Beberapa waktu lalu, saya dan Dewi menerima undangan
dari keluarga besar SD Kanisius Kenalan yang sekaligus panitia Napak Tilas Barnabas Sarikrama. Karena
saya sudah pernah mendengar perihal Barnabas Sarikrama, dan juga karena saya
tidak sempat mengikuti Napak Tilas yang sama pada tahun kemarin, saya mengatur
jadwal agar bisa mengikuti acara Napak Tilas Barnabas kali ini. Tentang Barnabas Sarikrama sudah saya ceritakan dalam postingan sebelumnya, bisa dibaca di sini.
Ada keistimewaan yang mendorong saya
mengikuti Napak Tilas Barnabas kali ini. Dari sejarahnya, Minggu, 20 Mei 1904 adalah
hari pembabtisan Barnabas, bertepatan dengan hari raya Pentakosta. Dan Napak
Tilas Barnabas kali ini, Minggu, 20 Mei 2018 adalah peringatan 114 tahun
babtisan Barnabas, bertepatan pula dengan hari raya Pentakosta. Selain itu saya
pribadi tertarik dengan sosok Barnabas, yang pembabtisannya menjadi titik mula
penyebaran iman Katolik di wilayah Kalibawang, Kulon Progo pada umumnya, serta
wilayah pegunungan Menoreh yang terbagi dalam wilayah Yogyakarta dan Jawa
Tengah sekarang.



NAPAK TILAS

Napak Tilas ini dibagi dalam dua kategori. Yang
pertama adalah Napak Tilas pendek, yang diikuti oleh anak-anak kelas 1 dan 2 SD
dari Kanisius Kenalan dan SD Kanisus Promasan. Kategori kedua adalah Napak
Tilas Panjang, yang diikuti oleh umat paroki Promasan, keluarga besar Kanisius
baik dari Yayasan Kanisius maupun sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan
Kanisius, juga peminat dan simpatisan.
Karena saya mengikuti Napak Tilas kategori
panjang, berikut catatan dari beberapa titik perhentian napak tilas ini. Beberapa
anak dari SD Kanisius Kenalan bertugas sebagai pemandu, pembaca cerita dan
penyampai intisari nilai yang dapat dipetik dari kisah hidup Barnabas, juga
pemimpin doa.
Perhentian I: Kapel Kerug
Kapel Kerug merupakan titik pertama Napak
Tilas, terletak di antara dusun Kapuhan, Wonokriyo, Kerug Munggang dan Kerug
Batur. Tempat-tempat ini merupakan wilayah pengajaran agama Barnabas. Di Kerug
Batur terdapat gua yang konon merupakan tempat semedi Barnabas Sarikrama. Titik
ini juga menjadi rute perjalanan Rm.Van Lith dari Muntilan ke Sendangsono:
Muntilan – Mendut – Borobudur – Kerug – Sendangsono.
Perhentian II: Jengger
Tempat ini merupakan punggung bukit kecil
yang menyerupai jengger ayam jago. Menurut cerita, tempat ini merupakan menara
alami untuk mengintai musuh pada masa perang Diponegoro. Dalam perkembangannya,
titik ini menjadi tempat beristirahat bagi orang yang melakukan perjalanan. Di
tempat ini pula Barnabas Sarikrama sering beristirahat dalam perjalanan
mengajar agama Katolik dari kampung ke kampung. Di tempat ini pula tongkat dari
kayu Pule yang dipakai Barnabas Sarikrama tumbuh menjadi pohon Pule yang besar.
Gapura adalah tempat yang menjadi batas
antara Kajoran dan Keruh/Kapuhan, terletak di sebelah selatan dusun Madugondo.
Konon pada masa perang, tempat ini menjadi saksi sejarah berdamainya dua pihak
yang berperang. Maka tempat ini dinamai Gapura, dimaknai apura ing ngapuran, saling memaafkan, damai. Semoga sikap saling
memaafkan dan damai berkembang di Indonesia.
Dusun Kajoran merupakan tempat Barnabas
Sarikrama berguru kepada Suratirta. Di tempat ini pula Barnabas menikah dengan
anak perempuan Suratirta dan membangun kehidupan keluarganya. Di Kapel Kajoran
masih terdapat lonceng Angelus peninggalan Rm.Prennthaler, SJ.
Meskipun Barnabas tinggal dan hidup di
Kajoran, beliau dimakamkan di makam Semagung, Sendangsono. Alasan pemakaman di
tempat ini terkait perjuangannya yang begitu luar biasa terhadap penyebaran
agama dan perkembangan umat Katolik, juga hubungannya yang erat dengan sejarah
pembabtisan pertama di Sendangsono.
Rangkaian acara Napak Tilas Barnabas ditutup dengan perayaan Ekaristi di pelataran Gua Maria Lourdes Sendangsono. Selain merayakan hari raya Pentakosta, perayaan ini untuk memperingati 114 tahun pembabtisan Barnabas Sarikrama dan syukur menjelang 100 tahun Yayasan Kanisius.
Catatan (bukan) kaki:
- Mendung telah menggantung di langit ketika menjelang berakhirnya perayaan Ekaristi. Dan tepat setelah perayaan Ekaristi berakhir, hujan turun mengguyur Sendangsono.
- Hujan membuat saya merindukan kopi. Kerinduan ini sedikit terobati saat Dewa menawarkan satu cup bertuliskan Coffee, dilengkapi gambar biji kopi, yang ternyata isinya coklat hangat.
- Karena hujan, Herlin menghubungi driver mobil yang mereka gunakan untuk menjemput dari SD Kenalan ke Sendangsono. Dalam perjalanan mobil tersebut mogok. Herlin, Dewa dan Galih lalu menumpang sebuah mobil menuju lokasi mobil mereka mogok.
- Saya dan Dewi bersama guru-guru SD Kenalan dijemput mobil pick-up. Dari Sendangsono menuju SD Kenalan, mas sopir memilih rute yang tidak melalui jalan utama. Memilih jalan pintas, demikian kata pak Simus. Jalan pintas ini merupakan sejumlah tanjakan dengan kemiringan 45-50 derajad. Ditambah kondisi jalan yang basah karena hujan, cukup untuk membangkitkan adrenalin.
- Tiba di SD Kenalan, saya, Dewi, pak Simus dan pak Frans mencoba menanyakan kabar Dewa dkk. Ternyata mobil mereka harus diderek menuju bengkel terdekat. Pak Simus yang akan lalu menjemput Galih, karena Galih harus kembali ke Jakarta dengan jadwal kereta jam 9.
- Dengan menggunakan jas hujan yang dipinjamkan Dewa, saya dan Dewi kembali ke Yogyakarta.
- Rencana mampir ke rumah mas Kaca dan mbak Santi batal, dan kami jadwalkan untuk berkunjung pada lain waktu.
![]() |
Tim Horee... ☺ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini