasi segala sesuatu’. Uis Neno juga dipercaya sebagai pemberi manikin-Oetene atau ‘kesejukan dan kedinginan’. Dialah pemberi tetus ma nit ‘keadilan dan kebenaran’. Di samping itu dia dianggap sebagai dewa kesuburan yang mengatur musim, memberi padi dan jagung serta mengatur alam. Uis Neno berperan pula sebagai abaot-afatist artinya ‘yang memberi makan dan mengasuh kita’, amo’et-apaket artinya ‘yang membuat dan yang mengukir’. Akan tetapi Uis Neno juga dipercaya dapat mendatangkan kemarau panjang yang mengakibatkan tanaman mati dan dapat juga mendatangkan hama penyakit atas tanaman dan ternak serta atas diri manusia. Ilustrasi ini memperlihatkan bahwa Uis Neno merupakan sang pencipta, sang penyelenggara, dan maha kuasa Uis Neno dipercaya memiliki dua wujud, yakni Uis Neno Mnanu artinya “Tuhan Yang Tinggi” dan Uis Neno Pala atau “Tuhan Yang Dekat atau Pendek”. Akan tetapi, keduanya masih diklasifikasikan sebagai Tuhan Langit (Valens Boy dalam Mubyarto, 1991: 152-153).
Selain Tuhan Langit, masyarakat Dawan juga mengakui adanya Tuhan Bumi atau Penguasa Alam Semesta. Tuhan Bumi ini disebut Pah Tuaf atau Uis Pah. (Pah artinya bumi, dunia, atau alam). Uis Neno dan Uis Pah diakui membentuk kekuatan ilahi, namun superioritas Uis Neno tetap nyata. Keduanya memang berbeda, dan mempunyai eksistensinya masing-masing akan tetapi satu sama lain tidak dapat dipisahkan.Uis Pah dianggap sebagai pembawa ketakberuntungan dan malapetaka bagi manusia. Oleh karena itu manusia harus berusaha mengambil hati mereka dengan upacara-upacara ritual. Bersama Pah Nitu (roh atau dunia orang mati) Uis Pah diyakini meraja di dunia dan tinggal di hutan, batu-batu karang, mata air, pohon-pohon besar dan gunung-gunung.
Masyarakat Dawan percaya pada Pah Nitu yaitu arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia. Arwah-arwah ini memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena mereka seringkali dijadikan penghubung atau perantara antara manusia dengan Uis Neno. Mereka percaya juga pada Uis Leu yakni raja yang kudus, Tuhan yang haram, yang biasanya dikaitkan dengan Uis Neno.

III. Ritual Pertanian Masyarakat Dawan
Tradisi Fua Pah merupakan sebuah tradisi yang khas dalam alam kebudayaan pertanian tradisional. Ritus pemberian korban sebagai persembahan kepada Uis Pah itu senantiasa dilaksanakan pada enam tahapan kegiatan pertanian, mulai dari membuka kebun baru sampai dengan tahap menuai, memetik hasil kebun dan mengucapkan syukur kepada Uis Neno atas panen melimpah. Keenam tahap itu adalah: (1) tahap menebas hutan (lef nono//tafek hau ana), (2) tahap membakar hutan (polo nopo//sifo nopo), (3) tahap menanam (lef boen no’o), tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), (4) tahap panenan perdana (tasana mate), (5) tahap panenan berakhir (tnibun bola’if ma aen tauf.
Catatan penting yang perlu dibuat dalam kaitannya dengan tradisi Fua Pah ini bahwa pemujaan, persembahan dan harapan masyarakat Dawan ternyata bukanlah tertuju kepada Sang Uis Pah seorang, melainkan kepada leluhur (Pah Nitu), Uis Pah, dan Uis Neno. Bahkan dapat dikatakan bahwa secara gradual, subjek dan objek kepercayaan tertinggi masyarakat Dawan justru adalah Uis Neno, sang Tuhan Seru Sekalian Alam. Jadi, sekalipun rangkaian ritual tersebut dikenal dengan nama Fua Pah yang berarti ‘persembahan kepada Uis Pah’, objek sekaligus subjek persembahan mereka adalah ketiga kekuatan ilahi tersebut.
Mengikuti pembagian Dhavamony (1995: 175-176) mengenai lima macam ritual seperti telah diungkapkan di muka, maka upacara dan tindakan-tindakan ritual dalam tradisi Fua Pah dapat dikategorikan ke dalam empat fungsi. Fungsi-fungsi ini berkaitan erat dengan alasan-alasan mitis yang melatar-belakanginya. Penjelasan ini sekaligus mengungkapkan fungsi ritus Fua Pah bagi masyarakat Dawan.
(1) Fungsi Magis. Fungsi magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan dalam upacara ritual Fua Pah yang bekerja karena daya-daya mistis. Unsur ini berkaitan dengan pelaksanaan ‘ramalan’ melalui hati hewan kurban. Tindakan ini jelas merupakan sebuah tindakan magis, melalui mana manusia dapat mengetahui kehendak ilahi (Uis Pah maupun Uis Neno). Lebih lanjut, ritus Fua Pah bermaksud mempengaruhi kekuatan ilahi melalui rangkaian puisi ritual tonis, agar tidak mengganggu dan merusak tanaman.
(2) Fungsi Religius. Pelaksanaan rangkaian ritus Fua Pah dapat dikategorikan pula sebagai sebuah tindakan religius yang jelas bersifat kreatif dan berdimensi sosial. Dalam pelaksanaan ritus Fua Pah, masyarakat suku berkumpul bersama dan secara kreatif melaksanakan upacara itu demi kepentingan bersama seluruh anggota suku pula. Jika kultus para leluhur, yang juga bekerja dengan cara ini dikategorikan sebagai tindakan religius, maka Fua Pah jelas memiliki fungsi religius dan simbol religi lokal masyarakat Dawan. Jika diungkapkan secara radikal (sampai ke akar-akarnya), maka pelaksanaan ritus Fua Pah akan bermuara kepada kepasrahan pada Uis Neno, sang Tuhan Seru Sekalian Alam.
(3) Fungsi Faktitif. Fungsi faktitif berkaitan dengan meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritus Fua Pah jelas merupakan suatu tindakan faktitif dengan motivasi meningkatkan kesejahteraan material anggota suku. Dia tidak saja mewujudkan korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka.
(4) Fungsi Intensifikasi. Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan dan panenan. Pelaksanaan ritus Fua Pah terutama dilandasi oleh motivasi intensifikasi, karena masyarakat menginginkan panenan berhasil.

IV. Unsur-unsur Animisme
Kaum evolusionis umumnya memandang animisme sebagai prototipe atau cikal bakal munculnya agama. Animisme, sebagaimana digunakan dan dimengerti E. B. Tylor adalah suatu sistem kepercayaan dimana manusia religius beranggapan bahwa manusia, semua makhluk hidup dan benda mati memiliki jiwa (Dhavamony, 1995: 66). Sebuah bentuk religi awal, yang untuk sebagian besar tampaknya masih dihayati oleh kelompok-kelompok etnis di berbagai belahan dunia, adalah kepercayaan dan praktik berkenaan dengan leluhur. Bentuk pemujaan leluhur ini mengandaikan bahwa leluhur yang telah meninggal, khususnya dalam hubungan kekeluargaan, sebenarnya masih hidup dalam wujud yang efektif dan bisa ikut campur tangan dalam kehidupan manusia (Dhavamony, 1995: 79). Dengan demikian, manusia perlu menenangkan atau mengembangkan kesejahteraan leluhur yang telah meninggal.
Animisme merupakan sistem kepercayaan dimana orang membubuhkan jiwa pada manusia dan juga pada semua makluk hidup dan benda mati. Ide tentang kekekalan jiwa memunculkan upacara untuk orang mati, terutama dalam bentuk pemujaan leluhur. Dhavamony (1995: 67) menegaskan bahwa animisme merupakan sebuah fenomena religius yang bersifat universal, artinya terdapat dalam semua agama. Animisme dapat dipahami sebagai kepercayaan kepada makluk-makhluk adikodrati yang dipersonalisasikan. Manifestasinya adalah dari Roh yang Mahatinggi hingga roh halus, roh leluhur, dan roh dalam objek-objek alam.
Dengan gambaran seperti ini, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur animisme untuk sebagian masih hidup dalam tradisi Fua Pah. Tradisi ini dilaksanakan atas dasar pandangan bahwa hutan, pohon, tumbuhan, tanah, banjir, burung, angin, dan ular-biludak memiliki ‘anima’ atau jiwa. Membabat dan membakar hutan akan melukai ‘jiwa’ hutan dan bumi ini dan dapat mendatangkan murka Uis Pah. Memberikan makanan, minuman, dan menyajikan sirih pinang kepada batu-batu dan pohon-pohon besar memang terkesan sebagai sebuah praktik kepercayaan animisme.
Paham animisme itu terlihat, ketika kita menyaksikan orang Dawan menyebut bermacam-macam roh, misalnya (1) roh yang berhubungan dengan manusia, yakni roh leluhur, roh jahat dari orang-orang yang meninggal dalam kondisi yang tidak wajar yang secara umum disebut Pah Nitu. (2) roh yang berhubungan dengan kekuatan alam, seperti angin, kilat, banjir yang selalu dikaitkan dengan Uis Pah.
Dalam pandangan orang Dawan sekarang, ‘anima’ itu sesungguhnya bukanlah milik benda alam itu per se, seolah-olah batu dan pohon yang diberi sesaji itu memiliki jiwa. Mungkin saja pola pandangan seperti ini sudah dipengaruhi oleh hadirnya agama-agama modern di sana. Akan tetapi kini diyakini bahwa benda-benda alam tersebut hanyalah dijiwai oleh kekuatan ilahi Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah dan Uis Neno itulah yang dipercaya sebagai penguasa alam semesta ini. Pandangan ini mempermudah masyarakat suku Dawan ‘menangani’ gangguan alam ini, karena sasaran dan tujuan pemberian persembahan hanya disampaikan kepada Uis Pah. Sekalipun demikian, patut diduga bahwa pandangan ‘baru’ ini sesungguhnya memiliki dasar anismitis.
Perlu disadari bahwa praktik ritual Fua Pah tidak hanya bersifat individual dan manipulatif. Ciri individual dan manipulatif ini merupakan ciri magi. Ritual Fua Pah ternyata memiliki ciri juga sebagai ‘agama’, karena bersifat sosial, ekspresif, dan simbolis. Setiap kali dilaksanakan upacara Fua Pah, anggota-anggota suku hadir secara lengkap, demnikian pula leluhur yang diundang semuanya secara lengkap. Dalam kegiatan ini, mereka sungguh-sungguh mengekspresikan keinginan, harapan, dan kerinduan mereka yang paling mendalam. Hasil panen memang menyangkut keberadaan manusia di dunia. Ritus ini, yang disertai pula dengan puisi-puisi ritual, memiliki simbol-simbol yang penuh makna. Tindakan ritual dan gaya bahasa yang digunakan dalam puisi lisan tonis memperlihatkan bahwa Fua Pah sesungguhnya sebuah praktik kepercayaan religi lokal.

V. Penutup
Masyarakat Dawan merupakan masyarakat yang secara tradisional memiliki bakat-bakat religius. Sebagai masyarakat petani dengan lingkungan alam yang kering dan tandus, yang senantiasa hidup dalam kondisi sub-sisten, orang Dawan percaya sepenuhnya pada kekuatan dan campur tangan roh-roh ilahi, yakni: Pah Nitu, Uis Pah dan Uis Neno. Mereka membedakan kekuatan-kekuatan yang mendatangkan kebaikan (Uis Neno) dan bencana (Uis Pah), serta adanya kekuatan perantara (Pah Nitu).
Berdasarkan seluruh uraian di atas, berikut ini akan dikemukakan beberapa simpulan.
(1) Masyarakat Dawan adalah masyarakat ritual yang memiliki begitu banyak tradisi ritual dalam berbagai fase kehidupan manusia. Sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan hidup masyarakat Dawan yang umumnya merupakan petani subsisten ladang kering dengan sistem ‘tebas-bakar,’ ritus Fua Pah diciptakan sebagai cara mereka menyiasati alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat. Dalam setiap rangkaian upacara pertanian sesuai dengan saat-saat kritis pertumbuhan tanaman, yakni: tahap menebas hutan, tahap membakar hutan, tahap menanam, tahap pertumbuhan padi, tahap panen perdana, dan tahap panen akhir, mereka melaksanakan upacara korban Fua Pah.
(2) Secara gradual, pusat dan inti terdalam kepercayaan dan praktik penyembahan mereka adalah Uis Neno, Tuhan Yang Terang, Tuhan Seru Sekalian Alam, Tuhan yang sempurna. Inilah pula inti dari kepercayaan lokal masyarakat Dawan. Ritus Fua Pah memperlihatkan pula adanya interaksi yang sangat erat antara tradisi sastra lisan dan religi lokal.

Dari Persahabatan Menuju Matahari

Persahabatan itu indah, asyik dan membahagiakan. Dengan sahabat suka dan duka dilalui bersama. Kadang menghadirkan dalam satu paket cinta dan benci sekalian. Asyik seperti Nano-Nano, manis asem asin, rame rasanya, nikmat ramenya.
Dalam persahabatan sering pula muncul pihak ketiga yang dapat menghancurkan. Ketidak percayaan, saling curiga, persaingan tertutup yang menghantar pada sikap saling membenci dll. Sekalipun persahabatan menghendaki kita tulus seperti merpati, kita pun harus licik seperti ular. Semuanya kita kolaborasikan dalam satu hidangan campur sari agar persahabatan itu jangan hancur.
Lalu apa tujuan persahabatan? Dalam persahabatan kita mengejar matahari kehidupan. Tetapii kadang ada yang menjadi korban. Kadang kita salah arah, terpesona pada pelangi, lalu tanpa sadar kita berhenti mengejar matahari. Dengan tawa dan tangis, derita dan gembira, keringat dan air mata, kita berjuang mempertahankan persahabatan. Selalu ada celah yang membuat kita menuju ambang kehancuran, tetapi dengan itu kita menguji diri kita, menguji persahabatan kita.
Perjuangan mengejar matahari akan membuat kita jauh, bahkan satu persatu sahabat kita akan pergi. Sampai saatnya kita akan menemukan bahwa kitalah matahari itu. Sebaik apapun persahabatan, kita harus menjadi diri kita sendiri. Matahari itu adalah kita, bagaimana kita terbit, memberi cahaya, keindahan dan kehangatan, untuk diri kita dan untuk orang lain.

Kita Mesti Telanjang



Dalam keberadaan-Nya yang agung, Allah merencanakan karya ajaib yang kita kenal dengan sebutan semesta, dan manusia menjadi puncak karya yang agung itu. Diawali dengan segumpal tanah, dan dari tanah itu dibentuk-Nya manusia, lalu dijadikan-Nya hidup dengan meniupkan nafas hidup ke dalam diri manusia. Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan menurut citra-Nya. Tidak sebatas itu, manusia lantas ditempatkan Allah dalam suatu situasi serba aman, terjamin di tengah taman Eden, dan dipenuhi segala kebutuhannya. Satu hal lagi, manusia itu, laki-laki dan perempuan yang diciptakan Allah itu dalam keadaan telanjang tetapi tidak merasa malu. Alasannya sederhana, semua ciptaan baik adanya.

Meskipun sederhana ketelanjangan mengandung suatu kedalaman makna. Ketelanjangan menunjukkan originalitas dan otentisitas. Manusia itu, laki-laki dan perempuan, tampil sebagaimana adanya mereka. Manusia merasa dekat satu sama lain tanpa batasan, manusia juga dekat dengan Allah penciptanya tanpa jarak. Situasi Eden ini merupakan gambaran ideal suatu relasi harmonis antara Allah dan ciptaan-Nya, manusia dengan sesamanya, juga manusia dengan ciptaan yang lain. Manusia diciptakan  sebagai  makhluk yang  agung dan luhur, karena  diciptakan menurut  citra Allah. Sejak diciptakan Tuhan Allah telah memberinya tugas untuk memancarkan dan menjadi  penyaksi kasih Allah bagi dunia.

Keharmonisan Eden menjadi retak kala manusia tergoda mengikuti bujukan licik ular dan memakan buah terlarang untuk menyamai Allah. Setelah memakan buah terlarang, terbukalah mata mereka dan mereka sadar bahwa mereka telanjang. Kesadaran baru akan kondisi dan situasi ini membuat manusia merasa malu satu sama lain, mengambil dedaunan seadanya dan menyematnya sebagai pakaian penutup tubuh mereka. Situasi menjadi semakin rumit ketika langkah Allah terdengar mendekati mereka. Manusia menjadi panik, takut dan malu lalu bersembunyi dari hadapan Allah penciptanya.

Babak baru kehidupan manusia pun dimulai. Manusia mulai mengambil jarak satu sama lain, manusia juga mulai menutup dirinya terhadap  Allah, dan tanah dikutuk. Dosa pertama lantas menurunkan dosa berikut, akibatnya manusia kehilangan Eden, mereka diusir keluar dari keterjaminan dan kemapanan. Manusia mesti berjuang untuk tetap hidup. Manusia mesti berjuang untuk kembali mendapatkan kemurahan hati Allah dan dikembalikan ke Eden.

Kehilangan dan perjuangan mendapatkan kembali Eden secara turun-temurun diwariskan kepada kita. Kita  yang hidup pada zaman ini pun tidak terlepas dari dosa  Adam yang tidak mematuhi perintah Allah dan menolak  kasih Allah. Sikap tak tahan godaan dari Adam dan Hawa terus diwariskan kepada kita, kehilangan kekudusan dan keadaan asli. Akibatnya kita mengalami alienasi, terasing dengan diri sendiri, dengan Allah dan juga dengan sesamanya. Parahnya, keterasingan ini membuat kita mencari jalan lain untuk menutupi keadaan kita. Kita mendirikan tembok-tembok pemisah, merancang pakaian-pakaian sikap yang menutup akses tawaran keselamatan yang diberikan kepada kita.

Secara eksistensial, sikap bersembunyi dari hadapan Tuhan yang dilakukan Adam dan Hawa menunjukkan kesadaran baru sebagai makhluk ciptaan yang kehilangan kehormatan karena ulahnya sendiri. Selanjutnya dari segi cultural dan sosio-antropologis sikap menyemat dedaunan sebagai penutup tubuh menunjukkan upaya manusia yang mencari jalan untuk kembali memperoleh kehormatan di hadapan Tuhan. Intinya bahwa manusia itu sungguh berbudaya saat ia mulai mengenal nilai kebaikan dan keburukan. Pakaian menjadi pelindung, pelindung hanya digunakan untuk menjaga sesuatu yang berharga, dan yang berharga itu adalah dirinya. Pakaian juga mengindikasikan adanya suatu ruang privat yang tidak boleh dimasuki, apalagi dikuasai pihak lain. Pakaian juga berkaitan dengan martabat dan harga diri. Dengan demikian berpakaian bagi manusia menunjukkan suatu sikap. Pertanyaannya, bagaimana jika sikap juga merupakan pakaian yang kita kenakan?

Pakaian kesombongan, tidak puas-diri, ketertutupan dan saling curiga serta banyak sikap negatif masih kita warisi. Pakaian caci maki dan sumpah serapah, pakaian gossip, pakaian mabuk-mabukan, pakaian free seks dan aborsi, pakaian kekerasan dalam rumah tangga dan trafficking, pakaian kemalasan dan masih banyak pakaian lain yang kita kenakan. Bahkan seiring berjalannya waktu dan berubahnya zaman, sikap negatif ini hadir dengan varian-variannya yang lebih baru. Lihat saja industry-industry hiburan yang juga berperan menjadi garmen dan butik yang memroduksi pakaian konsumerisme, pola hidup instan, kekerasan dan pornografi. Keaslian manusia mulai banyak dimanipulasi, manusia kehilangan jati diri sebagai gambaran Allah, kehilangan nilai sebagai ciptaan yang baik adanya. Kita semakin jauh meninggalkan Eden.

Walaupun demikian Allah kita adalah Allah yang penuh kasih. Sejarah penyelamatan Allah atas umat manusia adalah satu kenyataan factual-imanen yang tidak terbantahkan. Allah-lah yang menjadi promotor bagi keselamatan umat manusia. Peristiwa di Taman Eden sebenarnya menandai hubungan yang mulai renggang antara Allah dan manusia. Namun peristiwa ini tidak lantas membuat Allah menjauh dari manusia tapi membangun perjumpaan kembali dengan manusia. Sekalipun manusia bersembunyi, Allah tetap berupaya mencarinya. Tawaran selalu diberikan kepada kita, dan sebagaimana anugerah kebebasan diberikan kepada kita saat penciptaan, sekarang pun Ia masih terus menghargai kebebasan itu. Bagi kita diberinya pilihan, menerima atau menolak cinta dan keselamatan yang ditawarkan kepada kita. Ia tak pernah berhenti memanggil kita untuk kembali ke Eden yang telah kita tinggalkan. Bahkan itu tak cukup, Ia lantas datang dan mencari kita, berjalan bersama kita sambil terus menunjukkan jalan mana yang harus kita tempuh menuju Eden keselamatan.

Yang Wajib Dalam Hidup Adalah Bersyukur



Manusia selalu hidup dalam dua kenyataan. Maksudnya ada kenyataan bahagia dan ada kenyataan susah. Kalau ada yang bilang tidak; berarti dia bukan manusia. Entah bagaimana kita biasa ada di dunia ini, kita tidak tahu, tetapi mangalami bahagia dan susahnya hidup di dunia ini kita bisa pahami dengan baik. Ketika bahagia, batin kita penuh nyanyian syukur, terima kasih Tuhan Engkau mengadakan saya di dunia ini. Tetapi ketika mengalami susah, entah akibat siapa dan apa saja, air mata bisa membentuk anakan sungai dengan aliran kata-kata kekecewaan berikut: saya tidak pernah menuntut untuk dilahirkan. Apakah benar, pada awalnya manusia tidak menghendaki kelahirannya?

            Hidup semata-mata hanyalah sebuah anugerah. Angerah istimewa. Sebenarnya kita tak perlu menyesal telah mempunyainya. Karena anugareh, maka kita, sepatutnya hanya memiliki satu rasa yakni rasa syukur. Alamat semua nyanyian syukur kita hanya satu pula yakni Sang Pemberi dan Pemilik kehidupan itu sendiri.

Dengan mengatakan hal di atas, saya mau menandaskan bahwa rasa dan ungkapan syukur kita, pertama-pertama haruslah demi hidup yang kita jalani sekarang di dunia ini. Namun tak dapat dipungkiri bahwa aneka pengalaman yang secara silih berganti datang menghampiri kita sering membuat kita untuk memilah-milah, pengalaman mana yang harus disyukuri dan mana yang harus dikutuki. Tak sulit manusia menyatakan syukur atas peristiwa-peristiwa yang manis dan membuat hati senang, tetapi akan sangat sulit, hadir kata syukur bila peristiwa-peristiwa yang teralami itu pahit dan duka. Pengalaman hidup yang kita alami itu hanyalah bagai musim, tetapi hidup itu tetap. Kitab Ayub, 2:10b mencatat: jika kita menerima kemujuran dari tangan Tuhan, apa sebabnya kita mau menolak kemalangan?

Rasul Petrus dalam pewartaannya, selalu menekankan kepada jemaatnya untuk tak henti-hentinya bersyukur. Rasa syukur adalah sebuah tanda keberimanan. Terlebih lagi jika dalam situasi sesulit apapun orang tetap bersyukur kepada Allahnya. Bergembiralah sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berduka cita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu  ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu,(Ptr, 1:6-7a).

Bersyukur untuk orang kristiani tak bisa dipisahkan dari khazanah imannya. Orang yang memiliki iman seluruh pengalaman hidupnya, entah senang entah susah, terbingkai selalu dalam satu rangkaian nada syukur. Namun fenomen edan sekarang menggirng manusia ke suatu perlombaan ajang syukuran dengan motif lain yakni hanya demi prestise. Syukur yang sebenarnya adalah sebuah perasaan batiniah yang suci mulai diracuni dengan paham ekonomis. Kalau sudah begini syukur hanyalah milik mereka yang berpunya dan berkelebihan. Jika demikian, apakah gunanya kita bersyukur? Tidak cukup bila syukur kita hanya mencakup tatanan horizontal, hanya melayani kemanusiaan kita belaka tetapi alamat yang sebenarnya dituju justeru tak sampai.

Satu hal lagi, syukur kita akan sangat ekspresif jika kita mengalami hal yang besar dan prestisius. Tetapi hal-hal yang biasa, kecil dan sederhana akan terlewatkan begitu saja. Mensyukuri saja tidak apalagi mau memaknainya. Bersyukur menurut semboyan orang Cina adalah satu hal kecil tetapi jika kita tidak melaksanakannya itu adalah satu kebodohan besar.

Maka, yang wajib dalam hidup adalah bersyukur. Dengan bersyukur kita bersaudara. Dan karena itu, iman memang pada dasarnya bersifat personal tetapi akan lebih hidup di dalam comunio dengan orang lain. Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis. Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. (Rm, 12:15-16)

Khazanah Tutur Orang Dawan “Huna Nakaf Mese – Oe Mata Mese: Konsep Yang Ilahi sebagai Sumber Hidup”

Orang Dawan merupakan sebutan general bagi kelompok masyarakat yang mendiami sebagian besar Pulau Timor bagian Barat. Dalam kehidupan sebagai satu tatanan sosial, unsur-unsur kebudayaan memegang peran penting dalam mengatur keharmonisan hidup. Secara tradisional unsur-unsur pembentuk tatanan masyarakat Dawan meliputi adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan. Salah satu unsur kebudayaan Atoin Timor yang hingga kini belum banyak diteliti adalah bahasa, secara khusus gaya tutur dan ungkapan-ungkapan yang mengandung filosofi hidup.
Di dalam kehidupan sehari-hari, Bahasa Dawan juga seperti bahasa-bahasa daerah lainnya dipergunakan sebagai alat dan sarana komunikasi sosial yang paling efektif dalam menyampaikan sesuatu. Bahasa Dawan juga digunakan di dalam kesusateraan lisan baik profan maupun suci walaupun selalu dalam konteks penyampaian maksud, pesan, arti dan makna sesuatu realitas. Di sini, bentuk simbolis bahasa Dawan sangat nampak karena apa yang diucapkan bukan apa yang dimaksudkan tetapi arti, makna dan nilai kebenaran yang lain di balik ucapan itu. Dan lagi setiap kata yang digunakan (apakah kata benda atau kata kerja) selalu dipasang dengan  padanannya. Padanan kata-kata itu bisa sinonim dan bisa juga berlawanan atau berbeda bentuk tetapi arti dan maksudnya sama atau hampir sama. Dalam kenyataan Bahasa Dawan memang sulit namun mengandung arti, makna dan nilai sesuatu kebenaran sebagaimana terlihat dalam bentuk -bentuk sastra lisan. Salah satu ungkapan bahasa Dawan yang umum dikenal adalah Nekaf Mese – Ansaof Mese. Ungkapan ini secara umum mengandung pesan bahwa orang Dawan hendaknya hidup dalam kesatuan, dan kesatuan yang dimaksud selalu berasala dari kedalaman diri manusia yang dibentuk dari pikiran dan perasaan. Dengan kata lain kesatuan yang dimaksud bukan menyangkut berada bersama sebagai satu kelompok social tetapi lebih dari itu kesatuan itu hendaknya menghantar manusia pada kemampuan untuk saling memberi dan menerima satu sama lain di bawah payung hati dan budi.
Sebenarnya ungkapan Nekaf Mese – Ansaof Mesemerupakan kata kunci atau kesimpulan yang menjadi intisari dari sebuah sistematika konsep. Di sini konsep Nekaf Mese – Ansaof mese menjadi sungai yang kelihatan. Sebagaimana sungai merupakan kumpulan anak-anak sungai yang menyatu, Nekaf Mese – Ansaof Mesemerupakan kesatuan atau rangkuman dari banyak pandangan hidup. Salah satu yang hendak penulis kemukakan di sini adalah pemahaman dasar Hun Nakaf Mese – Oe Mata Mese. Hun Nakaf Mese – Oe Mata Mese menjadi sebab yang mengakibatkan Nekaf Mese – Ansaof Mese. Butir Hun Nakaf Mese – Oe Mata Mese secara harafiah memiliki arti satu rumpun rumput – satu mata air. Konsep ini memuat pemahaman tentang satu sumber yang mengasalkan segala sesuatu. Sebagaimana satu sumber air menghidupkan rumput, demikian pula orang dawan hidup dari satu sumber hidup yang sama. Inilah yang menjadi alasan mengapa orang dawan harus hidup dalam kesatuan berdasarkan konsep ikatan Nekaf Mese-Ansaof Mese. Inilah salah satu butir kebijaksanaan lokal Orang Dawan yang dapat biasa dijumpai dalam pola tutur masyarakat Dawan.
Dalam pemahamanGereja, kesempurnaan itu ada di dalam Allah. Allah yang memperkenankan Dirinya dikenal dalam peristiwa inkarnasi menyatakan kepada manusia tentang tujuan-Nya, bukan untuk menghapus tetapi menyempurnakan apa yang telah dimulai-Nya sejak kisah penciptaan. Ia adalah pengasal segala sesuatu, dan segala sesuatu hidup dari Dia. Jika kebijaksanaan lokal orang Dawan di atas dihubungkan dengan kebijaksanaan Ilahi yang tersurat dalam Kitab Suci, maka ditemukan bahwa keduanya sejalan dalam memposisikan Allah sebagai Sumber yang memberikan hikmat kepada manusia untuk hidup dan berkarya. Dua teks Kitab Suci yang dapat dipakai sebagai pembanding adalah Mazmur 46:2-8 dan Kebijaksanaan Salomo 9:1-3. Allah adalah asal-muasal segala sesuatu. Sebagaimana satu sumber air memberi kehidupan kepada rumput, Allah member kehidupan kepada manusia. Karena itu manusia hendaknya hidup dalam kesatuan, kerukunan dalam semangat persaudaraan.

Kamis, 27 November 2014

CICAK-CICAK DI DINDING

cikPukul 01.15. Seperti malam kemarin, aku harus berjuang dengan strategi damai untuk menaklukkan insomnia yang kambuh lagi. Strategi klasik mencoba berbaring dan berhitung dari bilangan 1-100 sambil memejamkan mata ternyata tak mempan. Perjuanganku terhenti pada bilangan 150, melampaui setengah dari jumlah bilangan yang pernah dianjurkan seorang teman.

Strategi kedua, memindahkan bantal dari kepala ke kaki. Aku tak tahu bagaimana menghubungkan insomnia dengan kaki yang berbantal karena setahuku bantal itu hanya ada dua jenis, bantal kepala dan bantal guling; tidak ada yang namanya bantal kaki. Tak apalah, bukan dosa kalau dicoba kan? Hasilnya nihil. Strategi ketiga, mengundang kantuk dengan membaca. Dan halaman demi halaman novel ringan My Blackberry Girlfriend kulewati. Dan luar biasa: mata ini semakin benderang.

"Ckk...ckk...ckk...." tiba-tiba suara cicak memecah kebisuan kamar 4x5 meter seharga Rp.300.000 perbulan ini. Kata Afri teman kampusku kamar sebesar ini dengan perabotan yang super mini sebagai isinya masih memungkinkan sebagian ruang bisa dibuat lapangan futsal, atau minimal untuk membuat satu kandang ayam di dalamnya. Kuangkat pandanganku, dan seekor cicak tengah menatapku dari tembok kamar tepat di belakang dispenser.

"Kau mengolokku?" kataku dengan suara gumam ke arah cicak. Diam. Ingin kuusir saja cicak itu. Tapi kemudian terlintas lagu masa kanak-kanak dulu yang entah oleh siapa kini diaransemen dan ditambah lirik secara bebas menjadi salah satu lagu dansa paling tenar di kampung halaman.ciiik

"Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, Happ..., lalu ditangkap." Tersenyum sendiri kutatap cicak tadi.

"Kamu kalah sama Baygon, bro...," kutujukan kalimatku padanya. "Nyamuk-nyamuk sudah pergi, yang masih ada pun itu sudah menjadi bangkai. Dan kuingatkan kamu, jangan coba-coba makan bangkai itu kalau kamu tidak mau ikut keracunan Baygon."

"Ckk...ckk...ckk..." "Baguslah kalau kamu mengerti. Sekarang diamlah. Atau kamu juga insomnia?

"Ckk...ckk...ckk..." Hehehe..., kita senasib. Mari kita lalui malam dengan menulis cerita saja."
Akhirnya ditemani cicak yang galau entah kelaparan karena tak ada nyamuk entah juga insomnia aku mencoba menulis. Asal menulis saja. Dan hasilnya yang ada sekarang: Cicak-Cicak di Dinding. "Ckk...ckk...ckk..." Prayan, 17/11/14