Kamis, 27 April 2017

Melambai-lambai Nyiur di Pantai...

Pantai Lato, Flores Timur - NTT, foto oleh Simon Nany
Sumber: Facebook Simon Nany
Kemarin, kira-kira sore menjelang malam, saya lupa tepatnya pukul berapa, ada foto pantai yang muncul di dinding facebook saya. Setelah saya lihat, foto tersebut berasal dari halaman facebook Aurelius Relly Teluma, seorang teman saya.
“Surga itu di sini, Pantai Lato, Flores Timur, NTT. Tanah kelahiranku. Kampung halamanku tercinta! Datang dan nikmati! *Foto oleh Simon Nany. Thanks Bung! demikian tulis Aurelius.
Baiklah, dari keterangan Aurelius, Foto-foto itu dari Simon Nany. Saya menelusurinya lagi dan saya bisa menemukannya, foto-foto itu langsung di album foto Simon Nani. Pada foto-foto tersebut Simon Nany menulis singkat tetapi cukup lengkap:
“Pantai Lato, Flores Timur, NTT - (Opencam Asus) – Simon Nany”
Dengan demikian saya pastikan bahwa foto-foto itu benar dari Simon Nani, nama lokasinya Pantai Lato, Flores Timur, NTT, foto diambil menggunakan kamera Opencam Asus, kemudian diposting ke dinding facebook. Maka sambil menyampaikan terima kasih kepada saudara Aurelius dan Simon Nany, nostalgia ini mengalir.**

Pantai ini membangkitkan kenangan ke masa sekolah dasar, masa di mana sebelum memulai pelajaran selalu diawali dengan senam bersama dan menyanyikan sebuah lagu wajib nasional. Salah satu lagu favorit saya adalah Tanah Airku Indonesia. Memandang foto-foto ini lagi, lirik lagu berderet di kepala:
"Tanah airku Indonesia
negeri elok amat kucinta
tanah tumpah darahku yang mulia
yang kupuja spanjang masa.
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur..."

Pantai Lato, Flores Timur - NTT, foto oleh Simon Nany
Sumber: Facebook Simon Nany
Sampai sini saya merinding. Serius. Pikiran dan perasaan terjebak nostalgia. Lagu masih berlanjut, gambaran anak-anak berseragam putih merah dekil kusam berbaris apik di lapangan kecil depan sekolah terpampang jelas.

"Melambai-lambai nyiur di pantai..."

Nyiur di pantai. Nyiur di pantai!!! Mamamiaaaa...., di foto ini, nyiur melambai di tepi pantai tak sekedar lagu, bukan juga sebuah cerita narasi deskripsi dan blablabla... Ini nyata. Fakta.
Lalu saya teringat Kupang, kota yg pertama kali membuat saya jatuh cinta kepada laut dan pantai. Ada cerita lagi di sini. Saya diperkenalkan dengan laut oleh almarhum bapak. Di pantai Pasir Panjang, sekian tahun lalu, ketika masih ada banyak pohon kelapa di sana, bapak membawa saya ke pantai. Sebelum bapak menurunkan saya dari gendongannya, beliau mencedok air laut dengan telapak tangannya, lalu mengusapkannya ke kepala dan dada saya. Katanya, agar saya dan laut menjadi teman.
Benar. Sejak saat itu saya akrab dengan laut dan pantai. Bukan lagi berteman, saya benar-benar jatuh cinta pada laut dan pantai. Di manapun saya berada, laut selalu memanggil pulang.
Beberapa tahun setelah ritual pertemanan yg menumbuhkan cinta itu, ketika saya kembali menjejaki kota Kupang, yang pertama saya lakukan adalah mencari jalan menuju Pasir Panjang, tempat cinta pertama saya dan laut bersemi. Tak ada lagi pohon kelapa. Masih ada beberapa pohon lontar, dalam kelompok kecil tiga-empat pohon, dan beberapa berdiri sendiri memandang teluk di depannya.
Dan tahun lalu, ketika kembali mampir di kota Kupang, menyusuri jejak cinta pada laut di Pasir Panjang, nyiur melambai tinggal cerita. Pasir Panjang tak lagi panjang. Kelapa menjulang berganti hotel dan restoran. Satu dua pohon lontar berdiri gelisah menunggu saatnya tiba diganti pilar beton.

Saya dan laut masih saling mencintai
dalam gemuruh gelombang yg sama
Jika itu harus berkarat berurai
Saya dan laut akan mati bersama.

Kotaku maju beton membumi
Merajut harap merajut usia
Masih ada nyiur melambai

Tanah airku Indonesia.....

*********

Selasa, 25 April 2017

BBNTT, Spirit Positif Anak Muda dalam Gerakan Berbagi Buku

Tulisan ini sebagai apresiasi atas semangat anak-anak muda Relawan BBNTT, secara istimewa buat BBNTT Regio Jogja, tempat saya bertemu dengan banyak anak muda yang luar biasa.


Kita mengamini apa yang diyakini bersama: Buku adalah jendela dunia. Kalimat ini tentu bukan tanpa dasar. Sejak lama pengetahuan dan informasi luas dikenal masyarakat banyak melalui buku-buku yang dibaca. Bahkan, ketika era modern yang ditandai dengan berbagai perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menghadirkan berbagai fitur kemudahan dalam mengakses ilmu dan informasi, peran buku tak bergeming. Kita patut bersyukur, karena kemajuan teknologi memudahkan kita dalam banyak hal. Terkait buku, kita tak lagi merasa asing dengan berbagai format buku elektronik. Bermodal seperangkat ponsel pintar, kita bisa membawa sejumlah buku ke mana saja kita pergi dan sesewaktu kita bisa membacanya.
Meski demikian, tak dapat disangkal bahwa kemudahan ini tak dapat diakses oleh sebagian masyarakat kita. Untuk saudara-saudara kita, secara khusus anak-anak yang ada di pelosok negeri ini, jangankan buku elektronik, buku cetak (hard book) masih merupakan barang yang langka. Keinginan untuk menggali pengetahuan dan informasi masih merupakan harapan yang entah kapan bisa terwujud. Berbagai kendala pada permukaan bisa dipahami, misalnya terbatasnya ketersediaan buku yang bisa dibaca, ketiadaan akses kepada tempat-tempat yang mungkin menyediakan buku, dan banyak kendala lain yang ikut membatasi keinginan besar anak-anak dalam mendapatkan buku. Masih banyak hal yang menjadi kendala, yang bila diurutkan akan menjadi semacam daftar riwayat panjang yang tak habis diurai.
Salah satu wilayah negeri ini yang masih memiliki banyak kendala dalam menyediakan buku bacaan adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu propinsi yang masuk kawasan timur Indonesia. Kondisi umum yang sempat disinggung di atas, ditambah wilayah yang tersusun atas pulau-pulau semakin menjadi kendala tak terbantahkan. Tentu kenyataan ini tidak begitu nampak di Kupang, ibukota NTT yang terbilang cukup terbuka, ada perpustakaan daerah yang lumayan besar, juga beberapa toko buku yang mudah dijangkau. Tetapi kalau kita mencoba beranjak dari ibukota propinsi dan menelusuri jalan menuju ke daerah-daerah, konon, di kota-kota kabupaten saja kelihatan betapa terbatasnya akses untuk menemukan buku. Tentu kita patut berteima kasih kepada pemerintah, yang melalui dinas terkait senantiasa menyediakan buku melalui sekolah-sekolah formal. Namun tetap saja banyak kendala. Buku-buku bacaan umum, yang mendukung buku-buku pelajaran tetap dibutuhkan. Selain itu, ruang baca yang hanya tersedia melalui sekolah sering menjadi kendala. Kesimpulan ini ditarik berdasarkan pengalaman yang terkumpul dari berbagai sumber.
Kondisi keterbatasan buku, ruang baca serta akses untuk mendapatkan buku di pelosok-pelosok membangkitkan kepedulian sekelompok anak muda. Diinisiasi oleh Wilibrodus Marianus, seorang anak muda NTT, terbentuklah komunitas relawan yang dinamai Buku Bagi NTT, secara resmi pada tanggal 3 April kemarin berulang tahun ke-3. Gerakan ini  kemudian tumbuh menjadi inisiatif sosial yang mengajak banyak orang untuk peduli pendidikan Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui donasi buku, sekaligus berupaya untuk membangun dan mengembangkan rumah/taman baca serta perpustakaan tingkat kampung, yang digerakkan oleh aktor-aktor lokal di pelosok-pelosok kampung seluruh NTT.
Gerakan positif ini mendapat tanggapan luar biasa. Hal ini bisa dilihat dari makin bertambahnya anggota relawan yang tersebar dalam beberapa regio (Kupang, Jakarta, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Denpasar-Bali, Bandung, Makassar, Semarang, dll), semakin banyak donatur yang dengan penuh perhatian menyumbangkan buku layak baca. Hal lain yang menggembirakan juga adalah  makin bertambahnya ruang baca berupa taman baca masyarakat, perpustakaan kampung, perpustakaan desa, rumah baca dan lain-lain yang sampai ke pelosok-pelosok dengan banyaknya permintaan buku dari berbagai tempat di NTT.
Kelompok relawan ini akan terus bergerak dalam semangat kepedulian dan berbagi. Relawan yang terdiri dari anak muda beragam latar belakang ini memiliki mimpi yang sama, semoga anak-anak di pelosok NTT sampai yang paling jauh sekalipun dapat membaca buku untuk menambah pengetahuan dan wawasan mereka, sambil mengembangkan potensi lain yang mereka miliki melalui pendidikan yang memadai.

BBNTT merupakan kelompok terbuka, dengan semangat persaudaraan menerima siapa saja yang ingin bergabung. Selain itu BBNTT membangun hubungan baik dengan kelompok sosial lain yang punya spirit membangun anak negeri sampai pelosok-pelosok. Semoga energi positif ini menular, menggerakkan semakin banyak orang untuk bergerak membangun melalui banyak hal, salah satunya dengan berbagi buku. Bagi yang ingin bergabung sebagai relawan pengumpul dan penyalur, atau sebagai donatur yang ingin menyumbangkan buku bacaan yang masih layak pakai silahkan bergabung dengan Buku Bagi NTT, bisa secara khusus bergabung dengan regio yang paling dekat dengan kalian sehingga mudah menjalin pertemuan aktif, dan kalian bisa dengan mudah menemukan kelompok ini di media sosail seperti halaman Facebook Buku Bagi NTT, Twitter @bukubagiNTT, Instagram @bukubagi_ntt





Selasa, 04 April 2017

Experiential Learning dalam Pembelajaran

Pendahuluan
            Pepatah mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Karena dari pengalaman kita bisa belajar. Menggairahkan pembelajaran di sekolah dapat dilakukan melalui berbagai cara. Salah satu di antaranya memanfaatkan metode Experiential Learning.  Dalam hal ini berbagai kegiatan yang pernah dilakukan subjek belajar (murid/siswa) dalam pengalaman keseharian mereka dapat dijadikan suatu materi kegiatan yang menarik. Untuk menggerakkan motivasi belajar, proses belajar paling baik terjadi ketika subjek belajar telah mengalami informasi umum sebelum memeroleh bahan ajar yang akan dipelajari. Untuk menumbuhkan minat belajar dari subjek belajar, guru perlu menghadirkan pengalaman umum yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran.  Dengan demikian, mereka (subjek belajar) dapat menunjukkan kemampuannya dalam hasil yang nyata.

Experiental Lerning (EL)
Experiential Learning (EL) diartikan secara sederhana merujuk pada belajar dari pengalaman. EL adalah suatu metode proses belajar mengajar yang mengaktifkan subjek belajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalamannya secara langsung. Maka metode ini akan bermakna dan berkesan ketika subjek belajar berperan serta dalam melakukan kegiatan.  Dari mengalami, mereka memandang kritis kegiatan tersebut, kemudian mereka mendapatkan pemahaman serta menuangkannya dalam bentuk lisan atau tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, EL  menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.
Metode EL tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan konsep-konsep saja.  EL juga memberikan pengalaman yang nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasan-penugasan nyata.  Selanjutnya, metode ini akan mengakomodasi dan memberikan proses umpan balik serta evaluasi antara hasil penerapan dengan apa yang seharusnya dilakukan.

Experiential Learning
Traditional Content-based Learning
Aktif
Pasif
Bersandar pada penemuan individu
Bersandar pada keahlian mengajar
Partisipatif, berbagai  arah
Otokratis, satu arah
Dinamis dan belajar dengan melakukan
Terstruktur dan belajar dengan mendengar
Bersifat terbuka
Cakupan terbatas dengan sesuatu yang baku
Mendorong untuk  menemukan sesuatu
Terfokus pada tujuan belajar yang khusus
Gambaran umum perbedaan antara EL dengan cara tradisional

Dasar Pemikiran dan Keuntungan Penggunaan Experiential Learning
Metode Experiential Learning didasarkan pada beberapa pendapat  sebagai berikut:
  1.  Subjek belajar lebih baik dalam menangkap apa yang diajarkan ketika mereka terlibat secara langsung dalam pengalaman belajar
  2. Adanya perbedaan-perbedaan individual dalam hal gaya belajar yang sesuai
  3. Ide dan prinsip yang dialami dan ditemukan pembelajar lebih efektif dalam pemerolehan bahan ajar
  4. Komitmen peserta dalam belajar akan lebih baik ketika mereka mengambil tanggung jawab dalam proses belajar mereka sendiri
  5. Belajar pada hakekatnya melalui suatu proses.

Ada beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan metode EL dengan baik dan benar, antara lain:
  1. meningkatkan semangat dan gairah pembelajar,
  2. membantu terciptanya suasana belajar yang kondusif,
  3. memunculkan kegembiraan dalam proses belajar,
  4. mendorong dan mengembangkan proses berpikir kreatif,
  5. menolong pembelajar untuk dapat melihat dalam perspektif yang berbeda,
  6. memunculkan kesadaran akan kebutuhan untuk berubah, dan
  7. memperkuat kesadaran diri.

 Kerangka/langkah dasar EL


                       Briefing ---------  Activity   -------      Review

Briefing adalah tahap proses pengarahan pada individu atau kelompok sebelum melakukan pengarahan. Teknik-teknik yang perlu dikuasai antara lain:
  1. Setting dan Conditioning (pengaturan dan pengkondisian). EL menggunakan prinsip belajar yang menekankan pada perubahan aspek pemahaman akan hasil belajar tersebut.  Salah satu cara untuk memunculkan pemahaman adalah pengaturan situasi.  Dalam hal ini, seorang pengajar harus menyiapkan segala sesuatu yang akan dilakukan sehingga tercipta suasana yang mendukung.  Oleh karena itu, hal utama yang perlu diperhatikan adalah pemahaman yang mendalam tentang kegiatan yang akan digunakan. Hal-hal yang dapat dikatakan sebagai pengaturan situasi antara lain lokasi  yang akan digunakan, sarana yang akan dipakai, tata letak, aturan main, kata-kata, intonasi, dan tempo yang digunakan saat penjelasan.
  1. Directing, yaitu proses pengarahan pada pembelajar tentang materi kegiatan yang akan dilakukan.  Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat melakukan pengarahan antara lain:
    1. Dinamika bicara hendaknya disesuaikan dengan kondisi peserta dan juga situasi yang akan dimunculkan,
    2. gunakan alat bantu untuk memudahkan pembelajar  memahami tujuan kegiatan,
    3. definisikan kata-kata penting untuk menyamakan persepsi,
    4. demonstrasikan kegiatan yang harus dilakukan,
    5. jelaskan secara rinci prosedur kegiatan
    6. metode penjelasan dapat dilakukan dengan cara dari umum ke khusus atau dari khusus ke umum,
    7. tanyakan kepada peserta apakah penjelasan dapat diterima/difahami dll. Seperti: apakah penjelasan saya tadi dapat dipahami ?
  1. Motivating. Pemberian motivasi dilakukan ketika pembelajar mengalami penurunan semangat.  Untuk mengatasi hal tersebut, pengajar dapat melakukan beberapa cara berikut ini:
    1. jelaskan tujuan yang akan dijalankan,
    2. ungkapkan keuntungan yang akan diperoleh apabila melakukan kegiatan tersebut,
    3. tunjukkan hubungan antara yang akan dijalankan dengan aktivitas sebelumnya,
    4. tunjukkan kepercayaan kita bahwa mereka sanggup dan mampu melakukan kegiatan
    5. tunjukkan antusiasme kita, baik dengan gerakan, lisan, bahasa tubuh, dll.
    6. bila dianggap perlu ungkapkan pengalaman kita,
    7. beri tantangan yang realistik sesuai dengan kemampuan mereka.


Activity adalah tahap individu/kelompok melaksanakan kegiatan sesuai dengan briefing yang telah diberikan.
            Teknik-teknik yang perlu dikuasai pengajar yaitu:
  1. Observation. Observasi atau pengamatan yang dimaksud di sini adalah tahap memberikan perhatian yang intensif kepada kelompok untuk mengamati proses kelompok selama melaksanakan kegiatan.  Tahap ini menjadi sangat penting sebagai bahan untuk review.  Hal-hal yang perlu diperhatikan
a)      mengamati segala perilaku individu yang muncul selama kegiatan berlangsung
·   Apa yang dilakukan individu dan apa reaksi individu lainnya atas reaksi tersebut
·   Sebab-akibat/aksi-reaksi yang positif maupun negatif
b)      mengamati dinamika kelompok dalam menyelesaikan tugas, masalah, dll.
·   pola interaksi antarindividu
·   proses penyelesaian tugas (pemanfaatan waktu, sumber daya, dll.)
c)      mencatat hasil pengamatan tersebut (no 1 & 21) sebagai bahan untuk review
d)     bila perlu ingatkan perkembangan waktu
  1. Safety Control (Pengamatan keamanan)
Fasilitator wajib memperhatikan dan menjaga keamanan pembelajar dari hal-hal yang sekiranya akan membahayakan mereka, baik secara fisik, mental, emosional, sosial, dan rohani.
Hal-hal yang bisa dilakukan untuk pencegahan antara lain:
a.       Perhatikan keamanan lingkungan fisik dari lokasi yang akan digunakan
b.      Perhatikan kondisi peserta, misalnya kata-katanya, intonasinya, bahasa tubuhnya, raut mukanya, tatapan matanya dll
  1. Intervention (intervensi)
Intervensi adalah kondisi pengajar ikut campur dalam proses kelompok, yang disebabkan antara lain;
a.       individu/kelompok salah mempersepsi kegiatan  yang harus dilakukan
b.      individu/kelompok tidak menemukan alternatif pemecahan masalah atas persoalan yang sedang dihadapi
c.       konflik yang berkepanjangan dalam kelompok
d.      adanya indikasi ancaman yang membahayakan individu/kelompok


Review adalah tahap pembelajar dibantu untuk melihat dan memandang secara kritis apa yang dipelajari (apa, mengapa, dampak yang terjadi), lalu menarik insight/pelajaran dari pengalaman tersebut untuk diterapkan dalam kehidupannya. Pada tahap ini diharapkan terjadi proses EL pada individu maupun kelompok.
Langkah standar untuk mempermudah proses review dapat digunakan proses ini:

 

WHAT             -           SO WHAT       -           WHAT NEXT


1.      WHAT
      Tahap-tahap yang perlu dilakukan yaitu:
  1. Tahap kejadian, yaitu tahap  individu/kelompok menghadirkan  kembali kejadian/pengalaman yang dialami dan yang muncul. Hal ini bisa dilakukan dengan aneka permainan (memory games) guna merangsang subjek belajar menghadirkan kembali lalu menceritakan pelajaran yang baru saja dialami. Banyak teknik untuk hal ini, tergantung kreativitas pengajar untuk menggunakan mana yang mampu membuat subjek belajar berpartisipasi secara aktif.
  2. Tahap latar belakang dan dampak, yaitu tahap di mana pengajar menanyakan kepada individu/kelompok, kenapa hal itu terjadi dan dampak apa yang timbul. Perlu diperhatikan jenis kata tanya dan bentuk pertanyan, misalnya mengapa, bagaimana, apa pendapat anda, dst.

2.      SO WHAT
Fase ini untuk mencari arti atau makna di balik kejadian. Pengajar mengajak pembelajar untuk melihat secara kritis apa yang terjadi dan dampak yang ditimbulkannya, lalu dikonfrontasikan dengan nilai-nilai yang dimilikinya, yang akhirnya membuat kesimpulan sehingga menjadi pelajaran bermakna.
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan, antara lain;
  1. Fish bowl: pembelajar dibagi ke dalam peran pengamat dan pemain. Pengamat diminta untuk memberi tanggapan atas apa saja yang diungkapkan oleh pemain tersebut.
  2. Simbol/konsep: individu/kelompok atau pengajar mencoba menggambarkan apa yang diungkapkan oleh pembelajar ke dalam bentuk gambar/symbol berdasarkan criteria-kriteria tersebut. Dengan cara ini akan memudahkan individu/kelompok menemukan makna dari suatu kejadian.
  3. Langsung: pembelajar mengajak individu/kelompok untuk melihat makna dari suatu kejadian, segera setelah individu/kelompok mengungkapkan kejadian yang dialaminya.
Beberapa model pertanyaan yang dapat digunakan:
·         Pelajaran apa yang didapat dari pengalaman/kejadian tersebut?
·         Apakah hal tersebut mengingatkan pada sesuatu?
·         Hal menarik apa yang dapat kita peroleh dari kejadian/pengalaman tersebut?
·         Sesungguhnya apa yang dapat dilakukan agar tidak mengalami hal serupa di masa yang akan datang?

3. WHAT NEXT
Fase ini adalah fase di mana pembelajar merencanakan penerapan pelajaran yang didapat dari kejadian/pengalaman yang terjadi.
Beberapa model pertanyaan yang dapat digunakan:
·         Bagaimana anda menerapkan pengalaman ini?
·         Apa yang anda sukai untuk melakukan ini?
·         Bagaimana manfaatnya bila kita menerapkan ini?
·         Perubahan apa yang anda akan lakukan dari pengalaman ini?

Penutup
EL dapat dimanfaatkan dalam pengajaran keterampilan berbahasa, terutama dalam keterampilan berbicara dan menulis.  Berdasarkan banyak sharing pengalaman mengajar oleh beberapa pengajar, didukung referensi lain yang ikut mengapresiasi keunggulan metode EL dan wawancara di kelas metode EL  memiliki keunggulan  di antaranya  meningkatkan semangat pembelajar karena pembelajar aktif,  membantu terciptanya suasana belajar yang kondusif karena pembelajaran bersandar pada penemuan individu, memunculkan kegembiraan dalam proses belajar mengajar karena pembelajaran dinamis dan terbuka dari berbagai arah, dan mendorong serta mengembangkan berfikir kreatif karena pembelajar partisipatif untuk menemukan sesuatu.
Dari pemaparan ini disimpulkan bahwa metode belajar EL dapat menjadi salah satu metode yang dapat digunakan oleh para pengajar dalam menanamkan materi ajar kepada subjek belajar. Tentu metode ini bukan satu-satunya yang manjur dan tepat untuk digunakan. Merujuk pada keberagaman individu dengan kekhasan masing-masing yang unik, banyak metode mengajar dapat digunakan. Tulisan kecil ini merupakan salah satu masukan bagi para pengajar agar semakin kaya dalam kreativitas mentrasfer pengetahuan kepada subjek belajar yang dipercayakan kepada mereka.


Catatan:

Tulisan kecil ini merupakan rangkuman Experiental Learning, salah satu tema dalam Mata Kuliah Psikologi Pelatihan.

Senin, 03 April 2017

Perilaku Ekologis: Manusia dan Hutan Mangrove


Ada dua hal yang menjadi pemicu tulisan ini. Pertama, sekedar sharing pengalaman berkunjung ke hutan mangrove Wana Tirta, Kulonprogo. Dan yang kedua, sebuah postingan  gambar di dinding Facebook Umbu Wulang Tanaamahu oleh Deddy Febrianto Holo yang isinya mengajak siapa saja untuk bergabung dalam kegiatan berjudul “Yuk Bersihkan Sampah Pantai & Diskusi Sambil Ngopi Tentang Mangrove”. Sebenarnya sejak kepulangan dari Wana Tirta niat untuk menulis pengalaman tersebut sudah ada, namun baru bisa tertuang sekarang, setelah melihat gambar di dinding FB Umbu Wulang (Terima kasih untuk Deddy dan Umbu J).

Hutan Mangrove
Mangrove, atau yang biasa disebut tanaman bakau adalah tumbuhan air payau. Secara umum mangrove tumbuh membentuk perkumpulan sehingga membentuk kawasan hutan yang khas. Meskipun pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut, kebanyakan kawasan hutan mangrove ternetuk di kawasan pantai yang relatif tenang dan terlindung dari gempuran ombak. Ciri kawasan lain yang sangat mendukung pertumbuhan mangrove adalah kawasan muara di mana arus air melambat dan mengendapkan lumpur dari hulu sungai.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah hutan bakau yang cukup luas. Bahkan menurut catatan luas hutan mangrove Indonesia mencapai 25 persen dari total luas kawasan hutan mangrove di dunia. Sayangnya, dari keseluruhan kawasan mangrove di Indonesia, sebagian besarnya dalam kondisi kritis. Kondisi ini disebabkan oleh beragam faktor, yang secara umum diringkas faktor alamiah dan faktor manusia. Faktor alamiah disebutkan mulai dari jenis tanah, pasang-surut gelombang laut dan terpaan ombak, penggenangan dll. Namun ditilik dari faktor alamiah ini, sedikit sekali pengaruhnya terhadap pengikisan kawasan mangrove. Hal ini karena karakter khas mangrove yang mampu beradaptasi dengan lingkungan tumbuhnya, seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam daun. Maka dapat ditarik kesimpulan umum bahwa faktor terbesar yang memengaruhi pertumbuhan mangrove adalah perilaku manusia.
Hutan mangrove sebagaimana lingkungan alam lainnya berperan penting dalam kesatuan sebuah ekosistem, terlebih kepada manusia. Secara ekonomis, mangrove mengasilkan kayu yang dapat dimanfaatkan manusia, juga menyumbang hewan yang dapat dimanfaatkan manusia seperti ikan, udang dan siput. Lebih dari itu, salah satu fungsi utama hutan mangrove yang penting bagi manusia adalah melindungi garis pantai dari abrasi, termasuk menjadi green-belt yang melindungi kawasan pantai dari gelombang besar terrmasuk stunami. Terkait perlindungan kawasan pantai, beberapa daerah dan kawasan pantai Indonesia tercatat rawan tsunami karena hutan mangrovenya terkikis oleh perilaku manusia, kawasan mangrove dialih fungsikan sebagai tambak, perkebunan (terutama sawit), bahkan untuk pemukiman.

Belajar dari Hutan Mangrove Wana Tirta
Selasa, 28 Maret 2017 kemarin, bertepatan dengan liburan Hari Raya Nyepi. Saya kebingungan menetapkan kegiatan apa yang akan saya lakukan untuk mengisi liburan ini. Kemudian saya ditawari kawasan hutan mangrove di daerah Kulonprogo, tepatnya di dusun Pasir Mendit, Jangkaran, Temon, Kulonprogo, DI Yogyakarta. Awalnya enggan. Dalam benak saya yang masih awam, toh hutan mangrove tentunya sama halnya dengan hutan-hutan mangrove yang cukup saya kenal di Timor, entah di Kupang, atau di pantai utara TTU dan Belu. Dan karena alasan tertentu, biasanya kawasan ini dipermak sedikit menjadi tempat berswafoto dan bernarsis-ria. Tetapi keengganan saya berubah menjadi ketertarikan ketika mendengar cerita jatuh-bangunnya masyarakat setempat memelihara dan merawat hutan itu mulai dari belum apa-apa.
Di pintu masuk hutan mangrove, pengunjung disambut sebuah papan berukuran lumayan besar, dengan tulisan yang terbaca jelas: “Save Mangrove for Future” di dekat tempat parkir. Tulisan ini lebih berupa kampanye untuk melestarikan kawasan mangrove, diisi dengan beberapa gambar kegiatan yang dibuat kelompok masyarakat setempat. Dengan retribusi yang terbilang murah, saya berkesempatan mengelilingi kawasan hutan dengan meniti jembatan kayu dan bambu yang dibuat masyarakat. Setelah satu putaran saya kembali ke luar area mangrove, menikmati segelas es teh sambil bercerita dengan ibu pemilik lapak jajanan di sana. Dari ibu ini (saya lupa nama beliau, dan saya berjanji akan kembali ke sana untuk alasan ini) saya mendapat banyak gambaran umum tentang hutan mangrove ini.
Dahulu, pesisir pantai Pasir Mendit merupakan kawasan ekosistem mangrove alami. Dalam perjalanan waktu kawasan ini terkikis dan menjadi rusak. Beberapa hal yang menjadi sebab kerusakan itu adalah penebangan liar manusia, terutama warga sekitar yang memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar. Selain itu berkembangnya budidaya udang membuat kawasan mangrove dirambah dan dialihfungsikan menjadi tambak udang. Akibat dari dua hal ini, kawasan pasir mendit yang terletak dibibir laut selatan yang bergelombang tinggi sering mengalami abrasi. Bahkan para petambak udang sering ikut merasakan dampak langsung dari abrasi yang mana gelombang laut tak terelakkan sering menjebol tambak.
Sadar akan pentingnya keberadaan mangrove sebagai sabuk hijau yang melindungi kawasan pantai dari abrasi, sekelompok warga lantas berinisiatif menghijaukan kembali kawasan tersebut dengan menanam mangrove. Kelompok yang bernama Wana Tirta ini mulai menanam mangrove sepanjang tepian sungai Bogowonto. Kawasan yang dirawat kembali ini kini mulai berkembang. Meskipun belum besar dan belum padat, usaha kelompok Wana Tirta dan masyarakat Pasir Mendit layak diapresiasi. Banyak pemerhati lingkungan baik perorangan maupun organisasi/lembaga memberikan dukungan kepada kelompok ini. Dan menurut yang dikatakan ibu pemilik lapak kuliner tempat saya beristirahat, kelompok Wana Tirta terbuka bagi siapa saja yang tertarik dan ingin ikut terlibat dalam usaha konservasi dengan menanam mangrove. Mereka dengan senang hati akan menyediakan bibit mangrove untuk ditanam di area yang ditentukan.

Salah satu dampak langsung yang dialami masyarakat adalah kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata yang tengah naik daun. Sebagai sarana penunjang sebagai destinasi wisata, dibangun jembatan kayu dan bambu yang dapat disusuri sepanjang hutan mangrove, termasuk untuk menyeberangi sungai menuju bibir pantai Pasir Mendit. Di beberapa sudut dibangun pula spot foto yang menyuguhkan latar cantik untuk berfoto-ria.

Psikologi Konservasi Hutan Mangrove
Secara umum psikologi merupakan kajian tentang jiwa manusia. Namun bahasan tentang jiwa ini sangat abstrak. Maka jiwa dalam kajian psikologi merujuk pada manifestasinya, yaitu perilaku manusia. Apa yang kelihatan sebagai tindakan atau aksi merupakan perwujudan dari jiwa.
Keterkaitan psikologi dan konservasi merupakan bidang kajian yang masih terbilang baru, merupakan bidang psikologi terapan. Psikologi konservasi adalah studi ilmiah tentang hubungan resiprokal antara manusia dengan alam dengan fokus utama pada bagaimana mendorong konservasi terhadap lingkungan alam, juga merupakan bidang terapan yang menggunakan prinsip, teori atau metode psikologis untuk memahami dan memecahkan masalah terkait aspek manusia dalam konservasi. Maka psikologi konservasi merupakan jejaring kerjasama aktual, penting dan mendesak untuk memahami dan mempromosikan hubungan berkelanjutan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alam.
Terdapat 3 (tiga) komponen psikologi yang berhubungan dengan konservasi alam, yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective) dan perilaku (behavioral). Komponen kognitif adalah suatu rasa adanya hubungan atau ikatan (sense of connection). Komponen afektif adalah memelihara respon (caring response). Sedangkan komponen perilaku adalah pola yang diterapkan untuk selalu menunjukkan komitmennya di dalam suatu kegiatan. Adanya suatu rasa “perhubungan atau ikatan” (connectedness) dapat mendorong timbulnya rasa untuk memelihara alam dan kemudian secara berkelanjutan mendorong timbulnya komitmen untuk menjaga alam.
Salah satu masalah global yang cukup menarik perhatian adalah isu lingkungan hidup dan hal-hal yang secara erat terkait dengan hal tersebut. Pengrusakan dan ekspliotasi alam, menyusutnya hutan sebagai paru-paru dunia sampai dampaknya berupa banjir, kekeringan, pemanasan global dan lain-lain. Disadari atau tidak, semua itu adalah akibat dari perilaku manusia. Kalau digali lebih lanjut, tentang perilaku sebagai perwujudan jiwa, maka kita bisa membaca jiwa macam apa yang tengah dipertunjukkan oleh manusia.
Cara mengatasi permasalahan lingkungan salah satunya adalah konservasi, yang bukan saja tentang melestarikan alam, tetapi lebih jauh kepada perubahan perilaku. Konservasi harus sampai kepada perubahan cara berpikir, cara menilai dan cara memerlakukan alam. Peningkatan pengetahuan mengenai konservasi diasumsikan akan mampu merubah sikap terhadap lingkungan. Tidaklah cukup bahwa seseorang mengerti mengenai efek hilangnya keanekaragaman hayati, melainkan dia juga harus mengerti bahwa masalah tersebut merupakan cerminan dari nilai dan sikap terhadap lingkungan. Pemahaman ini dilandasi kerja tiga komponen yakni kognitif, afektif dan perilaku, yang bila dijabarkan maka mencakup beberapa hal yang saling berkaitan.
Kesadaran yang disertai pengetahuan penting untuk diterapkan di sini. Kesadaran berhubungan erat dengan pengetahuan. Proses hilangnya keanekaragaman hayati sedang terjadi perlu disadari. Proses penyadaran harus dilakukan terus menerus sehingga akan selalu ada dan merupakan proses dari keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Pengetahuan merupakan komponen penting dari pemahaman. Selanjutnya, pemahaman diartikan mampu menangkap apa yang dimaksud. di dalamnya terkandung makna kompetensi dan paham yang bekerja di luar pengetahuan dasar, sehingga mampu memberikan suatu landasan yang kuat dalam menganalisa suatu masalah.
Dalam konservasi, yang dibutuhkan adalah bagaimana mengembangkan pemahaman yang sampai kepada perubahan tingkah laku, bukan sekedar memperbanyak pengetahuan.  Pengetahuan penting, tetapi pengetahuan itu perlu mandarat alias tidak mengambang pada wilayah ide saja.
Secara umum dilihat bahwa yang berhubungan langsung dengan kawasan mangrove adalah kelompok masyatakat yang mendiami wilayah sekitar pantai. Pertanyaan kecilnya, apakah kelestarian hutan mangrove hanya menjadi tanggung jawab mereka? Jawabannya, tidak. Usaha konservasi hutan mangrove adalah tanggung jawab semua orang. Setiap orang menjadi subjek yang bertanggung jawab memelihara (care for). Pemeliharaan berkaitan dengan tindakan, aksi, aktif. Tindakan yang bertujuan, atau bertindak dengan maksud, membutuhkan minat dan kepedulian (cares) yang sifatnya kolektif.
Penerapan psikologi konservasi untuk fenomena kerusakan hutan mangrove perlu dilakukan dengan melihat berbagai hubungan yang saling memengaruhi antara konsep diri, etika lingkungan hidup, sikap lingkungan, intensi perilaku ekologis dengan perilaku ekologis mangrove. Perlu ditanamkan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh tentang lingkungan sebagai suatu kesatuan, sebuah tatanan yang saling menyokong kehidupan satu dengan yang lain. Selain itu, diperlukan kemampuan untuk merasakan emosi positif terhadap alam, termasuk terhadap keberadaan hutan mangrove. Atas dasar ini maka diharapkan sebuah cara pandang yang baru terhadap keberadaan mangrove, yang sampai pada perubahan perilaku manusia terhadap hutan mangrove.