Menabur Benih Kebaikan, Manuai Keutamaan Hidup
Berkat perjuangan Barnabas Sarikrama, Paus Pius XI menganugerahkan kepada Barnabas Sarikrama bintang emas “Pro Ecclesia et Pontifice” pada perayaan pesta Perak Misi Jawa pada tahun 1929. Penyematan bintang dilaksanakan bersamaan dengan pemberkatan Goa Maria Lourdes Sendangsono, 8 Desember 1929. Dialah orang pertama Indonesia yang mendapatkan penghargaan dari Paus.
Masa Kecil Sariman
Barnabas Sarikrama lahir pada tahun 1874,
dari keluarga sederhana di dusun Jamblangan, sebelah Timur dusun Semawung, desa
Banjaroyo, Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta. Oleh keluarganya ia diberi nama
Sariman. Ketika Sariman baru berusia tiga bulan dalam kandungan, ayahnya
meninggal dunia, sehingga menurut adat-istiadat setempat anak yang terlahir dan
ayahnya telah meninggal harus diserahkan kepada orang tua ayah (kakek dari
pihak ayah). Mereka yang bertanggung jawab mengasuh anak yang baru lahir
tersebut.
Dalam pengasuhan kakek-neneknya serta
lingkungan tempat ia bertumbuh, Sariman dididik dan dibesarkan dalam kultur
Jawa yang kental. Sariman adalah anak yang cerdas. Namun karena kondisi
keluarga yang sangat terbatas, Sariman hanya mengalami pendidikan setingkat
kelas 1 Sekolah Dasar. Karena keterbatasan keadaan keluarga saat itu pula
Sariman hidup tak menetap. Ia berpindah ke tempat keluarganya di Gerpule, lalu
pindah lagi mengikuti saudaranya yang lain di Kalisentul. Kondisi ini bisa
dimengerti lantaran saat itu wilayah Indonesia masih merupakan Hindia Belanda
yang mana dalam banyak hal akses masyarakat sangat terbatas.
Latar belakangnya kehidupannya yang berat
membuat Sariman akrab dengan olah spiritual. Dengan bekal Kejawen, Sariman
sering melakukan puasa dan samadi di tempat sunyi. Hasilnya, selain semakin
matang spiritualnya, Sariman menjadi sosok yang berjiwa sosial tinggi, suka
menolong orang lain. Karena ilmu spiritual dan sikapnya, Sariman cukup disegani
warga sekitar.
Sebagai seorang pemuda, kemauan Sariman untuk
belajar menggebu-gebu. Ilmu yang digalinya sendiri masih sangat kurang. Maka ia
mulai mencari guru untuk mengembangkan ilmu dan wawasannya. Sampailah Sariman
di Kajoran, lalu bertemu dengan Suratirta, tokoh dusun Kajoran. Suratirta
kemudian menjadi guru Sariman.
Pencerahan
Sekian waktu sariman belajar dalam bimbingan
Suratirta di Kajoran. Di Kajoran ini pula Sariman bertemu dengan jodohnya, anak
perempuan Suratirta. Mereka kemudian menikah dan menjalani hidup berkeluarga,
dan dikaruniai seorang putri. Ketika putrinya berusia tiga tahun, Sariman jatuh
sakit. Pada bagian tungkai kakinya terdapat luka parah. Saking parahnya, luka
ini lebih menyerupai lubang yang membusuk. Berbagai upaya pengobatan secara
tradisional sudah digunakan untuk menyembuhkan lukanya. Hasilnya nihil. Bahkan
saking parahnya, Sariman tidak tega tidur di dalam rumahnya. Ia tidur di luar
rumah agar bau dari luka di kakinya tidak mengganggu anggota keluarganya.
Sebagai penganut Kejawen, Sariman melakukan
puasa dan samadi mohon kesembuhan. Dalam samadinya, Sariman mendapat petunjuk,
bahwa ia harus pergi ke arah ngalor-ngetan
(utara-timur/timur laut). Petunjuk ini disampaikan kepada keluarganya, dan
setelah berunding Sariman berangkat ke tempat sesuai petunjuk yang diterima.
Perjalanan Sariman sangat berat. Lukanya membuatnya berjalan tertatih-tatih (ada
yang mengisahkan kalau Sariman harus berjalan dengan cara ngesot). Keinginannya
untuk sembuh membuatnya tetap berjalan tanpa kenal lelah dan menyerah.
Perjalanan Sariman sampai ke dusun Craken
(Kalakendhang). Di Craken, Sariman bertemu dengan seorang Kyai terkenal, Kyai
Dawud namanya. Oleh Kyai Dawud, Sariman diundang mampir ke rumahnya. Setelah
beristirahat di rumah Kyai Dawud, Sariman melanjutkan perjalanannya dan tiba di
Muntilan. Di Muntilan, Sariman bertemu dengan Rm. Van Lith, SJ dan Bruder Kersten.
Sariman lalu dirawat oleh kedua biarawan ini.
Selama hari-hari ketika sedang menjalani
perawatan oleh Rm. Van Lith dan Bruder Kersten, Sariman melihat sering banyak
orang berkumpul dan mendengarkan Rm. Van Lith. Karena penasaran ia bertanya,
dan oleh Rm. Van Lith dijelaskan bahwa orang-orang itu berkumpul untuk
mendengarkan pengajaran tentang iman Katolik. Karena dasarnya Sariman adalah
sosok yang senang belajar, ia pun memutuskan mengikuti pengajaran selama waktu
penyembuhan kakinya. Dari pengajaran yang diterima, Sariman mulai tertarik dan
berkeinginan menjadi Katolik.
Setelah kakinya hampir sembuh total, Rm. Van
Lith mengijinkan Sariman pulang ke Kajoran. Sariman dibekali obat untuk
melanjutkan perawatannya di rumah. Selain itu, Sariman diberikan oleh-oleh buku
Katekismus dan Kitab Suci dalam aksara Jawa.
Nama baru: Barnabas
Berita kepulangan Sariman membuat banyak
orang penasaran dan ingin tahu keadaannya. Banyak orang, baik keluarga,
tentangga maupun dari kampung tetangga berdatangan ingin melihat keadan
Sariman. Mereka tahu kondisi Sariman sebelum dirawat, dan kini mereka ingin
tahu kondisi Sariman setelah menjalani perawatan. Benar, kaki Sariman sudah
membaik, tinggal menunggu pemulihan akhir. Orang-orang bertanya tentang
perawatannya, bagaimana ia sampai sembuh seperti sekarang. Kepada orang-orang
yang berkumpul Sariman mengisahkan pengalaman perjalanannya, bagaimana ia
menjalani perawatan selama di Muntilan.
Sariman juga menunjukkan oleh-oleh Katekismus
dan Kitab Suci yang diberikan oleh Rm. Van Lith. Orang-orang pun penasaran lagi
dan ingin segera tahu isi buku yang dibawa Sariman. Dengan penuh semangat
Sariman menerangkan isi buku yang dibawanya, sekaligus membagikan ilmu yang
didapat saat mengikuti pengajaran Rm. Van Lith di Muntilan. Kabar kepulangan
Sariman didengar juga oleh orang-orang di Tuksanga dan Semagung. Warga dari dua
dusun itu ikut datang melihat Sariman dan mendengar kisahnya.
Di rumahnya, Sariman tekun mempelajari
Katekismus dan Kitab Suci pemberian Rm. Van Lith. Pengalaman Sariman dan
kisahnya mengesankan dan mempengaruhi Suratirta, mertuanya. Tokoh masyarakat
lain, Sukadrana dari Semagung dan Surawijaya dari Tuksanga juga tertarik dan
ikut belajar iman Katolik. Secara bersama-sama mereka berkumpul dan belajar
tentang ajaran agama Katolik.
Sejak kembali ke rumahnya, Sariman rutin
mengunjungi Rm. Van Lith di Muntilan. Rm. Van Lith melihat bahwa Sariman cerdas
dan punya semangat tinggi. Setelah pengetahuan tentang agama Katolik Sariman
dianggap cukup, Sariman dibabtis dengan nama Barnabas di Muntilan pada tanggal
20 Mei 1904, bertepatan dengan hari raya Pentakosta. Nama Sariman diganti
dengan Sarikrama, yang berarti “orang yang menerima intisari ajaran Kristiani”.
Bersama dengan Sariman, dibabtis pula tiga tokoh masyarakat yang lainnya:
Suratirta dibabtis dengan nama Lukas, Sukadrana dibabtis dengan nama Markus dan
Surawijaya dengan nama Yokanan.
Setelah dibabtis, keempat orang ini mulai
mengajak keluarga dan tetangga mereka untuk belajar agama Katolik. Setiap hari
mereka terus mengajar dengan penuh semangat. Berkat kegigihan mereka, banyak
orang yang mengikuti pengajaran dan mengenal iman agama Katolik. Di Kajoran,
Tuksanga, Semagung dan sekitarnya banyak yang datang dan mengikuti pengajaran.
Berkat semangat keempat orang ini, pada tanggal 14 Desember 1904 terjadi
peristiwa pembabtisan 171 orang di Sendangsono, oleh Rm. Van Lith, SJ.
Peristiwa pembabtisan pada 20 Mei 1904 di
Muntilan dan 14 Desember 1904 di Sendangsono menjadi awal berkembangnya iman
Katolik di Kalibawang. Peristiwa ini juga dicatat sebagai tonggak awal misi
Katolik di tanah Jawa.
Menjalani tugas sebagai Katekis
Setelah pembabtisan di Sendangsono, Rm. Van
Lith memberikan kepercayaan kepada Barnabas untuk memperdalam iman orang-orang
yang baru saja dibabtis itu. kepercayaan itu dijalankan Barnabas dengan senang
hati. Barnabas memberikan pelajaran agama Katolik kepada orang-orang di sekitar
Kajoran. Tugas yang sama diberikan pula kepada tiga tokoh yang lainnya, Lukas
Suratirta, Markus Sukadrana dan Yokanan Surawijaya. Dalam perkembangannya,
Barnabas lebih bertanggung jawab untuk pengajaran di luar Kajoran, meliputi
daerah Kerug, Durensawit, Kapuhan Wonolelo, Gempal dan beberapa wilayah lain.
Setiap akan melakukan pengajaran di tempat
baru, Barnabas meminta ijin lebih dahulu kepada kepala kampung dan tokoh
masyarakat setempat. Dengan berbusana adat Jawa, Barnabas mengunjungi tokoh
masyarakat dan menyampaikan perihal kedatangannya. Hal ini dilakukan sebagai
cara menghormati masyarakat setempat, sekaligus agar tujuan kedatangannya tidak
disalahpahami. Pada setiap tempat ia diterima, dibuat jadwal pengajaran
seminggu sekali.
Pengajaran tidak selalu berjalan mulus.
Selain tantangan medan yang berat, penolakan dari warga sering dihadapi baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pengalaman imannya membuat Barnabas tak
pantang menyerah. Barnabas yakin bahwa Roh Kudus selalu membimbing dan
mendampinginya. Keyakinan ini diwujudkan dengan setiap lakunya, baik melalui
pengajaran maupun perbuatannya.
Ada cerita menarik dari kerya pengajaran
Barnabas. Suatu ketika, saat melewati Jengger, suatu tempat di sebelah timur
Kapuhan, Barnabas beristirahat sejenak. Kayu yang dijadikan tongkat ditancapkan
ke tanah sambil berkata, “Kalau kayu ini hidup, akan hidup pula iman Katolik di
daerah ini.” Kayu itu kemudian bertunas dan tumbuh menjadi pohon besar. Kayu
itu adalah kayu Pule. Kini pohon dari
tongkat Barnabas itu sudah tidak ada, namun pada tempat itu ditanam kayu Pule
yang lain, menggantikan kayu Pule yang sudah tidak ada itu.
Umat di wilayah Kalibawang dan sekitarnya
berkembang subur. Pendampingan umat berada dalam tanggung jawab Paroki Muntilan.
Rm. Van Lith mulai melakukan kunjungan pastoral ke wilayah Kalibawang. Beliau
berkunjung ke keluarga Markus Sukadrana dan Lukas Suratirta di Kajoran, ke
keluarga Yokanan Surawijaya di Tuksanga, juga keluarga Abraham Dipadangsa di
Semagung. Dalam setiap pertemuan, mereka berembuk tentang pelayanan umat
Katolik, bagaimana menjawab keinginan umat yang ingin memperdalam ajaran iman
Katolik dan merayakan ekaristi. Dari sini disepakati, setiap Sabtu Paing dan
Sabtu Wage mereka berangkat ke Muntilan agar bisa mengikuti perayaan ekaristi
hari Minggu. Setelah merayakan ekaristi, umat kembali dari Muntilan ke
Kalibawang.
Umat yang berkembang di Kalibawang lama belum
dilayani imam. Tahun 1914 datang Rm.Groenwegen, SJ untuk mendampingi umat di
Kalibawang, Sendangsono dan sekitarnya. Di rumah keluarga Lukas Suratirta di
Kajoran, Rm. Groenwegen mengadakan perayaan ekaristi lalu mengunjungi keluarga
yang lainnya.
Tahun 1918-1922, Rm. Groenwagen membangun
sekolah rakyat di Ploso. Sekolah itu menjadi SD Kanisius Promasan sekarang.
Tahun 1923 Kalibawang menjadi bagian dari Stasi Mendut, dan sekolah rakyat di
Ploso menjadi tempat perayaan ekaristi umat Katolik Sendangsono dan sekitarnya
sampai tahun 1940.
Paroki Promasan
Tahun 1924-1935, Rm. Prennthaler, SJ berkarya
mendampingi umat Ktolik Kalibawang. Umat berkembang pesat, karena itu beliau
membentuk pamomong yang bertugas mencatat keadaan dan perkembangan umat, juga
menggantikan guru agama yang berhalangan melakukan pengajaran. Beliau membentuk
Pamardi Suci, Panggolo dan Konggregasi sebagai wadah pembinaan. Selain itu
beliau juga mengkader guru agama di lingkungan-lingkungan guna membantu karya
Barnabas Sarikrama. Guru agama ini bertugas melakukan pengajaran, mengunjungi
orang sakit dan memimpin upacara kematian.
Tahun 1930, berdirilah gereja Boro atas
prakarsa Rm. Prennthaler. Maka umat Promasan dan sekitarnya merayakan ekaristi
di gereja Boro, dan Promasan menjadi stasi dari paroki Boro. Peninggalan karya
Rm. Prennthaler yang masih bisa dilihat saat ini adalah Gua Maria Lourdes
Sendangsono dan lonceng yang digunakan di stasi-stasi, dikenal dengan lonceng
Angelus “Dewi Mariah, sembah bektinipoen
tanah Djawi oegi!”
Pada tahun 1937, Rm. Yasa Wiharjo, SJ
berkarya di paroki Boro. Beliau lalu berembug dengan tokoh-tokoh masyarakat,
seperti Yakobus Tirtosumarto, Antonius Sukariyo, Whillem Merto Wijaya dan
tokoh-tokoh lainnya tentang membangunan dan pendirian gereja. Hasil dari
musyawarah ini adalah ditemukan tempat yang strategis untuk didirikan bangunan
gereja, yaitu Promasan.
Setelah ditetapkan lokasi bangunan gereja,
dimulailah pekerjaan pembanguna. Umat bergotong-royong bekerja bakti. Tua muda
dan anak-anak ikut berpartisipasi. Anak-anak bertugas mengumpulkan batu kali
dan kerikil, sementara warga dewasa mengambil pasir dari sungai Progo.
Ketika gereja Promasan dibangun, kesehatan
Barnabas Sarikrama mulai menurun. Segala
urusan terkait pembangunan gereja dilanjutkan oleh Antonius Sukariyo dan
Yakobus Tirtosumarto. Barnabas Sarikrama menderita sakit muntaber dan dirawat di
rumah sakit Boro. Pada tanggal 15 Juli 1940, Barnabas Sarikrama wafat di rumah
sakit Boro, tempat ia dirawat.
Pada tanggal 18 Desember 1940, lima bulan
setelah Barnabas Sarikrama wafat, gereja Promasan diresmikan oleh Mgr. Albertus
Soegijopranoto, SJ. Barnabas Sarikrama tak sempat melihat hasil perjuangannya.
Namun telah dicatat, bahwa berkat perjuangannya iman Katolik di wilayah
Promasan bertumbuh dan berkembang, dan gereja Maria Lourdes Promasan berdiri.
Penutup
Pada tahun 1929, bertepatan dengan peringatan
25 tahun babtisan pertama, diresmikan monumen peringatan berupa Gua Maria
Lourdes Sendangsono. Pada saat itu pula, tepat peringatan Yubelium Perak Misi
Jawa, Barnabas Sarikrama mendapat tanda jasa dari Paus Pius XI atas jasanya
sebagai Katekis di sekitar Sendangsono Kalibawang. Barnabas Sarikrama
dianugerahi bintang emas Pro Ecclesia et
Pontifice.
Banyak buah dari perjuangan Barnabas
Sarikrama yang dirasakan sekarang. Dari beliau iman Katolik menyebar ke wilayah
Kalibawang dan sekitarnya. Semoga keteladanan hidup Barnabas Sarikrama menjadi
inspirasi hidup dan iman bagi banyak orang.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny