Senin, 01 Desember 2014

Orang Miskin Dilarang Bersekolah?

Memanusiakan manusia, itulah tujuan pendidikan. Prinsip yang seharusnya menjadi acuan pokok dan utama dalam benak setiap pendidik. Tidaklah mengherankan jika program pencanangan wajib belajar sangat gencar dipropagandakan pemerintah. Selain itu sertifikasi guru dan tunjangan untuk guru masih diregulasikan dengan baik hingga saat ini. Tujuan yang dicapai adalah pemahaman hidup yang intensif melalui pengembangan kretivitas, pembentukan manusia yang berdaya nalar tinggi, berpikiran kritis, sistematis, logis, dan bermoral, serta berkarakter.

Bercermin pada Realitas

Menurut Prof. Dr. N. Driyarkara,SJ, pendidikan adalah fenomena fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia. Sebab di mana ada kehidupan manusia, di situ bagaimanapun juga ada pendidikan. Hal ini mengandung juga pengertian bahwa pendidikan adalah hak asasi. Sama seperti hak untuk hidup, hak untuk berpendapat, hak untuk berorganisasi. Pendek kata, setiap orang berhak atas pendidikan yang pantas dan layak. Tidak ada sistem pemarginalan; miskin atau kaya, borjouis atau proletar, mampu atau tidak mampu, orang desa atau orang kota, minoritas atau mayoritas.

Akan tetapi, dalam situasi konkret praktis kehidupan, pendidikan di negara kita memang berorientasi ke arah “elite”. Berbagai fenomen sosial dalam kehidupan bermasyarakat kita dapat menjadi bahan tinjauan untuk memahami kenyataan ini. Orang miskin menjadi masyarakat kedua setelah orang kaya di dalam bersekolah. Sekolah-sekolah yang memenuhi standar pendidikan yang layak hanya dapat dipergunakan oleh orang kaya, sementara orang miskin tidak mendapatkan tempat di sana. Sekolah satu atap, sekolah bermutu rendah, dan juga sekolah yang jauh dari akses memperoleh pengetahuan yang cukup, sarana dan prasarana pendidikan yang sangat minim, profesionalitas tenaga pendidik yang belum baik; itulah tempat sekolahnya orang miskin. Secara tidak langsung, kita telah menciptakan suatu sistem kapitalisme pendidikan. Siapa yang memiliki modal, dia juga yang memiliki pendidikan yang layak. Di lain pihak, prinsip yang paling penting dalam proses pembelajaran adalah “pendidikan untuk semua” (education for everyone). Setiap orang menjadi subyek dan obyek pendidikan.

Jadi, benarkah orang miskin dilarang sekolah? Apakah sekolah dan kegiatan pembelajaran hanya ditujukan bagi orang-orang kaya?

Membangun Kesadaran Baru

Jawabannya dari pertanyaan; “apakah orang miskin dilarang bersekolah? Dan juga soal; apakah sekolah dan kegiatan pembelajaran hanya ditujukan bagi orang kaya?” adalah no! Tidak! Pendidikan merangkul semua orang. Dalam proses mendidik tidak dikenal suku, agama, ras, golongan, dan status sosial. Secara undang-undang pun tidak dibenarkan. Di negara kita, aturan perundangan-udangan terutama, UUD 1945, pasal 31 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5 sudah dengan sangat jelas dan terang menjabarkan tentang bagaimana seharusnya pendidikan itu. Pendidikan di sini memuat keharusan pemahaman yakni sebagai upaya yang ditempuh untuk memanusiakan manusia Indonesia. Dengan demikian, maka pembangunan dapat berjalan, kesejahteraan sosial tidak lagi menjadi mimpi, dan akhirnya tumbuhlah kedamaian rakyat, serta kemiskinan dapat dientaskan. Oleh karena itu, kita memerlukan kesadaran baru melalui pendidikan. Motivasi untuk dididik dan mendidik harus tumbuh subur dan dibaharui dalam nubari setiap rakyat Indonesia.

Sebenarnya mendidik dan dididik merupakan perbuatan fundamental manusia. Dan dua faktor penting dalam hal ini adalah pendidik dan didikan. Keduanya merupakan peran manusia. Ada yang berperan sebagai pendidik; kita sebut: Guru (teacher), dan yang lain berperan sebagai didikan; kita sebut: siswa (student) atau dengan kata lain; Pembelajar. Dalam bahasa Prof. Dr. Sudarwan Danim; Kolaborasi dan sifat kooperatif kedua faktor itulah yang membangun manusia pembelajar. Sebab membangun manusia pembelajar adalah pekerjaan pendidikan yang paling khas (educational working). Tugas masing-masing pun berbeda. Pendidik memegang fungsi mengajar, melatih, memandu, memberikan contoh, membangun keteladanan, membentuk, memfasilitasi, bahkan kadang menggurui. Dan student mengambil peran mendengar, berlatih, mengikuti teladan, dan mencari serta mencoba pengetahuan baru/berinovasi.

Manusia secara menyeluruh (jiwa dan raga, sosialitas, kerohanian/spiritual, dan juga aspek politiknya) merupakan komponen penting pendidikan. Manusia dengan segala aspek dirinya yang tidak terpisahkan itu mengambil bagian secara optimal dalam pendidikan manusia itu sendiri. Bertentangan dengan prinsip moral, etika, dan juga agama apabila dalam proses itu manusia saling memarginalkan. Yang seharusnya ada dalam proses menuju kesejatian manusia melalui pendidikan adalah kesadaran ada bersama (koeksistensi) dan juga sikap proeksistensi. Di sini kita harus meninggalkan kemewahan, kekayaan, hedonitas, status sosial, dan berusaha mengedepankan solidaritas, kerja sama, dan toleransi.

Selain itu, memahami secara tepat peranan komponen-komponen penting dalam proses pendidikan sangat ditekankan. Komponen yang dimaksud antara lain; @. Orang Tua. Pendidik pertama dan utama hendaknya terus-menerus dipropagandakan. Bahwa pendidikan tidak dengan sendirinya membebaskan orang tua. Institusi pendidikan hanya membantu orang tua untuk memberikan pembelajaran yang lebih sistematis, terstruktur, dan bersifat formal. Karena dalam hal mendidik, ada dua jalur; melalui pendidikan formal dan non formal. Orang tua hendaknya bergiat peran melalui pendidikan non formal. Orang tua adalah guru pertama dan utama dalam hidup seorang anak manusia. Pendidikan dimulai dari rumah. Orang tua bukan sebagai penanggung jawab hanya dalam tataran biologis. Artinya bahwa, orang tua tidak hanya berperanan untuk melahirkan anak. Dalam bahasa Driyarkara; bagi manusia, berketurunan tidak hanya berarti melahirkan secara biologis. Dengan hanya melahirkan dia belum menurunkan secara insani. Makna terdalam dari pemikiran di atas adalah bahwa kelahiran hendaknya berkelanjutan (to be continue) dengan denatalisasi anak secara insani; membawa anak ke tingkat manusia melalui pendidikan. Hal ini terwujud melalui hubungan fundamental, tritungal berkeluarga; bapak, ibu dan anak dalam kesatuan tugas; mendidik.

@. Guru. Memiliki peranan sangat penting dalam pendidikan formal. Banyak syarat yang dituntut dari seseorang untuk berpredikat guru. Misalnya, tingkat pendidikan, profesionalisme, dan juga keikhlasan. Guru yang baik adalah guru yang bekerja keras, bekerja cerdas, bekerja cermat, bekerja tuntas serta bekerja ikhlas. Guru bertugas membantu peserta didiknya untuk mengenal, memahami, dan memiliki ketrampilan mengelola hidup agar menjadi semakin manusiawi.

Dengan spesifikasi keahlian dalam mengajar, seorang guru diharapkan mampu membawa siswanya mencapai kemanusiaan. Guru-guru hendaknya memahami tujuan pembelajaran di sekolah yang menurut Driyarkara adalah sebagai berikut; pengajaran harus menghasilkan tenaga-tenaga yang penuh keberanian, tanggung jawab dan cerdas; pengajaran harus lebih memperhatikan segi praktis dan berdiri di tengah-tengah kehidupan; fungsi edukatif dari kelompok pelajaran kebudayaan adalah membantu manusia muda dalam memasuki alam kebudayaan; kelompok mata pelajaran sosial membantu manusia muda dalam pertumbuhannya untuk melihat dunianya sebagai mit-welt dan dirinya sebagai mit-sein; dan kelompok mata pelajaran eksakta membantu manusia muda dalam proses penyelaman dan penguasaan alam jasmani: proses ini adalah suatu unsur dalam proses menjadi manusia.

Menuai Harapan Baru

Setiap manusia Indonesia berhak mendapat pendidikan. Itu adalah hak asasi setiap manusia di Indonesia yang tidak diganggu gugat, apalagi dimanipulasi, didiskursuskan, dan diapa-apakan. Proses mendidik dan dididik secara intensif dan berkualitas akan terjadi apabila ada sarana dan prasarana pedukungnya. Dalam hal ini, peranan pemerintah sangat mutlak perlu. Dengan bertindak sebagai pengambil kebijakan-kebijakan pedagogis; melalui perumusan kurikulum, pendanaan, hingga pemberian insentif yang memotivasi pendidik dan didikan, pemerintah telah menjalankan fungsi mengatur dan mengontrol. Sedangkan fungsi mengevaluasi hendaknya menjadi tanggung jawab institusi pendidikan.

Menurut saya, reformasi peran pemerintah agar lebih berorientasi pedagogik merupakan revolusi yang harus segera dikibarkan. Pemerintah hendaknya tidak saja lantang menyuarakan standar kelulusan nasional tetapi juga berani membuka mulut untuk berbicara mengenai alokasi anggaran pendidikan. Jangan sampai, Undang-undang mengharuskan dana 20% dari APBN hanya terealisir sekitar 8,5%. Atau alokasi anggaran yang ada diturunkan menjadai BOS (Bantuan Operasional Sekolah), yang lebih dititikberatkan pada prioritas perbaikan gedung dan penambahan alat-alat praktikum belajar mengajar. Sedangkan anggaran untuk memperbaiki kualitas dan profesionalitas guru dan kurikulum ternyata tidak tersentuh.

Pertauran perundang-undangan yang telah dilegalkan hendaknya diikuti dengan praktek hidup berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan hukum itu. Tidak berlaku system kapitalis dan pemarginalan dalam system pendidikan. Dalam hal ini, kita hanya berharap agar system yang sedang dan akan berlaku membawa semua manusia Indonesia untuk membangun sikap koeksistensi dan juga semakin proeksistensi. Melenyapkan kebodohan dari bumi pertiwi dan menggemgam kemanusiaan yang pintar, bermartabat dan berkarakter Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini