Sabtu, 08 Oktober 2016

EVOLUSI OTAK DAN POLA PERILAKU JUJUR

Ketika berbicara tentang otak maka ada banyak hal yang bisa dimunculkan dari system kerja otak. Mulai dari pikiran, perilaku, emosi, kreativitas, dan masih banyak hal lagi yang terkait dengannya. Otak menjadi suatu bagian yang paling penting dari seluruh system yang ada dalam tubuh. Andaikata salah satu bagian dalam otak saja rusak maka bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan mereka yang mengalami gangguan pada otak. 
Sebagai satu system otak terdiri dari pelbagai macam komponen, yang masing-masingnya mempunyai tugas dan fungsi tersendiri tetapi tidak berdiri sendiri melainkan berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian system kerja otak pada manusia akan menentukan seperti apa manusia itu saat ini.
Banyak orang kagum akan kecerdasan tokoh ini Albert Eistein. Betapa tidak. Kemampuan inteligensinya  berada di atas 160. Maka banyak orang kepingin tahu seperti apa bentuk otak dari seorang genius Albert Einstein. Ketika ia mendedikasikan tubuhnya untuk kepentingan penelitian, maka salah satu bagian terpenting  tubuhnya yang akan diteliti adalah otak. Hasilnya mengejutkan. Otak Albert Eistein berbeda dengan otak manusia lainnya yang tidak pernah mengasah otaknya. Otak Albert Eistein ternyata memiliki banyak kerutan yang justru melalui kerutan-kerutan tersebut membuat Albert Eistein menjadi sosok genius.
Pada kasus lain, seperti tahun-tahun sebelumnya selalu ada siswa yang mencontek saat ujian nasional. Keberadaan guru pengawas tak menjadi hambatan. Bahkan sebagian  guru maupun pimpinan sekolah justru meminta para siswanya untuk menontek  demi menjaga citra baik guru dan akreditasi sekolah. Perbuatan tidak jujur  bukan monopoli dunia pendidikan semata. Ketidakjujuran terjadi hampir di semua lini atau sendi kehidupan , mulai dari social, ekonomi, politik hingga hukum sekalipun. Alhasil mencontek, plagiat, korupsi, menyuap, manipulasi data, berbohong, hingga selingkuh mudah ditemukan  di lingkungan sekitar manusia.
Berlaku jujur ataupun tidak jujur adalah perbuatan manusia yang dilakukan tentunya dibawah kerja system otak. Kenyataan ini akan dijelaskan dari perspektif biopsikologi dengan  memberikan gambaran bagaimana kerja otak dan apa pengaruhnya terhadap kejujuran dan ketidakjujuran.

Lokalisasi Fungsi Otak
Otak dan bagian-bagiannya memiliki peran sangat penting terhadap pikiran, emosi, dan perilaku manusia. Proses berpikir tergantung pada pelaksanaan fungsi lobus frontalis, sementara  ingatan dan emosi  bergantung pada lobus frontalis dan lobus temporal. Untuk aktivitas dan gerakan bergantung pada  lobus frontalis dan cerebellum. Untuk mengatur perilaku manusia  dalam merespons kebutuhan tubuh,manusia mengandalkan diencephalon.
Sangat menarik ketika mengetahui bahwa bagian-bagian tertentu dalam otak  terlibat dalam fungsi-fungsi psikologis. Banyak penerapan praktis yang dimilikinya antara lain memprediksi pengaruh operasi otak terhadap pelaksanaan fungsi psikologis pasien.
Pada bagian ini akan diperlihatkan bagaimana hubungan kerja otak dengan perilaku jujur dan tidak jujur. Otak manusia didesain agar manusia berbuat jujur. Tetapi ada bagian otak manusia yang berperan  membuat manusia berlaku tidak jujur. Saat manusia dihadapkan  pada hal-hal yang menuntut  kejujuran, pikiran sadarnya akan terusik. Proses ini berlangsung  di bagian otak depan yang disebut korteks prefrontalis. Bagian otak ini berperan dalam pengambilan keputusan termasuk tindakan menimbang, menganalisis, hingga memperhitungkan risiko, baik buruk, maupun untung rugi sebuah keputusan atau tindakan.
Proses pengambilan keputusan sejatinya merupakan proses berpikir.  Dengan berpikir setiap stimulus  yang muncul dipilah dan dipilih terlebih dahulu untuk selanjutnya memikirkan tindakan apa yang akan dilakukan. Kecepatan berpikir  untuk pengambilan keputusan berbeda pada setiap orang. Ada yang cepat namun ada pula yang lambat. Kecepatan berpikir sangat ditentukan atau bergantung pada dibiasakan atau tidaknya otak untuk berpikir.
Ada sebagian orang yang tidak mampu memikirkan tindakan  yang akan dilakukan atau berpikir dengan tergesa-gesa. Ada pula  orang yang baru berpikir setelah tindakan dilakukan. Itu menunjukan stimulus yang ada langsung direspon dengan tindakan impulsive yang terkadang bersifat destruktif dan menimbulkan penyesalan.
Tindakan yang diambil  tanpa proses berpikir menunjukkan kurang berperannya korteks prefrontalis. Bagian otak yang lebih mendominasi pengambilan keputusan yang tergesa-gesa  adalah system limbic di otak bagian tengah. Sistem limbic mengatur hal-hal terkait emosi seperti rasa takut, cemas atau khawatir. Karena emosi lebih mengemuka dalam pengambilan keputusan, tindakan yang diambil adalah hal-hal yang menenangkan dan menyenangkan emosi saja, tindakan untuk bertahan hidup semata dan tidak memperhitungkan dampak jangka panjang.
Saat berbuat jujur , otak akan mengeluarkan serotonin dan oksitosin, zat kimia pengirim sinyal (neurotransmitter) yang membuat manusia merasa  nyaman, tenang, lega dan bahagia. Sebaliknya ketika berbuat tidak jujur, neurotransmitter  yang muncul adalah kortisol yang membuat manusia merasa bersalah, stress, tertekan, was-was, dan tidak nyaman. Ini yang membuat orang  yang berbuat tidak jujur selalu diliputi  ketakutan jika kebohongannya terungkap.

Pengaruh Evolusi Otak terhadap Pola Perilaku  Jujur Manusia
Otak bagian depan manusia dan korteks prefrontalis adalah bagian otak yang berkembang paling akhir dalam evolusi otak makhluk hidup, hingga disebut neokorteks. Otak berbagai binatang lebih banyak didominasi oleh  otak bagian tengah (tempat system limbic) dan otak belakang (paleokorteks).
Kondisi ini membuat nilai kejujuran hanya ada pada manusia. Dominasi otak bagian tengah dan otak bagian belakang pada binatang membuat keputusan yang diambil binatang hanya  digunakan untuk bertahan hidup, tidak memperhitungkan benar atau salah.
Kemampuan berpikir logis akan merangsang dan membiasakan  korteks prefrontalis manusia aktif bekerja. Otak manusia bersifat plastis atau mudah dibentuk. Struktur otak dapat berubah akibat kondisi lingkungan yang berubah.  Karena itu jika kemampuan bernalar tidak dibangun dan dikembangkan secara maksimal dan optimal, proses pengambilan keputusan yang mendorong berbuat jujur  juga tidak akan berkembang.
Bagian-bagian penting dari system kerja otak seperti medulla  yang terdapat dalam brain stem  atau batang otak, cerebellum, diencephalon  yang memiliki struktur utama  thalamus  dan  hypothalamus, lobus temporal, lobus frontalis dan masih banyak lagi bagian-bagian lain menjadi penentu keputusan untuk manusia.  Maka berkaitan dengan perilaku jujur dan tidak juga selalu berkaitan dengan system kerja otak tersebut. Dengan kata lain keputusan yang diambil oleh manusia merupakan keputusan berdasarkan hasil kerja otak. Singkatnya system kerja otak amat mempengaruhi manusia dalam bertindak atau berperilaku termasuk perilaku-perilaku baik ataupun tidak baik.
Perkembangan yang relative lambat dari korteks prefrontal yang terus matang menjelang masuk ke masa dewasa, berarti bahwa remaja mungkin kurang keterampilan kognitif  untuk secara efektif mengontrol pencarian kesenangan mereka. Terputusnya perkembangan ini mungkin menjelaskan peningkatan dalam perilaku mengambil resiko dan masalah lain pada remaja.
Dari apa yang sudah dikemukakan di atas menjadi jelas bahwa perilaku jujur atau tidak erat kaitannya dengan system kerja otak manusia. Maka upaya membentuk manusia yang jujur dapat dimulai dari pendidikan yang mengedepankan logika manusia. Hal ini karena kejujuran terkait dengan kemampuan berfikir atau menalar. Kemampuan berpikir logis akan merangsang dan membiasakan korteks prefrontalis giat bekerja.
Dalam setiap perubahan fisik, otak terlibat dalam beberapa cara. Struktur otak membantu mengatur tidak hanya berkaitan dengan metabolisme, pelepasan hormon,  dan aspek lain dari fisiologis tubuh melainkan juga berkaitan dengan  pola perilaku.
Hingga tingkat tertentu , jenis informasi yang ditangani  oleh neuron tergantung  pada apakah informasi tersebut ada di hemisfer kiri  atau kanan korteks. Bicara dan tata bahasa misalnya tergantung pada aktivitas hemisfer kiri pada sebagian besar orang; humor dan penggunaan metafora tergantung pada aktivitas di hemisfer kanan.  Spesialisasi fungsi dalam salah satu hemisfer serebral korteks atau yang lain disebut  lateralisasi. Meskipun demikian, proses berpikir kompleks  pada orang nnormal merupakan akibat komunikasi antara dua hemisfer otak. Memberi label orang sebagai “berotak kiri” karena mereka adalah pemikir logis dan “berotak kanan” karena mereka adalah pemikir kreatif.
Perubahan perkembangan yang terbuka pada otak  mungkin memegang peranan beberapa kunci penting terhadap pemahaman  mengapa individu berpikir dan berperilaku seperti yang mereka lakukan termasuk berperilaku jujur ataupun tidak.
          
          
Beberapa Referensi:
1.      Asrori, Mohammad. (2007). Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
2.      Jarvis, Matt. (2012). Teori-Teori Psikologi Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku, Perasaan dan Pikiran Manusia. Bandung: Nusa Media.
3.      Kalat, J.W. (2012). Biopsikologi.  Jakarta: Salemba Humanika.

4.      Santrock, Jhon W. (2007). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.

PAUD: SUATU HARAPAN DAN TANTANGAN

Kilas Sejarah PAUD
Perhatian terhadap pendidikan anak usia dini telah berlangsung lama. Namun secara formal baru terjadi ketika Friedrich Frobel mendirikan Kindergarten pada tahun 1840 di Blankenburg, Jerman. Kindergarten merupakan wujud kepedulian Frobel terhadap pendidikan anak usia dini yang disadari sangat penting dan berpengaruh terhadap pendidikan dan pembentukan manusia selanjutnya. Anak usia dini diibaratkan seperti tunas tumbuhan, memerlukan pemeliharaan dan perhatian sepenuhnya dari orang dewasa sebagai juru taman. Kindergarten yang selanjutnya lebih dikenal dengan Frobel School berpengaruh terhadap pendidikan anak usia dini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dan berbagai bentuk dan versi PAUD pun bermunculan.
Perkembangan perhatian terhadap pendidikan usia dini di Indonesia dimulai bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Pada masa pendudukan Belanda, pemerintah Hindia Belanda membawa konsep Frobel School dan mendirikan Kindergarten bagi anak-anak keturunan Belanda (dan Eropa secara umum) dan kelompok bangsawan lokal. Seiring munculnya kebangkitan nasional, kesadaran akan pentingnya pendidikan semakin dirasakan.
Tahun 1919, atas inisiatif Persatuan Wanita Aisyiyah berdirilah Bustanul Athfal di Yogyakarta. Bustanul Athfal didirikan dengan maksud mendidik anak-anak sejak dini dengan semangat nasionalisme dengan berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Selain itu juga dimaksudkan untuk merespon popularitas Frobel School bentukan Belanda yang sangat berorientasi Eropa serta sangat terbatas bagi kalangan tertentu saja. Selanjutnya tahun 1922, RM.Soewardi Soeryaningrat atau yang lebih dikenal Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Lare atau Taman Anak (Kindertuin) yang lalu berkembang menjadi Taman Indria.
Perhatian terhadap pendidikan usia dini pada periode setelah kemerdekaan ditandai dengan berdirinya Yayasan Pendidikan Lanjutan Wanita, yang kemudian mendirikan Sekolah Pendidikan Guru TK Nasional di Jakarta. Pemerintah dan swasta secara bersama membangun lembaga-lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan anak usia dini. Dari pihak pemerintah sendiri, perhatian terhadap pendidikan anak usia dini termuat dalam UU Nomor 40 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Pada saat itulah keberadaan TK diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Sejak itu pula, perhatian terhadap PAUD semakin berkembang sampai saat ini, ditandai dengan adanya regulasi yang semakin jelas memuat segala hal yang sedapat mungkin diupayaakn untuk membantu pendidikan anak usia dini secara tepat sasar.

Arti Penting Pendidikan Usia Dini
Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memanusiakan manusia. Artinya melalui proses pendidikan diharapkan terlahir manusia-manusia yang baik. Anak sebagai mahluk individu yang sangat berhak untuk mendaptkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Dengan pendidikan yang diberikan diharapkan anak dapat tumbuh sesuai dengan potensi yang dimilkinya, sehingga kelak dapat menjadi manusia yang utuh.
Secara umum, anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Secara periodik usia dini merupakan masa di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia dini disebut sebagai usia emas (golden age). Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. Usia dini merupakan masa yang sangat penting bagi periode proses tumbuh-kembang anak selanjutnya. Maka, pendidikan anak usia dini adalah fondasi atau peletak dasar bagi tumbuh kembang anak. Ketika pendidikan anak usia dini tidak mendapat porsi dan perhatian lebih, maka akan mengancam keberlangsungan pendidikan pada tingkatan selanjutnya. Kesadaran akan pentingnya pembentukan pada masa golden age ini kemudian menumbuhkan kesadaran baru untuk lebih memberikan perhatian kepada pendidikan anak usia dini.

Satuan Pendidikan Anak Usia Dini
Satuan pendidikan anak usia dini merupakan institusi pendidikan anak usia dini yang memberikan layanan pendidikan bagi anak usia lahir sampai dengan 6 tahun. Di Indonesia ada beberapa lembaga pendidikan anak usia dini yang selama ini sudah dikenal oleh masyarakat luas, yaitu:
1.      Taman Kanak-kanak (TK):Merupakan satuan pendidikan bagi anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak usia 4 sampai 6 tahun.
2.      Kelompok Bermain (Play Group).Kelompok bermain berupakan salah satu bentuk pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan sekaligus program kesejahteraan bagi anak usia 2 sampai dengan 4 tahun.
3.      Taman Penitipan Anak (TPA). Taman penitipan anak merupakan salah satu bentuk pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal yang menyelenggarakan program pendidikan sekaligus pengasuhan dan kesejahteraan anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun.

Tujuan Pendidikan Anak Usia Dini
Secara umum tujuan pendidikan anak usia dini adalah mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Secara khusus tujuan pendidikan anaka usia dini adalah:
1.      Penanaman nilai keimanan.
2.      Agar anak mampu mengelola keterampilan tubuhnya.
3.      Anak mampu menggunakan bahasa.
4.  Anak mampu berpikir logis, kritis, memberikan alasan, memecahkan masalah dan menemukan hubungan sebab akibat.
5.      Anak mampu mengenal lingkungan.
6.      Anak memiliki kepekaan terhadap seni serta menghargai karya kreatif.

Prinsip-prinsip Pendidikan Anak Usia Dini
·     Berorientasi pada Kebutuhan Anak. Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan baik perkembangan fisik maupun psikis, yaitu intelektual, bahasa, motorik, dan sosio emosional.
·   Belajar melalui bermain. Melalui bermain anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan mengenai benda di sekitarnya.
·   Menggunakan lingkungan yang kondusif. Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan menyenangkan dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan belajar melalui bermain.
·       Menggunakan pembelajaran terpadu. Pembelajaran pada anak usia dini harus menggunakan konsep pembelajaran terpadu yang dilakukan melalui tema. Hal ini dimaksudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas sehingga pembelajaran menjadi mudah dan bermakna bagi anak.
·   Mengembangkan berbagai kecakapan hidup. Mengembangkan keterampilan hidup dapat dilakukan melalui berbagai proses pembiasaan.
·     Menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar. Media dan sumber pembelajaran dapat berasal dari lingkungan alam sekitar atau bahan-bahan yang sengaja disiapkan oleh pendidik /guru.
·   Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap. Dimulai dari konsep yang sederhana dan dekat dengan anak. Agar konsep dapat dikuasai dengan baik hendaknya guru menyajikan kegiatan–kegiatan yang berulang .

PAUD, Harapan dan Tantangan
Mendidik anak sejak usia dini dilandasi dengan kesadaran bahwa anak-anak berada pada usia emas (golden age). Periode ini sangat penting, di mana seluruh fungsi dan kemampuan anak sedang berkembang dengan pesat. Anak-anak memiliki kemampuan - yang menurut Vygotsky masih merupan potensial - sehingga memerlukan kontribusi dari orang dewasa untuk memberikan stimulasi yang tepat agar kemapuan-kemampuan itu teraktualisasi dan berkembang dengan optimal.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan anak usia dini tahun-tahun belakangan ini mendapatkan perhatian yang cukup menggembirakan dari berbagai kalangan masyarakat, baik dari pemerintah, pihak swasta, orang tua, akademisi, praktisi pendidik, agamawan dan lain-lain. Wujud kepedulian itu dimanifestasikan dengan terbentuknya berbagai lembaga pendidikan anak usia dini yang didirikan oleh pemerintah, lembaga swasta, maupun atas inisiatif dan prakasra masyarakat setempat. Pemerintah misalnya, menetapkan regulasi yang jelas, yang benar-benar mengatur secara bijak penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Selain itu disediakan tenaga pendidik anak usia dini yang dapat membantu proses belajar anak, yang benar-benar memahami proses tumbuh kembang anak usia dini, memahami karakter anak-anak, kreatif, mampu menjawabi setiap kebutuhan anak.
Namun pembangunan pada sektor pendidikan anak usia dini ini tidak lepas dari kendala yang di temui dilapangan sehingga perkembangan pendidikan anak usia dini di Indonesia belum dapat dikatakan telah optimal, kendala-kendala tersebut berkaitan dengan kemampuan pemerintah dan masyarakat, pengelola dan mutu pendidikan anak usia dini. Masalah nyata yang sering dihadapi adalah pengawasan yang tidak menyeluruh dari pemerintah, tenaga pengajar dan pendamping yang tidak memadai atau tidak memenuhi kualifikasi yang diharapkan, serta kesadaran masyarakat sendiri akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak usia dini. Tantangan lain adalah kenyataan bahwa meningkatnya kesadaran akan pendidikan usia dini tidak disertai dengan metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan proses tumbuh kembang anak. Masih banyak terjadi pada kenyataan bahwa pelaksanaan pembelajaran di lapangan kadang overlap dan tidak sesuai, bahkan tak jarang dipaksakan. Akibatnya anak mengalami trauma dengan belajar dan sekolah, takut dengan sekolah dan guru, akhirnya tak mau lagi bersekolah.
Diperlukan kerja sama dan komunikasi yang intens demi terlaksananya pendidikan bagi anak-anak. Diperlukan sebuah konteks belajar yang menyenangkan, yang selalu membangkitkan kegairahan dalam diri anak untuk selalu belajar dari dirinya sendiri. Apabila setiap orang dewasa Indonesia sadar bahwa masa depan bangsa ini ada di tangan generasi penerusnya, maka perhatian terhadap anak-anak hendaknya lebih dimaksimalkan.
Sebagai kata akhir, anak-anak adalah bunga-bunga kecil yang berkuncup dan mekar di tengah alam sosial kita. mereka memberikan semarak dan keharuman paling asali dari manusia. Sebagaimana kata lagu 'mawar melati semuanya indah', biarlah anak-anak tumbuh menjadi dirinya sendiri tanpa mesti didoktrin menurut keinginan orang dewasa. Biarlah mawar tetap menjadi mawar dan melati tetap menjadi melati agar dunia tetap menjadi indah adanya.

Bacaan:
 Asmidayati, dkk. (2011). Tokoh Filsafat Pendidikan Dr. Maria Montessori. Yogyakarta: UNY
Magini, A.P. (2013). Sejarah Pendekatan Montesori. Yogyakarta: Kanisius.
Patmonodewo, Soemiarti. (2003). Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Piaget, J. & Inhelder, B. (2010). Psikologi Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sujiono, Yuliani Nurani. (2009). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indeks.
Suryabrata, Sumadi. (2014). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Syah, Muhibbin. (2008). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya