Catatan Awal
Selasa, 28
November 2017, terjadi peristiwa tawuran yang melibatkan dua kelompok mahasiswa
dari dua fakultas sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Kupang. Demikian
pemberitaan yang dimuat di media massa, juga beberapa potongan rekaman video
yang tersebar via media sosial. Sebagaimana diberitakan, kejadian berawal dari
hal sepele. Silakan baca pemberitaan terkait di voxntt.com tanggal 28 November 2017 dengan judul Breaking News: Terjadi Tawuran Mahasiswa di Undana dan dari kupang.tribunnews.com tanggal 29 November 2017 dengan judul Tawuran Dua Fakultas di Undana Berawal dari Hal Sepele Ini.
Ilustrasi tawuran klik di sini untuk melihat sumber ilustrasi |
Peristiwa
tawuran bukan masalah baru. Secara umum, dalam banyak pemberitaan tak jarang
terkabar kejadian tawuran. Jejak rekaman kejadian serupa masih bisa kita
temukan entah berupa tulisan, gambar maupun video. Disayangkan lagi, peristiwa
tawuran banyak melibatkan kaum muda, mulai dari sekolah menengah sampai
antar-kampung, termasuk kelompok
mahasiswa.
Ditilik dari banyaknya kejadian
tawuran, perilaku kekerasan di kalangan mahasiswa seakan menjadi jalan pemecahan
masalah yang lumrah. Hal ini seolah menjadi bukti nyata bahwa seorang yang
terpelajar pun leluasa melakukan hal-hal yang bersifat anarkis dan premanis. Bila dicermati dengan seksama, banyaknya
peristiwa tawuran yang terjadi mengisyaratkan adanya kecenderungan meningkatnya
perilaku agresif pada masyarakat termasuk kelompok mahasiswa.
**
Banyak faktor
penyebab mengapa seseorang melakukan tindakan kekerasan, baik secara pribadi
maupun dalam kelompok. Diantara banyak faktor, salah satunya adalah emosi.
Secara umum, emosi merupakan hal yang penting dan memberi banyak andil dalam kehidupan
sehari-hari. Emosi membantu menyediakan informasi yang penting mengenai status
interaksi individu dengan orang lain. Mengalami peristiwa yang memunculkan
emosi merupakan hal normal. Akan tetapi seringkali pengalaman emosi yang kuat perlu
diarahkan dan dikelola. Hal-hal yang berkaitan dengan emosi seperti kematangan
emosi dan kemampuan meregulasi emosi merupakan dua hal yang perlu dimiliki seseorang.
Kematangan emosi
adalah kemampuan menerima hal-hal negatif dari lingkungan tanpa membalasnya
dengan sikap yang negatif, melainkan dengan kebijakan. Menurut Chaplin
kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan
dari perkembangan emosional, dan oleh karena itu pribadi yang bersangkutan
tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak.
Individu dengan
tingkat kematangan emosional tinggi mampu meredam dorongan agresi dan
mengendalikan emosinya, pandai membaca perasaan orang lain, serta dapat
memelihara hubungan baik dengan lingkungannya, sehingga apabila individu
memiliki kematangan emosi yang baik, maka individu tersebut mampu mengendalikan
perilaku agresinya. Individu yang telah mencapai kematangan emosi dapat
diidentifikasikan sebagai individu yang dapat menilai situasi secara kritis
terlebih dahulu sebelum bertindak, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir
sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang emosinya.
Dalam kasus
tawuran mahasiswa, diidentifikasi bahwa salah satu penyebabnya adalah masalah
kematangan emosi. Mahasiswa yang belum stabil dan kurang matang emosinya dapat
lebih mudah memunculkan perilaku agresif daripada yang telah matang emosinya.
Hal lain yang
berkaitan erat dengan kematangan emosi adalah kemampuan mengelola atau
meregulasi emosi. Kemampuan mengelola emosi perlu dilakukan agar seseorang
dapat terhindar dari perilaku-perilaku antisosial, termasuk tawuran. Emosi
marah yang bersifat negatif dan meledak-ledak disertai pengaruh faktor
eksternal seperti frustrasi dan provokasi memicu terjadinya proses penyaluran
energi negatif berupa dorongan agresi yang akan mempengaruhi perilaku individu.
**
Keluarga
merupakan sumber utama yang memengaruhi perilaku anak. Anak-anak yang menjadi
saksi peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga dapat mengalami gangguan fisik
juga masalah psikologis. Peristiwa kekerasan dalam rumah tangga dapat
menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam jangka pendek seperti: ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak
struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental. Dalam jangka panjang
tindakan kekerasan secara fisik atau verbal tertanam secara tak disadari dalam
diri anak, menjadi potensi anak terlibat dalam perilaku kekerasan di masa
depan, baik secara fisik maupun psikis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
anak yang mengalami kekerasan dari orang tua 30 % berpotensi menjadi pribadi
yang agresif dan mudah melakukan tindakan kekerasan.
Rangkaian
pewarisan kekerasan dalam keluarga dapat terjadi seperti contoh berikut –
meminjam tema pewarisan kekerasan yang diangkat Nada Bicara dalam lagu mereka
berjudul Jadi Sasaran dengan sedikit mengubahnya tanpa menghilangkan intinya.
Di kantor, bos dengan marah-marah menuntut bapak untuk mencapai target kerja.
Dengan pening bapak kembali ke rumah, mendapati makan malam belum selesai
disiapkan ibu. Lalu ibu menjadi luapan pening kepala bapak. Ibu yang jengkel
mendamprat kakak yang menyetel musik dengan kencang. Kakak langsung
uring-uringan. Masih sebal karena dimarahi ibu, kakak langsung menjewer telinga
adik yang masuk kamar tanpa permisi mengambil mainan kakak. Demikian seterusnya
sampai sasaran berikutnya, misalnya kucing piaraan.
Selain
kekerasan dalam rumah tangga, sikap positif terhadap kekerasan dalam kemasan
apapun di lingkungan yang lebih luas, seperti sekolah dan masyarakat menjadi
pemicu lainnya. Sanksi yang menjurus kepada kekerasan fisik dan psikis masih
banyak ditemukan di lembaga-lembaga pendidikan. Sikap permisif terhadap
perilaku kekerasan dalam lingkungan masyarakat ikut memberi sumbangan positif
terhadap munculnya perilaku kekerasan individu maupun kelompok. Dengan
mekanisme copying bawaan, peristiwa-peristiwa kekerasan yang dilihat, didengar
dan dialami oleh anak terekam, sesewaktu dapat muncul.
**
Peristiwa
tawuran mahasiswa yang telah terjadi disayangkan banyak pihak. Menyesalkan dan
mengecam saja tidak cukup untuk menghapus perilaku kekerasan di lingkungan
kampus maupun di lingkungan masyarakat. Perlu usaha berkelanjutan dan terus menerus.
Pendidikan
yang menyeluruh, yang meliputi segala aspek kehidupan manusia merupakan hal
wajib. Sebelum memberi tanggung jawab kepada pendidikan formal, sebaiknya
didahului penguatan pemahaman dan penanamn nilai dalam keluarga. Keluarga bukan
hanya media pemenuhan kebutuhan primer berupa sandang, pangan dan papan, tetapi
lebih dari itu, tugas utama keluarga dalam pembentukan anak adalah penanaman
nilai positif. Setelah itu pendidikan formal menyusul, melanjutkan apa yang
sudah dibentuk dalam keluarga. Perubahan kurikulum dan implementasinya yang
menyentuh segala aspek kepribadian secara seimbang perlu dilakukan. Lembaga
pendidikan formal bukan hanya mengejar prestasi akademik, tetapi harus sampai
pada usaha meningkatkan prestasi kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh.
Konsep-konsep teoritis dalam tulisan kecil ini dapat dibaca di beberapa artikel ini:
Gross, J. J. (2002). Emotion regulation: Affective, cognitive, and
social consequences. Psychophysiology,
39 (2002), 281–291.
Janah, M.R. (2015). Regulasi Emosi dalam Menyelesaikan Permasalahan pada Remaja. Talenta Psikologi Vol. IV, No. 1, Februari
2015
Yiğit, Özpolat & Kandemir. (2014). Emotion Regulation Strategies as a Predictor of Life
Satisfaction in University Students. Psychology,
2014, 5, 523-532
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny