Sabtu, 03 Februari 2018

Masalah Emosi dan Pewarisan Kekerasan dalam Tawuran

Catatan Awal
Selasa, 28 November 2017, terjadi peristiwa tawuran yang melibatkan dua kelompok mahasiswa dari dua fakultas sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Kupang. Demikian pemberitaan yang dimuat di media massa, juga beberapa potongan rekaman video yang tersebar via media sosial. Sebagaimana diberitakan, kejadian berawal dari hal sepele. Silakan baca pemberitaan terkait di voxntt.com tanggal 28 November 2017 dengan judul Breaking News: Terjadi Tawuran Mahasiswa di Undana dan dari kupang.tribunnews.com tanggal 29 November 2017 dengan judul Tawuran Dua Fakultas di Undana Berawal dari Hal Sepele Ini.
Ilustrasi tawuran
klik di sini untuk melihat sumber ilustrasi
Peristiwa tawuran bukan masalah baru. Secara umum, dalam banyak pemberitaan tak jarang terkabar kejadian tawuran. Jejak rekaman kejadian serupa masih bisa kita temukan entah berupa tulisan, gambar maupun video. Disayangkan lagi, peristiwa tawuran banyak melibatkan kaum muda, mulai dari sekolah menengah sampai antar-kampung, termasuk kelompok  mahasiswa.
Ditilik dari banyaknya kejadian tawuran, perilaku kekerasan di kalangan mahasiswa seakan menjadi jalan pemecahan masalah yang lumrah. Hal ini seolah menjadi bukti nyata bahwa seorang yang terpelajar pun leluasa melakukan hal-hal yang bersifat anarkis dan premanis.  Bila dicermati dengan seksama, banyaknya peristiwa tawuran yang terjadi mengisyaratkan adanya kecenderungan meningkatnya perilaku agresif pada masyarakat termasuk kelompok mahasiswa.
**
Banyak faktor penyebab mengapa seseorang melakukan tindakan kekerasan, baik secara pribadi maupun dalam kelompok. Diantara banyak faktor, salah satunya adalah emosi. Secara umum, emosi merupakan hal yang penting dan memberi banyak andil dalam kehidupan sehari-hari. Emosi membantu menyediakan informasi yang penting mengenai status interaksi individu dengan orang lain. Mengalami peristiwa yang memunculkan emosi merupakan hal normal. Akan tetapi seringkali pengalaman emosi yang kuat perlu diarahkan dan dikelola. Hal-hal yang berkaitan dengan emosi seperti kematangan emosi dan kemampuan meregulasi emosi merupakan dua hal yang perlu dimiliki seseorang.
Kematangan emosi adalah kemampuan menerima hal-hal negatif dari lingkungan tanpa membalasnya dengan sikap yang negatif, melainkan dengan kebijakan. Menurut Chaplin kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional, dan oleh karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak.
Individu dengan tingkat kematangan emosional tinggi mampu meredam dorongan agresi dan mengendalikan emosinya, pandai membaca perasaan orang lain, serta dapat memelihara hubungan baik dengan lingkungannya, sehingga apabila individu memiliki kematangan emosi yang baik, maka individu tersebut mampu mengendalikan perilaku agresinya. Individu yang telah mencapai kematangan emosi dapat diidentifikasikan sebagai individu yang dapat menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bertindak, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang emosinya.
Dalam kasus tawuran mahasiswa, diidentifikasi bahwa salah satu penyebabnya adalah masalah kematangan emosi. Mahasiswa yang belum stabil dan kurang matang emosinya dapat lebih mudah memunculkan perilaku agresif daripada yang telah matang emosinya.
Hal lain yang berkaitan erat dengan kematangan emosi adalah kemampuan mengelola atau meregulasi emosi. Kemampuan mengelola emosi perlu dilakukan agar seseorang dapat terhindar dari perilaku-perilaku antisosial, termasuk tawuran. Emosi marah yang bersifat negatif dan meledak-ledak disertai pengaruh faktor eksternal seperti frustrasi dan provokasi memicu terjadinya proses penyaluran energi negatif berupa dorongan agresi yang akan mempengaruhi perilaku individu.
**
Keluarga merupakan sumber utama yang memengaruhi perilaku anak. Anak-anak yang menjadi saksi peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga dapat mengalami gangguan fisik juga masalah psikologis. Peristiwa kekerasan dalam rumah tangga dapat menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental. Dalam jangka panjang tindakan kekerasan secara fisik atau verbal tertanam secara tak disadari dalam diri anak, menjadi potensi anak terlibat dalam perilaku kekerasan di masa depan, baik secara fisik maupun psikis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami kekerasan dari orang tua 30 % berpotensi menjadi pribadi yang agresif dan mudah melakukan tindakan kekerasan.
Rangkaian pewarisan kekerasan dalam keluarga dapat terjadi seperti contoh berikut – meminjam tema pewarisan kekerasan yang diangkat Nada Bicara dalam lagu mereka berjudul Jadi Sasaran dengan sedikit mengubahnya tanpa menghilangkan intinya. Di kantor, bos dengan marah-marah menuntut bapak untuk mencapai target kerja. Dengan pening bapak kembali ke rumah, mendapati makan malam belum selesai disiapkan ibu. Lalu ibu menjadi luapan pening kepala bapak. Ibu yang jengkel mendamprat kakak yang menyetel musik dengan kencang. Kakak langsung uring-uringan. Masih sebal karena dimarahi ibu, kakak langsung menjewer telinga adik yang masuk kamar tanpa permisi mengambil mainan kakak. Demikian seterusnya sampai sasaran berikutnya, misalnya kucing piaraan.
Selain kekerasan dalam rumah tangga, sikap positif terhadap kekerasan dalam kemasan apapun di lingkungan yang lebih luas, seperti sekolah dan masyarakat menjadi pemicu lainnya. Sanksi yang menjurus kepada kekerasan fisik dan psikis masih banyak ditemukan di lembaga-lembaga pendidikan. Sikap permisif terhadap perilaku kekerasan dalam lingkungan masyarakat ikut memberi sumbangan positif terhadap munculnya perilaku kekerasan individu maupun kelompok. Dengan mekanisme copying bawaan, peristiwa-peristiwa kekerasan yang dilihat, didengar dan dialami oleh anak terekam, sesewaktu dapat muncul.
**
Peristiwa tawuran mahasiswa yang telah terjadi disayangkan banyak pihak. Menyesalkan dan mengecam saja tidak cukup untuk menghapus perilaku kekerasan di lingkungan kampus maupun di lingkungan masyarakat. Perlu usaha berkelanjutan dan terus menerus.
Pendidikan yang menyeluruh, yang meliputi segala aspek kehidupan manusia merupakan hal wajib. Sebelum memberi tanggung jawab kepada pendidikan formal, sebaiknya didahului penguatan pemahaman dan penanamn nilai dalam keluarga. Keluarga bukan hanya media pemenuhan kebutuhan primer berupa sandang, pangan dan papan, tetapi lebih dari itu, tugas utama keluarga dalam pembentukan anak adalah penanaman nilai positif. Setelah itu pendidikan formal menyusul, melanjutkan apa yang sudah dibentuk dalam keluarga. Perubahan kurikulum dan implementasinya yang menyentuh segala aspek kepribadian secara seimbang perlu dilakukan. Lembaga pendidikan formal bukan hanya mengejar prestasi akademik, tetapi harus sampai pada usaha meningkatkan prestasi kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh.

Konsep-konsep teoritis dalam tulisan kecil ini dapat dibaca di beberapa artikel ini:

Gross, J. J. (2002). Emotion regulation: Affective, cognitive, and social consequences. Psychophysiology, 39 (2002), 281–291.
Janah, M.R. (2015). Regulasi Emosi dalam Menyelesaikan Permasalahan pada Remaja.  Talenta Psikologi Vol. IV, No. 1, Februari 2015  
Yiğit, Özpolat & Kandemir. (2014). Emotion Regulation Strategies as a Predictor of Life Satisfaction in University Students. Psychology, 2014, 5, 523-532

1 komentar:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus

Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini