Kamis, 24 Mei 2018

Cerita dari acara Napak Tilas Barnabas


Beberapa waktu lalu, saya dan Dewi menerima undangan dari keluarga besar SD Kanisius Kenalan yang sekaligus panitia Napak Tilas Barnabas Sarikrama. Karena saya sudah pernah mendengar perihal Barnabas Sarikrama, dan juga karena saya tidak sempat mengikuti Napak Tilas yang sama pada tahun kemarin, saya mengatur jadwal agar bisa mengikuti acara Napak Tilas Barnabas kali ini. Tentang Barnabas Sarikrama sudah saya ceritakan dalam postingan sebelumnya, bisa dibaca di sini
Ada keistimewaan yang mendorong saya mengikuti Napak Tilas Barnabas kali ini. Dari sejarahnya, Minggu, 20 Mei 1904 adalah hari pembabtisan Barnabas, bertepatan dengan hari raya Pentakosta. Dan Napak Tilas Barnabas kali ini, Minggu, 20 Mei 2018 adalah peringatan 114 tahun babtisan Barnabas, bertepatan pula dengan hari raya Pentakosta. Selain itu saya pribadi tertarik dengan sosok Barnabas, yang pembabtisannya menjadi titik mula penyebaran iman Katolik di wilayah Kalibawang, Kulon Progo pada umumnya, serta wilayah pegunungan Menoreh yang terbagi dalam wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah sekarang.
Sebenarnya saya dan Dewi pernah berencana akan ke Kenalan pada Sabtu sore atau malam. Hitung-hitung bisa lebih banyak punya kesempatan silaturahmi bersama para guru dan pegawai SD Kanisius Kenalan, juga para orang tua di sana. Atau misalnya tidak kesampaian karena keluarga besar SD Kanisius Kenalan yang menjadi tuan rumah kegiatan Napak Tilas Barnabas tentu akan sangat sibuk, mungkin kami bisa bermalam di rumah Mas Kaca dan Mbak Santi, memenuhi beberapa kali ajakan mereka yang belum kami penuhi. Karena beberapa hal yang harus kami selesaikan sampai Sabtu malam, rencana bermalam di Kenalan akhirnya batal. Malam itu Dewi menghubungi Dewa yang juga akan berangkat mengikuti acara besok. Mungkin mau berangkat bareng dari Yogyakarta. Karena Dewa akan berangkat bersama Herlin dan Galih, dan mereka menggunakan mobil maka kami akan langsung bertemu di Kenalan.
Minggu, 20 Mei 2018, kurang-lebih pukul 07.00 saya dan Dewi berangkat menuju Kenalan. Dengan perhitungan waktu dan perjalanan normal, waktu tempuh sekitar satu jam. Kami tiba di Kenalan sekitar pukul 08.00. Banyak orang sudah berkumpul. Orang-orang dari Paroki Promasan sendiri, dari Yogyakarta, Muntilan, Magelang, Temanggung, Semarang, dan berbagai tempat lainnya. Banyak juga dari sekolah yang dinaungi Yayasan Kanisius, pengurus Yayasan Kanisius sendiri, juga simpatisan. 

Setelah bertemu dengan para guru SD Kanisius Kenalan dan beberapa orang tua murid yang sudah kami kenal sebelumnya, Dewi langsung bergabung bersama Dewa, Herlin dan Galih. Saya sibuk mengambil gambar. Seperti setiap kesan yang saya dapat ketika datang ke sekolah ini, anak-anak SD Kanisius Kenalan selalu menarik. Kali ini hal menarik yang saya rekam adalah acara Napak Tilas ini dipandu oleh anak-anak SD Kanisius Kenalan. Mulai dari penyambut tamu yang datang, pembukaan acara oleh Presiden Republik Anak Kenalan, pemandu napak tilas dan lain-lain, masing-masing melaksanakan tugasnya dengan baik. Pukul 09.30 acara Napak tilas dimulai. 

NAPAK TILAS
Napak Tilas Barnabas merupakan kesempatan untuk mengingat dan merenungkan pokok-pokok perjalanan hidup barnabas Sarikrama. Napak Tilas dijalankan dan dihayati dalam suasana doa. Bertepatan dengan hari raya Pentakosta, napak Tilas ini berisi permohonan agar dalam terang Roh Kudus keteladanan dan keutamaan Barnabas Sarikrama menginspirasi hidup sebagai orang beriman Katolik. Ngrukti Wiji Angesti Suci, merawat benih keutamaan iman demi kesucian hidup.
Napak Tilas ini dibagi dalam dua kategori. Yang pertama adalah Napak Tilas pendek, yang diikuti oleh anak-anak kelas 1 dan 2 SD dari Kanisius Kenalan dan SD Kanisus Promasan. Kategori kedua adalah Napak Tilas Panjang, yang diikuti oleh umat paroki Promasan, keluarga besar Kanisius baik dari Yayasan Kanisius maupun sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Kanisius, juga peminat dan simpatisan.
Karena saya mengikuti Napak Tilas kategori panjang, berikut catatan dari beberapa titik perhentian napak tilas ini. Beberapa anak dari SD Kanisius Kenalan bertugas sebagai pemandu, pembaca cerita dan penyampai intisari nilai yang dapat dipetik dari kisah hidup Barnabas, juga pemimpin doa. 

Perhentian I: Kapel Kerug 
Kapel Kerug merupakan titik pertama Napak Tilas, terletak di antara dusun Kapuhan, Wonokriyo, Kerug Munggang dan Kerug Batur. Tempat-tempat ini merupakan wilayah pengajaran agama Barnabas. Di Kerug Batur terdapat gua yang konon merupakan tempat semedi Barnabas Sarikrama. Titik ini juga menjadi rute perjalanan Rm.Van Lith dari Muntilan ke Sendangsono: Muntilan – Mendut – Borobudur – Kerug – Sendangsono.


Perhentian II: Jengger
Tempat ini merupakan punggung bukit kecil yang menyerupai jengger ayam jago. Menurut cerita, tempat ini merupakan menara alami untuk mengintai musuh pada masa perang Diponegoro. Dalam perkembangannya, titik ini menjadi tempat beristirahat bagi orang yang melakukan perjalanan. Di tempat ini pula Barnabas Sarikrama sering beristirahat dalam perjalanan mengajar agama Katolik dari kampung ke kampung. Di tempat ini pula tongkat dari kayu Pule yang dipakai Barnabas Sarikrama tumbuh menjadi pohon Pule yang besar. 

Perhentian III: Gapura 
Gapura adalah tempat yang menjadi batas antara Kajoran dan Keruh/Kapuhan, terletak di sebelah selatan dusun Madugondo. Konon pada masa perang, tempat ini menjadi saksi sejarah berdamainya dua pihak yang berperang. Maka tempat ini dinamai Gapura, dimaknai apura ing ngapuran, saling memaafkan, damai. Semoga sikap saling memaafkan dan damai berkembang di Indonesia.



Perhentian IV: Kapel Kajoran 
Dusun Kajoran merupakan tempat Barnabas Sarikrama berguru kepada Suratirta. Di tempat ini pula Barnabas menikah dengan anak perempuan Suratirta dan membangun kehidupan keluarganya. Di Kapel Kajoran masih terdapat lonceng Angelus peninggalan Rm.Prennthaler, SJ.







Perhentian V: Makam Barnabas 
Meskipun Barnabas tinggal dan hidup di Kajoran, beliau dimakamkan di makam Semagung, Sendangsono. Alasan pemakaman di tempat ini terkait perjuangannya yang begitu luar biasa terhadap penyebaran agama dan perkembangan umat Katolik, juga hubungannya yang erat dengan sejarah pembabtisan pertama di Sendangsono.





Rangkaian acara Napak Tilas Barnabas ditutup dengan perayaan Ekaristi di pelataran Gua Maria Lourdes Sendangsono. Selain merayakan hari raya Pentakosta, perayaan ini untuk memperingati 114 tahun pembabtisan Barnabas Sarikrama dan syukur menjelang 100 tahun Yayasan Kanisius.

Catatan (bukan) kaki:
  • Mendung telah menggantung di langit ketika menjelang berakhirnya perayaan Ekaristi. Dan tepat setelah perayaan Ekaristi berakhir, hujan turun mengguyur Sendangsono. 
  • Hujan membuat saya merindukan kopi. Kerinduan ini sedikit terobati saat Dewa menawarkan satu cup bertuliskan Coffee, dilengkapi gambar biji kopi, yang ternyata isinya coklat hangat.
  • Karena hujan, Herlin menghubungi driver mobil yang mereka gunakan untuk menjemput dari SD Kenalan ke Sendangsono. Dalam perjalanan mobil tersebut mogok. Herlin, Dewa dan Galih lalu menumpang sebuah mobil menuju lokasi mobil mereka mogok.
  • Saya dan Dewi bersama guru-guru SD Kenalan dijemput mobil pick-up. Dari Sendangsono menuju SD Kenalan, mas sopir memilih rute yang tidak melalui jalan utama. Memilih jalan pintas, demikian kata pak Simus. Jalan pintas ini merupakan sejumlah tanjakan dengan kemiringan 45-50 derajad. Ditambah kondisi jalan yang basah karena hujan, cukup untuk membangkitkan adrenalin.
  • Tiba di SD Kenalan, saya, Dewi, pak Simus dan pak Frans mencoba menanyakan kabar Dewa dkk. Ternyata mobil mereka harus diderek menuju bengkel terdekat. Pak Simus yang akan lalu menjemput Galih, karena Galih harus kembali ke Jakarta dengan jadwal kereta jam 9.
  • Dengan menggunakan jas hujan yang dipinjamkan Dewa, saya dan Dewi kembali ke Yogyakarta.
  • Rencana mampir ke rumah mas Kaca dan mbak Santi batal, dan kami jadwalkan untuk berkunjung pada lain waktu.
Tim Horee... ☺



Barnabas Sarikrama

Menabur Benih Kebaikan, Manuai Keutamaan Hidup


Barnabas Sarikrama dikenal sebagai katekis pertama di Kalibawang. Beliau berperan penting dalam sejarah pembaptisan 171 orang di Sendangsono pada 14 Desember 1904. Baptisan I di Kalibawang ini merupakan titik awal berkembangnya gereja Keuskupan Agung Semarang.
Berkat perjuangan Barnabas Sarikrama, Paus Pius XI menganugerahkan kepada Barnabas Sarikrama bintang emas “Pro Ecclesia et Pontifice” pada perayaan pesta Perak Misi Jawa pada tahun 1929. Penyematan bintang dilaksanakan bersamaan dengan pemberkatan Goa Maria Lourdes Sendangsono, 8 Desember 1929. Dialah orang pertama Indonesia yang mendapatkan penghargaan dari Paus.

Masa Kecil Sariman
Barnabas Sarikrama lahir pada tahun 1874, dari keluarga sederhana di dusun Jamblangan, sebelah Timur dusun Semawung, desa Banjaroyo, Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta. Oleh keluarganya ia diberi nama Sariman. Ketika Sariman baru berusia tiga bulan dalam kandungan, ayahnya meninggal dunia, sehingga menurut adat-istiadat setempat anak yang terlahir dan ayahnya telah meninggal harus diserahkan kepada orang tua ayah (kakek dari pihak ayah). Mereka yang bertanggung jawab mengasuh anak yang baru lahir tersebut.
Dalam pengasuhan kakek-neneknya serta lingkungan tempat ia bertumbuh, Sariman dididik dan dibesarkan dalam kultur Jawa yang kental. Sariman adalah anak yang cerdas. Namun karena kondisi keluarga yang sangat terbatas, Sariman hanya mengalami pendidikan setingkat kelas 1 Sekolah Dasar. Karena keterbatasan keadaan keluarga saat itu pula Sariman hidup tak menetap. Ia berpindah ke tempat keluarganya di Gerpule, lalu pindah lagi mengikuti saudaranya yang lain di Kalisentul. Kondisi ini bisa dimengerti lantaran saat itu wilayah Indonesia masih merupakan Hindia Belanda yang mana dalam banyak hal akses masyarakat sangat terbatas.
Latar belakangnya kehidupannya yang berat membuat Sariman akrab dengan olah spiritual. Dengan bekal Kejawen, Sariman sering melakukan puasa dan samadi di tempat sunyi. Hasilnya, selain semakin matang spiritualnya, Sariman menjadi sosok yang berjiwa sosial tinggi, suka menolong orang lain. Karena ilmu spiritual dan sikapnya, Sariman cukup disegani warga sekitar.
Sebagai seorang pemuda, kemauan Sariman untuk belajar menggebu-gebu. Ilmu yang digalinya sendiri masih sangat kurang. Maka ia mulai mencari guru untuk mengembangkan ilmu dan wawasannya. Sampailah Sariman di Kajoran, lalu bertemu dengan Suratirta, tokoh dusun Kajoran. Suratirta kemudian menjadi guru Sariman.

Pencerahan
Sekian waktu sariman belajar dalam bimbingan Suratirta di Kajoran. Di Kajoran ini pula Sariman bertemu dengan jodohnya, anak perempuan Suratirta. Mereka kemudian menikah dan menjalani hidup berkeluarga, dan dikaruniai seorang putri. Ketika putrinya berusia tiga tahun, Sariman jatuh sakit. Pada bagian tungkai kakinya terdapat luka parah. Saking parahnya, luka ini lebih menyerupai lubang yang membusuk. Berbagai upaya pengobatan secara tradisional sudah digunakan untuk menyembuhkan lukanya. Hasilnya nihil. Bahkan saking parahnya, Sariman tidak tega tidur di dalam rumahnya. Ia tidur di luar rumah agar bau dari luka di kakinya tidak mengganggu anggota keluarganya.
Sebagai penganut Kejawen, Sariman melakukan puasa dan samadi mohon kesembuhan. Dalam samadinya, Sariman mendapat petunjuk, bahwa ia harus pergi ke arah ngalor-ngetan (utara-timur/timur laut). Petunjuk ini disampaikan kepada keluarganya, dan setelah berunding Sariman berangkat ke tempat sesuai petunjuk yang diterima. Perjalanan Sariman sangat berat. Lukanya membuatnya berjalan tertatih-tatih (ada yang mengisahkan kalau Sariman harus berjalan dengan cara ngesot). Keinginannya untuk sembuh membuatnya tetap berjalan tanpa kenal lelah dan menyerah.
Perjalanan Sariman sampai ke dusun Craken (Kalakendhang). Di Craken, Sariman bertemu dengan seorang Kyai terkenal, Kyai Dawud namanya. Oleh Kyai Dawud, Sariman diundang mampir ke rumahnya. Setelah beristirahat di rumah Kyai Dawud, Sariman melanjutkan perjalanannya dan tiba di Muntilan. Di Muntilan, Sariman bertemu dengan Rm. Van Lith, SJ dan Bruder Kersten. Sariman lalu dirawat oleh kedua biarawan ini.
Selama hari-hari ketika sedang menjalani perawatan oleh Rm. Van Lith dan Bruder Kersten, Sariman melihat sering banyak orang berkumpul dan mendengarkan Rm. Van Lith. Karena penasaran ia bertanya, dan oleh Rm. Van Lith dijelaskan bahwa orang-orang itu berkumpul untuk mendengarkan pengajaran tentang iman Katolik. Karena dasarnya Sariman adalah sosok yang senang belajar, ia pun memutuskan mengikuti pengajaran selama waktu penyembuhan kakinya. Dari pengajaran yang diterima, Sariman mulai tertarik dan berkeinginan menjadi Katolik.
Setelah kakinya hampir sembuh total, Rm. Van Lith mengijinkan Sariman pulang ke Kajoran. Sariman dibekali obat untuk melanjutkan perawatannya di rumah. Selain itu, Sariman diberikan oleh-oleh buku Katekismus dan Kitab Suci dalam aksara Jawa.

Nama baru: Barnabas
Berita kepulangan Sariman membuat banyak orang penasaran dan ingin tahu keadaannya. Banyak orang, baik keluarga, tentangga maupun dari kampung tetangga berdatangan ingin melihat keadan Sariman. Mereka tahu kondisi Sariman sebelum dirawat, dan kini mereka ingin tahu kondisi Sariman setelah menjalani perawatan. Benar, kaki Sariman sudah membaik, tinggal menunggu pemulihan akhir. Orang-orang bertanya tentang perawatannya, bagaimana ia sampai sembuh seperti sekarang. Kepada orang-orang yang berkumpul Sariman mengisahkan pengalaman perjalanannya, bagaimana ia menjalani perawatan selama di Muntilan.
Sariman juga menunjukkan oleh-oleh Katekismus dan Kitab Suci yang diberikan oleh Rm. Van Lith. Orang-orang pun penasaran lagi dan ingin segera tahu isi buku yang dibawa Sariman. Dengan penuh semangat Sariman menerangkan isi buku yang dibawanya, sekaligus membagikan ilmu yang didapat saat mengikuti pengajaran Rm. Van Lith di Muntilan. Kabar kepulangan Sariman didengar juga oleh orang-orang di Tuksanga dan Semagung. Warga dari dua dusun itu ikut datang melihat Sariman dan mendengar kisahnya.
Di rumahnya, Sariman tekun mempelajari Katekismus dan Kitab Suci pemberian Rm. Van Lith. Pengalaman Sariman dan kisahnya mengesankan dan mempengaruhi Suratirta, mertuanya. Tokoh masyarakat lain, Sukadrana dari Semagung dan Surawijaya dari Tuksanga juga tertarik dan ikut belajar iman Katolik. Secara bersama-sama mereka berkumpul dan belajar tentang ajaran agama Katolik.
Sejak kembali ke rumahnya, Sariman rutin mengunjungi Rm. Van Lith di Muntilan. Rm. Van Lith melihat bahwa Sariman cerdas dan punya semangat tinggi. Setelah pengetahuan tentang agama Katolik Sariman dianggap cukup, Sariman dibabtis dengan nama Barnabas di Muntilan pada tanggal 20 Mei 1904, bertepatan dengan hari raya Pentakosta. Nama Sariman diganti dengan Sarikrama, yang berarti “orang yang menerima intisari ajaran Kristiani”. Bersama dengan Sariman, dibabtis pula tiga tokoh masyarakat yang lainnya: Suratirta dibabtis dengan nama Lukas, Sukadrana dibabtis dengan nama Markus dan Surawijaya dengan nama Yokanan.
Setelah dibabtis, keempat orang ini mulai mengajak keluarga dan tetangga mereka untuk belajar agama Katolik. Setiap hari mereka terus mengajar dengan penuh semangat. Berkat kegigihan mereka, banyak orang yang mengikuti pengajaran dan mengenal iman agama Katolik. Di Kajoran, Tuksanga, Semagung dan sekitarnya banyak yang datang dan mengikuti pengajaran. Berkat semangat keempat orang ini, pada tanggal 14 Desember 1904 terjadi peristiwa pembabtisan 171 orang di Sendangsono, oleh Rm. Van Lith, SJ.
Peristiwa pembabtisan pada 20 Mei 1904 di Muntilan dan 14 Desember 1904 di Sendangsono menjadi awal berkembangnya iman Katolik di Kalibawang. Peristiwa ini juga dicatat sebagai tonggak awal misi Katolik di tanah Jawa.

Menjalani tugas sebagai Katekis
Setelah pembabtisan di Sendangsono, Rm. Van Lith memberikan kepercayaan kepada Barnabas untuk memperdalam iman orang-orang yang baru saja dibabtis itu. kepercayaan itu dijalankan Barnabas dengan senang hati. Barnabas memberikan pelajaran agama Katolik kepada orang-orang di sekitar Kajoran. Tugas yang sama diberikan pula kepada tiga tokoh yang lainnya, Lukas Suratirta, Markus Sukadrana dan Yokanan Surawijaya. Dalam perkembangannya, Barnabas lebih bertanggung jawab untuk pengajaran di luar Kajoran, meliputi daerah Kerug, Durensawit, Kapuhan Wonolelo, Gempal dan beberapa wilayah lain.
Setiap akan melakukan pengajaran di tempat baru, Barnabas meminta ijin lebih dahulu kepada kepala kampung dan tokoh masyarakat setempat. Dengan berbusana adat Jawa, Barnabas mengunjungi tokoh masyarakat dan menyampaikan perihal kedatangannya. Hal ini dilakukan sebagai cara menghormati masyarakat setempat, sekaligus agar tujuan kedatangannya tidak disalahpahami. Pada setiap tempat ia diterima, dibuat jadwal pengajaran seminggu sekali.
Pengajaran tidak selalu berjalan mulus. Selain tantangan medan yang berat, penolakan dari warga sering dihadapi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengalaman imannya membuat Barnabas tak pantang menyerah. Barnabas yakin bahwa Roh Kudus selalu membimbing dan mendampinginya. Keyakinan ini diwujudkan dengan setiap lakunya, baik melalui pengajaran maupun perbuatannya.
Ada cerita menarik dari kerya pengajaran Barnabas. Suatu ketika, saat melewati Jengger, suatu tempat di sebelah timur Kapuhan, Barnabas beristirahat sejenak. Kayu yang dijadikan tongkat ditancapkan ke tanah sambil berkata, “Kalau kayu ini hidup, akan hidup pula iman Katolik di daerah ini.” Kayu itu kemudian bertunas dan tumbuh menjadi pohon besar. Kayu itu adalah kayu Pule. Kini pohon dari tongkat Barnabas itu sudah tidak ada, namun pada tempat itu ditanam kayu Pule yang lain, menggantikan kayu Pule yang sudah tidak ada itu.
Umat di wilayah Kalibawang dan sekitarnya berkembang subur. Pendampingan umat berada dalam tanggung jawab Paroki Muntilan. Rm. Van Lith mulai melakukan kunjungan pastoral ke wilayah Kalibawang. Beliau berkunjung ke keluarga Markus Sukadrana dan Lukas Suratirta di Kajoran, ke keluarga Yokanan Surawijaya di Tuksanga, juga keluarga Abraham Dipadangsa di Semagung. Dalam setiap pertemuan, mereka berembuk tentang pelayanan umat Katolik, bagaimana menjawab keinginan umat yang ingin memperdalam ajaran iman Katolik dan merayakan ekaristi. Dari sini disepakati, setiap Sabtu Paing dan Sabtu Wage mereka berangkat ke Muntilan agar bisa mengikuti perayaan ekaristi hari Minggu. Setelah merayakan ekaristi, umat kembali dari Muntilan ke Kalibawang.
Umat yang berkembang di Kalibawang lama belum dilayani imam. Tahun 1914 datang Rm.Groenwegen, SJ untuk mendampingi umat di Kalibawang, Sendangsono dan sekitarnya. Di rumah keluarga Lukas Suratirta di Kajoran, Rm. Groenwegen mengadakan perayaan ekaristi lalu mengunjungi keluarga yang lainnya.
Tahun 1918-1922, Rm. Groenwagen membangun sekolah rakyat di Ploso. Sekolah itu menjadi SD Kanisius Promasan sekarang. Tahun 1923 Kalibawang menjadi bagian dari Stasi Mendut, dan sekolah rakyat di Ploso menjadi tempat perayaan ekaristi umat Katolik Sendangsono dan sekitarnya sampai tahun 1940.

Paroki Promasan
Tahun 1924-1935, Rm. Prennthaler, SJ berkarya mendampingi umat Ktolik Kalibawang. Umat berkembang pesat, karena itu beliau membentuk pamomong yang bertugas mencatat keadaan dan perkembangan umat, juga menggantikan guru agama yang berhalangan melakukan pengajaran. Beliau membentuk Pamardi Suci, Panggolo dan Konggregasi sebagai wadah pembinaan. Selain itu beliau juga mengkader guru agama di lingkungan-lingkungan guna membantu karya Barnabas Sarikrama. Guru agama ini bertugas melakukan pengajaran, mengunjungi orang sakit dan memimpin upacara kematian.
Tahun 1930, berdirilah gereja Boro atas prakarsa Rm. Prennthaler. Maka umat Promasan dan sekitarnya merayakan ekaristi di gereja Boro, dan Promasan menjadi stasi dari paroki Boro. Peninggalan karya Rm. Prennthaler yang masih bisa dilihat saat ini adalah Gua Maria Lourdes Sendangsono dan lonceng yang digunakan di stasi-stasi, dikenal dengan lonceng Angelus “Dewi Mariah, sembah bektinipoen tanah Djawi oegi!”
Pada tahun 1937, Rm. Yasa Wiharjo, SJ berkarya di paroki Boro. Beliau lalu berembug dengan tokoh-tokoh masyarakat, seperti Yakobus Tirtosumarto, Antonius Sukariyo, Whillem Merto Wijaya dan tokoh-tokoh lainnya tentang membangunan dan pendirian gereja. Hasil dari musyawarah ini adalah ditemukan tempat yang strategis untuk didirikan bangunan gereja, yaitu Promasan.
Setelah ditetapkan lokasi bangunan gereja, dimulailah pekerjaan pembanguna. Umat bergotong-royong bekerja bakti. Tua muda dan anak-anak ikut berpartisipasi. Anak-anak bertugas mengumpulkan batu kali dan kerikil, sementara warga dewasa mengambil pasir dari sungai Progo.
Ketika gereja Promasan dibangun, kesehatan Barnabas  Sarikrama mulai menurun. Segala urusan terkait pembangunan gereja dilanjutkan oleh Antonius Sukariyo dan Yakobus Tirtosumarto. Barnabas Sarikrama menderita sakit muntaber dan dirawat di rumah sakit Boro. Pada tanggal 15 Juli 1940, Barnabas Sarikrama wafat di rumah sakit Boro, tempat ia dirawat.
Pada tanggal 18 Desember 1940, lima bulan setelah Barnabas Sarikrama wafat, gereja Promasan diresmikan oleh Mgr. Albertus Soegijopranoto, SJ. Barnabas Sarikrama tak sempat melihat hasil perjuangannya. Namun telah dicatat, bahwa berkat perjuangannya iman Katolik di wilayah Promasan bertumbuh dan berkembang, dan gereja Maria Lourdes Promasan berdiri.

Penutup
Pada tahun 1929, bertepatan dengan peringatan 25 tahun babtisan pertama, diresmikan monumen peringatan berupa Gua Maria Lourdes Sendangsono. Pada saat itu pula, tepat peringatan Yubelium Perak Misi Jawa, Barnabas Sarikrama mendapat tanda jasa dari Paus Pius XI atas jasanya sebagai Katekis di sekitar Sendangsono Kalibawang. Barnabas Sarikrama dianugerahi bintang emas Pro Ecclesia et Pontifice.
Banyak buah dari perjuangan Barnabas Sarikrama yang dirasakan sekarang. Dari beliau iman Katolik menyebar ke wilayah Kalibawang dan sekitarnya. Semoga keteladanan hidup Barnabas Sarikrama menjadi inspirasi hidup dan iman bagi banyak orang.

Selasa, 20 Maret 2018

Pengantar Ilmu Psikologi


Psikologi sebagai Ilmu
Psikologi adalah sebuah bidang ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas mental. Menurut asal katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani kuno: "ψυχή" (Psychē : jiwa) dan "λογία" (logia : ilmu). Maka secara etimologis, psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari jiwa.
Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, psikologi melalui sebuah perjalanan panjang. Konsep psikologi dapat ditelusuri jauh ke masa Yunani klasik. Psikologi memiliki akar dari bidang ilmu filsafat, yang diprakarsai sejak zaman Aristoteles sebagai ilmu jiwa, yaitu ilmu untuk kekuatan hidup (levens beginsel). Aristoteles memandang ilmu jiwa sebagai ilmu yang mempelajari gejala - gejala kehidupan. Jiwa adalah unsur kehidupan (Anima), karena itu tiap-tiap makhluk hidup mempunyai jiwa. Dapat dikatakan bahwa sejarah psikologi sejalan dengan perkembangan intelektual di Eropa, dan mendapatkan bentuk pragmatisnya di benua Amerika.
Walaupun sejak dulu telah ada pemikiran tentang ilmu yang mempelajari manusia dalam kurun waktu bersamaan dengan adanya pemikiran tentang ilmu yang mempelajari alam, akan tetapi karena kerumitan dan kedinamisan manusia untuk dipahami, maka psikologi baru tercipta sebagai ilmu sejak akhir 1800-an yaitu sewaktu Wilhelm Wund mendirikan laboratorium psikologi pertama di dunia pada tahun 1879, di University of Leipzig, Jerman.
Berdirinya laboratorium ini menandai mulai dipakainya metode-metode yang bersifat ilmiah untuk memahami manusia. Walaupun belum memadai, dengan berdirinya laboratorium ini lengkaplah syarat psikologi untuk menjadi ilmu pengetahuan, sehingga tahun berdirinya laboratorium Wundt diakui pula sebagai tanggal berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan.

Fungsi Psikologi sebagai Ilmu
·  Menjelaskan, yaitu mampu menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu terjadi. Hasilnya penjelasan bersifat deskriptif.
·  Memprediksikan, yaitu mampu meramalkan atau memprediksikan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu terjadi. Hasil prediksi berupa prognosa, prediksi atau estimasi.
· Pengendalian, yaitu mengendalikan tingkah laku sesuai dengan yang diharapkan. Perwujudannya berupa tindakan preventif atau pencegahan, intervensi atau treatment serta rehabilitasi atau perawatan.

Bidang Kajian Psikologi
1.      Psikologi perkembangan
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari perkembangan manusia dan faktor-faktor yang membentuk prilaku seseorang sejak lahir sampai lanjut usia. Psikologi perkembangan berkaitan erat dengan psikologi sosial, karena sebagian besar perkembangan terjadi dalam konteks adanya interaksi sosial. Dan juga berkaitan erat dengan psikologi kepribadian, karena perkembangan individu dapat membentuk kepribadian khas dari individu tersebut.
2.      Psikologi sosial
Bidang ini mempunyai 3 ruang lingkup, yaitu :
·         studi tentang pengaruh sosial terhadap proses individu, misalnya : studi tentang persepsi, motivasi, proses belajar, atribusi (sifat).
·         studi tentang proses-proses individual bersama seperti bahasa, sikap sosial, imitasi atau perilaku meniru dan lain-lain
·         studi tentang interaksi kelompok, misalnya kepemimpinan, komunikasi,  hubungan kekuasaan, kerjasama dalam kelompok, dan persaingan.
3.      Psikologi kepribadian
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari tingkah laku manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, psikologi kepribadian berkaitan erat dengan psikologi perkembangan dan psikologi sosial, karena kepribadian  adalah hasil dari perkembangan individu sejak masih kecil dan bagaimana cara individu itu sendiri dalam berinteraksi sosial dengan lingkungannya.
4.      Psikologi kognitif
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari kemampuan kognisi, seperti: persepsi, proses belajar, kemampuan memori, atensi, kemampuan bahasa dan emosi.

Penerapan Ilmu Psikologi
Wilayah terapan psikologi adalah wilayah-wilayah di mana kajian psikologi dapat diterapkan. Walaupun demikian wilayah kajian psikologi masih sering diterapkan secara rancu. Misalnya, belum terbiasanya orang-orang Indonesia dengan spesialisasi membuat wilayah terapan ini kabur. Misalnya, seorang ahli psikologi pendidikan mungkin saja bekerja sebagai HRD sebuah perusahaan, atau sebaliknya.
1.      Psikologi pendidikan. Psikologi pendidikan berusaha menciptakan situasi yang mendukung bagi anak didik dalam mengembangkan kemampuan akademik, sosialisasi dan emosi, yang bertujuan untuk membentuk mindset anak
2.      Psikologi industri dan organisasi. Psikologi industri  memfokuskan kajian pada wilayah mengembangkan, mengevaluasi dan memprediksi kinerja suatu pekerjaan yang dilakukan oleh individu, sedangkan psikologi organisasi mempelajari bagaimana suatu organisasi memengaruhi dan berinteraksi dengan anggota-anggotanya
3. Psikologi kerekayasaan. Penerapan psikologi yang berkaitan dengan interaksi antara manusia dan mesin untuk meminimalisasikan kesalahan manusia ketika berhubungan dengan mesin (human error).
4.  Psikologi klinis. Adalah bidang studi psikologi dan juga penerapan psikologi dalam memahami, mencegah dan memulihkan keadaan psikologis individu ke ambang normal.

Catatan tambahan: Materi ini sejatinya materi kuliah pengantar psikologi yang kemudian saya coba lengkapi dengan referensi lain. sayangnya, catatan tentang referensi tersebut saya catat dan lupa di mana saya menyimpannya. Tetapi untuk mudahnya, sila mencari buku-buku terkait pengantar psikologi.

Senin, 19 Maret 2018

Baca Buku Sekarang, Gila atau Waras

Gambar Ilustrasi dari sini
Memang sengaja saya memilih judul demikian. Tentunya bukan tanpa dasar. Ada beberapa hal yang menjadi dasar pemikiran, yang bisa jadi sepele. Tetapi akan saya sajikan, meskipun secara singkat.
Mengawali abad ke-21, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tak dapat dibendung. Terobosan baru bidang ini membuka secara luas segala sekat ruang dan waktu yang sepanjang masa sebelumnya menjadi tembok penghalang, secara khusus pada perihal cakrawala wawasan manusia. Dampaknya, manusia secara terbuka dapat mengetahui segala macam hal yang terjadi di dunia.
Salah satu hal luar biasa yang menjadi dampak bawaan perkembangan telnologi komunikasi dan informasi adalah kehadiran internet. Dengan sekali klik, informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh dan dibaca dengan mudah. Dari sini dapat dilihat, bahwa meskipun segala hal berkembang, kegiatan membaca merupakan hal penting yang tetap lestari. Membaca merupakan metode terbaik dan paling efektif untuk mendapatkan informasi. Dengan membaca, bukan hanya wawasan yang diperluas dan diperkaya. Membaca juga merupakan jalan mengasah penalaran.
Secara positif internet diterima karena menjembatani banyak hal, termasuk hal menyediakan referensi bacaan yang dibutuhkan semua orang. Selain artikel-artikel yang tak terhitung jumlangnya, buku-buku elektronik pun hadir menjadi pilihan yang diapresiasi secara positif. Dengan didukung perangkat elektonik yang memadai, sebuah perpustakaan dengan kapasitas ribuan buku yang biasanya membutuhkan ruang penyimpanan sebuah gedung dapat dikemas dalam genggaman.
Salah satu sisi positif kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dialami juga dalam bidang literasi. Literasi yang sebelumnya hanya melibatkan perangkat media cetak yang secara fisik berupa jilidan kertas ikut berubah. Buku yang terdiri dari berlembar-lembar kertas, membutuhkan ruang yang besar, berbobot berat tak lagi menjadi kendala ketika perangkat elektronik hadir dengan kemudahan yang disajikan.
Pada kenyataannya, kemudahan yang dihadirkan kemajuan teknologi ternyata tidak sepenuhnya menjamin berhasilnya cita-cita mendasar, bahwa semua orang pada segala level dan latar belakang bisa mengalami kemudahan dalam hal membaca. Pasalnya meskipun era digital memberi dampak positif, terdapat pula dampak negatif yang ikut serta hadir tak terelakkan. Dampak negatif ini ikut dialami dunia literasi. Alhasil, gerakan baca buku yang santer digaungkan seakan menempatkan pegiatnya berperan sebagai orang gila. Antara menjadi orang waras atau orang gila pun dijalani.
Berhadapan dengan gelombang digital tentu bukan masalah bagi orang-orang dewasa. Lantas bagaimana dengan anak-anak? Di sini letak masalahnya. Dunia digital yang menyajikan banyak hal dengan mudah dapat diakses. Tak terkecuali konten-konten negatif ikut berpeluang untuk dibuka dan menjadi sajian menarik bagi anak-anak. Lebih serius lagi, beberapa penelitian menunjukkan hasil anak-anak yang secara dini terpapar dunia digital membuat mereka mengalami cacat memori.
Sebuah penelitian mengungkapkan terjadi kekacauan performa otak ketika orang mengakses gadget dan terpapar dunia digital. Bagi orang dewasa, hal ini terjadi karena keinginan untuk mengakses sebanyak mungkin apa yang didapat melalui gadget. Dalam waktu yang singkat seseorang memaksa otaknya untuk mengerjakan tugas yang dikejar tenggat waktu, membuka email, chatting dengan teman, memonitor beberapa media sosial mereka, mencari info tentang iklan yang muncul di layar gadget dll. Hal ini berdampak pada peningkatan stress, menurunnya kemampuan penalaran dan kemampuan berpikir kritis. Sementara bagi anak-anak yang secara dini telah terpapar dunia digital, tentu lebih tinggi resikonya. 
Dari beberapa hal ini, ditemukan bahwa membaca buku cetak masih lebih positif dampaknya, khususnya kepada anak-anak. Ketika membaca buku cetak, perhatian hanya terfokus pada buku tersebut. Otak memberi respon secara teratur terhadap buku yang dibaca tanpa terganggu oleh godaan hal lain di luar buku yang tengah dibaca.
Bagaimana agar anak-anak tetap tertarik membaca buku di era digital ini? Kita tak mungkin menghindari perkembangan zaman. Daripada melawan kekuatan yang sudah jelas menempatkan kita sebagi pihak yang tak kan menang, lebih baik dipikirkan sebuah formula yang tepat untuk mengimbangi kekuatan digital. Perlu dicari formula yang sesuai, bagaimana anak tetap membaca buku dengan sehat meski tetap memiliki kesempatan bermain gadget. Membuat buku lebih menarik ketimbang gadget jauh lebih penting.
Membuat anak tertarik dengan buku tidak gampang. Perlu pembiasaan terus-menerus. Salah satu cara yang paling gampang adalah memberi contoh. Selain itu, menyediakan buku yang sesuai dengan minat anak juga penting. Membuat anak terpapar dengan berbagai buku bacaan akhirnya akan membuat anak tahu mana buku yang sesuai untuknya, yang disukainya sendiri. Dalam banyak kasus, anak tidak suka baca buku karena mereka tidak mendapat contoh dari orang dewasa di sekitar mereka. Orang tua dan anggota keluarga lain yang mengambil jarak dengan kegiatan membaca tak mungkin melahirkan pribadi anak yang suka membaca buku. Selain itu, sering anak-anak dijejali buku-buku yang keliru. Anak-anak tidak akan merasa nyaman ketika dipaksa membaca buku yang tidak mereka sukai.
Gerakan baca buku akan mencapai hasil positif ketika ada dukungan yang positif. Memberi contoh kepada anak-anak, menyediakan reading-time dalam keluarga merupakan dasar dari gerakan baca buku. Kemudian menyediakan buku yang menarik, baik dari segi isi maupun kemasan bisa menjadi pertimbangan lain yang ikut mendukung gerakan ini.



Minggu, 04 Februari 2018

Menjual Kemiskinan Dalam Acara Televisi

Bertolak dari acara televisi.
          Nongkrong di warung burjo dekat kos, selain untuk mengisi amunisi fisik berwujud aneka macam makanan khas burjo, juga menjadi cara mendapat informasi aktual – tak jarang informasi lama yang diupgrade menjadi aktual lagi - yang tengah dibahas media massa. Minimal koran lokal yang selalu ada setiap hari, juga aneka berita sampai gosip yang setia mengisi jadwal tayang di TV.
          Tentang media yang terakhir ini, beberapa kali, entah karena berjodoh atau apa, selalu bertepatan dengan beberapa mata acara yang agak lucu-lucu menjijikkan. Ada sinetron yang ceritanya kurang lebih intinya sama sepanjang dunia persinetronan menjadi suguhan menarik di televisi. Ceritanya dikemas berbeda, tetapi intinya selalu yang berpenampilan religius selalu menjadi pemenang. Belum lagi kalau ditambah bumbu yang religius itu hidup pas-pasan, menjadi korban KDRT, tertindas secara sosial dan seterusnya. Yang lebih menggelikan adalah acara reality show atau sejenisnya. Saya sebutkan dua saja dari sekian jumlah acara itu.
          Pertama, namanya Mikro*** Pelunas Utang. Acara ini merupakan program sebuah stasiun televisi swasta. Katakanlah namanya TV-A. Dalam acara ini, pesertanya – yang meskipun tidak disebutkan tetapi secara spontan dapat diketahui kalau mereka harus berkriteria miskin dan (wajib) berhutang – berusaha mendapatkan simpati dan empati dari tim penilai. Mereka yang dinyatakan memenuhi kriteria yang ditentukan akan mendapat hadiah. Sebagaimana namanya Pelunas Utang, hadiahnya adalah seluruh utang peserta yang menang akan dibayar oleh juri, penyelenggara, dan tentu saja sponsor.
          Kedua, sebuah acara lain yang tayang di stasiun televisi berbeda. Sebut saja TV-B. Nama mata acaranya adalah Uang Terkejut. Acara ini adalah reality show yang menghadirkan Tuan Uang sebagai tokoh murah hati yang berkeliling mencari sasaran untuk bagi-bagi uang. Dengan gaya yang disetting agar memunculkan kesan sebagai orang kaya yang dermawan, Tuan Uang mendatangi sasaran, memberikan sejumlah uang dan si sasaran harus membelanjakan uang tersebut dalam tenggat waktu tertentu. Dengan didampingi penjaga waktu, si sasaran harus membelanjakan uang tersebut.

Eksploitasi Kemiskinan.
          Sadar atau tidak, beberapa acara televisia kita telah menjadikan realitas kemiskinan sebagai komoditas. Acara yang dikonsepkan sebagai cara membantu orang miskin ini cenderung tendensius. Apa yang menarik dari acara semacam ini? Tak ada yang lebih dari selain menjual kemiskinan orang lain. Dengan banyak settingan, kemiskinan diangkat ke panggung, menjadi tayangan yang mengundang empati. Namun tak hanya di situ, tayangan seperti ini juga menjadi hiburan bagi pemirsa, sekaligus menjadi sumber pendapatan bagi stasiun televisi tertentu. Tayangan realitas dengan sajian utama kehidupan masyarakat kelas bawah menjadi sumber pendapatan.
          Yang patut disayangkan, masyarakat kita yang kebanyakan awam soal industri televisi menerima ini dengan gembira. Banyak yang menaruh simpati lalu menganggap stasiun televisi bersangkutan telah memberi andil dalam mengentas kemiskinan, bahwa mereka adalah kelompok dermawan yang sangat peduli dengan orang-orang dari kelompok ekonomi lemah di negara ini. Belum lagi kalau tayangan tersebut ditambahi bumbu sedekah atas nama ajaran agama. Masyarakat kita yang sangat agamis ini langsung lumer. Masyarakat kita lupa bahwa di balik tayangan yang itu, justru yang paling diuntungkan adalah pihak stasiun televisi penyiar sendiri.
          Tayangan-tayangan reality show yang mengeksploitasi kemiskinan menduduki kategori tinggi dalam hal mendapat rating tayangan. Dengan rating yang tinggi, nominal pendapatan yang diperoleh dari iklan sekali tayang, yang tak sampai satu menit saja, dihargai kurang-lebih limapuluh juta rupiah. Bayangkan berapa banyak dan berapa kali iklan ditayangkan dalam satu episode reality show semacam ini. Artinya dengan iklan yang sekali tayang saja, keuntungan yang diperoleh sudah dua, bahkan tiga sampai empat kali lipat nominal yang diberikan kepada orang-orang yang dikategorikan tidak mampu secara ekonomi dalam acara tersebut.
          Coba kita hitung secara kasar. Misalnya dana yang disediakan sebagai jatah menolong orang miskin pada satu episode adalah 10 juta rupiah. Satu produk barang/jasa diiklankan pada saat itu dengan durasi sekali tayang 30 detik dihargai 50 juta rupiah. Dalam satu episode acara, iklan ditayangkan sebanyak 5 kali, maka diperoleh 250 juta rupiah. Misalnya lagi, dalam satu episode itu terdapat 5 produk barang/jasa yang diiklankan. Dengan perhitungan yang sama, maka keuntungan yang didapat pihak penyelenggara acara adalah 1,250 M. Bayangkan, apa arti 10 juta untuk nominal yang lebih dari 1M?
          Dalam industri, termasuk industri siaran televisi, tak ada tempat murni untuk menolong. Yang ada hanyalah memanfaatkan segala cara untuk mendapatkan untung sebanyak mungkin. Eh, omong-omong, kemiskinan juga menjadi tema yang enak dijual setiap musim pilkada tiba. Oke, nantikan tulisan selanjutnya tentang itu.

Agama: Mengapresiasi atau Menghancurkan

          Seperti biasa, setiap mampir di beranda rumah om Goog selalu ada tawaran tautan berita paling menarik saat itu. Sore, Jumat, 2 Februari 2018, salah satu yang muncul, kemudian saya temukan lagi di dinding facebook dan pesan berantai via aplikasi WA adalah adanya pemandangan menarik di Sukabumi, khususnya di aliran sungai Kampung Cibijong. Pemandangan itu berupa berjejernya tumpukan batu sepanjang sungai. Kehadiran tumpukan batu ini dianggap misterius, dan sontak menggegerkan warga. Tumpukan batu yang berjumlah puluhan biji itu pertama kali ditemukan oleh warga yang hendak pergi ke sawah pada Kamis 1 Februari 2018 kemarin, sekitar pukul 10.00 WIB. Demikian laporan news.okezone.com (Baca Tumpukan Batu Misterius di Tengah Sungai Gegerkan Warga Sukabumi). 

          Ketika membaca keseluruhan isi berita dalam tautan yang muncul, reaksi saya biasa-biasa saja. Bagi saya pribadi, seni menumpuk batu seperti ini bukanlah hal baru. saya sudah banyak kali melihat tumpukan batu serupa, baik secara langsung maupun melalui gambar maupun video. Bahkan ada beberapa teman yang punya keahlian serupa. Dari mereka saya pernah juga belajar menumpuk batu seperti ini. Hasilnya: dua kali berhasil, dan lebih banyak tidaknya. Hehehehe.....
          Keterampilan menyusun/menumpuk batu yang dikenal dengan rock balancing,rock stacking, juga stone balancing. Rock balancing atau stone balancing merupakan suatu teknik menyusun batu dengan posisi tertentu tanpa ikatan seperti perekat, pengikat atau bantuan lainnya. Batu-batu diberdirikan tegak murni dengan ketepatan peletakan antara satu batu dengan lainnya. Keterampilan ini dikategorikan sebagai sebuah bentuk seni dengan kombinasi teknik dan pengetahuan mengenai keseimbangan, bobot, getaran, arah angin dan lain-lain. Sebagai sebuah bentuk seni, rock balancing bisa dilakukan secara sendiri atau oleh beberapa orang.
          Hal lain muncul ketika menyusul berbagai pemberitaan terkait tumpukan batu di Sukabumi tersebut. Pada pemberitaan terakhir yang sempat saya baca, tumpukan batu tersebut akhirnya dirobohkan. Muspika Cidahu Kabupaten Sukabumi merobohkan tumpukan batu di Sungai Cibojong, Desa Jayabakti, Kecamatan Cidahu, Jumat (2/2/2018) pagi. Tindakan ini dilakukan karena khawatir tumpukan batu membuat masyarakat resah dan mengaitkannya dengan hal berbau mistis. (Baca  Khawatir Jadi Fitnah, Susunan Batu di Sungai Cibojong Cidahu Sukabumi Dirobohkan).
          Salah satu hal yang membuat kehadiran tumpukan batu dikaitkan dengan hal mistis adalah penuturan warga bahwa sebelum kemunculan batu “aneh” tersebut beberapa kali melintas sekelompok kera putih di sekitar lokasi itu (Baca Tumpukan Batu Mirip Bidak Catur Dibongkar di Sukabumi).
          Bagi saya, kehadiran tumpukan batu di Sukabumi dan alasan pembongkarannya menimbulkan rasa lucu, mengingatkan saya pada banyak pertanyaan dan jawaban salah sambung dalam beberapa diskusi. Atau tentang pengalaman nyasar naik angkot, ketika tujuan pergi adalah tempat A, sementara angkot yang ditumpangi adalah jurusan B. Lucu.
          Mau tidak mau saya akhirnya mencoba melihat banyak kejadian yang hampir mirip. Dalam banyak kasus, ekspresi seni sering dihancurkan karena dipandang sebagai perbuatan musyrik dan sesat, dikaitkan dengan segala hal berbau mistis. Apalagi kalau konteksnya Indonesia. Tentang ini silakan mencari informasi lengkap dengan bantuan mesin pencari di internet. Banyak. Sangat banyak, malah.
          Meskipun kita hidup sebagai manusia milenial, ternyata bayang-banyak pola pikir tradisional masih lestari. Apalagi ketika dihadapkan dengan pemikiran agama-agama modern yang mengkategorikan hal-hal tradisional sebagai sesuatu yang bermuatan mistis dan sesat, perbuatan musyrik, tidak beriman dll. Tak ayal banyak ekspresi seni akhirnya ditolak, dihancurkan dan kalau bisa ide-idenya juga dilenyapkan. Penghancuran bangunan, patung, lukisan, tarian, nyanyian, pembubaran diskusi seni, penhancuran buku dll menjadi hal lumrah. Atas nama memberantas kemusyrikan, kesesatan, menghindari manusia dari dosa maka banyak karya seni dihancurkan.
          Pola pikir seperti ini akhirnya bukan hanya menyerang warisan seni yang hidup bertahun-tahun dalam masyarakat. Parahnya, sesuatu yang secara rasional bisa dijelaskan dengan gamblang pun tak luput sebagai sasaran. Pertunjukan musik, pertunjukan tarian, pameran lukisan dan patung bubar karena ulah sekelompok orang yang bertindak mengatasnamakan jalan kebenaran, jalan keberimanan. Pertanyaannya, apakah seni menentang agama dan melunturkan iman?
          Sebuah salah kaprah pengertian atas agama adalah pandangan terhadap agama sebagai sebuah kurungan. Dalam pengertian ini, agama dianggap menempatkan seseorang dalam bingkai yang membentuk segala aspek kehidupan hanya berada dalam batasan yang diberikan. Akibatnya, setiap orang yang secara sempit hanya melihat agama sebatas bingkai akan melihat segala sesuatu diluar itu sebagai salah, keliru, sesat dan dosa. Segala sesuatu yang berada di luar itu mesti ditolak, kalau bisa dihancurkan sekalian.
          Apakah agama salah dalam hal ini? Tidak. Agama, sebagaimana pemahaman yang diakui secara universal sejatinya menghantar manusia pada keterbukaan, pada sebuah keluasan maha luas. Agama membuka pandangan bahwa segala sesuatu yang terlihat bersekat pada dasarnya adalah sebuah kesatuan. Maka sebuah pandangan yang berlandaskan agama harusnya berangkat dari sebuah kesatuan, sebuah universum. Kalau sampai ada yang menempatkan diri sebagai orang beragama lalu melihat realitas berbeda dengan pandangan satu arah, tentu ada yang salah. Bisa jadi pemahaman seseorang atas konsep agamanya sendiri sangat dangkal dan tidak memadai. Bisa jadi ada kepentingan lain ikut membonceng tindakannya. Bisa jadi memang orang tersebut mabuk.
          Saya pernah membaca salah satu kalimat ini, “Orang yang overdosis agama biasanya sakit secara akal sehat.” Bisa jadi pernyataan ini asal bunyi. Bisa jadi benar. Ukurannya? Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang, juga batu yang bertumpuk.


Sabtu, 03 Februari 2018

Masalah Emosi dan Pewarisan Kekerasan dalam Tawuran

Catatan Awal
Selasa, 28 November 2017, terjadi peristiwa tawuran yang melibatkan dua kelompok mahasiswa dari dua fakultas sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Kupang. Demikian pemberitaan yang dimuat di media massa, juga beberapa potongan rekaman video yang tersebar via media sosial. Sebagaimana diberitakan, kejadian berawal dari hal sepele. Silakan baca pemberitaan terkait di voxntt.com tanggal 28 November 2017 dengan judul Breaking News: Terjadi Tawuran Mahasiswa di Undana dan dari kupang.tribunnews.com tanggal 29 November 2017 dengan judul Tawuran Dua Fakultas di Undana Berawal dari Hal Sepele Ini.
Ilustrasi tawuran
klik di sini untuk melihat sumber ilustrasi
Peristiwa tawuran bukan masalah baru. Secara umum, dalam banyak pemberitaan tak jarang terkabar kejadian tawuran. Jejak rekaman kejadian serupa masih bisa kita temukan entah berupa tulisan, gambar maupun video. Disayangkan lagi, peristiwa tawuran banyak melibatkan kaum muda, mulai dari sekolah menengah sampai antar-kampung, termasuk kelompok  mahasiswa.
Ditilik dari banyaknya kejadian tawuran, perilaku kekerasan di kalangan mahasiswa seakan menjadi jalan pemecahan masalah yang lumrah. Hal ini seolah menjadi bukti nyata bahwa seorang yang terpelajar pun leluasa melakukan hal-hal yang bersifat anarkis dan premanis.  Bila dicermati dengan seksama, banyaknya peristiwa tawuran yang terjadi mengisyaratkan adanya kecenderungan meningkatnya perilaku agresif pada masyarakat termasuk kelompok mahasiswa.
**
Banyak faktor penyebab mengapa seseorang melakukan tindakan kekerasan, baik secara pribadi maupun dalam kelompok. Diantara banyak faktor, salah satunya adalah emosi. Secara umum, emosi merupakan hal yang penting dan memberi banyak andil dalam kehidupan sehari-hari. Emosi membantu menyediakan informasi yang penting mengenai status interaksi individu dengan orang lain. Mengalami peristiwa yang memunculkan emosi merupakan hal normal. Akan tetapi seringkali pengalaman emosi yang kuat perlu diarahkan dan dikelola. Hal-hal yang berkaitan dengan emosi seperti kematangan emosi dan kemampuan meregulasi emosi merupakan dua hal yang perlu dimiliki seseorang.
Kematangan emosi adalah kemampuan menerima hal-hal negatif dari lingkungan tanpa membalasnya dengan sikap yang negatif, melainkan dengan kebijakan. Menurut Chaplin kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional, dan oleh karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak.
Individu dengan tingkat kematangan emosional tinggi mampu meredam dorongan agresi dan mengendalikan emosinya, pandai membaca perasaan orang lain, serta dapat memelihara hubungan baik dengan lingkungannya, sehingga apabila individu memiliki kematangan emosi yang baik, maka individu tersebut mampu mengendalikan perilaku agresinya. Individu yang telah mencapai kematangan emosi dapat diidentifikasikan sebagai individu yang dapat menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bertindak, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang emosinya.
Dalam kasus tawuran mahasiswa, diidentifikasi bahwa salah satu penyebabnya adalah masalah kematangan emosi. Mahasiswa yang belum stabil dan kurang matang emosinya dapat lebih mudah memunculkan perilaku agresif daripada yang telah matang emosinya.
Hal lain yang berkaitan erat dengan kematangan emosi adalah kemampuan mengelola atau meregulasi emosi. Kemampuan mengelola emosi perlu dilakukan agar seseorang dapat terhindar dari perilaku-perilaku antisosial, termasuk tawuran. Emosi marah yang bersifat negatif dan meledak-ledak disertai pengaruh faktor eksternal seperti frustrasi dan provokasi memicu terjadinya proses penyaluran energi negatif berupa dorongan agresi yang akan mempengaruhi perilaku individu.
**
Keluarga merupakan sumber utama yang memengaruhi perilaku anak. Anak-anak yang menjadi saksi peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga dapat mengalami gangguan fisik juga masalah psikologis. Peristiwa kekerasan dalam rumah tangga dapat menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental. Dalam jangka panjang tindakan kekerasan secara fisik atau verbal tertanam secara tak disadari dalam diri anak, menjadi potensi anak terlibat dalam perilaku kekerasan di masa depan, baik secara fisik maupun psikis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami kekerasan dari orang tua 30 % berpotensi menjadi pribadi yang agresif dan mudah melakukan tindakan kekerasan.
Rangkaian pewarisan kekerasan dalam keluarga dapat terjadi seperti contoh berikut – meminjam tema pewarisan kekerasan yang diangkat Nada Bicara dalam lagu mereka berjudul Jadi Sasaran dengan sedikit mengubahnya tanpa menghilangkan intinya. Di kantor, bos dengan marah-marah menuntut bapak untuk mencapai target kerja. Dengan pening bapak kembali ke rumah, mendapati makan malam belum selesai disiapkan ibu. Lalu ibu menjadi luapan pening kepala bapak. Ibu yang jengkel mendamprat kakak yang menyetel musik dengan kencang. Kakak langsung uring-uringan. Masih sebal karena dimarahi ibu, kakak langsung menjewer telinga adik yang masuk kamar tanpa permisi mengambil mainan kakak. Demikian seterusnya sampai sasaran berikutnya, misalnya kucing piaraan.
Selain kekerasan dalam rumah tangga, sikap positif terhadap kekerasan dalam kemasan apapun di lingkungan yang lebih luas, seperti sekolah dan masyarakat menjadi pemicu lainnya. Sanksi yang menjurus kepada kekerasan fisik dan psikis masih banyak ditemukan di lembaga-lembaga pendidikan. Sikap permisif terhadap perilaku kekerasan dalam lingkungan masyarakat ikut memberi sumbangan positif terhadap munculnya perilaku kekerasan individu maupun kelompok. Dengan mekanisme copying bawaan, peristiwa-peristiwa kekerasan yang dilihat, didengar dan dialami oleh anak terekam, sesewaktu dapat muncul.
**
Peristiwa tawuran mahasiswa yang telah terjadi disayangkan banyak pihak. Menyesalkan dan mengecam saja tidak cukup untuk menghapus perilaku kekerasan di lingkungan kampus maupun di lingkungan masyarakat. Perlu usaha berkelanjutan dan terus menerus.
Pendidikan yang menyeluruh, yang meliputi segala aspek kehidupan manusia merupakan hal wajib. Sebelum memberi tanggung jawab kepada pendidikan formal, sebaiknya didahului penguatan pemahaman dan penanamn nilai dalam keluarga. Keluarga bukan hanya media pemenuhan kebutuhan primer berupa sandang, pangan dan papan, tetapi lebih dari itu, tugas utama keluarga dalam pembentukan anak adalah penanaman nilai positif. Setelah itu pendidikan formal menyusul, melanjutkan apa yang sudah dibentuk dalam keluarga. Perubahan kurikulum dan implementasinya yang menyentuh segala aspek kepribadian secara seimbang perlu dilakukan. Lembaga pendidikan formal bukan hanya mengejar prestasi akademik, tetapi harus sampai pada usaha meningkatkan prestasi kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh.

Konsep-konsep teoritis dalam tulisan kecil ini dapat dibaca di beberapa artikel ini:

Gross, J. J. (2002). Emotion regulation: Affective, cognitive, and social consequences. Psychophysiology, 39 (2002), 281–291.
Janah, M.R. (2015). Regulasi Emosi dalam Menyelesaikan Permasalahan pada Remaja.  Talenta Psikologi Vol. IV, No. 1, Februari 2015  
Yiğit, Özpolat & Kandemir. (2014). Emotion Regulation Strategies as a Predictor of Life Satisfaction in University Students. Psychology, 2014, 5, 523-532