Selasa, 13 Desember 2011

Mira, Pada Sebuah Malam

Purnama retak menjadi kian menangis....


Ku ingin hapus air matamu dan kuletakkan senyum terindah,


agar semua yang melihatmu berdecak kagum pdmu


 


Bawakan aku senyum itu secepatnya,


sebelum mimpi membawanya kabur


dan membenamkannya dalam gelap.


 


Dengan hembusan angin malam yang menusuk kutitipkan seuntai senyumku...


Biarkan dia diam dan menemani mimpimu....


Rasakan betapa hangatnya


karena kurangkai dengan butiran kasih penghangat


sebagai selamat tuk tidurmu malam ini.


 


Ahaiiii.... aku merasakannya...,


dan telah kutitipkan sebuah bintang untuk menjagamu malam ini.


jika indramu tak mampu menangkapnya jangan bersedih,


karena ia hanya ada untuk sebuah ketenangan.


 


Pagi…


Ah,,,,bintang ini cukup tuk temaniku sampai pagi ini....

Cerita Mini: ANAK AJAIB

Pada malam hari ia dilahirkan. Menurut ramalan orang tua-tua, kelahirannya pada malam hari membawa pesan. Ia adalah anak ajaib, lahir untuk menguasai kegelapan.


Kini ia telah 25 tahun.  Sebagaimana ramalan atas dirinya, ia sungguh menjadi penguasa kegelapan. Ia melawan kegelapan setiap malam dengan aksinya. Kemenangannya atas gelap malam akan menjadi buah bibir warga saat fajar tiba, “Kita kehilangan lagi.”

A I B

Rina stress berat. Betapa tidak, hasil petualangannya dengan Dedy dua bulan lalu membuahkan hasil yang tak terpikirkan. Dua bulan sudah haidnya tidak datang-datang juga. Bulan lalu ia masih bias tenang. Aman saja. Dia masih percaya dan berharap apa yang pernah dibacanya dalam buku-buku sungguh benar. Bahwa siklus haid seorang perempuan sering juga dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya. Biasanya salah satu akibat dari tekanan psikologis itu adalah terganggunya rutinitas bulanan perempuan. Meskipun umumnya tidak untuk semua perempuan, Rina berharap semoga saja benar.

Seingat Rina ia tidak mengalami tekanan apa-apa selama satu-dua bulan ini. Kuliahnya lancar, hubungannya dengan Dedy tetap mulus. Dengan dosen dan teman-teman? Juga tidak ada masalah. Namun ini sudah bulan kedua tamu wajibnya itu tak kunjung tiba. Rina sudah bosan menanti. Ia ingin mendapat kepastian tentang kunjungan tamunya. Lantas dibelinya alat tes kehamilan di apotik.

Di kamar mandi kosnya Rina mengetes keakuratan alat itu. Sebenarnya paling tepat Rina menggunakan alat itu untuk mengetes dirinya. Dan paling tepat lagi dengan alat itu Rina ingin tahu apa sesungguhnya yang terjadi, ada apa sebenarnya dibalik tertundanya haid dua bulan ini. Antara yakin dan tidak ia melakukannya. Dan hasilnya…., positif. Rina hamil. Ingin rasanya ia berteriak sekeras mungkin. Tidak. Alat ini keliru, hatinya menjerit. Alat ini bohong…, alat ini salah…

Tak yakin dengan hasil di kamar mandi Rina bergeas keluar menuju kamarnya. Pikirnya tentu ia salah lihat karena pencahayaan dalam ruang kamar mandi yang sempit itu tidak terlalu bagus, makanya ia salah lihat tadi. Ternyata tidak. Alat itu telah dirancang sedemikian rupa untuk menunjukkan hasil dalam dua pilihan. Positif atau negatif. Hamil, ya positif. Tidak hamil, ya negatif. Dan hasil tes Rina tadi tetap tidak berubah. Positif. Artinya Rina hamil. Dan alat itu tidak punya alternatif jalan tengah antara hamil dan tidak. Hamil ya hamil, tidak ya tidak. Tidak ada setengah hamil dan setengah tidak.

Sebenarnya Rina tahu itu. Hasil analisis alat tes itu bukan sebuah gambar tiga dimensi yang bisa menampilkan gambar yang berbeda saat orang yang sama memandangnya dari sudut pandang yang berbeda. Sebenarnya ada yang berbeda di sini. Ruangan dengan cahaya yang lebih terang ini semakin memberi penegasan terhadap penglihatan Rina. Jika tadi Rina masih sangsi dengan garis-garis merah pada alat itu, kini kesangsian itu berubah keyakinan. Keyakinan yang menakutkan. Ia hamil, dan ini adalah bulan kedua.

Bendungan kelopak mata Rina tak sanggup menahan arus deras dari dalam hatinya. Lubuk hati yang tenang itu berubah mejadi gelombang pasang yang meluap berupa linangan air mata, menyapu bidang pipinya, jatuh ke pinggiran ranjang dan meresap dalam empuk kasur. Sebagian ada yang lolos mengalir melalui pinggiran ranjang dan jatuh membentuk lingkaran-lingkaran kecil air pada putih keramik lantai kamar kosnya. Rina tak tahu apa yang harus dibuatnya sekarang. Menyampaikan hal ini ke Dedy, ia belum mau. Ke ayah dan ibu di Kefa? Tidak mungkin. Dan ia takut. Yang ia inginkan sekarang adalah menangis dan menangis, menumpahkan gejolak kecamuk hatinya. Bahkan kalau bisa ia juga ingin menumpahkan segumpal darah bakal bayi yang kini menghuni rahimnya, lalu menumpahkan ingatannya tentang hal ini agar ia lupa tentang kehamilannya. Memorinya justru menayangkan kembali adegan demi adegan dua bulan lalu itu.

Valentine kali ini akan dihabiskan berdua di pantai Manikin, demikian kesepakatan Dedy dan Rina. Duduk sambil mengungkapkan kembali saling cinta mereka saling melihat matahari tenggelam di batas cakrawala lalu menunggu kehadiran bintang yang muncul satu-satu. Mereka bukan ahli astronomi yang bias membaca letak dan pesan alam lewat bintang. Mereka juga bukan pakar geofisika, jadi hujan yang turun tiba-tiba diluar perkiraan mereka. Dedy dan Rina sebenarnya bisa saja langsung ke kosnya Rina di bilangan Oepura. Tapi Dedy tidak mau Rina kehujanan. Rina pun tak mau, sebab itu artinya membiarkan Dedy kehujanan dua kali, mengantarnya dan kembali ke kosnya sendiri di Oesapa. Satu-satunya jalan adalah mampir ke kosnya Dedy sambil menunggu hujan reda. Setelah itu barulah Dedy akan mengantar Rina.

Pukul 23.00 hujan belum juga reda. Sedangkan kedua insan itu, dari sekedar duduk berpelukan, lalu terjadilah hal yang belum saatnya bagi mereka. Tak ada sesal, sebab mereka saling yakin tentang cinta mereka seorang kepada yang lain. Dalam benak Rina sendiri ia adalah Hawa yang ditempatkan Allah di Firdaus untuk menemani sang Adam, Dedy yang dicintainya dengan segenap detail ketulusan yang dimilikinya. Rina sendiri lupa bahwa Firdaus itu menyenangkan, tetapi ada pohon larangan yang tidak boleh dimakan buahnya, kecuali kepada siapa yang empunya Firdaus itu berkenan. Ia telah memakan buah pohon itu, dan akibatnya ia rasakan sekarang.

Rina marah. Tapi ia sendiri tidak tahu harus marah kepada siapa. Kepada Dedy? Atau kepada Tuhan yang memberinya rasa cinta sampai ia harus buta? Pikirannya semakin kalut membayangkan apa yang akan terjadi bila kedua orang tuanya di Kefa mendengar hal ini. Ke mana pujian yang didapatnya selama ini, bahwa ia adalah anak baik, sopan dan santun, tahu bergaul, dewasa dan tahu menempatkan diri? Ke mana anak teladan yang menjadi panutan di rumah, bahkan di antara tetangga-tetangganya? Terlalu berat untuk ditanggungnya sendiri. Ditekannya beberapa tombol HP, mengirimkan pesan singkat untuk Dedy. Ia tidak mampu memikul beban ini sendirian. Ia butuh orang untuk membantunya memikul beban ini. Setengah jam kemudian Dedy telah berada di sampingnya.

Dedy sendiri kaget setengah mati mendengar kabar ini. Ia belum siap. Tetapi rasa cintanya mengalahkan ketakutannya.

“Aku akan bertanggung jawab,” kata Dedy memutuskan.

“Maksudmu?” Rina bertanya.

“Bagaimanapun ini akibat perbuatanku, dan aku siap bertanggung jawab. Kita harus menyampaikan kepada orang tua kita.”

“Tidak segampang itu, Dedy.”

“Tidak segampang itu bagaimana? Kenyataannya kamu hamil karena aku. Maka meskipun aku tak pernah siap menghadapi soal seperti ini sebelumnya, sekarang aku siap.”

“Tapi aku tidak siap.”

“Lalu harus bagaimana? Tidak ada jalan lain kecuali berterus terang kepada orang tua kita masing-masing.”

“Tapi aku takut..., juga malu…”

“Aku juga takut dan malu…, tapi aku tidak pernah takut dan malu untuk bertanggung jawab kalau memang sekarang aku dituntut untuk itu.”

“Dedy…, bantu aku memikirkan jalan lain.”

“Tidak ada jalan lain, Rin….”

“Sebelum ketahuan, aku akan hilangkan aib ini.”

“Apa? Kamu gila ya? Kamu kira segampang itu? Aku tidak setuju.”

“Tapi aku yang akan memikulnya, aib ini akan lebih melekat dengan aku.”

“Aku bilang tidak. Itu anakku juga kan? Dan satu hal lagi, jangan pernah anggap itu aib, karena dengan demikian kau anggap cinta kita juga aib. Cintaku padamu bukan aib.”

Dengan emosi Dedy meninggalkan Rina. Dedy tak menyangka Rina bisa punya pikiran sejauh itu. Sementara Rina sendiri menghilang sejak pertengkaran itu. Dedy berusaha mencari tahu ke teman-temannya, baik di kos maupun di kampus. Nihil. HP Rina selalu di luar jangkauan atau tidak aktif. Sudah seminggu tak ada di kos, kata teman-temannya. Dedy merasa bersalah. Seharusnya ia membujuk Rina dengan cara yang lebih lembut, bukan dengan kemarahan. Mungkin benar juga jika menuruti keinginan Rina. Tapi apakan aku salah mempertahankan buah cinta kami? Apakah salah kalau aku siap bertanggung jawab dan menjadi ayah bagi sang bakal bayi, dan menjadi suami Rina? Bermacam pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Dedy. Dua minggu berlalu tanpa kabar. Dedy pun dua minggu terakhir enggan ke kampus. Malas, alasannya ke teman-teman.

Selasa menjelang magrib setelah menghilangnya Rina, Dedy sedang bermalas-malasan di kamar kosnya. Tiba-tiba pintu kosnya diketuk orang. Dedy membiarkan saja, enggan membuka pintu, tak mau diganggu. Tetapi pintu terus diketuk sampai Dedy mulai jengkel.

Aris, tetangga kamarnya mengetuk pintu.

“Dedy…, Dedy…, bangun… Cepat sedikit…,” suara Aris demikian keras sampai mengagetkan Dedy. Dedy yang dalam kondisi hati penuh mendung dan kabut langsung tersulut emosinya.

“Ada apa pakai teriak-teriak, ha???” Dedy membuka pintu dengan kasar.

Di depan pintu Aris berdiri dengan wajah antara takut dan cemas. Matanya menunjukkan kegelisahan. Di tangannya ada selembar koran. Disodorkannya kepada Dedy. Dengan enggan Dedy menerima koran itu. Dibacanya. Pada headline koran itu tertulis “Aborsi merenggut Nyawa”.

Dedy ingin tak percaya. Tentu ini bukan Rina kekasihnya. Tapi foto setengah badan yang terpampang jelas di sisi berita itu tak mungkin keliru. Itu Rina. Pandangan Dedy jadi mengabur, lalu semuanya gelap. ###

KISAH PENCIPTAAN

imagesPada mulanya adalah kehampaan. Hanya roh-roh tak berwujud yang melayang-layang  bergerak bebas mengitari kehampaan itu. Kehampaan itu gelap, tak ada cahaya. Belum dikenal apa itu matahari, bulan juga bintang.

Kala itu, Cinta adalah sewujud roh putih yang beredar dari titik kosong yang satu ke titik kosong yang lain. Cinta, dalam jiwa rohnya merasa sendirian, mencari-cari sesuatu di tengah universum yang tidak diketahuinya, hanya disadarinya. Kemudian…, ada titik cahaya membersit kecil dari seberang.

Cinta tertegun, sadar ia tak sendirian. Gelora nada gembira bercampur gelisah menyelimutinya. Siapa gerangan roh bercahaya itu? Cinta membathin. Ada rindu nan indah memancar. Dan cinta sadar, ia berubah. Semburat titik kembang api, ia berpijar, berpijar dan terus berpijar, dan… jadilah terang nan dahsyat, menerangi semesta jagad. Cinta menjadi bola api raksasa, bercahaya, suci. Cinta menjadi matahari. Dan kelihatan baginya, cahaya kecil roh lain tadi telah lenyap, berubah menjadi gerak tari, angung dan anggun.unduhan (2)

“Siapa kamu?” Cinta berteriak, bergetar gelisah. Roh penari tadi tertegun, tercekat sejenak, lalu kembali menari.

“Hei kamu yang terus menari, siapa kamu?” Cinta semakin gelisah.

“Aku tak bisa berhenti.” Suara muncul dari tengah gerak tari roh penari. Suaranya lembut, namun mengalir pasti dan tegas, bergema memenuhi jagad.

“Aku tak mengerti,” Cinta menjawab bingung.

“Aku tak mungkin berhenti karena itu akan menyangkal diriku sendiri. Aku akan mati.”

“Lalu bagaimana aku harus memanggilmu?”

“Kreativitas.”

“Hmmm…, membingungkan.”

“Aku adalah hawa bebas. Aku adalah gerak. Jika aku berhenti sedikit saja maka aku akan mati, lalu hilanglah krativitas.” Jawab roh penari yang makin liar gerakannya. Kemudian ia melanjut, “Aku telah menjelaskan tentang aku. Kamu sendiri siapa?”

Cinta bingung dalam jiwa rohnya, tak tahu bagaimana mesti menjawab pertanyaan sederhana itu. “Aku tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaanmu. Aku ada, dan itu yang kusadari.”

“Omong kosong!!! Lalu apa arti ada dan kesadaranmu?”

“Aku tak tahu, sungguh!!! Yang kutahu adalah aku ada, berpindah dari ruang kosong yang satu ke yang lain. Dan yang kusadari adalah rasa indah dalam apa yang kulihat.”

“Termasuk pekat yang tadi?”

“Ya, kegelapan tadi sungguh indah buatku, lalu kamu muncul, begitu indah pula. Aku sendiri adalah roh putih yang indah juga.”

“Perubahan yang sekarang?”

“Aku melihatmu tadi, begitu indah, dan aku pun berubah. Keadaanku bukan lagi roh putih yang melayang tak bertuju. Aku, seperti yang kamu tahu sekarang, menjadi cahaya terang. Saat aku melihatmu tadi keadaanku pun berubah.”

“Kalau begitu maukah kau menari denganku?”

“Aku tak bisa. Kamu indah, dan aku ingin menari bersamamu. Tapi aku tak bisa.”

“Bersatulah denganku, akulah yang akan menari untuk kita. Kamu cukup membagi-bagi cahaya dan keindahanmu.”

“Apa bisa?”

“Mari kita mulai.”

Kreativitas mendekat, merangkul cinta. Maka terciptalah tari cinta yang indah. Melelahkan tetapi manis, menyakitkan tetapi menumbuhkan rindu, membakar namun membebaskan. Tarian itu liar dan dahsyat. Satu persatu terlempar serpihan yang membentuk semesta, bulan, bintang, planet, dan… manusia. Saat cinta dominan, jadilah perempuan. Saat krativitas dominan, jadilah pria.

Itulah sebabnya mengapa perempuan diidentikkan dengan ketulusan cinta dan pria semangat gerak ada pada pria. Walaupun demikian mereka memiliki kesempurnaan pada yang lain, perempuan pada pria dan pria pada perempuan. Alasannya, mereka ternentuk dari dua roh yang menyatu; mereka akan selalu berusaha untuk bersatu, untuk mencari keutuhan dan kesempurnaannya.

(Penfui, Oktober 2011, dimuat dalam jurnal sastra Filokalia edisi September 2011)

Catatan Harian Hujan Pertama

Hujan pertama untuk kesekian kalinya sejak kepergianmu. Dan seperti hujan-hujan pertama yang telah lewat, hujan pertama kali ini mengorek lagi kerinduan yang kupendam setiap waktu dalam hitungan detik, deti-detik penuh harapan akan pemenuhan janji bahwa kau akan datang pada hujan pertama. Janji yang kau ikrarkan saat kau memutuskan untuk meninggalkanku bersama mimpi yang belum usai menjelang fajar. Kucoba merangkai hujan-hujan pertama itu, kuanyam dalam satu musim penuh rindu yang menggigit.

Hujan Pertama Tahun Pertama

Kau putuskan untuk meninggalkanku, kauputuskan untuk meninggalkan benih yang kau semaikan di lahan rahimku. Demi aku dan anak kita, katamu. Dan kebanggaan keperempuananku membuatku rela melepasmu menyeberangi lautan yang tak kubayangkan seberapa banyaknya. Tujuh, menurut dongeng masa kecil yang kudengar dari nenek. Semua orang menganggapku perempuan paling beruntung. Keberuntungan yang diukur berdasarkan keputusanmu mengais nafkah sebagai tenaga kerja illegal ke negeri jiran. Keberuntungan yang ditakar berdasarkan kurs ringgit yang bila dirupiahkan akan mengubah angka-angka di rekeningku menjadi semakin besar nilainya.

Hujan Pertama Tahun Kedua

Kau kirimkan aku sepucuk surat. Aku tetawa, sampai-sampai orang sekampung menjadi heboh. Aku punya dua alasan untuk tertawa. Pertama, kau tahu aku hanya menamatkan sekolah dasarku, dan kau tuliskan aku surat dalam bahasa yang sangat tidak kumengerti. Bahasa inggris, demikian kata anak-anak SMP. Kedua, salah satu kalimat yang dibaca diterjemahkan kepadaku adalah ai lav yu, aku cinta kau. Ingin rasanya aku terbang melayang. Aku tak kuasa menahan mendungan kebahagiaan yang meluap dari mataku. Ingin rasanya aku berlari kepadamu dan meneriakkan ai lav yu juga. Aku bukan lagi menjadi perempuan paling beruntung. Aku telah menjadi perempuan paling hebat. Dan agar kau juga bisa membayangkannya, betapa bangganya anak kita yang baru berusia belum genap setahun ini bila kelak aku menceritakan kehebatanmu, kehebatan ayahnya. Suratmu membuatku lebih hidup. Aku bisa merasakan cintamu. Aku bisa menghirup aroma keringatmu lewat surat ini. Sepanjang hari ia tak pernah kulepaskan. Kuselipkan di balik kutang, agar selalu abadi sepertimu. Selalu di dadaku, selalu di hatiku.

Hujan Pertama Tahun Ketiga

Rumah mungil yang dulu kini telah menjadi istana mini seperti yang bisaa kulihat di layar teve.. Atap alang dan dinding bebak telah kuganti dengan seng dan tembok, sesuai permintaanmu. Dipan reyot bertikar lontar kamar kita telah kubuang. Yang ada sekarang adalah busa tebal yang bisa membuatmu tenggelam. Aku berani bertaruh, kau tak akan menyadari waktu jika tubuhmu sudah kau letakkan di sana. Untuk sementara hanya aku dan anak kita yang beranjak makin bertumbuh besar. Ia sudah bisa berlari-lari kecil, dan ranjang empuk kita dijadikan arena atraksi jurus-jurus aneh seperti yang dilihatnya dalam film-film laga. Sungguh lucu dan sehat. Lebih dari itu, kau akan segera kembali sebagaimana yang kau janjikan dalam surat terakhir beberapa waktu lalu. Bahwa kau akan ada di istana kecil kita saat hujan pertama tahun berikut, tahun depan.

Hujan Pertama Tahun Keempat

Penuh rindu aku menantikan kepulanganmu. Rasa-rasanya aku tak kuasa menahan gelora rindu yang menjungkirbalikkan segenap ruang hatiku. Dan agar kau tahu, segenap diriku, ujung kaki hingga ujung rambutku menantikan kepulanganmu. Aku tak lagi butuh tambahan ringgit tang dirupiahkan. Semua yang rutin kau kirim sejak kepergianmu telah cukup untuk hidup kita, termasuk untuk anak kita sampai ia mandiri kelak. Sedangkan untuk anak-anak berikut bisa kita siasati dengan usaha yang akan kau kelola ketika kau pulang. Tambahan lagi sebidang sawah yang sementara kita sewakan untuk tetangga akan segera kita ambil kembali dan kita garap sendiri. Hujan pertama sudah lewat beberapa pekan, tetapi kau belum kunjung tiba. Rinduku berubah gelisah. Seribu satu pertanyaan menghantuiku. Apa kau tak jadi pulang? Atau kau tersesat? Atau kau kebingungan saat tiba di rumah, namun kau tak mengenali rumah ini? Ah…, kau membuatku resah gelisah tak berujung.

Hujan Pertama Tahun Kelima

Kembali aku menunggu kepulanganmu. Demam rindu dan gelisah kadang dibumbui ketakutan tak pasti. Teman-temanmu telah pulang, mendapakan istri anak mereka. Sedangkan aku hanya bisa puas dengan surat yang kau titip lagi. Seribu pertanyaan kutitipkan lewat angin. Di mana kau berada? Mengapa janji yang kau tulis dengan indah di setiap suratmu tak jua kau tepati? Aku sampai lupa kepada siapa aku mesti mengadu asa. Lututku lelah menekuk di hadapan Tuhan. Tanganku lelah mengatup sembah menyebut namamu kepada Yang Maha Kekal untuk menghantarmu pulang ke rumah ini, pulang kedalam lautan kasih dalam bejana kecil rumah kita.

Hujan Pertama Tahun Keenam

Aku lelah dalam ketakpastian. Setahun sudah angka-angka rekeningku menyusut. Setahun penuh tak ada kabar darimu. Aku masih bisa menghibur diriku dengan sekedar meyakinkan diri bahwa kau terlampau lelah untuk menyempatkan sedikit waktumu mengantri di bank. Tetapi aku tak bisa tahan dengan ketiadaan surat-surat yang mengabarkan kerinduanmu serta kata-kata ai lav yu seperti yang sudah-sudah. Kadang-kadang sisi lain batinku mengatakan bahwa kau telah melupakanku, menghantarkan aku pada celah-celah cemburu dan curiga. Ah…, mengapa kaubiarkan aku memberi kesempatan untuk pikiran-pikiran konyol seperti ini? Cinta membutuhkan materi demi keberlangsungan hidup, namun lebih dari itu cinta membutuhkan engkau. Ya, aku membutuhkanmu. Bukan hanya aku, tetapi anak kita membutuhkan jawaban akan siapa dan bagaimana wujud ayahnya. Pertanyaan-pertanyaannya terlalu mudah untuk kujawab, tetapi begitu berat untuk dirasakan.

Hujan Pertama Tahun Ketujuh

Pernikahan denganmu dan hari-hari yang kulewati telah menempatkan aku pada seutas rantai sangsi. Siapakah aku, juga siapakah kau. Mahligai yang kita bangun demi suatu mimpi akan hari esok yang bahagia hanya bisa kurasakan sebulan, lalu diterbangkan angin dan dipermainkan musim selama bertahun-tahun. Aku jenuh. Kesepian mulai menggigit, tambahan anak kita telah kumasukkan ke sekolah dasar. Aku mulai berpikir untuk mengingkarimu. Tetapi cincin yang selalu melingkar di jari ini selalu mengingatkanku akan kata-kata Pastor saat mengukuhkan perkawinan kita di gereja. Satu dan tak terceraikan. Kudus, sakral, karena diikat oleh Tuhan. Karena itu apa yang disatukan Allah janganlah diceraikan manusia. Perkawinan kita merupakan lambang kesetiaan Allah dan manusia. Sampai di sini aku ingin berteriak kepada Tuhan. Kesetiaan macam apa yang dikehendaki oleh-Nya? Aku lemah. Dan aku bukan pula Paulus yang bisa bermegah dengan mengatakan ketika aku lemah maka aku kuat.

Hujan Pertama Tahun Kedelapan

Aku membutuhkanmu saat ini. Aku membutuhkanmu. Dalam kegalauanku menghadapi ketakpastian keberadaanmu kehadiran seorang pemuda berusaha membobol benteng imanku. Aku terguncang kini. Kesepian dan kekosongan jiwa, kebutuhan akan seseorang untuk mengisi ruang kosong itu, kebutuhan akan seseorang yang dapat menampung keluh kesahku, kegalauan menghadapi hidup yang tak pernah kuketahui apa aku bisa merasakan hari esok dan ribuan pertanyaan yang terus menderaku. Segenap perhatian yang diberikan pemuda ini telah mendobrak pertahananku. Hanya saja aku masih kuat bertahan dengan satu cinta untukmu, dan itulah kekuatanku. Keyakinan akan janji bahwa kau pasti kembali. Janji yang kita ikrarkan untuk selalu bersama saaut suka dan duka, sakit ataupun sehat, untuk atau malang sekalipun. Aku tak ingin melangkahi sumpahku sendiri. Aku tak peduli lagi dengan hujan pertama, asalkan kau bisa kembali saat ini.

Hujan Pertama Tahun Kesembilan

Dalam teve aku mendengar dan menyaksikan nasib beberapa tenaga kerja illegal yang berhasil dijaring polisi diraja Malaysia. Mereka dilaporkan oleh majikannya setelah terlebih dahulu disiksa dengan kejam. Tuntutan upah yang telah ditunggak beberapa bulan dijawab dengan cambukan kawat duri, siraman air mendidih dan diseterika. Aku sempat pingsan. Tak ingin mendengar ataupun melihat bahwa kau merupakan salah satu di antara mereka. Aku tak mau mengingat bahwa aku pernah mendengar dan menyaksikan berita itu. Ingin kuhancurkan saja teve yang bertengger di ruang tengah rumah kita. Aku benci teve yang tega-teganya menyiarkan berita semacam itu. Kau tidak termasuk salah satu dari mereka. Kau tidak tertangkap, dan kau pasti segera pulang, aku menjerit. Aku bak orang kerasukan yang menjerit-jerit sekeras mungkin. Tetangga-tetangga yang berdatangan mencoba menghiburku dengan berbagai macam cara. Sebagian memberi peneguhan, sebagian memberi penghiburan dengan kata-kata yang mengatakan bahwa belum tentu itu kau. Berhari-hari berita tertangkapnya puluhan tenaga kerja illegal itu menjadi topik utama dalam surat kabar maupun siaran radio dan teve. Sampai akhirnya kepastian itu datang. Kunjungan kepala desa dengan info yang dibawanya membalikkan bumi tempat pikakku. Kau tertangkap, sekarang dalam keadaan koma dan sementara diurus oleh pihak Negara kita untuk dipulangkan. Persetan dengan segala urusan tetek bengek. Aku mau kau pulang sekarang. Dalam keadaan apapun kau masih suamiku. Suamiku tercinta. Suamiku satu-satunya. Bapak presiden, tolong pulangkan suamiku. Tepati janjimu untuk mengembalikan suamiku ke sisiku.

Hujan Pertama Tahun Kesepuluh

Kau kembali. Rumah yang bertahun-tahun tak punya ceria telah kau isi kembali dengan aura cinta. Dalam bangga aku selalu bersyukur kepada Yang Empunya Kehidupan karena menjadikan dirimu anugerah terindah untukku. Kalau beberapa waktu lalu aku pernah membenci Tuhan, kini aku sadar jika Ia begitu mencintaiku. Mencintaimu juga. Mencintai kita. Ia mendengar setiap keluh kesahku dengan cara-Nya yang sungguh tak habis kumengerti. Terlalu ajaib. Aku pun menemukan jika Tuhan menjawab doa dengan cara yang dikehendaki-Nya. Berkata Ya dan memberikan yang aku mau, berkata Tidak dan memberikan sesuatu yang lebih baik, atau berkata Tunggu dan memberikan sesuatu yang jauh lebih indah pada waktunya. Aku bisa melihat sisi lain hidupku. Hidup tak selamanya sesuai dengan apa yang kuinginkan. Aku mengharapkan fajar yang cerah, tetapi betapa sakitnya ketika aku terjaga dan mendapati langit kelam berselimut awan. Kadang terasa hampa. Aku seakan menatap langit kosong. Padahal tanpa aku sadari, langit menyimpan banyak bintang. Yang aku perlukan hanyalah menyingkapkan awan-awan yang menghalanginya, atau kalau pun itu tak dapat kubuat, aku cukup saja menunggu malam tiba. Hidup tak pernah seindah yang aku pikirkan dan tak sepahit yang aku bayangkan. Bahkan hidup tak pernah pandang perasaan, namun dengan begitu aku belajar untuk menjadikan diriku manusia yang sesungguhnya.

(Penfui, Oktober 2011, dimuat dalam jurnal sastra Filokalia edisi Oktober 2011)

Rabu, 30 November 2011

Selamat Jalan November

Waktu terlalu lembut berjalan. Sedemikian lembutnya sampai aku tak menyadari kalau November beranjak pamit sambil menyerukan perpisahan. Sedikit kutengok ke setapak yang telah kulalui bersama November. Sisi terang dan gelap, senyap dan gemuruh, terik dan hujan, semuanya berpadu dalam harmoni. Hidupku sendiri kususun detik demi detik, berteman titik-titik air dan belaian angin. Sesekali hadir deru mesin dan asap kedaraan yang sering kutumpangi, menyuguhi hari-hari dengan senyum dan amarah. Menghantarku pada pintu untuk menikmati chaos sebagai harmoni yang hadir dari dunia lain, dunia yang tak sempat kukenal dan tak akan pernah bisa kupahami dengan indera maupun budi.

Sesungguhnya November selalu meninggalkan kenangan abadi, romantis indah dan menggelisahkan. Seingatku ada dua judul lagu yang kuingat tentang November. Noviembre Sin Ti dari Reik dan November Bersemi dari Garis. Setidaknya mereka bisa mewakili sekian dimensi yang bisa orang alami, dan yang juga aku alami. November adalah pertemuan, sekaligus perpisahan. November adalah mimpi dan kenyataan. November adalah kisah sedih sebagaimana ditangiskan dalam Noviembre Sin Ti (November Tanpamu). Tetapi November juga masa membenihkan jiwa, menyemaikan cinta, membesarkan hati. Simak saja November Bersemi.

November akan pergi, tetapi ia menitipkan pesan untukku: kau harus tetap ada dan hidup, katanya. Tugasku menemanimu telah usai, dan aku akan merindukanmu sampai saat jalan panjang ini membuat kita bersua. Tidak perlu kita rayakan perpisahan ini, karena di ujung jalan kita pasti bertemu. Tetaplah dalam hidupmu, lembutlah seperti semilir, namun kau juga harus seperkasa gunung. Kelak buahnya akan kau petik dan hidangkan kepada dunia. Itulah persembahan terindah yang dapat kau tahtakan di kaki Tuhanmu. Selamat jalan November.

Selasa, 11 Oktober 2011

Nyanyi Bocah

Lukisan buram

Tentang malam terpenggal

Merindu di atas lantai keruh

Masih ada mimpi

Ada api, membakar

Ada luka, perih

(Coba dengar,

bocah-bocah menyanyikan lagu

Irama mars untuk esok)

Kawan,

Malam baru setengah jalan

Mari pulang

Tak pantas berkabur mata dalam gelap

Kau  juga bocah untuk esok yang cerah

                   (Kupang, Mei 2004)

Senin, 10 Oktober 2011

Prolog

Fajar membentangkan sayap

Dan hawa baru, masa baru

Meresapi jiwa.

Kita pun menjadi penyair

Melukiskan tari, melukiskan lagu

Tentang kita dan semesta

Ada sejajar, kadang persilangan

Untuk memunculkan inspirasi

Anugerah yang Maha Inspirasi.

(Kupang 2004)