Minggu, 30 November 2014

RITUAL FUA PAH: ALAM SEPAGAI RUANG PENGALAMAN AKAN YANG TRANSENDEN

I. Pendahuluan
Salah satu karakteristik dari suku Dawan adalah demikian banyaknya ritus keagamaan ‘asli’ yang menandai setiap kegiatan hidup mereka, sekalipun mayoritas orang Dawan sudah memeluk agama Kristiani. Karena itulah masyarakat Dawan disebut oleh Valens Boy (1986: 15-23) sebagai “masyarakat ritual”. Salah satu tradisi ritus agraris yang masih hidup dan terus dikembangkan dalam masyarakat Dawan sampai sekarang ini adalah Tradisi Fua Pah, sebuah tradisi pemujaan terhadap Uis Pah yang dilaksanakan di tempat-tempat tertentu seperti di pohon-pohon, sumber air dan bukit atau gunung batu. Uis Pah ini diyakini bertempat tinggal di pohon-pohon, batu-batu besar, sungai-sungai, serta tempat-tempat tertentu di sekitar kediaman manusia. Untuk mengambil hati dan menghindari kemarahan Uis Pah, masyarakat Dawan seringkali memberikan berbagai korban persembahan dalam upacara adat yang disebut Fua Pah. Upacara Fua Pah merupakan sebuah tradisi pemujaan kepada Uis Pah (Raja Dunia, Sang Penguasa Tanah) dengan cara memberikan sesaji berupa hewan korban.
Fua Pah merupakan salah satu ritus yang didasarkan pada kepercayaan atau religi lokal masyarakat Dawan yang memiliki berbagai makna simbolis. Tradisi pemujaan Fua Pah sampai sekarang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat Dawan. Sebagai sebuah sistem simbol, tradisi ini memuat berbagai makna yang penting bagi masyarakat pendukungnya.

II. Religi Lokal
Tak dapat diragukan bahwa lingkungan budaya tempat tinggal manusia sangat menentukan bentuk, wujud dan tingkatan kepercayaan/agama manusia. Agama merupakan suatu sistem simbol yang dibentuk dan membentuk suatu konsensus bagi makna lambang-lambang dan makna dunia ini, dan yang mengacu kepada kekuatan-kekuatan adikodrati (supranatural), entah kekuatan itu dipersonifikasi atau tidak (Sudarmanto, 1987: 15).
Manusia tradisional pada umumnya melaksanakan kegiatan-kegiatan kultisnya dengan maksud mencapai suatu tujuan tertentu, atau berpamrih. Mereka senantiasa memiliki alasan untuk pembenaran suatu pemujaan, misalnya untuk mencegah kemandulan wanita, menjamin kesuburan ladang, memastikan hujan yang cukup, dan sebagainya (Dhavamony, 1995: 54). Dalam masyarakat tradisional, praktik-praktik ritual atau kultis dilaksanakan dengan pemberian persembahan atau sesajian, mulai dari bentuk-bentuk sederhana seperti persembahan buah-buahan pertama yang diletakkan di hutan atau di ladang, sampai kepada bentuk persembahan yang lebih kompleks di tempat-tempat suci atau umum (Dhavamony, 1995: 168).
Masyarakat Dawan memuja Uis Neno yang berarti Tuhan Langit. Uis Neno ini digambarkan sebagai apinat-aklabat atau ‘yang bernyala dan membara’, dan afinit-amnanut yang artinya ‘yang tertinggi dan mengatasi segala sesuatu’. Uis Neno juga dipercaya sebagai pemberi manikin-Oetene atau ‘kesejukan dan kedinginan’. Dialah pemberi tetus ma nit ‘keadilan dan kebenaran’. Di samping itu dia dianggap sebagai dewa kesuburan yang mengatur musim, memberi padi dan jagung serta mengatur alam. Uis Neno berperan pula sebagai abaot-afatist artinya ‘yang memberi makan dan mengasuh kita’, amo’et-apaket artinya ‘yang membuat dan yang mengukir’. Akan tetapi Uis Neno juga dipercaya dapat mendatangkan kemarau panjang yang mengakibatkan tanaman mati dan dapat juga mendatangkan hama penyakit atas tanaman dan ternak serta atas diri manusia. Ilustrasi ini memperlihatkan bahwa Uis Neno merupakan sang pencipta, sang penyelenggara, dan maha kuasa Uis Neno dipercaya memiliki dua wujud, yakni Uis Neno Mnanu artinya “Tuhan Yang Tinggi” dan Uis Neno Pala atau “Tuhan Yang Dekat atau Pendek”. Akan tetapi, keduanya masih diklasifikasikan sebagai Tuhan Langit (Valens Boy dalam Mubyarto, 1991: 152-153).
Selain Tuhan Langit, masyarakat Dawan juga mengakui adanya Tuhan Bumi atau Penguasa Alam Semesta. Tuhan Bumi ini disebut Pah Tuaf atau Uis Pah. (Pah artinya bumi, dunia, atau alam). Uis Neno dan Uis Pah diakui membentuk kekuatan ilahi, namun superioritas Uis Neno tetap nyata. Keduanya memang berbeda, dan mempunyai eksistensinya masing-masing akan tetapi satu sama lain tidak dapat dipisahkan.Uis Pah dianggap sebagai pembawa ketakberuntungan dan malapetaka bagi manusia. Oleh karena itu manusia harus berusaha mengambil hati mereka dengan upacara-upacara ritual. Bersama Pah Nitu (roh atau dunia orang mati) Uis Pah diyakini meraja di dunia dan tinggal di hutan, batu-batu karang, mata air, pohon-pohon besar dan gunung-gunung.
Masyarakat Dawan percaya pada Pah Nitu yaitu arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia. Arwah-arwah ini memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena mereka seringkali dijadikan penghubung atau perantara antara manusia dengan Uis Neno. Mereka percaya juga pada Uis Leu yakni raja yang kudus, Tuhan yang haram, yang biasanya dikaitkan dengan Uis Neno.

III. Ritual Pertanian Masyarakat Dawan
Tradisi Fua Pah merupakan sebuah tradisi yang khas dalam alam kebudayaan pertanian tradisional. Ritus pemberian korban sebagai persembahan kepada Uis Pah itu senantiasa dilaksanakan pada enam tahapan kegiatan pertanian, mulai dari membuka kebun baru sampai dengan tahap menuai, memetik hasil kebun dan mengucapkan syukur kepada Uis Neno atas panen melimpah. Keenam tahap itu adalah: (1) tahap menebas hutan (lef nono//tafek hau ana), (2) tahap membakar hutan (polo nopo//sifo nopo), (3) tahap menanam (lef boen no’o), tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), (4) tahap panenan perdana (tasana mate), (5) tahap panenan berakhir (tnibun bola’if ma aen tauf.
Catatan penting yang perlu dibuat dalam kaitannya dengan tradisi Fua Pah ini bahwa pemujaan, persembahan dan harapan masyarakat Dawan ternyata bukanlah tertuju kepada Sang Uis Pah seorang, melainkan kepada leluhur (Pah Nitu), Uis Pah, dan Uis Neno. Bahkan dapat dikatakan bahwa secara gradual, subjek dan objek kepercayaan tertinggi masyarakat Dawan justru adalah Uis Neno, sang Tuhan Seru Sekalian Alam. Jadi, sekalipun rangkaian ritual tersebut dikenal dengan nama Fua Pah yang berarti ‘persembahan kepada Uis Pah’, objek sekaligus subjek persembahan mereka adalah ketiga kekuatan ilahi tersebut.
Mengikuti pembagian Dhavamony (1995: 175-176) mengenai lima macam ritual seperti telah diungkapkan di muka, maka upacara dan tindakan-tindakan ritual dalam tradisi Fua Pah dapat dikategorikan ke dalam empat fungsi. Fungsi-fungsi ini berkaitan erat dengan alasan-alasan mitis yang melatar-belakanginya. Penjelasan ini sekaligus mengungkapkan fungsi ritus Fua Pah bagi masyarakat Dawan.
(1) Fungsi Magis. Fungsi magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan dalam upacara ritual Fua Pah yang bekerja karena daya-daya mistis. Unsur ini berkaitan dengan pelaksanaan ‘ramalan’ melalui hati hewan kurban. Tindakan ini jelas merupakan sebuah tindakan magis, melalui mana manusia dapat mengetahui kehendak ilahi (Uis Pah maupun Uis Neno). Lebih lanjut, ritus Fua Pah bermaksud mempengaruhi kekuatan ilahi melalui rangkaian puisi ritual tonis, agar tidak mengganggu dan merusak tanaman.
(2) Fungsi Religius. Pelaksanaan rangkaian ritus Fua Pah dapat dikategorikan pula sebagai sebuah tindakan religius yang jelas bersifat kreatif dan berdimensi sosial. Dalam pelaksanaan ritus Fua Pah, masyarakat suku berkumpul bersama dan secara kreatif melaksanakan upacara itu demi kepentingan bersama seluruh anggota suku pula. Jika kultus para leluhur, yang juga bekerja dengan cara ini dikategorikan sebagai tindakan religius, maka Fua Pah jelas memiliki fungsi religius dan simbol religi lokal masyarakat Dawan. Jika diungkapkan secara radikal (sampai ke akar-akarnya), maka pelaksanaan ritus Fua Pah akan bermuara kepada kepasrahan pada Uis Neno, sang Tuhan Seru Sekalian Alam.
(3) Fungsi Faktitif. Fungsi faktitif berkaitan dengan meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritus Fua Pah jelas merupakan suatu tindakan faktitif dengan motivasi meningkatkan kesejahteraan material anggota suku. Dia tidak saja mewujudkan korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka.
(4) Fungsi Intensifikasi. Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan dan panenan. Pelaksanaan ritus Fua Pah terutama dilandasi oleh motivasi intensifikasi, karena masyarakat menginginkan panenan berhasil.

IV. Unsur-unsur Animisme
Kaum evolusionis umumnya memandang animisme sebagai prototipe atau cikal bakal munculnya agama. Animisme, sebagaimana digunakan dan dimengerti E. B. Tylor adalah suatu sistem kepercayaan dimana manusia religius beranggapan bahwa manusia, semua makhluk hidup dan benda mati memiliki jiwa (Dhavamony, 1995: 66). Sebuah bentuk religi awal, yang untuk sebagian besar tampaknya masih dihayati oleh kelompok-kelompok etnis di berbagai belahan dunia, adalah kepercayaan dan praktik berkenaan dengan leluhur. Bentuk pemujaan leluhur ini mengandaikan bahwa leluhur yang telah meninggal, khususnya dalam hubungan kekeluargaan, sebenarnya masih hidup dalam wujud yang efektif dan bisa ikut campur tangan dalam kehidupan manusia (Dhavamony, 1995: 79). Dengan demikian, manusia perlu menenangkan atau mengembangkan kesejahteraan leluhur yang telah meninggal.
Animisme merupakan sistem kepercayaan dimana orang membubuhkan jiwa pada manusia dan juga pada semua makluk hidup dan benda mati. Ide tentang kekekalan jiwa memunculkan upacara untuk orang mati, terutama dalam bentuk pemujaan leluhur. Dhavamony (1995: 67) menegaskan bahwa animisme merupakan sebuah fenomena religius yang bersifat universal, artinya terdapat dalam semua agama. Animisme dapat dipahami sebagai kepercayaan kepada makluk-makhluk adikodrati yang dipersonalisasikan. Manifestasinya adalah dari Roh yang Mahatinggi hingga roh halus, roh leluhur, dan roh dalam objek-objek alam.
Dengan gambaran seperti ini, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur animisme untuk sebagian masih hidup dalam tradisi Fua Pah. Tradisi ini dilaksanakan atas dasar pandangan bahwa hutan, pohon, tumbuhan, tanah, banjir, burung, angin, dan ular-biludak memiliki ‘anima’ atau jiwa. Membabat dan membakar hutan akan melukai ‘jiwa’ hutan dan bumi ini dan dapat mendatangkan murka Uis Pah. Memberikan makanan, minuman, dan menyajikan sirih pinang kepada batu-batu dan pohon-pohon besar memang terkesan sebagai sebuah praktik kepercayaan animisme.
Paham animisme itu terlihat, ketika kita menyaksikan orang Dawan menyebut bermacam-macam roh, misalnya (1) roh yang berhubungan dengan manusia, yakni roh leluhur, roh jahat dari orang-orang yang meninggal dalam kondisi yang tidak wajar yang secara umum disebut Pah Nitu. (2) roh yang berhubungan dengan kekuatan alam, seperti angin, kilat, banjir yang selalu dikaitkan dengan Uis Pah.
Dalam pandangan orang Dawan sekarang, ‘anima’ itu sesungguhnya bukanlah milik benda alam itu per se, seolah-olah batu dan pohon yang diberi sesaji itu memiliki jiwa. Mungkin saja pola pandangan seperti ini sudah dipengaruhi oleh hadirnya agama-agama modern di sana. Akan tetapi kini diyakini bahwa benda-benda alam tersebut hanyalah dijiwai oleh kekuatan ilahi Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah dan Uis Neno itulah yang dipercaya sebagai penguasa alam semesta ini. Pandangan ini mempermudah masyarakat suku Dawan ‘menangani’ gangguan alam ini, karena sasaran dan tujuan pemberian persembahan hanya disampaikan kepada Uis Pah. Sekalipun demikian, patut diduga bahwa pandangan ‘baru’ ini sesungguhnya memiliki dasar anismitis.
Perlu disadari bahwa praktik ritual Fua Pah tidak hanya bersifat individual dan manipulatif. Ciri individual dan manipulatif ini merupakan ciri magi. Ritual Fua Pah ternyata memiliki ciri juga sebagai ‘agama’, karena bersifat sosial, ekspresif, dan simbolis. Setiap kali dilaksanakan upacara Fua Pah, anggota-anggota suku hadir secara lengkap, demnikian pula leluhur yang diundang semuanya secara lengkap. Dalam kegiatan ini, mereka sungguh-sungguh mengekspresikan keinginan, harapan, dan kerinduan mereka yang paling mendalam. Hasil panen memang menyangkut keberadaan manusia di dunia. Ritus ini, yang disertai pula dengan puisi-puisi ritual, memiliki simbol-simbol yang penuh makna. Tindakan ritual dan gaya bahasa yang digunakan dalam puisi lisan tonis memperlihatkan bahwa Fua Pah sesungguhnya sebuah praktik kepercayaan religi lokal.

V. Penutup
Masyarakat Dawan merupakan masyarakat yang secara tradisional memiliki bakat-bakat religius. Sebagai masyarakat petani dengan lingkungan alam yang kering dan tandus, yang senantiasa hidup dalam kondisi sub-sisten, orang Dawan percaya sepenuhnya pada kekuatan dan campur tangan roh-roh ilahi, yakni: Pah Nitu, Uis Pah dan Uis Neno. Mereka membedakan kekuatan-kekuatan yang mendatangkan kebaikan (Uis Neno) dan bencana (Uis Pah), serta adanya kekuatan perantara (Pah Nitu).
Berdasarkan seluruh uraian di atas, berikut ini akan dikemukakan beberapa simpulan.
(1) Masyarakat Dawan adalah masyarakat ritual yang memiliki begitu banyak tradisi ritual dalam berbagai fase kehidupan manusia. Sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan hidup masyarakat Dawan yang umumnya merupakan petani subsisten ladang kering dengan sistem ‘tebas-bakar,’ ritus Fua Pah diciptakan sebagai cara mereka menyiasati alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat. Dalam setiap rangkaian upacara pertanian sesuai dengan saat-saat kritis pertumbuhan tanaman, yakni: tahap menebas hutan, tahap membakar hutan, tahap menanam, tahap pertumbuhan padi, tahap panen perdana, dan tahap panen akhir, mereka melaksanakan upacara korban Fua Pah.
(2) Secara gradual, pusat dan inti terdalam kepercayaan dan praktik penyembahan mereka adalah Uis Neno, Tuhan Yang Terang, Tuhan Seru Sekalian Alam, Tuhan yang sempurna. Inilah pula inti dari kepercayaan lokal masyarakat Dawan. Ritus Fua Pah memperlihatkan pula adanya interaksi yang sangat erat antara tradisi sastra lisan dan religi lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini