Selasa, 13 Desember 2011

A I B

Rina stress berat. Betapa tidak, hasil petualangannya dengan Dedy dua bulan lalu membuahkan hasil yang tak terpikirkan. Dua bulan sudah haidnya tidak datang-datang juga. Bulan lalu ia masih bias tenang. Aman saja. Dia masih percaya dan berharap apa yang pernah dibacanya dalam buku-buku sungguh benar. Bahwa siklus haid seorang perempuan sering juga dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya. Biasanya salah satu akibat dari tekanan psikologis itu adalah terganggunya rutinitas bulanan perempuan. Meskipun umumnya tidak untuk semua perempuan, Rina berharap semoga saja benar.

Seingat Rina ia tidak mengalami tekanan apa-apa selama satu-dua bulan ini. Kuliahnya lancar, hubungannya dengan Dedy tetap mulus. Dengan dosen dan teman-teman? Juga tidak ada masalah. Namun ini sudah bulan kedua tamu wajibnya itu tak kunjung tiba. Rina sudah bosan menanti. Ia ingin mendapat kepastian tentang kunjungan tamunya. Lantas dibelinya alat tes kehamilan di apotik.

Di kamar mandi kosnya Rina mengetes keakuratan alat itu. Sebenarnya paling tepat Rina menggunakan alat itu untuk mengetes dirinya. Dan paling tepat lagi dengan alat itu Rina ingin tahu apa sesungguhnya yang terjadi, ada apa sebenarnya dibalik tertundanya haid dua bulan ini. Antara yakin dan tidak ia melakukannya. Dan hasilnya…., positif. Rina hamil. Ingin rasanya ia berteriak sekeras mungkin. Tidak. Alat ini keliru, hatinya menjerit. Alat ini bohong…, alat ini salah…

Tak yakin dengan hasil di kamar mandi Rina bergeas keluar menuju kamarnya. Pikirnya tentu ia salah lihat karena pencahayaan dalam ruang kamar mandi yang sempit itu tidak terlalu bagus, makanya ia salah lihat tadi. Ternyata tidak. Alat itu telah dirancang sedemikian rupa untuk menunjukkan hasil dalam dua pilihan. Positif atau negatif. Hamil, ya positif. Tidak hamil, ya negatif. Dan hasil tes Rina tadi tetap tidak berubah. Positif. Artinya Rina hamil. Dan alat itu tidak punya alternatif jalan tengah antara hamil dan tidak. Hamil ya hamil, tidak ya tidak. Tidak ada setengah hamil dan setengah tidak.

Sebenarnya Rina tahu itu. Hasil analisis alat tes itu bukan sebuah gambar tiga dimensi yang bisa menampilkan gambar yang berbeda saat orang yang sama memandangnya dari sudut pandang yang berbeda. Sebenarnya ada yang berbeda di sini. Ruangan dengan cahaya yang lebih terang ini semakin memberi penegasan terhadap penglihatan Rina. Jika tadi Rina masih sangsi dengan garis-garis merah pada alat itu, kini kesangsian itu berubah keyakinan. Keyakinan yang menakutkan. Ia hamil, dan ini adalah bulan kedua.

Bendungan kelopak mata Rina tak sanggup menahan arus deras dari dalam hatinya. Lubuk hati yang tenang itu berubah mejadi gelombang pasang yang meluap berupa linangan air mata, menyapu bidang pipinya, jatuh ke pinggiran ranjang dan meresap dalam empuk kasur. Sebagian ada yang lolos mengalir melalui pinggiran ranjang dan jatuh membentuk lingkaran-lingkaran kecil air pada putih keramik lantai kamar kosnya. Rina tak tahu apa yang harus dibuatnya sekarang. Menyampaikan hal ini ke Dedy, ia belum mau. Ke ayah dan ibu di Kefa? Tidak mungkin. Dan ia takut. Yang ia inginkan sekarang adalah menangis dan menangis, menumpahkan gejolak kecamuk hatinya. Bahkan kalau bisa ia juga ingin menumpahkan segumpal darah bakal bayi yang kini menghuni rahimnya, lalu menumpahkan ingatannya tentang hal ini agar ia lupa tentang kehamilannya. Memorinya justru menayangkan kembali adegan demi adegan dua bulan lalu itu.

Valentine kali ini akan dihabiskan berdua di pantai Manikin, demikian kesepakatan Dedy dan Rina. Duduk sambil mengungkapkan kembali saling cinta mereka saling melihat matahari tenggelam di batas cakrawala lalu menunggu kehadiran bintang yang muncul satu-satu. Mereka bukan ahli astronomi yang bias membaca letak dan pesan alam lewat bintang. Mereka juga bukan pakar geofisika, jadi hujan yang turun tiba-tiba diluar perkiraan mereka. Dedy dan Rina sebenarnya bisa saja langsung ke kosnya Rina di bilangan Oepura. Tapi Dedy tidak mau Rina kehujanan. Rina pun tak mau, sebab itu artinya membiarkan Dedy kehujanan dua kali, mengantarnya dan kembali ke kosnya sendiri di Oesapa. Satu-satunya jalan adalah mampir ke kosnya Dedy sambil menunggu hujan reda. Setelah itu barulah Dedy akan mengantar Rina.

Pukul 23.00 hujan belum juga reda. Sedangkan kedua insan itu, dari sekedar duduk berpelukan, lalu terjadilah hal yang belum saatnya bagi mereka. Tak ada sesal, sebab mereka saling yakin tentang cinta mereka seorang kepada yang lain. Dalam benak Rina sendiri ia adalah Hawa yang ditempatkan Allah di Firdaus untuk menemani sang Adam, Dedy yang dicintainya dengan segenap detail ketulusan yang dimilikinya. Rina sendiri lupa bahwa Firdaus itu menyenangkan, tetapi ada pohon larangan yang tidak boleh dimakan buahnya, kecuali kepada siapa yang empunya Firdaus itu berkenan. Ia telah memakan buah pohon itu, dan akibatnya ia rasakan sekarang.

Rina marah. Tapi ia sendiri tidak tahu harus marah kepada siapa. Kepada Dedy? Atau kepada Tuhan yang memberinya rasa cinta sampai ia harus buta? Pikirannya semakin kalut membayangkan apa yang akan terjadi bila kedua orang tuanya di Kefa mendengar hal ini. Ke mana pujian yang didapatnya selama ini, bahwa ia adalah anak baik, sopan dan santun, tahu bergaul, dewasa dan tahu menempatkan diri? Ke mana anak teladan yang menjadi panutan di rumah, bahkan di antara tetangga-tetangganya? Terlalu berat untuk ditanggungnya sendiri. Ditekannya beberapa tombol HP, mengirimkan pesan singkat untuk Dedy. Ia tidak mampu memikul beban ini sendirian. Ia butuh orang untuk membantunya memikul beban ini. Setengah jam kemudian Dedy telah berada di sampingnya.

Dedy sendiri kaget setengah mati mendengar kabar ini. Ia belum siap. Tetapi rasa cintanya mengalahkan ketakutannya.

“Aku akan bertanggung jawab,” kata Dedy memutuskan.

“Maksudmu?” Rina bertanya.

“Bagaimanapun ini akibat perbuatanku, dan aku siap bertanggung jawab. Kita harus menyampaikan kepada orang tua kita.”

“Tidak segampang itu, Dedy.”

“Tidak segampang itu bagaimana? Kenyataannya kamu hamil karena aku. Maka meskipun aku tak pernah siap menghadapi soal seperti ini sebelumnya, sekarang aku siap.”

“Tapi aku tidak siap.”

“Lalu harus bagaimana? Tidak ada jalan lain kecuali berterus terang kepada orang tua kita masing-masing.”

“Tapi aku takut..., juga malu…”

“Aku juga takut dan malu…, tapi aku tidak pernah takut dan malu untuk bertanggung jawab kalau memang sekarang aku dituntut untuk itu.”

“Dedy…, bantu aku memikirkan jalan lain.”

“Tidak ada jalan lain, Rin….”

“Sebelum ketahuan, aku akan hilangkan aib ini.”

“Apa? Kamu gila ya? Kamu kira segampang itu? Aku tidak setuju.”

“Tapi aku yang akan memikulnya, aib ini akan lebih melekat dengan aku.”

“Aku bilang tidak. Itu anakku juga kan? Dan satu hal lagi, jangan pernah anggap itu aib, karena dengan demikian kau anggap cinta kita juga aib. Cintaku padamu bukan aib.”

Dengan emosi Dedy meninggalkan Rina. Dedy tak menyangka Rina bisa punya pikiran sejauh itu. Sementara Rina sendiri menghilang sejak pertengkaran itu. Dedy berusaha mencari tahu ke teman-temannya, baik di kos maupun di kampus. Nihil. HP Rina selalu di luar jangkauan atau tidak aktif. Sudah seminggu tak ada di kos, kata teman-temannya. Dedy merasa bersalah. Seharusnya ia membujuk Rina dengan cara yang lebih lembut, bukan dengan kemarahan. Mungkin benar juga jika menuruti keinginan Rina. Tapi apakan aku salah mempertahankan buah cinta kami? Apakah salah kalau aku siap bertanggung jawab dan menjadi ayah bagi sang bakal bayi, dan menjadi suami Rina? Bermacam pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Dedy. Dua minggu berlalu tanpa kabar. Dedy pun dua minggu terakhir enggan ke kampus. Malas, alasannya ke teman-teman.

Selasa menjelang magrib setelah menghilangnya Rina, Dedy sedang bermalas-malasan di kamar kosnya. Tiba-tiba pintu kosnya diketuk orang. Dedy membiarkan saja, enggan membuka pintu, tak mau diganggu. Tetapi pintu terus diketuk sampai Dedy mulai jengkel.

Aris, tetangga kamarnya mengetuk pintu.

“Dedy…, Dedy…, bangun… Cepat sedikit…,” suara Aris demikian keras sampai mengagetkan Dedy. Dedy yang dalam kondisi hati penuh mendung dan kabut langsung tersulut emosinya.

“Ada apa pakai teriak-teriak, ha???” Dedy membuka pintu dengan kasar.

Di depan pintu Aris berdiri dengan wajah antara takut dan cemas. Matanya menunjukkan kegelisahan. Di tangannya ada selembar koran. Disodorkannya kepada Dedy. Dengan enggan Dedy menerima koran itu. Dibacanya. Pada headline koran itu tertulis “Aborsi merenggut Nyawa”.

Dedy ingin tak percaya. Tentu ini bukan Rina kekasihnya. Tapi foto setengah badan yang terpampang jelas di sisi berita itu tak mungkin keliru. Itu Rina. Pandangan Dedy jadi mengabur, lalu semuanya gelap. ###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini