Agresi merupakan sebuah istilah yang sangat umum
digunakan untuk berbagai jenis tindakan yang melibatkan serangan, kemarahan,
dsb (Reber & Reber, 2010). Atau dengan
kata lain agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau
merusak milik orang lain. Agresi juga didefinisikan sebagai suatu cara untuk
melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh atau
menghukum orang lain. Biasanya istilah agresi digunakan untuk tindakan-tindakan
yang diasumsikan termotivasi hal-hal berikut: (a) rasa takut atau frustrasi;
(b) keinginan untuk menghasilkan pada orang lain rasa takut atau melarikan
diri; (c) kecenderungan memajukan sendiri ide, pandangan, gagasan atau
kepentingannya sendiri. Pengertian ini merupakan definisi dasar agersi yang
secara umum longgar dan dapat diterima, karena penggunaan istilah agresi selalu
mengikuti teori yang diusung sehingga tidak ada penerimaan seragam definisi yang
bisa ditemukan.
Tinjauan Teoritis
Dalam ilmu psikologi, perkembangan pemahaman
terhadap perilaku agresif pada manusia berkembang berdasarkan beberapa teori.
Teori-teori tersebut dikemukakan berdasarkan sudut pandang tertentu yang secara
logis-ilmiah mengkaji asal usul perilaku agresif tersebut muncul. Berikut
beberapa teori yang membahas perilaku agresif pada manusia.
Teori Insting
Sifat alamiah manusia mungkin merupakan penjelasan
yang paling klasik, bahwa manusia diprogram sedemikian rupa untuk melakukan
kekerasan. Freud merupakan tokoh yang paling memberi perhatian dan mendukung
pandangan ini. Freud dengan teorinya berpandangan bahwa
perilaku individu didorong oleh dua kekuatan dasar yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari sifat kemanusiaan; perilaku agresif itu berasal dari insting mahluk hidup. Pada dasarnya dalam diri manusia
terdapat dua macam insting, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (thanatos). Menurut Freud, agresi adalah
salah satu insting dasar manusia yaitu insting kematian (death
instinct) yang bertujuan untuk
mempertahankan jenisnya (survival). Thanatos/death instinct
ini menyebabkan seseorang ingin menyerang orang lain, berkelahi, berperang,
atau marah.
Pandangan serupa juga diajukan oleh Konrad Lorenz. Menurut Lorenz, perilaku
agresif terutama berasal dari insting berkelahi (fighting instinct) yang
diwariskan (inherited) untuk
memastikan bahwa hanya pria yang terkuat yang akan mendapatkan pasangan dan
mewariskan gen mereka pada generasi berikutnya. Munculnya pandangan evolusioner dalam psikologi turut andil dalam
pengembangan pemahaman ini. Dikatakan bahwa faktor genetis memainkan beberapa
peran dalam perilaku agresi manusia, dalam cara yang jauh lebih kompleks. Senada dengan pendapat di atas Ardrey (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) mendasarkan pada
teori evolusi Darwin dalam penelitiannya tentang perilaku agresif, berpendapat
manusia sejak kelahirannya telah membawa killing imperativ dan dengan killing
imperative ini manusia dihinggapi obsesi untuk menciptakan senjata dan
menggunakan senjatanya itu untuk membunuh apabila perlu.
Teori Motivasi
Pandangan lain tentang perilaku agresi adalah
teori motivasi. Menurut teori ini, perilaku agresi ditentukan
oleh kejadian-kejadian eksternal. Kondisi tersebut akan menimbulkan dorongan yang kuat pada seseorang
untuk memicu kemunculan perilaku agresi. Salah satu teori dari kelompok ini
adalah teori frustrasi-agresi yang dipelopori oleh Dollard dkk (dalam Baron
& Byrne, 2000). Teori ini menyatakan bahwa frustrasi menyebabkan berbagai
kecenderungan, yang salah satunya adalah kecenderungan agresi. Agresi timbul karena
adanya frustrasi. Apabila frustrasi meningkat, maka kecenderungan perilaku
agresi akan meningkat. Kekuatan dorongan agresi yang disebabkan oleh
frustrasi tergantung besarnya
kepuasan yang diharapkan dan tidak dapat diperoleh. Tepatnya jika orang tiba-tiba dihalangi untuk mencapai tujuannya, akan
meningkatkan kecenderungannya untuk menyakiti orang lain, tergantung: (1) tingkat kepuasan yang diharapkan; (2) seberapa jauh gagal memperoleh kepuasan; (3) seberapa sering terhalang untuk mencapai tujuan (Berkowitz, 1995).
Sears, dkk (1995) mengemukakan bahwa frustrasi adalah suatu gangguan
atau kegagalan dalam mencapai suatu tujuan, selanjutnya dikatakan bahwa salah
satu prinsip dasar dalam psikologi adalah frustrasi cenderung membangkitkan
perasaan agresi. Berdasarkan teori ini dorongan untuk melakukan agresi meningkat
bersamaan dengan meningkatnya frustrasi.
Dalam pandangan yang direvisi, meskipun agresi bukan satu-satunya, tetapi
merupakan salah satu respon terhadap frustrasi. Individu yang frustrasi mungkin
akan menarik diri dari situasi itu atau menjadi depresi. Sejauh tindakan agresi
mengurangi kekuatan dorongan yang mendasarinya, tindakan itu akan bersifat
menguatkan diri: kemungkinan respon agresi akan timbul mengikuti frustrasi yang
dialami sebelumnya akan meningkat (Barbara, 2005).
Pandangan yang sedikit lebih menyeluruh terkait
agresi mengemukakan bahwa terdapat banyak faktor berbeda yang dapat memicu
perilaku agresi pada manusia. Meskipun tak ada teori tunggal yang dapat
merangkum seluruh faktor penyebab agresi, pendekatan yang diajukan Anderson dkk
(1996) bisa sedikit menjelaskan secara lebih memadai. Variabel individual dan
situasional yang beragam dengan cara tertentu dapat menimbulkan agresi. Teori
ini menyadari pengaruh proses belajar, berbagai variabel input, kognisi,
perbedaan individu dan keadaan afektif terhadap timbul dan terbentuknya
perilaku agresi.
Biopsikologi
Pemikiran tentang pemicu perilaku agresi
dikemukakan pula dari sudut pandang biopsikologi (psikologi faal). Secara
biopsikologi, setidaknya ada tiga faktor yang memengaruhi perilaku agresi yakni
faktor gen, sistem syaraf pusat dan kimia darah (Davidoff, 1991). Gen
tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur
perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari
yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan
tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah
dibandingkan betinanya.
Sistem otak yang tidak
terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural
yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau
ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan
kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara
kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang
berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang
tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk
melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan
yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati
sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi,
atau juga karena kecelakaan yang merusak sistem syaraf pusat.
Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian
ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam
suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan
beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang
memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin
sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi
lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri
(dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang
sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron
menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka
mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita
yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat
berlangsungnya siklus haid ini.
Beberapa Teori Belajar
Teori belajar sosial mengemukakan bahwa setiap
perilaku manusia merupakan hasil belajar dalam interaksinya dalam kehidupan.
Maka dapat dikatakan bahwa perilaku agresif pada manusia merupakan hasil
belajarnya dalam lingkungan sosial.
- Classical conditioning. Teori ini
dikemukakan oleh Pavlov, yang mana Pavlov menekankan pentingnya conditioning (pengkondisian)
sebagai syarat utama pembentukan perilaku manusia. Perilaku agresif terjadi karena adanya proses mengasosiasikan
suatu stimulus dengan stimulus lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif terjadi karena seseorang
dikondisikan untuk melakukannya. Satu hal yang ditekankan Pavlov adalah
faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi proses belajar sosial.
Lingkungan yang permisif terhadap perilaku agresif menyumbang peluang
lebih besar terhadap pewarisan perilaku tersebut ke generasi berikut.
- Operant Conditioning. Teori yang
dikemukakan B.F. Skinner ini berkaitan dengan penguatan yang diberikan
kepada sebuah perilaku. Inti dari teori behaviorisme
Skinner adalah pengkondisian operan yaitu sebentuk pembelajaran dimana
konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam
probabilitas prilaku itu akan diulangi. Dalam
hubungan dengan pembentukan perilaku terdapat dua elemen yang diperlukan:
perilaku itu sendiri dan sebuah penguat (Olson & Hergenhahn, 2013). Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang diperoleh
setelah melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut bersifat
tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh
kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-esteem orang tersebut).
Contoh: A sering berkelahi dan menganggu temannya karena ia merasa
disegani oleh teman-temannya dengan melakukan tindakan agresif tersebut.
- Modelling (meniru). Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru
seseorang yang ia kagumi. Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi
seorang petinju terkenal akan cenderung meniru tingkah laku petinju
favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya.
- Learning by Experience. Dalam pemahaman
teori ini, seseorang melakukan agresi karena telah lebih dahulu belajar
melakukannya melalui pengalaman. Perilaku agresif
terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh orang tersebut. Pengalaman yang terekam memori memberi
peluang atau kemungkinan untuk melakukannya dalam hidup. Contoh: anak yang sejak kecil sering mengalami perilaku
agresif (berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi anak yg agresif (suka
berkelahi). Atau seorang anak yang sering mengalami
sanksi fisik dalam keluarga maupun di sekolah punya peluang besar untuk
melakukan kekerasan fisik dalam kehidupan selanjutnya.
Pada dasarnya, perilaku agresif yang terjadi tanpa
kita sadari hanyalah sebuah klimaks akumulatif. Proses belajar yang berlangsung
dalam kurun waktu individu tersebut hidup ternyata belum mampu menjadikan
individu tersebut menjadi baik. Padahal harusnya proses belajar entah secara
formal maupun non formal bertujuan menjadikan manusia lebih baik. Dari pemahaman
teori belajar sosial, perilaku agresi boleh dikatakan hasil belajar yang tidak
memadai. Meskipun dalam masyarakat terdapat banyak norma dan aturan yang
berusaha mengatur kehidupan agar menjadi baik, pada tempat yang sama masyarakat
menciptakan peluang aturan itu dilanggar. Di sini transfer nilai antar generasi
terjadi secara timpang. Konkretnya lain yang diajarkan, lain pula yang
diteladankan.
Kenyataan lainnya, meskipun kita telah hidup di
jaman yang serba maju dan berkembang, beberapa pola tradisional masih dihidupi
oleh sebagian masyarakat tertentu. Pola asuh dan didikan dalam keluarga yang
masih cenderung menghayati secara harafiah ungkapan “di ujung rotan ada emas”
secara tak disadari membuat orang tua mendidik anak dengan kekerasan. Dan
ternyata bukan hanya dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal
pun memberi peluang yang hampir sama, di mana guru dianggap sah dan wajar bila
memberikan hukuman fisik kepada murid yang melanggar disiplin. Tak jarang
hukuman ini berakibat cukup serius. Anak yang tumbuh di lingkungan sosial yang
memberi ruang kepada kekerasan akan cenderung tumbuh menjadi pribadi yang
agresif.
Jalan yang mungkin bisa ditempuh untuk mengentas
perilaku yang menyimpang ini adalah memperkuat penanaman nilai perilaku santun
bagi anak-anak dan remaja. Dan ini merupakan tanggung jawab bersama, antara
keluarga sebagai dapur utama pembentukan kepribadian, lembaga pendidikan,
masyarakat dan pemerintah. Tak dapat dan tak boleh saling melempar tanggung
jawab serta saling menyalahkan ketika muncul perilaku agresi pada anak dan
remaja yang meresahkan kehidupan sosial. Semua mesti berbenah dan berubah,
kalau menginginkan sebuah bentuk kehidupan yang lebih baik.
- Anderson, C.A., Anderson, K.B., & Deuser,
W.E. 1996. Examining an affective aggresion framework: Weapon and
temperature effects on aggresive thoughts, affect, and attitudes. Personality and Social Psychology
Bulletin, 22, 366-376
- Baron, Robert A. & Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial – jilid 2.
Jakarta: Erlangga.
- Dayakisni, Tri & Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial – buku 1. Malang:
UMM Press.
- Olson, M. H. & Hergenhahn, B.R. 2013.
Pengantar Teori-Teori Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Reber, Arthur S. & Reber, Emily S. 2010. Kamus Psikologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
https://fitriariyanti.com/2014/05/07/haruskah-nyawa-anak-begitu-murahnya-renungan-tentang-perilaku-agresi-anak-part-one/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini