I. Pendahuluan
Salah satu karakteristik dari suku Dawan adalah demikian banyaknya ritus
keagamaan ‘asli’ yang menandai setiap kegiatan hidup mereka, sekalipun
mayoritas orang Dawan sudah memeluk agama Kristiani. Karena itulah
masyarakat Dawan disebut oleh Valens Boy (1986: 15-23) sebagai
“masyarakat ritual”. Salah satu tradisi ritus agraris yang masih hidup
dan terus dikembangkan dalam masyarakat Dawan sampai sekarang ini adalah
Tradisi Fua Pah, sebuah tradisi pemujaan terhadap Uis Pah yang
dilaksanakan di tempat-tempat tertentu seperti di pohon-pohon, sumber
air dan bukit atau gunung batu. Uis Pah ini diyakini bertempat tinggal
di pohon-pohon, batu-batu besar, sungai-sungai, serta tempat-tempat
tertentu di sekitar kediaman manusia. Untuk mengambil hati dan
menghindari kemarahan Uis Pah, masyarakat Dawan seringkali memberikan
berbagai korban persembahan dalam upacara adat yang disebut Fua Pah.
Upacara Fua Pah merupakan sebuah tradisi pemujaan kepada Uis Pah (Raja
Dunia, Sang Penguasa Tanah) dengan cara memberikan sesaji berupa hewan
korban.
Fua Pah merupakan salah satu ritus yang didasarkan pada kepercayaan atau
religi lokal masyarakat Dawan yang memiliki berbagai makna simbolis.
Tradisi pemujaan Fua Pah sampai sekarang masih hidup dan berkembang
dalam masyarakat Dawan. Sebagai sebuah sistem simbol, tradisi ini memuat
berbagai makna yang penting bagi masyarakat pendukungnya.
II. Religi Lokal
Tak dapat diragukan bahwa lingkungan budaya tempat tinggal manusia
sangat menentukan bentuk, wujud dan tingkatan kepercayaan/agama manusia.
Agama merupakan suatu sistem simbol yang dibentuk dan membentuk suatu
konsensus bagi makna lambang-lambang dan makna dunia ini, dan yang
mengacu kepada kekuatan-kekuatan adikodrati (supranatural), entah
kekuatan itu dipersonifikasi atau tidak (Sudarmanto, 1987: 15).
Manusia tradisional pada umumnya melaksanakan kegiatan-kegiatan
kultisnya dengan maksud mencapai suatu tujuan tertentu, atau berpamrih.
Mereka senantiasa memiliki alasan untuk pembenaran suatu pemujaan,
misalnya untuk mencegah kemandulan wanita, menjamin kesuburan ladang,
memastikan hujan yang cukup, dan sebagainya (Dhavamony, 1995: 54). Dalam
masyarakat tradisional, praktik-praktik ritual atau kultis dilaksanakan
dengan pemberian persembahan atau sesajian, mulai dari bentuk-bentuk
sederhana seperti persembahan buah-buahan pertama yang diletakkan di
hutan atau di ladang, sampai kepada bentuk persembahan yang lebih
kompleks di tempat-tempat suci atau umum (Dhavamony, 1995: 168).
Masyarakat Dawan memuja Uis Neno yang berarti Tuhan Langit. Uis Neno ini
digambarkan sebagai apinat-aklabat atau ‘yang bernyala dan membara’,
dan afinit-amnanut yang artinya ‘yang tertinggi dan mengatasi segala
sesuatu’. Uis Neno juga dipercaya sebagai pemberi manikin-Oetene atau
‘kesejukan dan kedinginan’. Dialah pemberi tetus ma nit ‘keadilan dan
kebenaran’. Di samping itu dia dianggap sebagai dewa kesuburan yang
mengatur musim, memberi padi dan jagung serta mengatur alam. Uis Neno
berperan pula sebagai abaot-afatist artinya ‘yang memberi makan dan
mengasuh kita’, amo’et-apaket artinya ‘yang membuat dan yang mengukir’.
Akan tetapi Uis Neno juga dipercaya dapat mendatangkan kemarau panjang
yang mengakibatkan tanaman mati dan dapat juga mendatangkan hama
penyakit atas tanaman dan ternak serta atas diri manusia. Ilustrasi ini
memperlihatkan bahwa Uis Neno merupakan sang pencipta, sang
penyelenggara, dan maha kuasa Uis Neno dipercaya memiliki dua wujud,
yakni Uis Neno Mnanu artinya “Tuhan Yang Tinggi” dan Uis Neno Pala atau
“Tuhan Yang Dekat atau Pendek”. Akan tetapi, keduanya masih
diklasifikasikan sebagai Tuhan Langit (Valens Boy dalam Mubyarto, 1991:
152-153).
Selain Tuhan Langit, masyarakat Dawan juga mengakui adanya Tuhan Bumi
atau Penguasa Alam Semesta. Tuhan Bumi ini disebut Pah Tuaf atau Uis
Pah. (Pah artinya bumi, dunia, atau alam). Uis Neno dan Uis Pah diakui
membentuk kekuatan ilahi, namun superioritas Uis Neno tetap nyata.
Keduanya memang berbeda, dan mempunyai eksistensinya masing-masing akan
tetapi satu sama lain tidak dapat dipisahkan.Uis Pah dianggap sebagai
pembawa ketakberuntungan dan malapetaka bagi manusia. Oleh karena itu
manusia harus berusaha mengambil hati mereka dengan upacara-upacara
ritual. Bersama Pah Nitu (roh atau dunia orang mati) Uis Pah diyakini
meraja di dunia dan tinggal di hutan, batu-batu karang, mata air,
pohon-pohon besar dan gunung-gunung.
Masyarakat Dawan percaya pada Pah Nitu yaitu arwah-arwah orang yang
sudah meninggal dunia. Arwah-arwah ini memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia, karena mereka seringkali dijadikan penghubung atau
perantara antara manusia dengan Uis Neno. Mereka percaya juga pada Uis
Leu yakni raja yang kudus, Tuhan yang haram, yang biasanya dikaitkan
dengan Uis Neno.
III. Ritual Pertanian Masyarakat Dawan
Tradisi Fua Pah merupakan sebuah tradisi yang khas dalam alam kebudayaan
pertanian tradisional. Ritus pemberian korban sebagai persembahan
kepada Uis Pah itu senantiasa dilaksanakan pada enam tahapan kegiatan
pertanian, mulai dari membuka kebun baru sampai dengan tahap menuai,
memetik hasil kebun dan mengucapkan syukur kepada Uis Neno atas panen
melimpah. Keenam tahap itu adalah: (1) tahap menebas hutan (lef
nono//tafek hau ana), (2) tahap membakar hutan (polo nopo//sifo nopo),
(3) tahap menanam (lef boen no’o), tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e),
(4) tahap panenan perdana (tasana mate), (5) tahap panenan berakhir
(tnibun bola’if ma aen tauf.
Catatan penting yang perlu dibuat dalam kaitannya dengan tradisi Fua Pah
ini bahwa pemujaan, persembahan dan harapan masyarakat Dawan ternyata
bukanlah tertuju kepada Sang Uis Pah seorang, melainkan kepada leluhur
(Pah Nitu), Uis Pah, dan Uis Neno. Bahkan dapat dikatakan bahwa secara
gradual, subjek dan objek kepercayaan tertinggi masyarakat Dawan justru
adalah Uis Neno, sang Tuhan Seru Sekalian Alam. Jadi, sekalipun
rangkaian ritual tersebut dikenal dengan nama Fua Pah yang berarti
‘persembahan kepada Uis Pah’, objek sekaligus subjek persembahan mereka
adalah ketiga kekuatan ilahi tersebut.
Mengikuti pembagian Dhavamony (1995: 175-176) mengenai lima macam ritual
seperti telah diungkapkan di muka, maka upacara dan tindakan-tindakan
ritual dalam tradisi Fua Pah dapat dikategorikan ke dalam empat fungsi.
Fungsi-fungsi ini berkaitan erat dengan alasan-alasan mitis yang
melatar-belakanginya. Penjelasan ini sekaligus mengungkapkan fungsi
ritus Fua Pah bagi masyarakat Dawan.
(1) Fungsi Magis. Fungsi magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan
dalam upacara ritual Fua Pah yang bekerja karena daya-daya mistis. Unsur
ini berkaitan dengan pelaksanaan ‘ramalan’ melalui hati hewan kurban.
Tindakan ini jelas merupakan sebuah tindakan magis, melalui mana manusia
dapat mengetahui kehendak ilahi (Uis Pah maupun Uis Neno). Lebih
lanjut, ritus Fua Pah bermaksud mempengaruhi kekuatan ilahi melalui
rangkaian puisi ritual tonis, agar tidak mengganggu dan merusak tanaman.
(2) Fungsi Religius. Pelaksanaan rangkaian ritus Fua Pah dapat
dikategorikan pula sebagai sebuah tindakan religius yang jelas bersifat
kreatif dan berdimensi sosial. Dalam pelaksanaan ritus Fua Pah,
masyarakat suku berkumpul bersama dan secara kreatif melaksanakan
upacara itu demi kepentingan bersama seluruh anggota suku pula. Jika
kultus para leluhur, yang juga bekerja dengan cara ini dikategorikan
sebagai tindakan religius, maka Fua Pah jelas memiliki fungsi religius
dan simbol religi lokal masyarakat Dawan. Jika diungkapkan secara
radikal (sampai ke akar-akarnya), maka pelaksanaan ritus Fua Pah akan
bermuara kepada kepasrahan pada Uis Neno, sang Tuhan Seru Sekalian Alam.
(3) Fungsi Faktitif. Fungsi faktitif berkaitan dengan meningkatkan
produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritus Fua
Pah jelas merupakan suatu tindakan faktitif dengan motivasi meningkatkan
kesejahteraan material anggota suku. Dia tidak saja mewujudkan korban
untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan
yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular
mereka.
(4) Fungsi Intensifikasi. Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus
kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan,
ketersediaan buruan dan panenan. Pelaksanaan ritus Fua Pah terutama
dilandasi oleh motivasi intensifikasi, karena masyarakat menginginkan
panenan berhasil.
IV. Unsur-unsur Animisme
Kaum evolusionis umumnya memandang animisme sebagai prototipe atau cikal
bakal munculnya agama. Animisme, sebagaimana digunakan dan dimengerti
E. B. Tylor adalah suatu sistem kepercayaan dimana manusia religius
beranggapan bahwa manusia, semua makhluk hidup dan benda mati memiliki
jiwa (Dhavamony, 1995: 66). Sebuah bentuk religi awal, yang untuk
sebagian besar tampaknya masih dihayati oleh kelompok-kelompok etnis di
berbagai belahan dunia, adalah kepercayaan dan praktik berkenaan dengan
leluhur. Bentuk pemujaan leluhur ini mengandaikan bahwa leluhur yang
telah meninggal, khususnya dalam hubungan kekeluargaan, sebenarnya masih
hidup dalam wujud yang efektif dan bisa ikut campur tangan dalam
kehidupan manusia (Dhavamony, 1995: 79). Dengan demikian, manusia perlu
menenangkan atau mengembangkan kesejahteraan leluhur yang telah
meninggal.
Animisme merupakan sistem kepercayaan dimana orang membubuhkan jiwa pada
manusia dan juga pada semua makluk hidup dan benda mati. Ide tentang
kekekalan jiwa memunculkan upacara untuk orang mati, terutama dalam
bentuk pemujaan leluhur. Dhavamony (1995: 67) menegaskan bahwa animisme
merupakan sebuah fenomena religius yang bersifat universal, artinya
terdapat dalam semua agama. Animisme dapat dipahami sebagai kepercayaan
kepada makluk-makhluk adikodrati yang dipersonalisasikan. Manifestasinya
adalah dari Roh yang Mahatinggi hingga roh halus, roh leluhur, dan roh
dalam objek-objek alam.
Dengan gambaran seperti ini, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
animisme untuk sebagian masih hidup dalam tradisi Fua Pah. Tradisi ini
dilaksanakan atas dasar pandangan bahwa hutan, pohon, tumbuhan, tanah,
banjir, burung, angin, dan ular-biludak memiliki ‘anima’ atau jiwa.
Membabat dan membakar hutan akan melukai ‘jiwa’ hutan dan bumi ini dan
dapat mendatangkan murka Uis Pah. Memberikan makanan, minuman, dan
menyajikan sirih pinang kepada batu-batu dan pohon-pohon besar memang
terkesan sebagai sebuah praktik kepercayaan animisme.
Paham animisme itu terlihat, ketika kita menyaksikan orang Dawan
menyebut bermacam-macam roh, misalnya (1) roh yang berhubungan dengan
manusia, yakni roh leluhur, roh jahat dari orang-orang yang meninggal
dalam kondisi yang tidak wajar yang secara umum disebut Pah Nitu. (2)
roh yang berhubungan dengan kekuatan alam, seperti angin, kilat, banjir
yang selalu dikaitkan dengan Uis Pah.
Dalam pandangan orang Dawan sekarang, ‘anima’ itu sesungguhnya bukanlah
milik benda alam itu per se, seolah-olah batu dan pohon yang diberi
sesaji itu memiliki jiwa. Mungkin saja pola pandangan seperti ini sudah
dipengaruhi oleh hadirnya agama-agama modern di sana. Akan tetapi kini
diyakini bahwa benda-benda alam tersebut hanyalah dijiwai oleh kekuatan
ilahi Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah dan Uis Neno itulah yang dipercaya
sebagai penguasa alam semesta ini. Pandangan ini mempermudah masyarakat
suku Dawan ‘menangani’ gangguan alam ini, karena sasaran dan tujuan
pemberian persembahan hanya disampaikan kepada Uis Pah. Sekalipun
demikian, patut diduga bahwa pandangan ‘baru’ ini sesungguhnya memiliki
dasar anismitis.
Perlu disadari bahwa praktik ritual Fua Pah tidak hanya bersifat
individual dan manipulatif. Ciri individual dan manipulatif ini
merupakan ciri magi. Ritual Fua Pah ternyata memiliki ciri juga sebagai
‘agama’, karena bersifat sosial, ekspresif, dan simbolis. Setiap kali
dilaksanakan upacara Fua Pah, anggota-anggota suku hadir secara lengkap,
demnikian pula leluhur yang diundang semuanya secara lengkap. Dalam
kegiatan ini, mereka sungguh-sungguh mengekspresikan keinginan, harapan,
dan kerinduan mereka yang paling mendalam. Hasil panen memang
menyangkut keberadaan manusia di dunia. Ritus ini, yang disertai pula
dengan puisi-puisi ritual, memiliki simbol-simbol yang penuh makna.
Tindakan ritual dan gaya bahasa yang digunakan dalam puisi lisan tonis
memperlihatkan bahwa Fua Pah sesungguhnya sebuah praktik kepercayaan
religi lokal.
V. Penutup
Masyarakat Dawan merupakan masyarakat yang secara tradisional memiliki
bakat-bakat religius. Sebagai masyarakat petani dengan lingkungan alam
yang kering dan tandus, yang senantiasa hidup dalam kondisi sub-sisten,
orang Dawan percaya sepenuhnya pada kekuatan dan campur tangan roh-roh
ilahi, yakni: Pah Nitu, Uis Pah dan Uis Neno. Mereka membedakan
kekuatan-kekuatan yang mendatangkan kebaikan (Uis Neno) dan bencana (Uis
Pah), serta adanya kekuatan perantara (Pah Nitu).
Berdasarkan seluruh uraian di atas, berikut ini akan dikemukakan beberapa simpulan.
(1) Masyarakat Dawan adalah masyarakat ritual yang memiliki begitu
banyak tradisi ritual dalam berbagai fase kehidupan manusia. Sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan hidup masyarakat Dawan yang umumnya
merupakan petani subsisten ladang kering dengan sistem ‘tebas-bakar,’
ritus Fua Pah diciptakan sebagai cara mereka menyiasati alam yang
gersang dan iklim yang kurang bersahabat. Dalam setiap rangkaian upacara
pertanian sesuai dengan saat-saat kritis pertumbuhan tanaman, yakni:
tahap menebas hutan, tahap membakar hutan, tahap menanam, tahap
pertumbuhan padi, tahap panen perdana, dan tahap panen akhir, mereka
melaksanakan upacara korban Fua Pah.
(2) Secara gradual, pusat dan inti terdalam kepercayaan dan praktik
penyembahan mereka adalah Uis Neno, Tuhan Yang Terang, Tuhan Seru
Sekalian Alam, Tuhan yang sempurna. Inilah pula inti dari kepercayaan
lokal masyarakat Dawan. Ritus Fua Pah memperlihatkan pula adanya
interaksi yang sangat erat antara tradisi sastra lisan dan religi lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini