Selasa, 08 November 2016

PERILAKU AGRESIF: HASIL BELAJAR YANG TIMPANG


Agresi merupakan sebuah istilah yang sangat umum digunakan untuk berbagai jenis tindakan yang melibatkan serangan, kemarahan, dsb (Reber & Reber, 2010).  Atau dengan kata lain agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Agresi juga didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh atau menghukum orang lain. Biasanya istilah agresi digunakan untuk tindakan-tindakan yang diasumsikan termotivasi hal-hal berikut: (a) rasa takut atau frustrasi; (b) keinginan untuk menghasilkan pada orang lain rasa takut atau melarikan diri; (c) kecenderungan memajukan sendiri ide, pandangan, gagasan atau kepentingannya sendiri. Pengertian ini merupakan definisi dasar agersi yang secara umum longgar dan dapat diterima, karena penggunaan istilah agresi selalu mengikuti teori yang diusung sehingga tidak ada penerimaan seragam definisi yang bisa ditemukan. 

Tinjauan Teoritis
Image resultDalam ilmu psikologi, perkembangan pemahaman terhadap perilaku agresif pada manusia berkembang berdasarkan beberapa teori. Teori-teori tersebut dikemukakan berdasarkan sudut pandang tertentu yang secara logis-ilmiah mengkaji asal usul perilaku agresif tersebut muncul. Berikut beberapa teori yang membahas perilaku agresif pada manusia. 

Teori Insting
Sifat alamiah manusia mungkin merupakan penjelasan yang paling klasik, bahwa manusia diprogram sedemikian rupa untuk melakukan kekerasan. Freud merupakan tokoh yang paling memberi perhatian dan mendukung pandangan ini. Freud dengan teorinya berpandangan bahwa perilaku individu didorong oleh dua kekuatan dasar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sifat kemanusiaan; perilaku agresif itu berasal dari insting mahluk hidup. Pada dasarnya dalam diri manusia terdapat dua macam insting, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (thanatos). Menurut Freud, agresi adalah salah satu insting dasar manusia yaitu insting kematian (death instinct) yang bertujuan untuk mempertahankan jenisnya (survival). Thanatos/death instinct ini menyebabkan seseorang ingin menyerang orang lain, berkelahi, berperang, atau marah.
Pandangan serupa juga diajukan oleh Konrad Lorenz. Menurut Lorenz, perilaku agresif terutama berasal dari insting berkelahi (fighting instinct) yang diwariskan (inherited) untuk memastikan bahwa hanya pria yang terkuat yang akan mendapatkan pasangan dan mewariskan gen mereka pada generasi berikutnya. Munculnya pandangan evolusioner dalam psikologi turut andil dalam pengembangan pemahaman ini. Dikatakan bahwa faktor genetis memainkan beberapa peran dalam perilaku agresi manusia, dalam cara yang jauh lebih kompleks. Senada dengan pendapat di atas Ardrey (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) mendasarkan pada teori evolusi Darwin dalam penelitiannya tentang perilaku agresif, berpendapat manusia sejak kelahirannya telah membawa killing imperativ dan dengan killing imperative ini manusia dihinggapi obsesi untuk menciptakan senjata dan menggunakan senjatanya itu untuk membunuh apabila perlu.

Teori Motivasi
Pandangan lain tentang perilaku agresi adalah teori motivasi. Menurut teori ini, perilaku agresi ditentukan oleh kejadian-kejadian eksternal. Kondisi tersebut akan menimbulkan dorongan yang kuat pada seseorang untuk memicu kemunculan perilaku agresi. Salah satu teori dari kelompok ini adalah teori frustrasi-agresi yang dipelopori oleh Dollard dkk (dalam Baron & Byrne, 2000). Teori ini menyatakan bahwa frustrasi menyebabkan berbagai kecenderungan, yang salah satunya adalah kecenderungan agresi. Agresi timbul karena adanya frustrasi. Apabila frustrasi meningkat, maka kecenderungan perilaku agresi akan meningkat. Kekuatan dorongan agresi yang disebabkan oleh frustrasi  tergantung besarnya kepuasan yang diharapkan dan tidak dapat diperoleh. Tepatnya jika orang tiba-tiba dihalangi untuk mencapai tujuannya, akan meningkatkan kecenderungannya untuk menyakiti orang lain, tergantung: (1) tingkat kepuasan yang diharapkan; (2) seberapa jauh gagal memperoleh kepuasan; (3) seberapa sering terhalang untuk mencapai tujuan (Berkowitz, 1995).
Sears, dkk (1995) mengemukakan bahwa frustrasi adalah suatu gangguan atau kegagalan dalam mencapai suatu tujuan, selanjutnya dikatakan bahwa salah satu prinsip dasar dalam psikologi adalah frustrasi cenderung membangkitkan perasaan agresi. Berdasarkan teori ini dorongan untuk melakukan agresi meningkat bersamaan dengan meningkatnya frustrasi.
Image resultDalam pandangan yang direvisi, meskipun agresi bukan satu-satunya, tetapi merupakan salah satu respon terhadap frustrasi. Individu yang frustrasi mungkin akan menarik diri dari situasi itu atau menjadi depresi. Sejauh tindakan agresi mengurangi kekuatan dorongan yang mendasarinya, tindakan itu akan bersifat menguatkan diri: kemungkinan respon agresi akan timbul mengikuti frustrasi yang dialami sebelumnya akan meningkat (Barbara, 2005)
Pandangan yang sedikit lebih menyeluruh terkait agresi mengemukakan bahwa terdapat banyak faktor berbeda yang dapat memicu perilaku agresi pada manusia. Meskipun tak ada teori tunggal yang dapat merangkum seluruh faktor penyebab agresi, pendekatan yang diajukan Anderson dkk (1996) bisa sedikit menjelaskan secara lebih memadai. Variabel individual dan situasional yang beragam dengan cara tertentu dapat menimbulkan agresi. Teori ini menyadari pengaruh proses belajar, berbagai variabel input, kognisi, perbedaan individu dan keadaan afektif terhadap timbul dan terbentuknya perilaku agresi.

Biopsikologi
Pemikiran tentang pemicu perilaku agresi dikemukakan pula dari sudut pandang biopsikologi (psikologi faal). Secara biopsikologi, setidaknya ada tiga faktor yang memengaruhi perilaku agresi yakni faktor gen, sistem syaraf pusat dan kimia darah (Davidoff, 1991). Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya,  faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi, atau juga karena kecelakaan yang merusak sistem syaraf pusat.
Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.

Beberapa Teori Belajar
Teori belajar sosial mengemukakan bahwa setiap perilaku manusia merupakan hasil belajar dalam interaksinya dalam kehidupan. Maka dapat dikatakan bahwa perilaku agresif pada manusia merupakan hasil belajarnya dalam lingkungan sosial.
  1. Classical conditioning. Teori ini dikemukakan oleh Pavlov, yang mana Pavlov menekankan pentingnya conditioning (pengkondisian) sebagai syarat utama pembentukan perilaku manusia. Perilaku agresif terjadi karena adanya proses mengasosiasikan suatu stimulus dengan stimulus lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif terjadi karena seseorang dikondisikan untuk melakukannya. Satu hal yang ditekankan Pavlov adalah faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi proses belajar sosial. Lingkungan yang permisif terhadap perilaku agresif menyumbang peluang lebih besar terhadap pewarisan perilaku tersebut ke generasi berikut.
  2. Operant Conditioning. Teori yang dikemukakan B.F. Skinner ini berkaitan dengan penguatan yang diberikan kepada sebuah perilaku. Inti dari teori behaviorisme Skinner adalah pengkondisian operan yaitu sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan diulangi. Dalam hubungan dengan pembentukan perilaku terdapat dua elemen yang diperlukan: perilaku itu sendiri dan sebuah penguat (Olson & Hergenhahn, 2013). Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang diperoleh setelah melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-esteem orang tersebut). Contoh: A sering berkelahi dan menganggu temannya karena ia merasa disegani oleh teman-temannya dengan melakukan tindakan agresif tersebut.
  3. Modelling (meniru). Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia kagumi. Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi seorang petinju terkenal akan cenderung meniru tingkah laku petinju favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya.
  4. Learning by Experience. Dalam pemahaman teori ini, seseorang melakukan agresi karena telah lebih dahulu belajar melakukannya melalui pengalaman. Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh orang tersebut. Pengalaman yang terekam memori memberi peluang atau kemungkinan untuk melakukannya dalam hidup. Contoh: anak yang sejak kecil sering mengalami perilaku agresif (berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi anak yg agresif (suka berkelahi). Atau seorang anak yang sering mengalami sanksi fisik dalam keluarga maupun di sekolah punya peluang besar untuk melakukan kekerasan fisik dalam kehidupan selanjutnya.

Pada dasarnya, perilaku agresif yang terjadi tanpa kita sadari hanyalah sebuah klimaks akumulatif. Proses belajar yang berlangsung dalam kurun waktu individu tersebut hidup ternyata belum mampu menjadikan individu tersebut menjadi baik. Padahal harusnya proses belajar entah secara formal maupun non formal bertujuan menjadikan manusia lebih baik. Dari pemahaman teori belajar sosial, perilaku agresi boleh dikatakan hasil belajar yang tidak memadai. Meskipun dalam masyarakat terdapat banyak norma dan aturan yang berusaha mengatur kehidupan agar menjadi baik, pada tempat yang sama masyarakat menciptakan peluang aturan itu dilanggar. Di sini transfer nilai antar generasi terjadi secara timpang. Konkretnya lain yang diajarkan, lain pula yang diteladankan.
Kenyataan lainnya, meskipun kita telah hidup di jaman yang serba maju dan berkembang, beberapa pola tradisional masih dihidupi oleh sebagian masyarakat tertentu. Pola asuh dan didikan dalam keluarga yang masih cenderung menghayati secara harafiah ungkapan “di ujung rotan ada emas” secara tak disadari membuat orang tua mendidik anak dengan kekerasan. Dan ternyata bukan hanya dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal pun memberi peluang yang hampir sama, di mana guru dianggap sah dan wajar bila memberikan hukuman fisik kepada murid yang melanggar disiplin. Tak jarang hukuman ini berakibat cukup serius. Anak yang tumbuh di lingkungan sosial yang memberi ruang kepada kekerasan akan cenderung tumbuh menjadi pribadi yang agresif.
Jalan yang mungkin bisa ditempuh untuk mengentas perilaku yang menyimpang ini adalah memperkuat penanaman nilai perilaku santun bagi anak-anak dan remaja. Dan ini merupakan tanggung jawab bersama, antara keluarga sebagai dapur utama pembentukan kepribadian, lembaga pendidikan, masyarakat dan pemerintah. Tak dapat dan tak boleh saling melempar tanggung jawab serta saling menyalahkan ketika muncul perilaku agresi pada anak dan remaja yang meresahkan kehidupan sosial. Semua mesti berbenah dan berubah, kalau menginginkan sebuah bentuk kehidupan yang lebih baik.



  1. Anderson, C.A., Anderson, K.B., & Deuser, W.E. 1996. Examining an affective aggresion framework: Weapon and temperature effects on aggresive thoughts, affect, and attitudes. Personality and Social Psychology Bulletin, 22, 366-376
  2. Baron, Robert A. & Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial – jilid 2. Jakarta: Erlangga.
  3. Dayakisni, Tri & Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial – buku 1. Malang: UMM Press.
  4. Olson, M. H. & Hergenhahn, B.R. 2013. Pengantar Teori-Teori Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  5. Reber, Arthur S. & Reber, Emily S. 2010. Kamus Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gambar ilustrasi saya ambil dari:
https://fitriariyanti.com/2014/05/07/haruskah-nyawa-anak-begitu-murahnya-renungan-tentang-perilaku-agresi-anak-part-one/
http://leavespalace.blogspot.co.id/2015/03/mengenal-secara-singkat-perilaku-agresi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini