Ada dua hal yang
menjadi pemicu tulisan ini. Pertama, sekedar
sharing pengalaman berkunjung ke hutan mangrove Wana Tirta, Kulonprogo. Dan yang
kedua, sebuah postingan gambar di
dinding Facebook Umbu Wulang Tanaamahu oleh Deddy Febrianto Holo yang isinya
mengajak siapa saja untuk bergabung dalam kegiatan berjudul “Yuk Bersihkan
Sampah Pantai & Diskusi Sambil Ngopi Tentang Mangrove”. Sebenarnya sejak
kepulangan dari Wana Tirta niat untuk menulis pengalaman tersebut sudah ada,
namun baru bisa tertuang sekarang, setelah melihat gambar di dinding FB Umbu
Wulang (Terima kasih untuk Deddy dan Umbu J).
Mangrove, atau yang biasa disebut tanaman bakau adalah tumbuhan air payau. Secara
umum mangrove tumbuh membentuk perkumpulan sehingga membentuk kawasan hutan
yang khas. Meskipun pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh pasang surut air
laut, kebanyakan kawasan hutan mangrove ternetuk di kawasan pantai yang relatif
tenang dan terlindung dari gempuran ombak. Ciri kawasan lain yang sangat
mendukung pertumbuhan mangrove adalah kawasan muara di mana arus air melambat
dan mengendapkan lumpur dari hulu sungai.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah hutan bakau yang cukup
luas. Bahkan menurut catatan luas hutan mangrove Indonesia mencapai 25 persen
dari total luas kawasan hutan mangrove di dunia. Sayangnya, dari keseluruhan
kawasan mangrove di Indonesia, sebagian besarnya dalam kondisi kritis. Kondisi ini
disebabkan oleh beragam faktor, yang secara umum diringkas faktor alamiah dan
faktor manusia. Faktor alamiah disebutkan mulai dari jenis tanah, pasang-surut
gelombang laut dan terpaan ombak, penggenangan dll. Namun ditilik dari faktor
alamiah ini, sedikit sekali pengaruhnya terhadap pengikisan kawasan mangrove. Hal
ini karena karakter khas mangrove yang mampu beradaptasi dengan lingkungan
tumbuhnya, seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam daun. Maka dapat
ditarik kesimpulan umum bahwa faktor terbesar yang memengaruhi pertumbuhan
mangrove adalah perilaku manusia.
Hutan mangrove sebagaimana lingkungan alam lainnya berperan penting dalam
kesatuan sebuah ekosistem, terlebih kepada manusia. Secara ekonomis, mangrove
mengasilkan kayu yang dapat dimanfaatkan manusia, juga menyumbang hewan yang
dapat dimanfaatkan manusia seperti ikan, udang dan siput. Lebih dari itu, salah
satu fungsi utama hutan mangrove yang penting bagi manusia adalah melindungi
garis pantai dari abrasi, termasuk menjadi green-belt yang melindungi kawasan pantai dari
gelombang besar terrmasuk stunami. Terkait perlindungan kawasan pantai,
beberapa daerah dan kawasan pantai Indonesia tercatat rawan tsunami karena
hutan mangrovenya terkikis oleh perilaku manusia, kawasan mangrove dialih
fungsikan sebagai tambak, perkebunan (terutama sawit), bahkan untuk pemukiman.
Belajar dari Hutan Mangrove
Wana Tirta
Selasa, 28 Maret 2017 kemarin, bertepatan dengan liburan Hari
Raya Nyepi. Saya kebingungan menetapkan kegiatan apa yang akan saya lakukan
untuk mengisi liburan ini. Kemudian saya ditawari kawasan hutan mangrove di
daerah Kulonprogo, tepatnya di dusun Pasir Mendit, Jangkaran, Temon,
Kulonprogo, DI Yogyakarta. Awalnya enggan. Dalam benak saya yang masih awam,
toh hutan mangrove tentunya sama halnya dengan hutan-hutan mangrove yang cukup
saya kenal di Timor, entah di Kupang, atau di pantai utara TTU dan Belu. Dan karena
alasan tertentu, biasanya kawasan ini dipermak sedikit menjadi tempat berswafoto
dan bernarsis-ria. Tetapi keengganan saya berubah menjadi ketertarikan ketika
mendengar cerita jatuh-bangunnya masyarakat setempat memelihara dan merawat
hutan itu mulai dari belum apa-apa.
Di pintu masuk hutan mangrove, pengunjung disambut sebuah
papan berukuran lumayan besar, dengan tulisan yang terbaca jelas: “Save
Mangrove for Future” di dekat tempat parkir. Tulisan ini lebih berupa kampanye
untuk melestarikan kawasan mangrove, diisi dengan beberapa gambar kegiatan yang
dibuat kelompok masyarakat setempat. Dengan retribusi yang terbilang murah,
saya berkesempatan mengelilingi kawasan hutan dengan meniti jembatan kayu dan
bambu yang dibuat masyarakat. Setelah satu putaran saya kembali ke luar area
mangrove, menikmati segelas es teh sambil bercerita dengan ibu pemilik lapak
jajanan di sana. Dari ibu ini (saya lupa nama beliau, dan saya berjanji akan
kembali ke sana untuk alasan ini) saya mendapat banyak gambaran umum tentang hutan
mangrove ini.
Dahulu, pesisir pantai Pasir Mendit merupakan kawasan
ekosistem mangrove alami. Dalam perjalanan waktu kawasan ini terkikis dan
menjadi rusak. Beberapa hal yang menjadi sebab kerusakan itu adalah penebangan
liar manusia, terutama warga sekitar yang memanfaatkan mangrove sebagai kayu
bakar. Selain itu berkembangnya budidaya udang membuat kawasan mangrove dirambah
dan dialihfungsikan menjadi tambak udang. Akibat dari dua hal ini, kawasan
pasir mendit yang terletak dibibir laut selatan yang bergelombang tinggi sering
mengalami abrasi. Bahkan para petambak udang sering ikut merasakan dampak
langsung dari abrasi yang mana gelombang laut tak terelakkan sering menjebol
tambak.
Sadar akan pentingnya keberadaan mangrove sebagai sabuk
hijau yang melindungi kawasan pantai dari abrasi, sekelompok warga lantas
berinisiatif menghijaukan kembali kawasan tersebut dengan menanam mangrove. Kelompok
yang bernama Wana Tirta ini mulai menanam mangrove sepanjang tepian sungai
Bogowonto. Kawasan yang dirawat kembali ini kini mulai berkembang. Meskipun belum
besar dan belum padat, usaha kelompok Wana Tirta dan masyarakat Pasir Mendit
layak diapresiasi. Banyak pemerhati lingkungan baik perorangan maupun
organisasi/lembaga memberikan dukungan kepada kelompok ini. Dan menurut yang
dikatakan ibu pemilik lapak kuliner tempat saya beristirahat, kelompok Wana
Tirta terbuka bagi siapa saja yang tertarik dan ingin ikut terlibat dalam usaha
konservasi dengan menanam mangrove. Mereka dengan senang hati akan menyediakan
bibit mangrove untuk ditanam di area yang ditentukan.
Salah satu dampak langsung yang dialami masyarakat adalah
kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata yang tengah naik daun. Sebagai sarana
penunjang sebagai destinasi wisata, dibangun jembatan kayu dan bambu yang dapat
disusuri sepanjang hutan mangrove, termasuk untuk menyeberangi sungai menuju
bibir pantai Pasir Mendit. Di beberapa sudut dibangun pula spot foto yang
menyuguhkan latar cantik untuk berfoto-ria.
Psikologi Konservasi Hutan
Mangrove
Secara umum psikologi merupakan kajian tentang jiwa manusia. Namun bahasan
tentang jiwa ini sangat abstrak. Maka jiwa dalam kajian psikologi merujuk pada
manifestasinya, yaitu perilaku manusia. Apa yang kelihatan sebagai tindakan
atau aksi merupakan perwujudan dari jiwa.
Keterkaitan psikologi dan konservasi merupakan bidang kajian yang masih
terbilang baru, merupakan bidang psikologi terapan. Psikologi
konservasi adalah studi ilmiah tentang hubungan
resiprokal antara manusia dengan alam dengan fokus utama pada bagaimana
mendorong konservasi terhadap lingkungan alam, juga
merupakan bidang terapan yang menggunakan prinsip, teori atau metode psikologis
untuk memahami dan memecahkan masalah terkait aspek manusia dalam konservasi.
Maka psikologi konservasi merupakan jejaring
kerjasama aktual, penting dan
mendesak
untuk memahami dan mempromosikan hubungan berkelanjutan yang
harmonis antara manusia dengan lingkungan alam.
Terdapat 3 (tiga) komponen psikologi yang berhubungan dengan konservasi alam, yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective) dan
perilaku (behavioral). Komponen kognitif adalah suatu rasa adanya hubungan atau
ikatan (sense of connection). Komponen afektif adalah memelihara respon (caring
response). Sedangkan komponen perilaku adalah pola yang diterapkan untuk selalu
menunjukkan komitmennya di dalam suatu kegiatan. Adanya suatu rasa “perhubungan
atau ikatan” (connectedness) dapat mendorong timbulnya rasa untuk memelihara
alam dan kemudian secara berkelanjutan mendorong timbulnya komitmen untuk
menjaga alam.
Salah satu masalah global yang cukup menarik perhatian adalah isu
lingkungan hidup dan hal-hal yang secara erat terkait dengan hal tersebut. Pengrusakan
dan ekspliotasi alam, menyusutnya hutan sebagai paru-paru dunia sampai
dampaknya berupa banjir, kekeringan, pemanasan global dan lain-lain. Disadari atau
tidak, semua itu adalah akibat dari perilaku manusia. Kalau digali lebih
lanjut, tentang perilaku sebagai perwujudan jiwa, maka kita bisa membaca jiwa
macam apa yang tengah dipertunjukkan oleh manusia.
Cara mengatasi permasalahan lingkungan
salah satunya adalah
konservasi, yang bukan saja tentang melestarikan alam, tetapi lebih jauh kepada
perubahan perilaku. Konservasi harus sampai kepada perubahan cara berpikir, cara menilai dan cara
memerlakukan alam. Peningkatan pengetahuan mengenai
konservasi diasumsikan akan mampu merubah sikap terhadap lingkungan. Tidaklah
cukup bahwa seseorang mengerti mengenai efek hilangnya keanekaragaman hayati,
melainkan dia juga harus mengerti bahwa masalah tersebut merupakan cerminan
dari nilai dan sikap terhadap lingkungan. Pemahaman ini dilandasi kerja tiga komponen yakni kognitif, afektif dan perilaku, yang bila dijabarkan maka mencakup beberapa hal yang
saling berkaitan.
Kesadaran yang
disertai pengetahuan penting untuk diterapkan di sini. Kesadaran
berhubungan erat dengan pengetahuan. Proses hilangnya keanekaragaman
hayati sedang terjadi perlu disadari. Proses
penyadaran harus dilakukan terus menerus sehingga akan selalu ada dan merupakan
proses dari keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Pengetahuan merupakan
komponen penting dari pemahaman. Selanjutnya,
pemahaman diartikan mampu menangkap apa yang dimaksud. di
dalamnya terkandung makna kompetensi dan paham yang bekerja di luar pengetahuan
dasar, sehingga mampu memberikan suatu landasan yang kuat dalam menganalisa
suatu masalah.
Dalam konservasi, yang dibutuhkan
adalah bagaimana mengembangkan pemahaman yang
sampai kepada perubahan tingkah laku, bukan sekedar memperbanyak
pengetahuan. Pengetahuan penting, tetapi pengetahuan itu
perlu mandarat alias tidak mengambang pada wilayah ide saja.
Secara umum dilihat bahwa yang berhubungan langsung dengan kawasan mangrove
adalah kelompok masyatakat yang mendiami wilayah sekitar pantai. Pertanyaan kecilnya,
apakah kelestarian hutan mangrove hanya menjadi tanggung jawab mereka? Jawabannya,
tidak. Usaha konservasi hutan mangrove adalah tanggung jawab semua orang. Setiap
orang menjadi subjek yang bertanggung jawab memelihara (care for). Pemeliharaan
berkaitan dengan tindakan, aksi, aktif. Tindakan yang bertujuan, atau bertindak
dengan maksud, membutuhkan minat dan kepedulian (cares) yang sifatnya kolektif.
Penerapan
psikologi konservasi untuk fenomena kerusakan hutan mangrove perlu dilakukan
dengan melihat berbagai hubungan yang saling memengaruhi antara
konsep diri, etika lingkungan hidup, sikap lingkungan, intensi perilaku
ekologis dengan perilaku ekologis mangrove. Perlu ditanamkan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh tentang
lingkungan sebagai suatu kesatuan, sebuah tatanan yang saling menyokong kehidupan
satu dengan yang lain. Selain itu, diperlukan kemampuan untuk merasakan emosi
positif terhadap alam, termasuk terhadap keberadaan hutan mangrove. Atas dasar
ini maka diharapkan sebuah cara pandang yang baru terhadap keberadaan mangrove,
yang sampai pada perubahan perilaku manusia terhadap hutan mangrove.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini