Senin, 03 April 2017

Perilaku Ekologis: Manusia dan Hutan Mangrove


Ada dua hal yang menjadi pemicu tulisan ini. Pertama, sekedar sharing pengalaman berkunjung ke hutan mangrove Wana Tirta, Kulonprogo. Dan yang kedua, sebuah postingan  gambar di dinding Facebook Umbu Wulang Tanaamahu oleh Deddy Febrianto Holo yang isinya mengajak siapa saja untuk bergabung dalam kegiatan berjudul “Yuk Bersihkan Sampah Pantai & Diskusi Sambil Ngopi Tentang Mangrove”. Sebenarnya sejak kepulangan dari Wana Tirta niat untuk menulis pengalaman tersebut sudah ada, namun baru bisa tertuang sekarang, setelah melihat gambar di dinding FB Umbu Wulang (Terima kasih untuk Deddy dan Umbu J).

Hutan Mangrove
Mangrove, atau yang biasa disebut tanaman bakau adalah tumbuhan air payau. Secara umum mangrove tumbuh membentuk perkumpulan sehingga membentuk kawasan hutan yang khas. Meskipun pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut, kebanyakan kawasan hutan mangrove ternetuk di kawasan pantai yang relatif tenang dan terlindung dari gempuran ombak. Ciri kawasan lain yang sangat mendukung pertumbuhan mangrove adalah kawasan muara di mana arus air melambat dan mengendapkan lumpur dari hulu sungai.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah hutan bakau yang cukup luas. Bahkan menurut catatan luas hutan mangrove Indonesia mencapai 25 persen dari total luas kawasan hutan mangrove di dunia. Sayangnya, dari keseluruhan kawasan mangrove di Indonesia, sebagian besarnya dalam kondisi kritis. Kondisi ini disebabkan oleh beragam faktor, yang secara umum diringkas faktor alamiah dan faktor manusia. Faktor alamiah disebutkan mulai dari jenis tanah, pasang-surut gelombang laut dan terpaan ombak, penggenangan dll. Namun ditilik dari faktor alamiah ini, sedikit sekali pengaruhnya terhadap pengikisan kawasan mangrove. Hal ini karena karakter khas mangrove yang mampu beradaptasi dengan lingkungan tumbuhnya, seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam daun. Maka dapat ditarik kesimpulan umum bahwa faktor terbesar yang memengaruhi pertumbuhan mangrove adalah perilaku manusia.
Hutan mangrove sebagaimana lingkungan alam lainnya berperan penting dalam kesatuan sebuah ekosistem, terlebih kepada manusia. Secara ekonomis, mangrove mengasilkan kayu yang dapat dimanfaatkan manusia, juga menyumbang hewan yang dapat dimanfaatkan manusia seperti ikan, udang dan siput. Lebih dari itu, salah satu fungsi utama hutan mangrove yang penting bagi manusia adalah melindungi garis pantai dari abrasi, termasuk menjadi green-belt yang melindungi kawasan pantai dari gelombang besar terrmasuk stunami. Terkait perlindungan kawasan pantai, beberapa daerah dan kawasan pantai Indonesia tercatat rawan tsunami karena hutan mangrovenya terkikis oleh perilaku manusia, kawasan mangrove dialih fungsikan sebagai tambak, perkebunan (terutama sawit), bahkan untuk pemukiman.

Belajar dari Hutan Mangrove Wana Tirta
Selasa, 28 Maret 2017 kemarin, bertepatan dengan liburan Hari Raya Nyepi. Saya kebingungan menetapkan kegiatan apa yang akan saya lakukan untuk mengisi liburan ini. Kemudian saya ditawari kawasan hutan mangrove di daerah Kulonprogo, tepatnya di dusun Pasir Mendit, Jangkaran, Temon, Kulonprogo, DI Yogyakarta. Awalnya enggan. Dalam benak saya yang masih awam, toh hutan mangrove tentunya sama halnya dengan hutan-hutan mangrove yang cukup saya kenal di Timor, entah di Kupang, atau di pantai utara TTU dan Belu. Dan karena alasan tertentu, biasanya kawasan ini dipermak sedikit menjadi tempat berswafoto dan bernarsis-ria. Tetapi keengganan saya berubah menjadi ketertarikan ketika mendengar cerita jatuh-bangunnya masyarakat setempat memelihara dan merawat hutan itu mulai dari belum apa-apa.
Di pintu masuk hutan mangrove, pengunjung disambut sebuah papan berukuran lumayan besar, dengan tulisan yang terbaca jelas: “Save Mangrove for Future” di dekat tempat parkir. Tulisan ini lebih berupa kampanye untuk melestarikan kawasan mangrove, diisi dengan beberapa gambar kegiatan yang dibuat kelompok masyarakat setempat. Dengan retribusi yang terbilang murah, saya berkesempatan mengelilingi kawasan hutan dengan meniti jembatan kayu dan bambu yang dibuat masyarakat. Setelah satu putaran saya kembali ke luar area mangrove, menikmati segelas es teh sambil bercerita dengan ibu pemilik lapak jajanan di sana. Dari ibu ini (saya lupa nama beliau, dan saya berjanji akan kembali ke sana untuk alasan ini) saya mendapat banyak gambaran umum tentang hutan mangrove ini.
Dahulu, pesisir pantai Pasir Mendit merupakan kawasan ekosistem mangrove alami. Dalam perjalanan waktu kawasan ini terkikis dan menjadi rusak. Beberapa hal yang menjadi sebab kerusakan itu adalah penebangan liar manusia, terutama warga sekitar yang memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar. Selain itu berkembangnya budidaya udang membuat kawasan mangrove dirambah dan dialihfungsikan menjadi tambak udang. Akibat dari dua hal ini, kawasan pasir mendit yang terletak dibibir laut selatan yang bergelombang tinggi sering mengalami abrasi. Bahkan para petambak udang sering ikut merasakan dampak langsung dari abrasi yang mana gelombang laut tak terelakkan sering menjebol tambak.
Sadar akan pentingnya keberadaan mangrove sebagai sabuk hijau yang melindungi kawasan pantai dari abrasi, sekelompok warga lantas berinisiatif menghijaukan kembali kawasan tersebut dengan menanam mangrove. Kelompok yang bernama Wana Tirta ini mulai menanam mangrove sepanjang tepian sungai Bogowonto. Kawasan yang dirawat kembali ini kini mulai berkembang. Meskipun belum besar dan belum padat, usaha kelompok Wana Tirta dan masyarakat Pasir Mendit layak diapresiasi. Banyak pemerhati lingkungan baik perorangan maupun organisasi/lembaga memberikan dukungan kepada kelompok ini. Dan menurut yang dikatakan ibu pemilik lapak kuliner tempat saya beristirahat, kelompok Wana Tirta terbuka bagi siapa saja yang tertarik dan ingin ikut terlibat dalam usaha konservasi dengan menanam mangrove. Mereka dengan senang hati akan menyediakan bibit mangrove untuk ditanam di area yang ditentukan.

Salah satu dampak langsung yang dialami masyarakat adalah kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata yang tengah naik daun. Sebagai sarana penunjang sebagai destinasi wisata, dibangun jembatan kayu dan bambu yang dapat disusuri sepanjang hutan mangrove, termasuk untuk menyeberangi sungai menuju bibir pantai Pasir Mendit. Di beberapa sudut dibangun pula spot foto yang menyuguhkan latar cantik untuk berfoto-ria.

Psikologi Konservasi Hutan Mangrove
Secara umum psikologi merupakan kajian tentang jiwa manusia. Namun bahasan tentang jiwa ini sangat abstrak. Maka jiwa dalam kajian psikologi merujuk pada manifestasinya, yaitu perilaku manusia. Apa yang kelihatan sebagai tindakan atau aksi merupakan perwujudan dari jiwa.
Keterkaitan psikologi dan konservasi merupakan bidang kajian yang masih terbilang baru, merupakan bidang psikologi terapan. Psikologi konservasi adalah studi ilmiah tentang hubungan resiprokal antara manusia dengan alam dengan fokus utama pada bagaimana mendorong konservasi terhadap lingkungan alam, juga merupakan bidang terapan yang menggunakan prinsip, teori atau metode psikologis untuk memahami dan memecahkan masalah terkait aspek manusia dalam konservasi. Maka psikologi konservasi merupakan jejaring kerjasama aktual, penting dan mendesak untuk memahami dan mempromosikan hubungan berkelanjutan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alam.
Terdapat 3 (tiga) komponen psikologi yang berhubungan dengan konservasi alam, yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective) dan perilaku (behavioral). Komponen kognitif adalah suatu rasa adanya hubungan atau ikatan (sense of connection). Komponen afektif adalah memelihara respon (caring response). Sedangkan komponen perilaku adalah pola yang diterapkan untuk selalu menunjukkan komitmennya di dalam suatu kegiatan. Adanya suatu rasa “perhubungan atau ikatan” (connectedness) dapat mendorong timbulnya rasa untuk memelihara alam dan kemudian secara berkelanjutan mendorong timbulnya komitmen untuk menjaga alam.
Salah satu masalah global yang cukup menarik perhatian adalah isu lingkungan hidup dan hal-hal yang secara erat terkait dengan hal tersebut. Pengrusakan dan ekspliotasi alam, menyusutnya hutan sebagai paru-paru dunia sampai dampaknya berupa banjir, kekeringan, pemanasan global dan lain-lain. Disadari atau tidak, semua itu adalah akibat dari perilaku manusia. Kalau digali lebih lanjut, tentang perilaku sebagai perwujudan jiwa, maka kita bisa membaca jiwa macam apa yang tengah dipertunjukkan oleh manusia.
Cara mengatasi permasalahan lingkungan salah satunya adalah konservasi, yang bukan saja tentang melestarikan alam, tetapi lebih jauh kepada perubahan perilaku. Konservasi harus sampai kepada perubahan cara berpikir, cara menilai dan cara memerlakukan alam. Peningkatan pengetahuan mengenai konservasi diasumsikan akan mampu merubah sikap terhadap lingkungan. Tidaklah cukup bahwa seseorang mengerti mengenai efek hilangnya keanekaragaman hayati, melainkan dia juga harus mengerti bahwa masalah tersebut merupakan cerminan dari nilai dan sikap terhadap lingkungan. Pemahaman ini dilandasi kerja tiga komponen yakni kognitif, afektif dan perilaku, yang bila dijabarkan maka mencakup beberapa hal yang saling berkaitan.
Kesadaran yang disertai pengetahuan penting untuk diterapkan di sini. Kesadaran berhubungan erat dengan pengetahuan. Proses hilangnya keanekaragaman hayati sedang terjadi perlu disadari. Proses penyadaran harus dilakukan terus menerus sehingga akan selalu ada dan merupakan proses dari keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Pengetahuan merupakan komponen penting dari pemahaman. Selanjutnya, pemahaman diartikan mampu menangkap apa yang dimaksud. di dalamnya terkandung makna kompetensi dan paham yang bekerja di luar pengetahuan dasar, sehingga mampu memberikan suatu landasan yang kuat dalam menganalisa suatu masalah.
Dalam konservasi, yang dibutuhkan adalah bagaimana mengembangkan pemahaman yang sampai kepada perubahan tingkah laku, bukan sekedar memperbanyak pengetahuan.  Pengetahuan penting, tetapi pengetahuan itu perlu mandarat alias tidak mengambang pada wilayah ide saja.
Secara umum dilihat bahwa yang berhubungan langsung dengan kawasan mangrove adalah kelompok masyatakat yang mendiami wilayah sekitar pantai. Pertanyaan kecilnya, apakah kelestarian hutan mangrove hanya menjadi tanggung jawab mereka? Jawabannya, tidak. Usaha konservasi hutan mangrove adalah tanggung jawab semua orang. Setiap orang menjadi subjek yang bertanggung jawab memelihara (care for). Pemeliharaan berkaitan dengan tindakan, aksi, aktif. Tindakan yang bertujuan, atau bertindak dengan maksud, membutuhkan minat dan kepedulian (cares) yang sifatnya kolektif.
Penerapan psikologi konservasi untuk fenomena kerusakan hutan mangrove perlu dilakukan dengan melihat berbagai hubungan yang saling memengaruhi antara konsep diri, etika lingkungan hidup, sikap lingkungan, intensi perilaku ekologis dengan perilaku ekologis mangrove. Perlu ditanamkan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh tentang lingkungan sebagai suatu kesatuan, sebuah tatanan yang saling menyokong kehidupan satu dengan yang lain. Selain itu, diperlukan kemampuan untuk merasakan emosi positif terhadap alam, termasuk terhadap keberadaan hutan mangrove. Atas dasar ini maka diharapkan sebuah cara pandang yang baru terhadap keberadaan mangrove, yang sampai pada perubahan perilaku manusia terhadap hutan mangrove.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini