Minggu, 30 November 2014

Kita Mesti Telanjang



Dalam keberadaan-Nya yang agung, Allah merencanakan karya ajaib yang kita kenal dengan sebutan semesta, dan manusia menjadi puncak karya yang agung itu. Diawali dengan segumpal tanah, dan dari tanah itu dibentuk-Nya manusia, lalu dijadikan-Nya hidup dengan meniupkan nafas hidup ke dalam diri manusia. Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan menurut citra-Nya. Tidak sebatas itu, manusia lantas ditempatkan Allah dalam suatu situasi serba aman, terjamin di tengah taman Eden, dan dipenuhi segala kebutuhannya. Satu hal lagi, manusia itu, laki-laki dan perempuan yang diciptakan Allah itu dalam keadaan telanjang tetapi tidak merasa malu. Alasannya sederhana, semua ciptaan baik adanya.

Meskipun sederhana ketelanjangan mengandung suatu kedalaman makna. Ketelanjangan menunjukkan originalitas dan otentisitas. Manusia itu, laki-laki dan perempuan, tampil sebagaimana adanya mereka. Manusia merasa dekat satu sama lain tanpa batasan, manusia juga dekat dengan Allah penciptanya tanpa jarak. Situasi Eden ini merupakan gambaran ideal suatu relasi harmonis antara Allah dan ciptaan-Nya, manusia dengan sesamanya, juga manusia dengan ciptaan yang lain. Manusia diciptakan  sebagai  makhluk yang  agung dan luhur, karena  diciptakan menurut  citra Allah. Sejak diciptakan Tuhan Allah telah memberinya tugas untuk memancarkan dan menjadi  penyaksi kasih Allah bagi dunia.

Keharmonisan Eden menjadi retak kala manusia tergoda mengikuti bujukan licik ular dan memakan buah terlarang untuk menyamai Allah. Setelah memakan buah terlarang, terbukalah mata mereka dan mereka sadar bahwa mereka telanjang. Kesadaran baru akan kondisi dan situasi ini membuat manusia merasa malu satu sama lain, mengambil dedaunan seadanya dan menyematnya sebagai pakaian penutup tubuh mereka. Situasi menjadi semakin rumit ketika langkah Allah terdengar mendekati mereka. Manusia menjadi panik, takut dan malu lalu bersembunyi dari hadapan Allah penciptanya.

Babak baru kehidupan manusia pun dimulai. Manusia mulai mengambil jarak satu sama lain, manusia juga mulai menutup dirinya terhadap  Allah, dan tanah dikutuk. Dosa pertama lantas menurunkan dosa berikut, akibatnya manusia kehilangan Eden, mereka diusir keluar dari keterjaminan dan kemapanan. Manusia mesti berjuang untuk tetap hidup. Manusia mesti berjuang untuk kembali mendapatkan kemurahan hati Allah dan dikembalikan ke Eden.

Kehilangan dan perjuangan mendapatkan kembali Eden secara turun-temurun diwariskan kepada kita. Kita  yang hidup pada zaman ini pun tidak terlepas dari dosa  Adam yang tidak mematuhi perintah Allah dan menolak  kasih Allah. Sikap tak tahan godaan dari Adam dan Hawa terus diwariskan kepada kita, kehilangan kekudusan dan keadaan asli. Akibatnya kita mengalami alienasi, terasing dengan diri sendiri, dengan Allah dan juga dengan sesamanya. Parahnya, keterasingan ini membuat kita mencari jalan lain untuk menutupi keadaan kita. Kita mendirikan tembok-tembok pemisah, merancang pakaian-pakaian sikap yang menutup akses tawaran keselamatan yang diberikan kepada kita.

Secara eksistensial, sikap bersembunyi dari hadapan Tuhan yang dilakukan Adam dan Hawa menunjukkan kesadaran baru sebagai makhluk ciptaan yang kehilangan kehormatan karena ulahnya sendiri. Selanjutnya dari segi cultural dan sosio-antropologis sikap menyemat dedaunan sebagai penutup tubuh menunjukkan upaya manusia yang mencari jalan untuk kembali memperoleh kehormatan di hadapan Tuhan. Intinya bahwa manusia itu sungguh berbudaya saat ia mulai mengenal nilai kebaikan dan keburukan. Pakaian menjadi pelindung, pelindung hanya digunakan untuk menjaga sesuatu yang berharga, dan yang berharga itu adalah dirinya. Pakaian juga mengindikasikan adanya suatu ruang privat yang tidak boleh dimasuki, apalagi dikuasai pihak lain. Pakaian juga berkaitan dengan martabat dan harga diri. Dengan demikian berpakaian bagi manusia menunjukkan suatu sikap. Pertanyaannya, bagaimana jika sikap juga merupakan pakaian yang kita kenakan?

Pakaian kesombongan, tidak puas-diri, ketertutupan dan saling curiga serta banyak sikap negatif masih kita warisi. Pakaian caci maki dan sumpah serapah, pakaian gossip, pakaian mabuk-mabukan, pakaian free seks dan aborsi, pakaian kekerasan dalam rumah tangga dan trafficking, pakaian kemalasan dan masih banyak pakaian lain yang kita kenakan. Bahkan seiring berjalannya waktu dan berubahnya zaman, sikap negatif ini hadir dengan varian-variannya yang lebih baru. Lihat saja industry-industry hiburan yang juga berperan menjadi garmen dan butik yang memroduksi pakaian konsumerisme, pola hidup instan, kekerasan dan pornografi. Keaslian manusia mulai banyak dimanipulasi, manusia kehilangan jati diri sebagai gambaran Allah, kehilangan nilai sebagai ciptaan yang baik adanya. Kita semakin jauh meninggalkan Eden.

Walaupun demikian Allah kita adalah Allah yang penuh kasih. Sejarah penyelamatan Allah atas umat manusia adalah satu kenyataan factual-imanen yang tidak terbantahkan. Allah-lah yang menjadi promotor bagi keselamatan umat manusia. Peristiwa di Taman Eden sebenarnya menandai hubungan yang mulai renggang antara Allah dan manusia. Namun peristiwa ini tidak lantas membuat Allah menjauh dari manusia tapi membangun perjumpaan kembali dengan manusia. Sekalipun manusia bersembunyi, Allah tetap berupaya mencarinya. Tawaran selalu diberikan kepada kita, dan sebagaimana anugerah kebebasan diberikan kepada kita saat penciptaan, sekarang pun Ia masih terus menghargai kebebasan itu. Bagi kita diberinya pilihan, menerima atau menolak cinta dan keselamatan yang ditawarkan kepada kita. Ia tak pernah berhenti memanggil kita untuk kembali ke Eden yang telah kita tinggalkan. Bahkan itu tak cukup, Ia lantas datang dan mencari kita, berjalan bersama kita sambil terus menunjukkan jalan mana yang harus kita tempuh menuju Eden keselamatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini