Rabu, 16 November 2016

Iklim Sekolah dan Fenomena Bullying

madison.k12.wi.us 
Fenomena kekerasan atau yang sering disebut bullying di kalangan remaja kian marak dalam beberapa tahun terakhir. Pemberitaan di media massa baik cetak dan elektronik serta berbagai media online sekan tidak habis-habisnya menyajikan kepada publik betapa perilaku kekerasan yang terjadi pada kelompok usia remaja telah menjadi keprihatinan bersama. Perilaku bullying yang dilakukan oleh remaja baik secara individu maupun berkelompok dalam bentuk geng telah banyak menelan korban. Bentuk kekerasan yang terjadi pun bervariasi, berupa kekerasan fisik, verbal dan psikologis. 
Secara global, bullying telah menjadi fenomena baru yang menuntut perhatian. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anak dan remaja. Berbagai sumber menunjukkan kekerasan terhadap remaja cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Data dari KPAI tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan yang terjadi pada anak mencapai 4.398.625 kasus dan pada tahun 2008 meningkat drastis mencapai 13.447.921 kasus. Pada tahun 2008, Plan Indonesia, SEJIWA, dan Universitas Indonesia melakukan survei tentang perilaku bullying di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bogor pada 1500 siswa SMA dan 75 guru. Hasil survei menunjukkan 67,9% responden melaporkan terjadi bullying di sekolah mereka, berupa bullying verbal, psikologis, dan fisik. Pada tahun 2009, kepolisian mencatat dari seluruh laporan kasus kekerasan, 30% diantaranya dilakukan oleh anak-anak.
emaze.com
Secara sosial, perilaku bullying merupakan salah satu bentuk delinkuensi (kenakalan) karena perilaku tersebut melanggar aturan dan norma masyarakat, dan dapat dikenai hukuman baik dalam skala keluarga maupun yang lebih besar seperti lembaga hukum. Namun disadari ataupun tidak, perilaku kekerasan diantara remaja banyak kali baru disadari ketika telah ada korban. Atau dengan kata lain perilaku kekerasan ini baru menjadi masalah dan ditangani ketika telah ada pihak (individu atau kelompok) yang dirugikan entah secara fisik entah secara psikis. Dan kita dari keluarga, lembaga pendidikan, lembaga hukum dan masyarakat luas baru terjaga ketika muncul kasus-kasus kekerasan yang tidak tanggung-tanggung sampai menelan korban jiwa.
Dalam hubungan dengan perilaku delinkuensi dan siklus bullying di sekolah, faktor iklim sekolah menjadi salah satu dari sekian banyak faktor yang dianggap ikut berperan menimbulkan perilaku bullying. Pemikiran ini tentu berangkat dari banyak pendasaran logis yang mendukung. Namun sebelum bertolak lebih jauh kepada argumentasi-argumentasi tersebut kita perlu lebih dahulu memahami apa itu iklim sekolah.
Iklim sekolah adalah suatu konstruk yang kompleks dan multidimensional yang meliputi atmosfir, budaya, nilai-nilai, sumber daya, dan jaringan sosial dari sebuah sekolah. Dapat dikatakan pula bahwa iklim sekolah merupakan “jiwa” dari sebuah sekolah. Iklim sekolah merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi performa siswa di sekolah. Kualitas lingkungan sekolah yang tidak kondusif dapat meningkatkan kemungkinan siswa menjadi depresi, merasa tidak mampu, hingga memunculkan masalah emosi dan perilaku (Purwita & Tairas, 2013).
sites.psu.edu 
Halpin dan Croft menjelaskan iklim sekolah sebagai sesuatu yang intangible tetapi penting untuk sebuah organisasi dan dianalogikan dengan kepribadian seorang individu. Menurut Hoy, Smith dan Sweetland mengemukakan bahwa iklim sekolah dipahami sebagai manifestasi dari kepribadian sekolah yang dapat dievaluasi dalam di sebuah kontinum dari iklim sekolah terbuka ke iklim sekolah tertutup. Iklim sekolah terbuka didasarkan pada rasa hormat, kepercayaan dan kejujuran, serta memberikan peluang kepada guru, manajemen sekolah dan peserta didik untuk terlibat secara konstruktif dan kooperatif dengan satu sama lain.
Iklim sekolah berkaitan dengan lingkungan yang produktif dan kondusif untuk belajar siswa dengan suasana yang mengutamakan kerjasama, kepercayaan, kesetiaan, keterbukaan, bangga, dan komitmen. Iklim sekolah juga berkaitan dengan prestasi akademik, moral fakultas, dan perilaku siswa. Iklim sekolah menengah yang optimal adalah iklim sekolah yang responsif terhadap perkembangan kebutuhan setiap siswa, merangsang pertumbuhan pribadi dan akademik.
Berbagai definisi iklim sekolah apabila ditelaah lebih dalam, mengerucut kepada tiga pengertian. Pertama iklim sekolah didefinisikan sebagai kepribadian suatu sekolah yang membedakan dengan sekolah lainnya. Kedua iklim sekolah didefinisikan sebagai suasana di tempat kerja, mencakup berbagai norma yang kompleks, nilai, harapan, kebijakan, dan prosedur yang mempengaruhi pola perilaku individu dan kelompok. Ketiga iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap kegiatan, praktik, dan prosedur serta persepsi tentang perilaku yang dihargai, didukung dan diharapkan dalam suatu organisasi.
Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa iklim sekolah berperan dalam membentuk kepribadian manusia, secara khusus anak dan remaja yang menjadi warga sekolah. Sekolah dengan iklim sekolah yang positif mengalami sedikit kejadian bullying (Orpinas & Horne, 2006), sementara sekolah dengan iklim negatif akan membuka peluang bagi timbulnya perilaku negatif warga sekolah, yang salah satunya adalah bullying.
Pengalaman anak selama berada di sekolah merupakan suatu hal fundamental dalam kesuksesan transisinya menjadi orang dewasa. Di sekolah anak belajar untuk berunding dan merundingkan kembali hubungan mereka, self-image dan belajar untuk bebas. Sekolah lah tempat anak menanamkan kemampuan-kemampuan interpersonal, menemukan dan menyaring kekuatan dan perjuangan atas kemungkinan-kemungkinan sesuatu yang melukai mereka. Sehingga, sudah seharusnya sekolah harus menyediakan suatu lingkungan yang aman bagi anak berkembang secara akademis, hubungan, emosional dan perilaku (Wilson, 2004).
Banyak peneliti yang telah mengemukakan ragam aspek iklim sekolah dan dimensi pengukurannya. Misalnya Cohen, dkk (dalam Pinkus, 2009) mengemukakan empat aspek utama. Keempat aspek tersebut adalah 1) savety, 2) teaching and learning, 3) interpersonal relationships, dan 4) institutional environment. Keempat aspek tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa dimensi.
Kategori pertama (savety) terdiri atas a) rules and norms, meliputi adanya aturan yang dikomunikasikan dengan jelas dan dilaksanakan secara konsisten; b) physical safety meliputi perasaan siswa dan orang tua yang merasa aman dari gangguan fisik di sekolah; dan c) social and emotional security meliputi perasaan siswa yang merasa aman dari cemoohan, sindiran, dan pengecualian.
simpleacts.org 
Kategori kedua (teaching and learning) terdiri atas a) support for learning, menunjukkan adanya dukungan terhadap praktek-praktek pengajaran, seperti tanggapan yang positif dan konstruktif, dorongan untuk mengambil risiko, tantangan akademik, perhatian individual, dan kesempatan untuk menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai cara; dan b) social and civic learning, menunjukkan adanya dukungan untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan sosial dan kemasyarakatan, termasuk mendengarkan secara efektif, pemecahan masalah, refleksi dan tanggung jawab, serta pembuatan keputusan yang etis.
Kategori ketiga (interpersonal relationships) terdiri atas: a) respect for diversity, menunjukkan adanya sikap saling menghargai terhadap perbedaan individu pada semua tingkatan, yaitu antara siswa dengan siswa, orang tua dengan siswa, dan orang tua dengan orang tua; b) social support adults, menunjukkan adanya kerjasama dan hubungan yang saling mempercayai antara orang tua dengan orang tua untuk mendukung siswa dalam kaitannya dengan harapan tinggi untuk sukses, keinginan untuk mendengar, dan kepedulian pribadi; dan c) social support students menunjukkan adanya jaringan hubungan untuk mendukung kegiatan akademik dan pribadi siswa.
Kategori keempat (institutional environment), terdiri atas a) school connectedness/engagement, meliputi ikatan positif dengan sekolah, rasa memiliki, dan norma-norma umum untuk berpartisipasi dalam kehidupan sekolah bagi siswa dan keluarga; dan b) physical surroundings, meliputi kebersihan, ketertiban, dan daya tarik fasilitas dan sumber daya dan material yang memadai.
Point penting dari apa yang dikemukakan di atas adalah sekolah sebagai sebuah institusi perlu menciptakan iklim yang positif. Hal ini penting, karena sekolah merupakan lingkungan sosial yang dimasuki seorang anak setelah keluar dari lingkungan keluarga. pembentukan kepribadian bukan hanya soal mengajarkan banyak ilmu dan pengetahuan semata. Memang perlu, tetapi kehidupan bukan hanya soal ilmu pengetahuan. Kehidupan bermakna sangat luas dan kompleks. Maka diperlukan pula kompetensi kepribadian yang mendukung kehidupan sosial. Pembentukan kepribadian juga dimulai dari sekolah.
Perilaku bullying merupakan salah satu hal negatif yang tidak diharapkan. Menciptakan iklim sekolah yang positif dapat dilakukan dengan menetapkan aturan yang jelas, kemudian dilaksanakan dengan tegas. Sekolah harus menanamkan kepribadian yang penuh kepedulian, empati, saling menghargai dan menghormati. Diperlukan pula sanksi yang tegas dan mendidik, dalam arti sanksi bukan hanya sebagai hukuman bagi pelaku bullying namun lebih dari itu menjadi pembelajaran dan pembentukan kepribadian positif menggantikan kepribadian negatif dalam diri pelaku. Membangun komunikasi yang baik antara semua elemen dalam sekolah juga penting dibangun, tanpa saling mencurigai satu sama lain. Pola hubungan vertikal maupun horisontal dibagun atas dasar kekeluargaan.

Akhirnya, semoga anak-anak Indonesia bertumbuh menjadi anak-anak yang berkepribadian positif karena dibentuk dalam lingkungan sekolah yang positif. SALAM INDONESIA.

imstronger.ca


Sumber Gambar:
madison.k12.wi.us 
emaze.com
sites.psu.edu 
simpleacts.org
imstroner.ca




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini