Kamis, 24 Mei 2018

Cerita dari acara Napak Tilas Barnabas


Beberapa waktu lalu, saya dan Dewi menerima undangan dari keluarga besar SD Kanisius Kenalan yang sekaligus panitia Napak Tilas Barnabas Sarikrama. Karena saya sudah pernah mendengar perihal Barnabas Sarikrama, dan juga karena saya tidak sempat mengikuti Napak Tilas yang sama pada tahun kemarin, saya mengatur jadwal agar bisa mengikuti acara Napak Tilas Barnabas kali ini. Tentang Barnabas Sarikrama sudah saya ceritakan dalam postingan sebelumnya, bisa dibaca di sini
Ada keistimewaan yang mendorong saya mengikuti Napak Tilas Barnabas kali ini. Dari sejarahnya, Minggu, 20 Mei 1904 adalah hari pembabtisan Barnabas, bertepatan dengan hari raya Pentakosta. Dan Napak Tilas Barnabas kali ini, Minggu, 20 Mei 2018 adalah peringatan 114 tahun babtisan Barnabas, bertepatan pula dengan hari raya Pentakosta. Selain itu saya pribadi tertarik dengan sosok Barnabas, yang pembabtisannya menjadi titik mula penyebaran iman Katolik di wilayah Kalibawang, Kulon Progo pada umumnya, serta wilayah pegunungan Menoreh yang terbagi dalam wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah sekarang.
Sebenarnya saya dan Dewi pernah berencana akan ke Kenalan pada Sabtu sore atau malam. Hitung-hitung bisa lebih banyak punya kesempatan silaturahmi bersama para guru dan pegawai SD Kanisius Kenalan, juga para orang tua di sana. Atau misalnya tidak kesampaian karena keluarga besar SD Kanisius Kenalan yang menjadi tuan rumah kegiatan Napak Tilas Barnabas tentu akan sangat sibuk, mungkin kami bisa bermalam di rumah Mas Kaca dan Mbak Santi, memenuhi beberapa kali ajakan mereka yang belum kami penuhi. Karena beberapa hal yang harus kami selesaikan sampai Sabtu malam, rencana bermalam di Kenalan akhirnya batal. Malam itu Dewi menghubungi Dewa yang juga akan berangkat mengikuti acara besok. Mungkin mau berangkat bareng dari Yogyakarta. Karena Dewa akan berangkat bersama Herlin dan Galih, dan mereka menggunakan mobil maka kami akan langsung bertemu di Kenalan.
Minggu, 20 Mei 2018, kurang-lebih pukul 07.00 saya dan Dewi berangkat menuju Kenalan. Dengan perhitungan waktu dan perjalanan normal, waktu tempuh sekitar satu jam. Kami tiba di Kenalan sekitar pukul 08.00. Banyak orang sudah berkumpul. Orang-orang dari Paroki Promasan sendiri, dari Yogyakarta, Muntilan, Magelang, Temanggung, Semarang, dan berbagai tempat lainnya. Banyak juga dari sekolah yang dinaungi Yayasan Kanisius, pengurus Yayasan Kanisius sendiri, juga simpatisan. 

Setelah bertemu dengan para guru SD Kanisius Kenalan dan beberapa orang tua murid yang sudah kami kenal sebelumnya, Dewi langsung bergabung bersama Dewa, Herlin dan Galih. Saya sibuk mengambil gambar. Seperti setiap kesan yang saya dapat ketika datang ke sekolah ini, anak-anak SD Kanisius Kenalan selalu menarik. Kali ini hal menarik yang saya rekam adalah acara Napak Tilas ini dipandu oleh anak-anak SD Kanisius Kenalan. Mulai dari penyambut tamu yang datang, pembukaan acara oleh Presiden Republik Anak Kenalan, pemandu napak tilas dan lain-lain, masing-masing melaksanakan tugasnya dengan baik. Pukul 09.30 acara Napak tilas dimulai. 

NAPAK TILAS
Napak Tilas Barnabas merupakan kesempatan untuk mengingat dan merenungkan pokok-pokok perjalanan hidup barnabas Sarikrama. Napak Tilas dijalankan dan dihayati dalam suasana doa. Bertepatan dengan hari raya Pentakosta, napak Tilas ini berisi permohonan agar dalam terang Roh Kudus keteladanan dan keutamaan Barnabas Sarikrama menginspirasi hidup sebagai orang beriman Katolik. Ngrukti Wiji Angesti Suci, merawat benih keutamaan iman demi kesucian hidup.
Napak Tilas ini dibagi dalam dua kategori. Yang pertama adalah Napak Tilas pendek, yang diikuti oleh anak-anak kelas 1 dan 2 SD dari Kanisius Kenalan dan SD Kanisus Promasan. Kategori kedua adalah Napak Tilas Panjang, yang diikuti oleh umat paroki Promasan, keluarga besar Kanisius baik dari Yayasan Kanisius maupun sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Kanisius, juga peminat dan simpatisan.
Karena saya mengikuti Napak Tilas kategori panjang, berikut catatan dari beberapa titik perhentian napak tilas ini. Beberapa anak dari SD Kanisius Kenalan bertugas sebagai pemandu, pembaca cerita dan penyampai intisari nilai yang dapat dipetik dari kisah hidup Barnabas, juga pemimpin doa. 

Perhentian I: Kapel Kerug 
Kapel Kerug merupakan titik pertama Napak Tilas, terletak di antara dusun Kapuhan, Wonokriyo, Kerug Munggang dan Kerug Batur. Tempat-tempat ini merupakan wilayah pengajaran agama Barnabas. Di Kerug Batur terdapat gua yang konon merupakan tempat semedi Barnabas Sarikrama. Titik ini juga menjadi rute perjalanan Rm.Van Lith dari Muntilan ke Sendangsono: Muntilan – Mendut – Borobudur – Kerug – Sendangsono.


Perhentian II: Jengger
Tempat ini merupakan punggung bukit kecil yang menyerupai jengger ayam jago. Menurut cerita, tempat ini merupakan menara alami untuk mengintai musuh pada masa perang Diponegoro. Dalam perkembangannya, titik ini menjadi tempat beristirahat bagi orang yang melakukan perjalanan. Di tempat ini pula Barnabas Sarikrama sering beristirahat dalam perjalanan mengajar agama Katolik dari kampung ke kampung. Di tempat ini pula tongkat dari kayu Pule yang dipakai Barnabas Sarikrama tumbuh menjadi pohon Pule yang besar. 

Perhentian III: Gapura 
Gapura adalah tempat yang menjadi batas antara Kajoran dan Keruh/Kapuhan, terletak di sebelah selatan dusun Madugondo. Konon pada masa perang, tempat ini menjadi saksi sejarah berdamainya dua pihak yang berperang. Maka tempat ini dinamai Gapura, dimaknai apura ing ngapuran, saling memaafkan, damai. Semoga sikap saling memaafkan dan damai berkembang di Indonesia.



Perhentian IV: Kapel Kajoran 
Dusun Kajoran merupakan tempat Barnabas Sarikrama berguru kepada Suratirta. Di tempat ini pula Barnabas menikah dengan anak perempuan Suratirta dan membangun kehidupan keluarganya. Di Kapel Kajoran masih terdapat lonceng Angelus peninggalan Rm.Prennthaler, SJ.







Perhentian V: Makam Barnabas 
Meskipun Barnabas tinggal dan hidup di Kajoran, beliau dimakamkan di makam Semagung, Sendangsono. Alasan pemakaman di tempat ini terkait perjuangannya yang begitu luar biasa terhadap penyebaran agama dan perkembangan umat Katolik, juga hubungannya yang erat dengan sejarah pembabtisan pertama di Sendangsono.





Rangkaian acara Napak Tilas Barnabas ditutup dengan perayaan Ekaristi di pelataran Gua Maria Lourdes Sendangsono. Selain merayakan hari raya Pentakosta, perayaan ini untuk memperingati 114 tahun pembabtisan Barnabas Sarikrama dan syukur menjelang 100 tahun Yayasan Kanisius.

Catatan (bukan) kaki:
  • Mendung telah menggantung di langit ketika menjelang berakhirnya perayaan Ekaristi. Dan tepat setelah perayaan Ekaristi berakhir, hujan turun mengguyur Sendangsono. 
  • Hujan membuat saya merindukan kopi. Kerinduan ini sedikit terobati saat Dewa menawarkan satu cup bertuliskan Coffee, dilengkapi gambar biji kopi, yang ternyata isinya coklat hangat.
  • Karena hujan, Herlin menghubungi driver mobil yang mereka gunakan untuk menjemput dari SD Kenalan ke Sendangsono. Dalam perjalanan mobil tersebut mogok. Herlin, Dewa dan Galih lalu menumpang sebuah mobil menuju lokasi mobil mereka mogok.
  • Saya dan Dewi bersama guru-guru SD Kenalan dijemput mobil pick-up. Dari Sendangsono menuju SD Kenalan, mas sopir memilih rute yang tidak melalui jalan utama. Memilih jalan pintas, demikian kata pak Simus. Jalan pintas ini merupakan sejumlah tanjakan dengan kemiringan 45-50 derajad. Ditambah kondisi jalan yang basah karena hujan, cukup untuk membangkitkan adrenalin.
  • Tiba di SD Kenalan, saya, Dewi, pak Simus dan pak Frans mencoba menanyakan kabar Dewa dkk. Ternyata mobil mereka harus diderek menuju bengkel terdekat. Pak Simus yang akan lalu menjemput Galih, karena Galih harus kembali ke Jakarta dengan jadwal kereta jam 9.
  • Dengan menggunakan jas hujan yang dipinjamkan Dewa, saya dan Dewi kembali ke Yogyakarta.
  • Rencana mampir ke rumah mas Kaca dan mbak Santi batal, dan kami jadwalkan untuk berkunjung pada lain waktu.
Tim Horee... ☺



Barnabas Sarikrama

Menabur Benih Kebaikan, Manuai Keutamaan Hidup


Barnabas Sarikrama dikenal sebagai katekis pertama di Kalibawang. Beliau berperan penting dalam sejarah pembaptisan 171 orang di Sendangsono pada 14 Desember 1904. Baptisan I di Kalibawang ini merupakan titik awal berkembangnya gereja Keuskupan Agung Semarang.
Berkat perjuangan Barnabas Sarikrama, Paus Pius XI menganugerahkan kepada Barnabas Sarikrama bintang emas “Pro Ecclesia et Pontifice” pada perayaan pesta Perak Misi Jawa pada tahun 1929. Penyematan bintang dilaksanakan bersamaan dengan pemberkatan Goa Maria Lourdes Sendangsono, 8 Desember 1929. Dialah orang pertama Indonesia yang mendapatkan penghargaan dari Paus.

Masa Kecil Sariman
Barnabas Sarikrama lahir pada tahun 1874, dari keluarga sederhana di dusun Jamblangan, sebelah Timur dusun Semawung, desa Banjaroyo, Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta. Oleh keluarganya ia diberi nama Sariman. Ketika Sariman baru berusia tiga bulan dalam kandungan, ayahnya meninggal dunia, sehingga menurut adat-istiadat setempat anak yang terlahir dan ayahnya telah meninggal harus diserahkan kepada orang tua ayah (kakek dari pihak ayah). Mereka yang bertanggung jawab mengasuh anak yang baru lahir tersebut.
Dalam pengasuhan kakek-neneknya serta lingkungan tempat ia bertumbuh, Sariman dididik dan dibesarkan dalam kultur Jawa yang kental. Sariman adalah anak yang cerdas. Namun karena kondisi keluarga yang sangat terbatas, Sariman hanya mengalami pendidikan setingkat kelas 1 Sekolah Dasar. Karena keterbatasan keadaan keluarga saat itu pula Sariman hidup tak menetap. Ia berpindah ke tempat keluarganya di Gerpule, lalu pindah lagi mengikuti saudaranya yang lain di Kalisentul. Kondisi ini bisa dimengerti lantaran saat itu wilayah Indonesia masih merupakan Hindia Belanda yang mana dalam banyak hal akses masyarakat sangat terbatas.
Latar belakangnya kehidupannya yang berat membuat Sariman akrab dengan olah spiritual. Dengan bekal Kejawen, Sariman sering melakukan puasa dan samadi di tempat sunyi. Hasilnya, selain semakin matang spiritualnya, Sariman menjadi sosok yang berjiwa sosial tinggi, suka menolong orang lain. Karena ilmu spiritual dan sikapnya, Sariman cukup disegani warga sekitar.
Sebagai seorang pemuda, kemauan Sariman untuk belajar menggebu-gebu. Ilmu yang digalinya sendiri masih sangat kurang. Maka ia mulai mencari guru untuk mengembangkan ilmu dan wawasannya. Sampailah Sariman di Kajoran, lalu bertemu dengan Suratirta, tokoh dusun Kajoran. Suratirta kemudian menjadi guru Sariman.

Pencerahan
Sekian waktu sariman belajar dalam bimbingan Suratirta di Kajoran. Di Kajoran ini pula Sariman bertemu dengan jodohnya, anak perempuan Suratirta. Mereka kemudian menikah dan menjalani hidup berkeluarga, dan dikaruniai seorang putri. Ketika putrinya berusia tiga tahun, Sariman jatuh sakit. Pada bagian tungkai kakinya terdapat luka parah. Saking parahnya, luka ini lebih menyerupai lubang yang membusuk. Berbagai upaya pengobatan secara tradisional sudah digunakan untuk menyembuhkan lukanya. Hasilnya nihil. Bahkan saking parahnya, Sariman tidak tega tidur di dalam rumahnya. Ia tidur di luar rumah agar bau dari luka di kakinya tidak mengganggu anggota keluarganya.
Sebagai penganut Kejawen, Sariman melakukan puasa dan samadi mohon kesembuhan. Dalam samadinya, Sariman mendapat petunjuk, bahwa ia harus pergi ke arah ngalor-ngetan (utara-timur/timur laut). Petunjuk ini disampaikan kepada keluarganya, dan setelah berunding Sariman berangkat ke tempat sesuai petunjuk yang diterima. Perjalanan Sariman sangat berat. Lukanya membuatnya berjalan tertatih-tatih (ada yang mengisahkan kalau Sariman harus berjalan dengan cara ngesot). Keinginannya untuk sembuh membuatnya tetap berjalan tanpa kenal lelah dan menyerah.
Perjalanan Sariman sampai ke dusun Craken (Kalakendhang). Di Craken, Sariman bertemu dengan seorang Kyai terkenal, Kyai Dawud namanya. Oleh Kyai Dawud, Sariman diundang mampir ke rumahnya. Setelah beristirahat di rumah Kyai Dawud, Sariman melanjutkan perjalanannya dan tiba di Muntilan. Di Muntilan, Sariman bertemu dengan Rm. Van Lith, SJ dan Bruder Kersten. Sariman lalu dirawat oleh kedua biarawan ini.
Selama hari-hari ketika sedang menjalani perawatan oleh Rm. Van Lith dan Bruder Kersten, Sariman melihat sering banyak orang berkumpul dan mendengarkan Rm. Van Lith. Karena penasaran ia bertanya, dan oleh Rm. Van Lith dijelaskan bahwa orang-orang itu berkumpul untuk mendengarkan pengajaran tentang iman Katolik. Karena dasarnya Sariman adalah sosok yang senang belajar, ia pun memutuskan mengikuti pengajaran selama waktu penyembuhan kakinya. Dari pengajaran yang diterima, Sariman mulai tertarik dan berkeinginan menjadi Katolik.
Setelah kakinya hampir sembuh total, Rm. Van Lith mengijinkan Sariman pulang ke Kajoran. Sariman dibekali obat untuk melanjutkan perawatannya di rumah. Selain itu, Sariman diberikan oleh-oleh buku Katekismus dan Kitab Suci dalam aksara Jawa.

Nama baru: Barnabas
Berita kepulangan Sariman membuat banyak orang penasaran dan ingin tahu keadaannya. Banyak orang, baik keluarga, tentangga maupun dari kampung tetangga berdatangan ingin melihat keadan Sariman. Mereka tahu kondisi Sariman sebelum dirawat, dan kini mereka ingin tahu kondisi Sariman setelah menjalani perawatan. Benar, kaki Sariman sudah membaik, tinggal menunggu pemulihan akhir. Orang-orang bertanya tentang perawatannya, bagaimana ia sampai sembuh seperti sekarang. Kepada orang-orang yang berkumpul Sariman mengisahkan pengalaman perjalanannya, bagaimana ia menjalani perawatan selama di Muntilan.
Sariman juga menunjukkan oleh-oleh Katekismus dan Kitab Suci yang diberikan oleh Rm. Van Lith. Orang-orang pun penasaran lagi dan ingin segera tahu isi buku yang dibawa Sariman. Dengan penuh semangat Sariman menerangkan isi buku yang dibawanya, sekaligus membagikan ilmu yang didapat saat mengikuti pengajaran Rm. Van Lith di Muntilan. Kabar kepulangan Sariman didengar juga oleh orang-orang di Tuksanga dan Semagung. Warga dari dua dusun itu ikut datang melihat Sariman dan mendengar kisahnya.
Di rumahnya, Sariman tekun mempelajari Katekismus dan Kitab Suci pemberian Rm. Van Lith. Pengalaman Sariman dan kisahnya mengesankan dan mempengaruhi Suratirta, mertuanya. Tokoh masyarakat lain, Sukadrana dari Semagung dan Surawijaya dari Tuksanga juga tertarik dan ikut belajar iman Katolik. Secara bersama-sama mereka berkumpul dan belajar tentang ajaran agama Katolik.
Sejak kembali ke rumahnya, Sariman rutin mengunjungi Rm. Van Lith di Muntilan. Rm. Van Lith melihat bahwa Sariman cerdas dan punya semangat tinggi. Setelah pengetahuan tentang agama Katolik Sariman dianggap cukup, Sariman dibabtis dengan nama Barnabas di Muntilan pada tanggal 20 Mei 1904, bertepatan dengan hari raya Pentakosta. Nama Sariman diganti dengan Sarikrama, yang berarti “orang yang menerima intisari ajaran Kristiani”. Bersama dengan Sariman, dibabtis pula tiga tokoh masyarakat yang lainnya: Suratirta dibabtis dengan nama Lukas, Sukadrana dibabtis dengan nama Markus dan Surawijaya dengan nama Yokanan.
Setelah dibabtis, keempat orang ini mulai mengajak keluarga dan tetangga mereka untuk belajar agama Katolik. Setiap hari mereka terus mengajar dengan penuh semangat. Berkat kegigihan mereka, banyak orang yang mengikuti pengajaran dan mengenal iman agama Katolik. Di Kajoran, Tuksanga, Semagung dan sekitarnya banyak yang datang dan mengikuti pengajaran. Berkat semangat keempat orang ini, pada tanggal 14 Desember 1904 terjadi peristiwa pembabtisan 171 orang di Sendangsono, oleh Rm. Van Lith, SJ.
Peristiwa pembabtisan pada 20 Mei 1904 di Muntilan dan 14 Desember 1904 di Sendangsono menjadi awal berkembangnya iman Katolik di Kalibawang. Peristiwa ini juga dicatat sebagai tonggak awal misi Katolik di tanah Jawa.

Menjalani tugas sebagai Katekis
Setelah pembabtisan di Sendangsono, Rm. Van Lith memberikan kepercayaan kepada Barnabas untuk memperdalam iman orang-orang yang baru saja dibabtis itu. kepercayaan itu dijalankan Barnabas dengan senang hati. Barnabas memberikan pelajaran agama Katolik kepada orang-orang di sekitar Kajoran. Tugas yang sama diberikan pula kepada tiga tokoh yang lainnya, Lukas Suratirta, Markus Sukadrana dan Yokanan Surawijaya. Dalam perkembangannya, Barnabas lebih bertanggung jawab untuk pengajaran di luar Kajoran, meliputi daerah Kerug, Durensawit, Kapuhan Wonolelo, Gempal dan beberapa wilayah lain.
Setiap akan melakukan pengajaran di tempat baru, Barnabas meminta ijin lebih dahulu kepada kepala kampung dan tokoh masyarakat setempat. Dengan berbusana adat Jawa, Barnabas mengunjungi tokoh masyarakat dan menyampaikan perihal kedatangannya. Hal ini dilakukan sebagai cara menghormati masyarakat setempat, sekaligus agar tujuan kedatangannya tidak disalahpahami. Pada setiap tempat ia diterima, dibuat jadwal pengajaran seminggu sekali.
Pengajaran tidak selalu berjalan mulus. Selain tantangan medan yang berat, penolakan dari warga sering dihadapi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengalaman imannya membuat Barnabas tak pantang menyerah. Barnabas yakin bahwa Roh Kudus selalu membimbing dan mendampinginya. Keyakinan ini diwujudkan dengan setiap lakunya, baik melalui pengajaran maupun perbuatannya.
Ada cerita menarik dari kerya pengajaran Barnabas. Suatu ketika, saat melewati Jengger, suatu tempat di sebelah timur Kapuhan, Barnabas beristirahat sejenak. Kayu yang dijadikan tongkat ditancapkan ke tanah sambil berkata, “Kalau kayu ini hidup, akan hidup pula iman Katolik di daerah ini.” Kayu itu kemudian bertunas dan tumbuh menjadi pohon besar. Kayu itu adalah kayu Pule. Kini pohon dari tongkat Barnabas itu sudah tidak ada, namun pada tempat itu ditanam kayu Pule yang lain, menggantikan kayu Pule yang sudah tidak ada itu.
Umat di wilayah Kalibawang dan sekitarnya berkembang subur. Pendampingan umat berada dalam tanggung jawab Paroki Muntilan. Rm. Van Lith mulai melakukan kunjungan pastoral ke wilayah Kalibawang. Beliau berkunjung ke keluarga Markus Sukadrana dan Lukas Suratirta di Kajoran, ke keluarga Yokanan Surawijaya di Tuksanga, juga keluarga Abraham Dipadangsa di Semagung. Dalam setiap pertemuan, mereka berembuk tentang pelayanan umat Katolik, bagaimana menjawab keinginan umat yang ingin memperdalam ajaran iman Katolik dan merayakan ekaristi. Dari sini disepakati, setiap Sabtu Paing dan Sabtu Wage mereka berangkat ke Muntilan agar bisa mengikuti perayaan ekaristi hari Minggu. Setelah merayakan ekaristi, umat kembali dari Muntilan ke Kalibawang.
Umat yang berkembang di Kalibawang lama belum dilayani imam. Tahun 1914 datang Rm.Groenwegen, SJ untuk mendampingi umat di Kalibawang, Sendangsono dan sekitarnya. Di rumah keluarga Lukas Suratirta di Kajoran, Rm. Groenwegen mengadakan perayaan ekaristi lalu mengunjungi keluarga yang lainnya.
Tahun 1918-1922, Rm. Groenwagen membangun sekolah rakyat di Ploso. Sekolah itu menjadi SD Kanisius Promasan sekarang. Tahun 1923 Kalibawang menjadi bagian dari Stasi Mendut, dan sekolah rakyat di Ploso menjadi tempat perayaan ekaristi umat Katolik Sendangsono dan sekitarnya sampai tahun 1940.

Paroki Promasan
Tahun 1924-1935, Rm. Prennthaler, SJ berkarya mendampingi umat Ktolik Kalibawang. Umat berkembang pesat, karena itu beliau membentuk pamomong yang bertugas mencatat keadaan dan perkembangan umat, juga menggantikan guru agama yang berhalangan melakukan pengajaran. Beliau membentuk Pamardi Suci, Panggolo dan Konggregasi sebagai wadah pembinaan. Selain itu beliau juga mengkader guru agama di lingkungan-lingkungan guna membantu karya Barnabas Sarikrama. Guru agama ini bertugas melakukan pengajaran, mengunjungi orang sakit dan memimpin upacara kematian.
Tahun 1930, berdirilah gereja Boro atas prakarsa Rm. Prennthaler. Maka umat Promasan dan sekitarnya merayakan ekaristi di gereja Boro, dan Promasan menjadi stasi dari paroki Boro. Peninggalan karya Rm. Prennthaler yang masih bisa dilihat saat ini adalah Gua Maria Lourdes Sendangsono dan lonceng yang digunakan di stasi-stasi, dikenal dengan lonceng Angelus “Dewi Mariah, sembah bektinipoen tanah Djawi oegi!”
Pada tahun 1937, Rm. Yasa Wiharjo, SJ berkarya di paroki Boro. Beliau lalu berembug dengan tokoh-tokoh masyarakat, seperti Yakobus Tirtosumarto, Antonius Sukariyo, Whillem Merto Wijaya dan tokoh-tokoh lainnya tentang membangunan dan pendirian gereja. Hasil dari musyawarah ini adalah ditemukan tempat yang strategis untuk didirikan bangunan gereja, yaitu Promasan.
Setelah ditetapkan lokasi bangunan gereja, dimulailah pekerjaan pembanguna. Umat bergotong-royong bekerja bakti. Tua muda dan anak-anak ikut berpartisipasi. Anak-anak bertugas mengumpulkan batu kali dan kerikil, sementara warga dewasa mengambil pasir dari sungai Progo.
Ketika gereja Promasan dibangun, kesehatan Barnabas  Sarikrama mulai menurun. Segala urusan terkait pembangunan gereja dilanjutkan oleh Antonius Sukariyo dan Yakobus Tirtosumarto. Barnabas Sarikrama menderita sakit muntaber dan dirawat di rumah sakit Boro. Pada tanggal 15 Juli 1940, Barnabas Sarikrama wafat di rumah sakit Boro, tempat ia dirawat.
Pada tanggal 18 Desember 1940, lima bulan setelah Barnabas Sarikrama wafat, gereja Promasan diresmikan oleh Mgr. Albertus Soegijopranoto, SJ. Barnabas Sarikrama tak sempat melihat hasil perjuangannya. Namun telah dicatat, bahwa berkat perjuangannya iman Katolik di wilayah Promasan bertumbuh dan berkembang, dan gereja Maria Lourdes Promasan berdiri.

Penutup
Pada tahun 1929, bertepatan dengan peringatan 25 tahun babtisan pertama, diresmikan monumen peringatan berupa Gua Maria Lourdes Sendangsono. Pada saat itu pula, tepat peringatan Yubelium Perak Misi Jawa, Barnabas Sarikrama mendapat tanda jasa dari Paus Pius XI atas jasanya sebagai Katekis di sekitar Sendangsono Kalibawang. Barnabas Sarikrama dianugerahi bintang emas Pro Ecclesia et Pontifice.
Banyak buah dari perjuangan Barnabas Sarikrama yang dirasakan sekarang. Dari beliau iman Katolik menyebar ke wilayah Kalibawang dan sekitarnya. Semoga keteladanan hidup Barnabas Sarikrama menjadi inspirasi hidup dan iman bagi banyak orang.