madison.k12.wi.us |
Secara global, bullying telah
menjadi fenomena baru yang menuntut perhatian. Hal ini ditandai dengan
meningkatnya kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anak dan remaja. Berbagai
sumber menunjukkan kekerasan terhadap remaja cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Data dari KPAI tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan yang
terjadi pada anak mencapai 4.398.625 kasus dan pada tahun 2008 meningkat
drastis mencapai 13.447.921 kasus. Pada tahun 2008, Plan Indonesia, SEJIWA, dan
Universitas Indonesia melakukan survei tentang perilaku bullying di
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bogor pada 1500 siswa SMA dan 75 guru. Hasil
survei menunjukkan 67,9% responden melaporkan terjadi bullying di
sekolah mereka, berupa bullying verbal, psikologis, dan fisik. Pada
tahun 2009, kepolisian mencatat dari seluruh laporan kasus kekerasan, 30%
diantaranya dilakukan oleh anak-anak.
emaze.com |
Dalam hubungan dengan perilaku delinkuensi dan siklus bullying di sekolah, faktor iklim sekolah menjadi salah satu dari
sekian banyak faktor yang dianggap ikut berperan menimbulkan perilaku bullying. Pemikiran ini tentu berangkat
dari banyak pendasaran logis yang mendukung. Namun sebelum bertolak lebih jauh
kepada argumentasi-argumentasi tersebut kita perlu lebih dahulu memahami apa
itu iklim sekolah.
Iklim sekolah adalah suatu konstruk yang
kompleks dan multidimensional yang meliputi atmosfir, budaya, nilai-nilai,
sumber daya, dan jaringan sosial dari sebuah sekolah. Dapat dikatakan pula
bahwa iklim sekolah merupakan “jiwa” dari sebuah sekolah. Iklim sekolah
merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi performa siswa di
sekolah. Kualitas lingkungan sekolah yang tidak kondusif dapat meningkatkan
kemungkinan siswa menjadi depresi, merasa tidak mampu, hingga memunculkan
masalah emosi dan perilaku (Purwita & Tairas, 2013).
sites.psu.edu |
Iklim sekolah
berkaitan dengan lingkungan yang produktif dan kondusif untuk belajar siswa dengan
suasana yang mengutamakan kerjasama, kepercayaan, kesetiaan, keterbukaan,
bangga, dan komitmen. Iklim sekolah juga berkaitan dengan prestasi akademik,
moral fakultas, dan perilaku siswa. Iklim sekolah menengah yang optimal adalah
iklim sekolah yang responsif terhadap perkembangan kebutuhan setiap siswa,
merangsang pertumbuhan pribadi dan akademik.
Berbagai definisi iklim
sekolah apabila ditelaah lebih dalam, mengerucut kepada tiga pengertian.
Pertama iklim sekolah didefinisikan sebagai kepribadian suatu sekolah yang
membedakan dengan sekolah lainnya. Kedua iklim sekolah didefinisikan sebagai
suasana di tempat kerja, mencakup berbagai norma yang kompleks, nilai, harapan,
kebijakan, dan prosedur yang mempengaruhi pola perilaku individu dan kelompok.
Ketiga iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap kegiatan,
praktik, dan prosedur serta persepsi tentang perilaku yang dihargai, didukung
dan diharapkan dalam suatu organisasi.
Dari
penjelasan di atas, disimpulkan bahwa iklim sekolah berperan dalam membentuk
kepribadian manusia, secara khusus anak dan remaja yang menjadi warga sekolah. Sekolah
dengan iklim sekolah yang positif mengalami sedikit kejadian bullying (Orpinas
& Horne, 2006), sementara sekolah
dengan iklim negatif akan membuka peluang bagi timbulnya perilaku negatif warga
sekolah, yang salah satunya adalah bullying.
Pengalaman
anak selama berada di sekolah merupakan suatu hal fundamental dalam kesuksesan
transisinya menjadi orang dewasa. Di sekolah anak belajar untuk berunding dan merundingkan kembali hubungan
mereka, self-image dan belajar untuk bebas. Sekolah lah tempat anak
menanamkan kemampuan-kemampuan interpersonal, menemukan dan menyaring kekuatan
dan perjuangan atas kemungkinan-kemungkinan sesuatu yang melukai mereka.
Sehingga, sudah seharusnya sekolah harus menyediakan suatu lingkungan yang aman
bagi anak berkembang secara akademis, hubungan, emosional dan perilaku (Wilson,
2004).
Banyak peneliti yang telah mengemukakan ragam aspek iklim
sekolah dan dimensi pengukurannya. Misalnya Cohen, dkk (dalam Pinkus, 2009) mengemukakan empat aspek utama.
Keempat aspek tersebut adalah 1) savety,
2) teaching and learning, 3) interpersonal relationships, dan 4) institutional environment. Keempat
aspek tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa dimensi.
Kategori pertama (savety) terdiri atas a) rules
and norms, meliputi adanya aturan yang dikomunikasikan dengan jelas dan
dilaksanakan secara konsisten; b)
physical safety meliputi perasaan siswa dan orang tua yang merasa aman dari
gangguan fisik di sekolah; dan c) social and emotional security
meliputi perasaan siswa yang merasa aman dari cemoohan, sindiran, dan
pengecualian.
simpleacts.org |
Kategori ketiga (interpersonal relationships) terdiri atas: a) respect for diversity, menunjukkan adanya sikap saling
menghargai terhadap perbedaan individu pada semua tingkatan, yaitu antara siswa
dengan siswa, orang tua dengan siswa, dan orang tua dengan orang tua; b) social support adults, menunjukkan
adanya kerjasama dan hubungan yang saling mempercayai antara orang tua dengan
orang tua untuk mendukung siswa dalam kaitannya dengan harapan tinggi untuk
sukses, keinginan untuk mendengar, dan kepedulian pribadi; dan c) social support students menunjukkan
adanya jaringan hubungan untuk mendukung kegiatan akademik dan pribadi siswa.
Kategori keempat (institutional environment),
terdiri atas a) school
connectedness/engagement, meliputi ikatan positif dengan sekolah, rasa
memiliki, dan norma-norma umum untuk berpartisipasi dalam kehidupan sekolah
bagi siswa dan keluarga; dan b) physical
surroundings, meliputi kebersihan, ketertiban, dan daya tarik fasilitas dan
sumber daya dan material yang memadai.
Point penting dari apa yang dikemukakan di atas adalah
sekolah sebagai sebuah institusi perlu menciptakan iklim yang positif. Hal ini
penting, karena sekolah merupakan lingkungan sosial yang dimasuki seorang anak
setelah keluar dari lingkungan keluarga. pembentukan kepribadian bukan hanya
soal mengajarkan banyak ilmu dan pengetahuan semata. Memang perlu, tetapi
kehidupan bukan hanya soal ilmu pengetahuan. Kehidupan bermakna sangat luas dan
kompleks. Maka diperlukan pula kompetensi kepribadian yang mendukung kehidupan
sosial. Pembentukan kepribadian juga dimulai dari sekolah.
Perilaku bullying merupakan
salah satu hal negatif yang tidak diharapkan. Menciptakan iklim sekolah yang
positif dapat dilakukan dengan menetapkan aturan yang jelas, kemudian
dilaksanakan dengan tegas. Sekolah harus menanamkan kepribadian yang penuh
kepedulian, empati, saling menghargai dan menghormati. Diperlukan pula sanksi
yang tegas dan mendidik, dalam arti sanksi bukan hanya sebagai hukuman bagi
pelaku bullying namun lebih dari itu
menjadi pembelajaran dan pembentukan kepribadian positif menggantikan
kepribadian negatif dalam diri pelaku. Membangun komunikasi yang baik antara
semua elemen dalam sekolah juga penting dibangun, tanpa saling mencurigai satu
sama lain. Pola hubungan vertikal maupun horisontal dibagun atas dasar
kekeluargaan.
Akhirnya, semoga anak-anak Indonesia bertumbuh menjadi
anak-anak yang berkepribadian positif karena dibentuk dalam lingkungan sekolah
yang positif. SALAM INDONESIA.
imstronger.ca |
Sumber Gambar:
madison.k12.wi.us
emaze.com
sites.psu.edu
simpleacts.org
imstroner.ca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini