Selasa, 22 November 2016

ANAK DAN AKTIVITAS BERMAIN

sumber: http://tsaraazizah.blog.upi.edu/
“Anak-anak sekarang tidak tahu membantu orang tua. Dulu, meskipun belum bersekolah, tugas kami adalah membantu orang tua, entah menyapu, atau mengambil air. Tak ada yang namanya bermain.”
“Anak-anak sekarang tidak mau membantu orang tua bekerja. Bisanya bermain melulu.”
“Berhentilah bermain. Belajarlah menulis atau membaca.”
Kalimat-kalimat di atas hanya sedikit dari sekian banyak sikap orang dewasa menanggapi kegiatan bermain yang dilakukan anak-anak. Oke..., anggaplah itu pengantar untuk tulisan berikut.
Bermain: Aktivitas Utama Anak
Dunia anak adalah dunia bermain. Maka tak heran kalau aktivitas anak, tanpa kecuali, kapan dan di mana saja, selalu berada dalam konteks bermain. Bermain merupakan sebuah proses alamiah yang penting dalam proses pembentukan kepribadian anak, termasuk di dalamnya segala potensi kognitif, afektif dan konatif yang dimiliki manusia secara mendasar. Pentingnya bermain bagi anak dan perannya dalam pembentukan kepribadian ini tak lepas dari kajian ilmiah. Dari sekian cabang ilmu yang mempelajari aktivitas bermain, psikologi mungkin merupakan salah satu bidang ilmu yang secara mendalam mempelajarinya. Hal ini wajar, karena psikologi secara umum mempersoalkan aktivitas manusia, baik yang dapat diamati maupun tidak. Aktivitas-aktivitas manusia (juga penghayatannya) dapat dicari hukum psikologis yang mendasarinya, termasuk aktivitas bermain.

Menurut Piaget, bermain merupakan kegiatan yang merangsang perkembangan kognitif anak. Pendapat ini didasari pada apa dapat dilihat pada ragam permainan imajiner dan permainan kreatif yang dilakukan anak. Bermain merupakan cara anak mengeksplorasi diri dan lingkungan guna mendapat informasi baru yang penting bagi kehidupannya. Wong dan Foster mengemukakan bahwa bermain adalah suatu kegiatan alamiah yang di lakukan oleh anak atas keinginan sendiri dalam rangka mengungkapkan konflik dirinya yang tidak disadari guna memperoleh kesenangan dan kepuasan.

Apa yang dikemukakan Piaget, Wong dan Foster di atas tentu bukan menjadi rujukan definisi bermain satu-satunya. Banyak ahli yang juga ikut merumuskan pengertian bermain menurut sudut pandangnya masing-masing. Namun dari pengertian di atas cukup tampak sekali pentingnya kegiatan bermain bagi anak-anak.
sumber: http://m.kaskus.co.id/
Bermain biasanya dilakukan anak dengan menggabungkan imajinasi dan kenyataan yang dialaminya. Sebagai kegiatan alamiah, bermain bahkan telah dimulai sejak masa lima bulan sesudah lahir (awal tahap sensori-motorik). Hal ini diidentifikasi pada aktivitas menggenggam benda (misalnya kain) dan lain-lain. Kegiatan bermain anak kemudian berkembang sesuai tahap tumbuh-kembang selanjutnya, meliputi perkembangan persepsi, fungsi semiotik (simbolik) dan operasi konkret penalaran.
Selain sebagai aktivitas pribadi, kegiatan bermain juga berdimensi sosial.  Bahkan sejak usia 3 sampai 5 tahun permainan merupakan interaksi yang sangat penting bagi anak-anak. Permainan meningkatkan afilisiasi dengan teman sebaya, mengurangi tekanan atau strees, meningkatkan perkembangan kognitif, menigkatkan daya jelajah, dan memberikan pengetahuan dasar tentang kehidupan. Permainan juga dapat meningkatkan kemampuan anak dalam berbicara dan berinteraksi dengan yang lain.
Secara motorik, aktivitas bermain mencakup motorik halus dan motorik kasar. Contoh motorik halus seperti menggaris/mencoret (pada tahap selanjutnya akan berkembang pada kemampuan menulis dan menggambar), menyusun benda, menyobek kertas, membuka tutup botol dll. Kemudian motorik kasar seperti meloncat, melompat, berlari dll. Secara praktis aktivitas motorik merupakan hal yang akan dilakukan anak sepanjang hidupnya sebagai manusia. Keseimbangan kemampuan motorik akan berpengaruh juga pada perkembangan psikologis anak. Keseimbangan antara otak kiri dan kanan juga ikut terbentuk melalui bermain.
Dalam bermain anak berinteraksi dengan orang lain, mengembangkan kemampuan berbahasa, menumbuhkan sikap peduli, jujur, menghargai, dan masih banyak karakter kepribadian lain yang penting bagi kehidupan. Dalam bermain anak dibentuk untuk percaya diri, mempercayai orang lain, berani mengambil keputusan, sampai pada kemampuan problem solving dan bernegosiasi. Kajian tentang Leadership banyak menemukan bahwa jiwa kepemimpinan seseorang dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik dalam sebuah kegiatan bermain selama masa kanak-kanak.
Pentingnya kegiatan bermain berkaitan dengan banyak hal. Bermain melibatkan keseluruhan sifat-sifat umum aktivitas manusia, meliputi perhatian, respon (tanggapan), imajinasi dan fantasi, memori dan ingatan, berpikir, merasakan, juga motivasi.sifat-sifat umum ini kemudian secara mendalam biasanya merupakan bahasan psikologi pendidikan.

Bermain Sambil Belajar
sumber: http://www.siperubahan.com/
Salah satu tugas utama anak-anak adalah sebanyak mungkin memperoleh informasi, pengetahuan dan pengalaman mendasar mengenai apa saja yang diperlukan untuk hidup pada periode selanjutnya. Kata “tugas utama” digunakan bukan dalam pengertian sesuatu yang diwajibkan dengan segala konsekuensi seketat pengertian yang diberikan kepada orang dewasa. kata tersebut dipakai hanya untuk menggambarkan proses mutlak yang dilalui anak dengan karakter mendasar yang selalu penuh rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu ini diekspresikan dengan sikap penasaran, banyak bertanya, selalu mencoba hal baru dan lain-lain.
Dari pemaparan di atas, diketahui bahwa aktivitas utama anak adalah bermain, dan tugas utama anak adalah belajar. Hubungan antara aktivitas dan tugas yang melekat pada anak telah menjadi topik pemerhati pendidikan anak, baik teorisi maupun praktisi. Sintesis dari kegiatan bermain dan belajar ini kemudian melahirkan banyak sumbangan ide tentang pentingnya pendidikan anak usia dini, anak dibantu untuk belajar dalam dan melalui kegiatan bermain.
 Konsep ini kemudian dikembangkan dan diwujudkan dalam bentuk aneka kegiatan permainan edukatif. Bagi sebagian orang untuk mewujudkan hal ini ada beberapa tantangan. Tantangan yang sering dihadapi berkaitan dengan konsep bermain anak yang seharusnya berjalan secara alamiah. Namun beberapa temuan menunjukkan bahwa belajar merupakan sebuah proses pengkondisian (conditioning). Konsep pengkondisian ini sedikit mampu menjembatani bagaimana menempatkan anak dalam sebuah situasi bermain alamiah khas anak yang dikondisikan. Aneka permainan tradisional maupun modern dapat digunakan sebagai media belajar anak. Permainan lama dapat diberi nuansa pendidikan (konsep by utilization), demikian pula banyak permainan yang memang dirancang khusus untuk edukasi (konsep by design).

sumber: http://play-with-traditional.blogspot.co.id/
Pemahaman tentang bermain dan belajar menuntut perhatian dan kreativitas ekstra dari para orang tua, juga para guru, khususnya guru bagi anak usia dini. Orang tua dapat menyediakan beberapa perangkat permainan yang dirancang sedemikian rupa agar menarik bagi anak, lalu membiarkan anak mengeksplorasi permainan-permainan tersebut. Atau yang paling sederhana, memanfaatkan apa saja yang ada di rumah, misalnya, orang tua mengajak anak bermain dengan melangkahi petak-petak ubin secara berurutan (kalau ada), saling mengoper bola karet, menyusun tumpukan batu secara berurutan berdasarkan ukuran dan masih banyak kegiatan bermain lain yang dapat diberi muatan belajar untuk anak. Bagi para guru anak usia dini pun demikian. Yang diperlukan hanyalah kreativitas untuk mengemas dan memberi muatan edukatif dalam setiap permainan.

Rabu, 16 November 2016

Iklim Sekolah dan Fenomena Bullying

madison.k12.wi.us 
Fenomena kekerasan atau yang sering disebut bullying di kalangan remaja kian marak dalam beberapa tahun terakhir. Pemberitaan di media massa baik cetak dan elektronik serta berbagai media online sekan tidak habis-habisnya menyajikan kepada publik betapa perilaku kekerasan yang terjadi pada kelompok usia remaja telah menjadi keprihatinan bersama. Perilaku bullying yang dilakukan oleh remaja baik secara individu maupun berkelompok dalam bentuk geng telah banyak menelan korban. Bentuk kekerasan yang terjadi pun bervariasi, berupa kekerasan fisik, verbal dan psikologis. 
Secara global, bullying telah menjadi fenomena baru yang menuntut perhatian. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anak dan remaja. Berbagai sumber menunjukkan kekerasan terhadap remaja cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Data dari KPAI tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan yang terjadi pada anak mencapai 4.398.625 kasus dan pada tahun 2008 meningkat drastis mencapai 13.447.921 kasus. Pada tahun 2008, Plan Indonesia, SEJIWA, dan Universitas Indonesia melakukan survei tentang perilaku bullying di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bogor pada 1500 siswa SMA dan 75 guru. Hasil survei menunjukkan 67,9% responden melaporkan terjadi bullying di sekolah mereka, berupa bullying verbal, psikologis, dan fisik. Pada tahun 2009, kepolisian mencatat dari seluruh laporan kasus kekerasan, 30% diantaranya dilakukan oleh anak-anak.
emaze.com
Secara sosial, perilaku bullying merupakan salah satu bentuk delinkuensi (kenakalan) karena perilaku tersebut melanggar aturan dan norma masyarakat, dan dapat dikenai hukuman baik dalam skala keluarga maupun yang lebih besar seperti lembaga hukum. Namun disadari ataupun tidak, perilaku kekerasan diantara remaja banyak kali baru disadari ketika telah ada korban. Atau dengan kata lain perilaku kekerasan ini baru menjadi masalah dan ditangani ketika telah ada pihak (individu atau kelompok) yang dirugikan entah secara fisik entah secara psikis. Dan kita dari keluarga, lembaga pendidikan, lembaga hukum dan masyarakat luas baru terjaga ketika muncul kasus-kasus kekerasan yang tidak tanggung-tanggung sampai menelan korban jiwa.
Dalam hubungan dengan perilaku delinkuensi dan siklus bullying di sekolah, faktor iklim sekolah menjadi salah satu dari sekian banyak faktor yang dianggap ikut berperan menimbulkan perilaku bullying. Pemikiran ini tentu berangkat dari banyak pendasaran logis yang mendukung. Namun sebelum bertolak lebih jauh kepada argumentasi-argumentasi tersebut kita perlu lebih dahulu memahami apa itu iklim sekolah.
Iklim sekolah adalah suatu konstruk yang kompleks dan multidimensional yang meliputi atmosfir, budaya, nilai-nilai, sumber daya, dan jaringan sosial dari sebuah sekolah. Dapat dikatakan pula bahwa iklim sekolah merupakan “jiwa” dari sebuah sekolah. Iklim sekolah merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi performa siswa di sekolah. Kualitas lingkungan sekolah yang tidak kondusif dapat meningkatkan kemungkinan siswa menjadi depresi, merasa tidak mampu, hingga memunculkan masalah emosi dan perilaku (Purwita & Tairas, 2013).
sites.psu.edu 
Halpin dan Croft menjelaskan iklim sekolah sebagai sesuatu yang intangible tetapi penting untuk sebuah organisasi dan dianalogikan dengan kepribadian seorang individu. Menurut Hoy, Smith dan Sweetland mengemukakan bahwa iklim sekolah dipahami sebagai manifestasi dari kepribadian sekolah yang dapat dievaluasi dalam di sebuah kontinum dari iklim sekolah terbuka ke iklim sekolah tertutup. Iklim sekolah terbuka didasarkan pada rasa hormat, kepercayaan dan kejujuran, serta memberikan peluang kepada guru, manajemen sekolah dan peserta didik untuk terlibat secara konstruktif dan kooperatif dengan satu sama lain.
Iklim sekolah berkaitan dengan lingkungan yang produktif dan kondusif untuk belajar siswa dengan suasana yang mengutamakan kerjasama, kepercayaan, kesetiaan, keterbukaan, bangga, dan komitmen. Iklim sekolah juga berkaitan dengan prestasi akademik, moral fakultas, dan perilaku siswa. Iklim sekolah menengah yang optimal adalah iklim sekolah yang responsif terhadap perkembangan kebutuhan setiap siswa, merangsang pertumbuhan pribadi dan akademik.
Berbagai definisi iklim sekolah apabila ditelaah lebih dalam, mengerucut kepada tiga pengertian. Pertama iklim sekolah didefinisikan sebagai kepribadian suatu sekolah yang membedakan dengan sekolah lainnya. Kedua iklim sekolah didefinisikan sebagai suasana di tempat kerja, mencakup berbagai norma yang kompleks, nilai, harapan, kebijakan, dan prosedur yang mempengaruhi pola perilaku individu dan kelompok. Ketiga iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap kegiatan, praktik, dan prosedur serta persepsi tentang perilaku yang dihargai, didukung dan diharapkan dalam suatu organisasi.
Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa iklim sekolah berperan dalam membentuk kepribadian manusia, secara khusus anak dan remaja yang menjadi warga sekolah. Sekolah dengan iklim sekolah yang positif mengalami sedikit kejadian bullying (Orpinas & Horne, 2006), sementara sekolah dengan iklim negatif akan membuka peluang bagi timbulnya perilaku negatif warga sekolah, yang salah satunya adalah bullying.
Pengalaman anak selama berada di sekolah merupakan suatu hal fundamental dalam kesuksesan transisinya menjadi orang dewasa. Di sekolah anak belajar untuk berunding dan merundingkan kembali hubungan mereka, self-image dan belajar untuk bebas. Sekolah lah tempat anak menanamkan kemampuan-kemampuan interpersonal, menemukan dan menyaring kekuatan dan perjuangan atas kemungkinan-kemungkinan sesuatu yang melukai mereka. Sehingga, sudah seharusnya sekolah harus menyediakan suatu lingkungan yang aman bagi anak berkembang secara akademis, hubungan, emosional dan perilaku (Wilson, 2004).
Banyak peneliti yang telah mengemukakan ragam aspek iklim sekolah dan dimensi pengukurannya. Misalnya Cohen, dkk (dalam Pinkus, 2009) mengemukakan empat aspek utama. Keempat aspek tersebut adalah 1) savety, 2) teaching and learning, 3) interpersonal relationships, dan 4) institutional environment. Keempat aspek tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa dimensi.
Kategori pertama (savety) terdiri atas a) rules and norms, meliputi adanya aturan yang dikomunikasikan dengan jelas dan dilaksanakan secara konsisten; b) physical safety meliputi perasaan siswa dan orang tua yang merasa aman dari gangguan fisik di sekolah; dan c) social and emotional security meliputi perasaan siswa yang merasa aman dari cemoohan, sindiran, dan pengecualian.
simpleacts.org 
Kategori kedua (teaching and learning) terdiri atas a) support for learning, menunjukkan adanya dukungan terhadap praktek-praktek pengajaran, seperti tanggapan yang positif dan konstruktif, dorongan untuk mengambil risiko, tantangan akademik, perhatian individual, dan kesempatan untuk menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai cara; dan b) social and civic learning, menunjukkan adanya dukungan untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan sosial dan kemasyarakatan, termasuk mendengarkan secara efektif, pemecahan masalah, refleksi dan tanggung jawab, serta pembuatan keputusan yang etis.
Kategori ketiga (interpersonal relationships) terdiri atas: a) respect for diversity, menunjukkan adanya sikap saling menghargai terhadap perbedaan individu pada semua tingkatan, yaitu antara siswa dengan siswa, orang tua dengan siswa, dan orang tua dengan orang tua; b) social support adults, menunjukkan adanya kerjasama dan hubungan yang saling mempercayai antara orang tua dengan orang tua untuk mendukung siswa dalam kaitannya dengan harapan tinggi untuk sukses, keinginan untuk mendengar, dan kepedulian pribadi; dan c) social support students menunjukkan adanya jaringan hubungan untuk mendukung kegiatan akademik dan pribadi siswa.
Kategori keempat (institutional environment), terdiri atas a) school connectedness/engagement, meliputi ikatan positif dengan sekolah, rasa memiliki, dan norma-norma umum untuk berpartisipasi dalam kehidupan sekolah bagi siswa dan keluarga; dan b) physical surroundings, meliputi kebersihan, ketertiban, dan daya tarik fasilitas dan sumber daya dan material yang memadai.
Point penting dari apa yang dikemukakan di atas adalah sekolah sebagai sebuah institusi perlu menciptakan iklim yang positif. Hal ini penting, karena sekolah merupakan lingkungan sosial yang dimasuki seorang anak setelah keluar dari lingkungan keluarga. pembentukan kepribadian bukan hanya soal mengajarkan banyak ilmu dan pengetahuan semata. Memang perlu, tetapi kehidupan bukan hanya soal ilmu pengetahuan. Kehidupan bermakna sangat luas dan kompleks. Maka diperlukan pula kompetensi kepribadian yang mendukung kehidupan sosial. Pembentukan kepribadian juga dimulai dari sekolah.
Perilaku bullying merupakan salah satu hal negatif yang tidak diharapkan. Menciptakan iklim sekolah yang positif dapat dilakukan dengan menetapkan aturan yang jelas, kemudian dilaksanakan dengan tegas. Sekolah harus menanamkan kepribadian yang penuh kepedulian, empati, saling menghargai dan menghormati. Diperlukan pula sanksi yang tegas dan mendidik, dalam arti sanksi bukan hanya sebagai hukuman bagi pelaku bullying namun lebih dari itu menjadi pembelajaran dan pembentukan kepribadian positif menggantikan kepribadian negatif dalam diri pelaku. Membangun komunikasi yang baik antara semua elemen dalam sekolah juga penting dibangun, tanpa saling mencurigai satu sama lain. Pola hubungan vertikal maupun horisontal dibagun atas dasar kekeluargaan.

Akhirnya, semoga anak-anak Indonesia bertumbuh menjadi anak-anak yang berkepribadian positif karena dibentuk dalam lingkungan sekolah yang positif. SALAM INDONESIA.

imstronger.ca


Sumber Gambar:
madison.k12.wi.us 
emaze.com
sites.psu.edu 
simpleacts.org
imstroner.ca




Alkohol dan Agresi

Dalam banyak kelompok masyarakat dan budaya, kebiasaan mengkonsumsi alkohol merupakan hal yang umum diterima. Penerimaan ini dikarenakan minuman beralkohol dinilai secara positif, berkaitan dengan nilai-nilai sosio-kultural yang melekat dan terus dihidupi dalam kebudayaan tersebut. Katakanlah misalnya Mojito di Kuba, Sake di Jepang dan Cina, Pisco Sour di Peru dan Chile. Di Indonesia sendiri terdapat banyak jenis minuman beralkohol yang sangat akrab dalam budaya dan tradisi masyarakat lokal. Beberapa tempat menyebutnya arak, tuak, tua, moke, sopi, dan masih banyak sebutan untuk jenis minuman ini. Kadar alkohol dalam setiap jenis minuman ini kadang mencapai angka di atas 50%.
Masyarakat Dawan di Timor menempatkan sopi sebagai minuman bernuansa sosial. Meminum minuman beralkohol atau sopi dalam sebuah pertemuan adat menyimbolkan keakraban dan kekeluargaan. Sebuah musyawarah mufakat sering dikukuhkan dengan minum sopi bersama. Minum sopi bersama juga menjadi simbol rekonsiliasi bagi dua pihak yang bertikai. Penyambutan terhadap seorang yang dihormati sering berwujud suguhan sopi terbaik. Dan kriteria terbaik dalam hal ini adalah sopi dengan kandungan alkohol di atas 50%, diukur dengan kemampuan sopi tersebut menerima pancingan sulutan korek api dan bernyala sesaat sebelum akhirnya menguap tak bersisa.
Beberapa waktu yang lalu, media massa memberitakan kejadian kericuhan saat pesta wisuda yang menelan korban. Kejadian berawal dari konsumsi minuman beralkohol atau disebut pesta miras (minuman keras) yang dilakukan di dekat lokasi acara syukuran wisuda. Kejadian ini hanyalah salah satu dari sekian kejadian yang (hampir) serupa. Dimulai dengan mengkonsumsi miras, timbul ketegangan, kehilangan kontrol, lalu perkelahian perorangan maupun kelompok terjadi sampai membawa korban. Minuman beralkohol juga sering menjadi pemicu terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Dari gambaran ini, disimpulkan bahwa meskipun minuman beralkohol memiliki tempat dan peran dalam masyarakat, minuman beralkohol juga merupakan katalisator bagi perilaku negatif seperti tindak kekerasan, termasuk pembunuhan, penyerangan dan berbagai tindakan agresif lainnya. Selain tindakan agresif, alkohol juga memicu timbulnya perilaku kriminal lain, seperti pencurian, pemerkosaan dan lain sebagainya.
Secara kimia, alkohol (alkanol) adalah istilah yang umum untuk senyawa organik apapun  yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon, yang ia sendiri terikat pada atom hidrogen dan/atau atom karbon lain. Pemanfaatan alkohol secara tidak tepat dapat menimbulkan efek negatif, baik secara langsung maupun tidak langsung. Alkohol merupakan salah satu zat depresan atau penenang yang menyerang dan menumpulkan pusat-pusat penting di dalam otak, sehingga penilaian dan proses-proses rasional lainnya dalam diri seorang yang mengkonsumsi alkohol menjadi terganggu. Terganggunya sistem kognitif dalam otak menurunkan kualitas kontrol diri.
Alkohol memiliki efek jangka pendek dan panjang yang bervariasi bagi manusia, mulai dari berkurangnya kemampuan menilai dan koordinasi motorik dan konsekuensinya yang mengerikan, hingga kecanduan, yang membuat kehidupan normal dan produktif tidak mungkin lagi dijalani dan sangat sulit diatasi. Alkohol dapat menyebabkan kondisi blackouts atau hilang kesadaran dan hangover, suatu kondisi ringan withdrawal yang berupa sakit kepala. Kebiasaan minum kronis dalam waktu lama menimbulkan dampak biologis juga psikologis. Alkohol juga zat berkalori tinggi yang berkontribusi langsung terhadap malnutrisi dengan menghambat pencernaan makanan dan penyerapan vitamin. Adapun efek yang terjadi di otak antara lain adalah meningkatnya stimulasi seksual. Selain itu, alkohol dapat menyebabkan rusaknya fungsi darah putih memerangi penyakit sehingga memberi peluang timbulnya kanker. Alkohol menghambat berbagai reseptor glutamate yang dapat menimbulkan efek kognitif intoksikasi (keracunan) alkohol, seperti berbicara dengan tidak jelas dan hilangnya memori.
DSM-IV TR mengemukakan pengkonsumsian alkohol merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan zat karena potensi alkohol untuk mempengaruhi sistem saraf pusat dan memberikan efek pada bagian kognitif serta menimbulkan perilaku maladaptif.  Lebih lanjut dikatakan bahwa gangguan penyalahgunaan alkohol disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa faktor itu antara lain faktor biologis, faktor behavioral, juga faktor sosial. Bercermin pada historisitas manusia, mungkin faktor sosial merupakan faktor yang menyumbang peluang paling besar terhadap perilaku konsumsi alkohol. Kembali pada apa yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa perilaku menkonsumsi alkohol bertalian dengan apa yang diyakini sebagai budaya yang diterima secara positif.
Jika diuraikan secara sedikit lebih terperinci, perilaku konsumsi alkohol dikategorikan dalam beberapa variabel. Pertama, variabel sosiokultural. Pengaruh teman sebaya, orang tua, media dan jenis perilaku yang dianggap pantas dalam suatu budaya tertentu, lingkungan sosial, dapat mempengaruhi ketertarikan dan akses seseorang pada obat-obatan.Individu memiliki kecenderungan menyalahgunakan zat pada kenyataannya memilih jaringan sosial yang sesuai dengan pola minum atau penggunaan obat mereka. Individu pun seringkali lebih memilih jaringan sosial yang memiliki pola minum yang sama dengan mereka. Jaringan sosial seseorang memprediksi kebiasaan minum individual, namun kebiasaan minum individual juga memprediksi kebiasaan minum jaringan sosial.
Kedua, variabel biologis. Secara biologis, metabolisme sel orang yang tergantung pada alkohol telah beradaptasi dengan kehadiran alkohol. Data mengindikasikan bahwa permasalahan minum pada manusia dapat diturunkan secara genetis. Kemampuan untuk menoleransi alkohol dapat merupakan suatu diathesis bagi penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol. 
Ketiga, variabel psikologis. Berbagai temuan mengindikasikan bahwa alkohol dapat menghasilkan efek mengurangi ketegangan dengan mengubah kognisi dan persepsi. Alkohol melemahkan proses kognitif  dan menyempitkan perhatian. Variabel psikologis yang sangat berkaitan dengan pola budaya masyarakat adalah pandangan behavioral yang memandang ketergantungan alkohol sama dengan kebiasaan kuat yang terus bertahan oleh berbagai hal yang terdahulu dan memperkuat akibatnya.
Berhadapan dengan perilaku konsumsi alkohol yang berdampak memprihatinkan ini, diperlukan suatu penanganan yang benar-benar mumpuni. Pendidikan tentang alkohol dan aturan yang jelas tentang penggunaan alkohol penting untuk digalakkan guna meminimalisir dampak negatifnya. Pendidikan yang dimaksud adalah penanaman pemahaman dan nilai sejak dini dari dalam keluarga tentang dampak yang bisa timbul karena konsumsi alkohol yang berlebihan. Edukasi alkohol harus faktual dan sesuai kenyataan. Alkohol hidup dalam tradisi dan budaya, namun tradisi dan budaya tidak serta merta menjadi alasan untuk mengkonsumsi alkohol secara bebas. Sebaliknya perlu disadari bahwa dalam tradisi pun konsumsi alkohol memiliki kriteria dan batasan. Katakanlah minum minuman beralkohol mempunyai tempat, waktu dan tujuan. Harus dipikirkan kapan perlu minum minuman beralkohol, dimana, juga apa tujuannya. Perlu dipahami secara benar bahwa minum minuman beralkohol merupakan aktivitas social drinking yang bukan bertujuan untuk mabuk.

Peran pemerintah juga sangat diperlukan dalam penanganan perilaku konsumsi alkohol secara berlebihan ini. Dan ini tak mungkin sekali jalan lalu sekali jadi. Diperlukan usaha yang digalakkan terus-menerus dalam kurun waktu yang tak tentu. Sebab mengubah secara nyata sebuah pola yang telah dihidupi masyarakat tidak semudah membicarakannya. Diperlukan aturan yang jelas, tegas dan ketat dari pihak pemerintah. Mulai dari regulasi atas usaha produksi, pendistribusian sampai pada konsumsi minuman beralkohol.

Selasa, 08 November 2016

PERILAKU AGRESIF: HASIL BELAJAR YANG TIMPANG


Agresi merupakan sebuah istilah yang sangat umum digunakan untuk berbagai jenis tindakan yang melibatkan serangan, kemarahan, dsb (Reber & Reber, 2010).  Atau dengan kata lain agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Agresi juga didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh atau menghukum orang lain. Biasanya istilah agresi digunakan untuk tindakan-tindakan yang diasumsikan termotivasi hal-hal berikut: (a) rasa takut atau frustrasi; (b) keinginan untuk menghasilkan pada orang lain rasa takut atau melarikan diri; (c) kecenderungan memajukan sendiri ide, pandangan, gagasan atau kepentingannya sendiri. Pengertian ini merupakan definisi dasar agersi yang secara umum longgar dan dapat diterima, karena penggunaan istilah agresi selalu mengikuti teori yang diusung sehingga tidak ada penerimaan seragam definisi yang bisa ditemukan. 

Tinjauan Teoritis
Image resultDalam ilmu psikologi, perkembangan pemahaman terhadap perilaku agresif pada manusia berkembang berdasarkan beberapa teori. Teori-teori tersebut dikemukakan berdasarkan sudut pandang tertentu yang secara logis-ilmiah mengkaji asal usul perilaku agresif tersebut muncul. Berikut beberapa teori yang membahas perilaku agresif pada manusia. 

Teori Insting
Sifat alamiah manusia mungkin merupakan penjelasan yang paling klasik, bahwa manusia diprogram sedemikian rupa untuk melakukan kekerasan. Freud merupakan tokoh yang paling memberi perhatian dan mendukung pandangan ini. Freud dengan teorinya berpandangan bahwa perilaku individu didorong oleh dua kekuatan dasar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sifat kemanusiaan; perilaku agresif itu berasal dari insting mahluk hidup. Pada dasarnya dalam diri manusia terdapat dua macam insting, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (thanatos). Menurut Freud, agresi adalah salah satu insting dasar manusia yaitu insting kematian (death instinct) yang bertujuan untuk mempertahankan jenisnya (survival). Thanatos/death instinct ini menyebabkan seseorang ingin menyerang orang lain, berkelahi, berperang, atau marah.
Pandangan serupa juga diajukan oleh Konrad Lorenz. Menurut Lorenz, perilaku agresif terutama berasal dari insting berkelahi (fighting instinct) yang diwariskan (inherited) untuk memastikan bahwa hanya pria yang terkuat yang akan mendapatkan pasangan dan mewariskan gen mereka pada generasi berikutnya. Munculnya pandangan evolusioner dalam psikologi turut andil dalam pengembangan pemahaman ini. Dikatakan bahwa faktor genetis memainkan beberapa peran dalam perilaku agresi manusia, dalam cara yang jauh lebih kompleks. Senada dengan pendapat di atas Ardrey (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) mendasarkan pada teori evolusi Darwin dalam penelitiannya tentang perilaku agresif, berpendapat manusia sejak kelahirannya telah membawa killing imperativ dan dengan killing imperative ini manusia dihinggapi obsesi untuk menciptakan senjata dan menggunakan senjatanya itu untuk membunuh apabila perlu.

Teori Motivasi
Pandangan lain tentang perilaku agresi adalah teori motivasi. Menurut teori ini, perilaku agresi ditentukan oleh kejadian-kejadian eksternal. Kondisi tersebut akan menimbulkan dorongan yang kuat pada seseorang untuk memicu kemunculan perilaku agresi. Salah satu teori dari kelompok ini adalah teori frustrasi-agresi yang dipelopori oleh Dollard dkk (dalam Baron & Byrne, 2000). Teori ini menyatakan bahwa frustrasi menyebabkan berbagai kecenderungan, yang salah satunya adalah kecenderungan agresi. Agresi timbul karena adanya frustrasi. Apabila frustrasi meningkat, maka kecenderungan perilaku agresi akan meningkat. Kekuatan dorongan agresi yang disebabkan oleh frustrasi  tergantung besarnya kepuasan yang diharapkan dan tidak dapat diperoleh. Tepatnya jika orang tiba-tiba dihalangi untuk mencapai tujuannya, akan meningkatkan kecenderungannya untuk menyakiti orang lain, tergantung: (1) tingkat kepuasan yang diharapkan; (2) seberapa jauh gagal memperoleh kepuasan; (3) seberapa sering terhalang untuk mencapai tujuan (Berkowitz, 1995).
Sears, dkk (1995) mengemukakan bahwa frustrasi adalah suatu gangguan atau kegagalan dalam mencapai suatu tujuan, selanjutnya dikatakan bahwa salah satu prinsip dasar dalam psikologi adalah frustrasi cenderung membangkitkan perasaan agresi. Berdasarkan teori ini dorongan untuk melakukan agresi meningkat bersamaan dengan meningkatnya frustrasi.
Image resultDalam pandangan yang direvisi, meskipun agresi bukan satu-satunya, tetapi merupakan salah satu respon terhadap frustrasi. Individu yang frustrasi mungkin akan menarik diri dari situasi itu atau menjadi depresi. Sejauh tindakan agresi mengurangi kekuatan dorongan yang mendasarinya, tindakan itu akan bersifat menguatkan diri: kemungkinan respon agresi akan timbul mengikuti frustrasi yang dialami sebelumnya akan meningkat (Barbara, 2005)
Pandangan yang sedikit lebih menyeluruh terkait agresi mengemukakan bahwa terdapat banyak faktor berbeda yang dapat memicu perilaku agresi pada manusia. Meskipun tak ada teori tunggal yang dapat merangkum seluruh faktor penyebab agresi, pendekatan yang diajukan Anderson dkk (1996) bisa sedikit menjelaskan secara lebih memadai. Variabel individual dan situasional yang beragam dengan cara tertentu dapat menimbulkan agresi. Teori ini menyadari pengaruh proses belajar, berbagai variabel input, kognisi, perbedaan individu dan keadaan afektif terhadap timbul dan terbentuknya perilaku agresi.

Biopsikologi
Pemikiran tentang pemicu perilaku agresi dikemukakan pula dari sudut pandang biopsikologi (psikologi faal). Secara biopsikologi, setidaknya ada tiga faktor yang memengaruhi perilaku agresi yakni faktor gen, sistem syaraf pusat dan kimia darah (Davidoff, 1991). Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya,  faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi, atau juga karena kecelakaan yang merusak sistem syaraf pusat.
Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.

Beberapa Teori Belajar
Teori belajar sosial mengemukakan bahwa setiap perilaku manusia merupakan hasil belajar dalam interaksinya dalam kehidupan. Maka dapat dikatakan bahwa perilaku agresif pada manusia merupakan hasil belajarnya dalam lingkungan sosial.
  1. Classical conditioning. Teori ini dikemukakan oleh Pavlov, yang mana Pavlov menekankan pentingnya conditioning (pengkondisian) sebagai syarat utama pembentukan perilaku manusia. Perilaku agresif terjadi karena adanya proses mengasosiasikan suatu stimulus dengan stimulus lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif terjadi karena seseorang dikondisikan untuk melakukannya. Satu hal yang ditekankan Pavlov adalah faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi proses belajar sosial. Lingkungan yang permisif terhadap perilaku agresif menyumbang peluang lebih besar terhadap pewarisan perilaku tersebut ke generasi berikut.
  2. Operant Conditioning. Teori yang dikemukakan B.F. Skinner ini berkaitan dengan penguatan yang diberikan kepada sebuah perilaku. Inti dari teori behaviorisme Skinner adalah pengkondisian operan yaitu sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan diulangi. Dalam hubungan dengan pembentukan perilaku terdapat dua elemen yang diperlukan: perilaku itu sendiri dan sebuah penguat (Olson & Hergenhahn, 2013). Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang diperoleh setelah melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-esteem orang tersebut). Contoh: A sering berkelahi dan menganggu temannya karena ia merasa disegani oleh teman-temannya dengan melakukan tindakan agresif tersebut.
  3. Modelling (meniru). Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia kagumi. Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi seorang petinju terkenal akan cenderung meniru tingkah laku petinju favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya.
  4. Learning by Experience. Dalam pemahaman teori ini, seseorang melakukan agresi karena telah lebih dahulu belajar melakukannya melalui pengalaman. Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh orang tersebut. Pengalaman yang terekam memori memberi peluang atau kemungkinan untuk melakukannya dalam hidup. Contoh: anak yang sejak kecil sering mengalami perilaku agresif (berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi anak yg agresif (suka berkelahi). Atau seorang anak yang sering mengalami sanksi fisik dalam keluarga maupun di sekolah punya peluang besar untuk melakukan kekerasan fisik dalam kehidupan selanjutnya.

Pada dasarnya, perilaku agresif yang terjadi tanpa kita sadari hanyalah sebuah klimaks akumulatif. Proses belajar yang berlangsung dalam kurun waktu individu tersebut hidup ternyata belum mampu menjadikan individu tersebut menjadi baik. Padahal harusnya proses belajar entah secara formal maupun non formal bertujuan menjadikan manusia lebih baik. Dari pemahaman teori belajar sosial, perilaku agresi boleh dikatakan hasil belajar yang tidak memadai. Meskipun dalam masyarakat terdapat banyak norma dan aturan yang berusaha mengatur kehidupan agar menjadi baik, pada tempat yang sama masyarakat menciptakan peluang aturan itu dilanggar. Di sini transfer nilai antar generasi terjadi secara timpang. Konkretnya lain yang diajarkan, lain pula yang diteladankan.
Kenyataan lainnya, meskipun kita telah hidup di jaman yang serba maju dan berkembang, beberapa pola tradisional masih dihidupi oleh sebagian masyarakat tertentu. Pola asuh dan didikan dalam keluarga yang masih cenderung menghayati secara harafiah ungkapan “di ujung rotan ada emas” secara tak disadari membuat orang tua mendidik anak dengan kekerasan. Dan ternyata bukan hanya dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal pun memberi peluang yang hampir sama, di mana guru dianggap sah dan wajar bila memberikan hukuman fisik kepada murid yang melanggar disiplin. Tak jarang hukuman ini berakibat cukup serius. Anak yang tumbuh di lingkungan sosial yang memberi ruang kepada kekerasan akan cenderung tumbuh menjadi pribadi yang agresif.
Jalan yang mungkin bisa ditempuh untuk mengentas perilaku yang menyimpang ini adalah memperkuat penanaman nilai perilaku santun bagi anak-anak dan remaja. Dan ini merupakan tanggung jawab bersama, antara keluarga sebagai dapur utama pembentukan kepribadian, lembaga pendidikan, masyarakat dan pemerintah. Tak dapat dan tak boleh saling melempar tanggung jawab serta saling menyalahkan ketika muncul perilaku agresi pada anak dan remaja yang meresahkan kehidupan sosial. Semua mesti berbenah dan berubah, kalau menginginkan sebuah bentuk kehidupan yang lebih baik.



  1. Anderson, C.A., Anderson, K.B., & Deuser, W.E. 1996. Examining an affective aggresion framework: Weapon and temperature effects on aggresive thoughts, affect, and attitudes. Personality and Social Psychology Bulletin, 22, 366-376
  2. Baron, Robert A. & Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial – jilid 2. Jakarta: Erlangga.
  3. Dayakisni, Tri & Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial – buku 1. Malang: UMM Press.
  4. Olson, M. H. & Hergenhahn, B.R. 2013. Pengantar Teori-Teori Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  5. Reber, Arthur S. & Reber, Emily S. 2010. Kamus Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gambar ilustrasi saya ambil dari:
https://fitriariyanti.com/2014/05/07/haruskah-nyawa-anak-begitu-murahnya-renungan-tentang-perilaku-agresi-anak-part-one/
http://leavespalace.blogspot.co.id/2015/03/mengenal-secara-singkat-perilaku-agresi.html