1.
Topik permasalahan: CYBERBULLYING
A.
Pengertian CYBERBULLYING
Masa remaja merupakan masa perkembangan
transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana terjadi perubahan-perubahan
biologis, kognitif, sosial, dan emosional (Santrock, 2002). Proses-proses
perubahan yang terjadi pada diri remaja mengakibatkan remaja mengalami
tekanan-tekanan, baik itu tekanan dari dalam dirinya maupun tekanan dari orang-orang
di sekitarnya, terutama teman sebayanya. Hal ini membuat remaja rentan terlibat
dalam tindakan-tindakan kekerasan.
Pada tahun 2007, data KPAI menunjukkan bahwa
jumlah kasus kekerasan yang terjadi pada anak mencapai 4.398.625 kasus dan pada
tahun 2008 mencapai 13.447.921 kasus. Pada tahun 2009, kepolisian mencatat dari
seluruh laporan kasus kekerasan, 30% diantaranya dilakukan oleh anak-anak, yang
dimana 48% terjadi di lingkungan sekolah dengan motif dan kadar yang bervariasi.
Selain itu, berdasarkan data laporan kasus yang masuk ke Komnas per November
2009 setidaknya terdapat 98 kasus kekerasan fisik, 108 kekerasan seksual, dan
176 kekerasan psikis pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Berbagai
sumber menunjukkan kekerasan terhadap remaja cenderung meningkat dari tahun ke
tahun.
Salah satu bentuk kekerasan yang kerap
terjadi pada remaja adalah bullying. Pada tahun 2008, Plan Indonesia,
SEJIWA, dan Universitas Indonesia melakukan survei tentang perilaku bullying
di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bogor pada 1500 siswa SMA dan 75
guru. Hasil survei menunjukkan 67,9% responden melaporkan terjadi bullying di
sekolah mereka, berupa bullying verbal, psikologis, dan fisik. Pelaku bullying
pada umumnya adalah teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah,
dan preman di sekitar sekolah. Sementara itu, 27,9% persen siswa SMA mengaku
ikut melakukan bullying dan 25,4% siswa SMA mengambil sikap diam saat
melihat kejadian bullying (Indra, 2011).
Olweus (dalam Hinduja & Patchin, 2008) menjelaskan
bahwa bullying adalah perilaku agresif, intens dan berulang yang
dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuatan yang lebih besar
daripada orang yang menjadi korbannya. Lebih lanjut Olweus
menyatakan bahwa bullying merupakan perilaku negatif secara berulang
kali dan dari waktu ke waktu yang dilakukan oleh satu remaja atau lebih.
Perilaku negatif tersebut berupa usaha atau perbuatan nyata untuk melukai atau
membuat orang lain tidak nyaman baik itu melalui kontak fisik, kata-kata,
melalui ekspresi wajah, atau secara sengaja mengucilkan seseorang dari
kelompok.
Konsep bullying
yang diteliti pada umumnya memfokuskan pada kekerasan secara fisik dan perilaku
agresif secara verbal. Tetapi fakta menunjukkan bahwa konsep bullying telah berkembang seiring
perkembangan zaman. Pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan
perubahan yang signifikan dalam pola jaringan sosial. Jaringan sosial
memberikan kesempatan kepada semua orang untuk saling terkoneksi secara positif,
tetapi juga membuka peluang tindak kekerasan (bullying). Salah satu bentuk
bullying yang sering terjadi adalah cyberbullying (Rahayu, 2012).
Cyberbullying berasal
dari kata cyber dan bullying. Cyber
adalah jaringan elektronik yang menghubungkan satu pengguna dengan pengguna
lain, misalnya internet sedangkan bullying adalah sebuah bentuk perilaku
agresif yang terwujud dalam sebuah penyiksaan. Bullying melibatkan
penghinaan secara verbal,
serangan atau kekerasan fisik dan ditujukan pada korban tertentu atas dasar
suku, bangsa, agama, jenis
kelamin, orientasi seksual, atau kemampuan diri. Sedangkan menurut US Legal
Definitions, Cyberbullying hanya sebatas untuk memposting gosip tentang
seseorang melalui internet. Gosip tersebut bisa saja tentang kebencian, atau
mungkin pada identitas pribadi sesorang dan hal–hal tersebut sangat
mempermalukan dan mencemarkan nama orang tersebut. (En.m.wikipedia.org/wiki/ Cyberbullying)
Hinduja dan Patchin (2008) mendefinisikan cyberbullying
dengan mengadaptasi definisi bullying dari
Olweus. Cyberbullying adalah perilaku
agresif, intens, berulang, yang dilakukan oleh individu dan perorangan dengan
menggunakan bentuk-bentuk pemanfaatan teknologi dan elektronik sebagai media
untuk menyerang orang tertentu. Cyberbullying mengacu pada bullying yang
terjadi melalui instant messaging, email, chat room, website, video game, atau
melalui gambaran atau pesan yang dikirim melalui telepon selular. Cyberbullying merupakan
salah satu bentuk dari bullying secara verbal dan non-verbal yang
dilakukan melalui media elektronik seperti komputer atau telepon selular,
seperti mengirimkan pesan singkat yang berisi kebencian terhadap seseorang,
mengatakan hal-hal yang menghina perasaan orang lain dalam sebuah chat, atau
menyebarkan isu yang tidak benar mengenai seseorang melalui internet.
Mengacuhkan seseorang dalam sebuah chat room,atau mengejek seseorang
melalui media online juga merupakan salah satu bentuk dari cyberbullying.
Pada dasarnya, motivasi dasar atau faktor pendorong terjadinya tindakan bullyingtradisional
maupun cyberbullying adalah sama, yaitu pembalasan dendam dan
keinginan pelaku akan kekuasaan serta kontrol (Shariff dalam O’ Dwyer, 2012).
Blumenfeld (2005) berpendapat bahwa ada beberapa persamaan antara bullying
tatap muka dengan cyberbullying. Antara bullying tatap
muka atau bullying tradisional dan cyberbullying,
keduanya sama-sama melibatkan hubungan antar manusia, kekuatan, dan kontrol.
Keduanya juga mencakup apa yang disebut oleh psikolog dengan “Leveling
Effect”, yaitu seseorang yang melakukan penindasan akan menjatuhkan orang
lain untuk menunjukan rasa egonya yang merefleksikan rasa ketidakamanannya.
Namun terdapat perbedaan karakteristik antara bullying tradisional dan
cyberbullying. Menurut Campbell (2005), karakteristik yang membedakan antara bullying tradisional
dan cyberbullying adalah:
a.
Distribusi Worldwide
Materi cyberbullying dapat didistribusikan secara mendunia
dan sering kali tidak dapat dihilangkan. Dalam cyberbullying terdapat
potensi untuk menarik lebih banyak penonton. Apalagi dengan luasnya jaringan
intenet, memudahkan pelaku untuk menyebarkan gangguannya terhadap target ke
dunia yang lebih luas.
b.
Kekuatan Kata Tertulis
Ketika pembuli melecehkan secara verbal dan tatap muka, mungkin korban
tidak mengingat setiap kata-kata yang dilontarkan, namun dalam kasus email atau
SMS, chat rooms danwebsite, korban dapat membaca apa
yang dikatakan pembuli secara berulang-ulang
c.
Anonimitas
Pelaku bullying umumnya bersifat anonim, menggunakan nama
lain atau berpura-pura sebagai orang lain. Dengan sifat anonim ini, pelaku
tidak perlu bertatap muka dengan target, sehingga hal ini dapat memberikan
kesempatan bagi siapapun untuk melakukan perilakucyberbullying
d.
Terjadi Kapan Saja dan Dimana
Saja
Sulit untuk korban cyberbullying untuk melarikan diri dari
bentuk penindasan ini, karena tindakan bullying seperti ini
dapat terjadi dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun. Teknologi, khususnya
internet mengizinkan kita semua untuk dengan segera mengakses informasi.
Sehingga hal ini dapat mempermudah perlaku untuk menyerang korban dimanapun dan
kapanpun melalui koneksi online atau offline
Suler (2004) juga menambahkan bahwa yang menjadi perbedaan antar cyberbullying
dengan bentuk bullying tradisional lainnya yaitu pengguna
teknologi sering kali melakukan hal ini (cyberbullying) di dunia maya
karena mereka biasanya tidak dapat melakukan ini ketika berinteraksi secara
tatap muka.
Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa permasalahan cyberbullying semakin membahayakan
akhir-akhir ini dan perlu mendapat perhatian yang serius. Penyebabnya pertama
adalah karena cyberbullying seringkali lebih tidak terlihat
oleh orang dewasa daripada bentuk bullying lainnya.
Berdasarkan beberapa fakta dan data hasil penelitian, ditemukan bahwa cyberbullying bisa menjadi lebih
berbahaya karena beberapa alasan. Alasan pertama, cyberbullying mudah untuk dimulai. Hanya diperlukan beberapa kali
‘klik’ saja, dan anonimitas dari internet bisa menghilangkan banyak hambatan
yang ditemui dalam aksi bullying tradisional. Alasan kedua, aksi cyberbullying
sulit dihentikan. Kata-kata dan gambar yang disebarkan secara online bisa
tersebar ke seluruh dunia kapanpun dan kadang sulit untuk dihapus. Alasan
ketiga, cyberbullying sangat jelas terlihat untuk anak dan remaja, namun tidak
jelas terlihat oleh orang dewasa. (Rahayu, 2012).
Penelitian
yang dilakukan Hinduja & Patchin (2010) mengungkapkan bahwa 20% responden
dilaporkan pernah berpikir secara serius untuk bunuh diri. Semua bentuk
bullying secara signifikan berkaitan dengan meningkatnya keinginan untuk bunuh
diri. Dan percobaan bunuh diri yang dicoba dilakukan oleh korban cyberbullying
jumlahnya hampir dua kali lebih banyak daripada remaja yang tidak pernah
mengalami cyberbullying.
B.
Jenis dan bentuk Cyberbullying
Adapun jenis dari cyberbullying menurut
Willard (2007) yaitu flaming (pesan dengan amarah), harassment (gangguan),
denigration (pencemaran nama baik), impersonation (peniruan), outing
(penyebaran), trickery (tipu daya), exclusion (pengeluaran),
dan cyberstalking (merendahkan).
Penelitian yang dilakukan oleh Price dan
Dalgeish (2009) menyatakan bahwa bentuk cyberbullying yang banyak
terjadi yaitu called name (pemberian nama negatif), abusive comments (komentar
kasar), rumour spread (menyebarkan rumor atau desas desus), threatened
physical harm (mengancam yang membahayakan fisik), ingored atau exclude (pengabaian
dan pengucilan), opinion slammed (pendapat yang merendahkan), online
impersonation (peniruan secara online), sent upsetting image (mengirim
gambar yang mengganggu), dan image of victim spread (penyebaran foto).
C.
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi terjadinya Cyberbullying
Cyberbullying terjadi karena beberapa faktor. Sekurang-kurangnya terdapat lima faktor
yang mempengaruhi terjadinya cyberbullying, yaitu:
a.
Bullying tradisional
Menurut Maulida
(2011), peristiwa bullying yang dialami di dunia nyata memiliki pengaruh
besar pada kecenderungan individu untuk menjadi cyberbullies (pelaku cyberbullying).
b.
Anonimitas
Salah satu faktor
terpenting yang mempengaruhi praktek cyberbullying adalah sifat anonimitas yang
membuat pelaku mampu melecehkan atau mengganggu korban selama 24 jam. Mawardah
dan Adiyanti (2014) mengemukakan bahwa anonimitas yang terdapat dalam setiap
komunikasi elektronik tidak hanya menyamarkan identitas namun dapat mengurangi
akuntabilitas sosial, sehingga memudahkan pengguna untuk terlibat dalam
permusuhan dan tindakan agresif.
c.
Strain
Agnew (1992, dalam
Maulida, 2011) memaparkan strain adalah suatu kondisi psikis yang
ditimbulkan dari hubungan negatif dengan orang lain yang menghasilkan efek
negatif yang mengarah pada kenakalan. Strain adalah
suatu kondisi ketegangan psikis yang ditimbulkan dari hubungan negatif dengan
orang lain yang menghasilkan afek negatif (terutama rasa marah dan frustasi)
yang mengarah pada kenakalan (Agnew, 1992). Teori strain menitikberatkan pada
hubungan yang negatif dengan orang lain, hubungan dimana seseorang tidak
diperlakukan sebagaimana dirinya ingin diperlakukan. Remaja yang mengalami
strain memiliki kecenderungan untuk membully atau men-cyber bully orang lain
daripada remaja yang tidak mengalami strain (Hinduja & Patchin, 2011). Cyberbullying dapat
terjadi karena ingin mengurangi ketegangan, membalaskan dendam, atau
meringankan emosi negatif terutama ketika pelaku bullying tidak memiliki
kemampuan dan sumber-sumber untuk mengatasi peristiwa penuh stres karena
dukungan sosial dan kontrol dirinya rendah (Agnew, 1992).
d.
Pengawasan Orang tua
Hinduja & Patchin
(2014) mengemukakan peran orang tua dalam mengawasi pola penggunaan internet
sangat berpengaruh pada kecenderungan terjadinya cyberbullying pada
anak. Selain mengawasi, orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik anak
tentang manfaat media cyber dan bagaimana hendaknya berberilaku secara positif
di dunia maya.
e. Iklim sekolah
Lingkungan sekolah adalah tempat di mana siswa, pendidik
dan orang tua saling berinteraksi. Lingkungan sekolah membentuk satu citra
kepribadian yang sering disebut iklim sekolah, yang mana iklim turut memberi
andil dalam perkembangan orang-orang yang ada di dalamnya. Hinduja & Patchin (2014) juga meneliti
hubungan antara cyberbullying dan
iklim sekolah, di mana sekolah dengan iklim sekolah yang positif mengalami
sedikit peluang terhadap bullying, baik
langsung maupun cyberbullying. Pendapat
ini didukung oleh Narpaduhita dan Suminar (2014) dalam penelitian mereka
tentang perbedaan perilaku cyberbullying ditinjau dari persepsi siswa terhadap
iklim sekolah di SMK Negeri 8 Surabaya. Hasil temuan mereka menunjukkan bahwa
siswa yang mempersepsikan iklim sekolahnya positif cenderung memiliki perilaku
cyberbullying lebih rendah dibanding dengan siswa yang mempersepsikan iklim
sekolahnya negatif.
f.
Kontrol Diri yang
Rendah
Gottfredsonv dan Hisrchi dalam Aroma
dan Suminar (2012), menyatakan bahwa
individual yang memiliki kontrol diri rendah cenderung bertindak impulsif,
lebih memilih tugas sederhana dan melibatkan kemampuan fisik, egois, senang
mengambil resiko, dan mudah kehilangan
kendali emosi karena mudah frustasi. Individu dengan karaktersistik ini lebih mungkin terlibat
dalam hal bullying, kriminal dan perbuatan
menyimpang daripada mereka yang memiliki tingkat kontrol diri yang tinggi. dari paparan
singkat ini dapat dilihat bahwa salah satu bentuk kontrol diri adalah kemampuan
meregulasi emosi. Regulasi emosi ialah kapasitas
untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada tingkat intensitas
yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang tepat meliputi
kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi yang berhubungan
dengan emosi, dan reaksi yang berhubungan dengan emosi. Hubungan antara regulasi emosi dan perilaku cyberbullying pernah diteliti oleh
Mawardah dan Adiyanti (2014), di mana ditemukan hubungan negatif antara
regulasi emosi dan pelaku cyberbullying.
Seseorang yang cenderung menjadi pelaku cyberbullying
memiliki regulasi emosi yang rendah.
g. Harga
Diri
Dalam sebuah penelitian mengenai Cyberbullying
and Self Esteem mengemukakan bahwa para remaja yang melakukan cyberbullying adalah
remaja yang mempunyai kepribadian otoriter dan kebutuhan yang kuat untuk menguasai
dan mengontrol orang lain (Hinduja & Patchin, 2010). Remaja tersebut hanya mementingkan
dirinya sendiri dibandingkan diri orang lain dan seringkali ia menganggap orang
lain tidak ada artinya. Selain itu, hasil dari penelitian pada 30 sekolah menengah
atas di Amerika Serikat dengan menggunakan random sampling, juga menekankan
pada self-esteem seorang remaja dalam melakukancyberbullying,
yang mana seseorang yang melakukan cyberbullying cenderung
mempunyai self-esteem yang rendah karena hal ini merupakan
suatu perilaku yang tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri dan hanya akan
mengarah pada perilaku agresif seseorang. Perilaku tidak terpuji ini juga
sangat berdampak pada pelaku cyberbullyingitu sendiri, yang mana
dengan memiliki self esteem yang rendah akan berdampak pada
prestasi akademiknya di sekolah, perilaku kriminal, dan kesehatan yang buruk.
2.
Variabel X1: Regulasi Emosi
Variabel
regulasi emosi merupakan bagian dari kontrol diri yang lemah yang menjadi salah
satu faktor penyebab terjadinya cyberbullying.
Thompson (Kostiuk & Gregory, 2002) menggambarkan
regulasi emosi sebagai kemampuan merespon proses-proses eks-trinsik dan
intrinsik untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi yang
intensif dan menetap untuk mencapai suatu tujuan. Ini berarti apabila seseorang
mampu mengelola emosinya secara efektif, maka ia akan memiliki daya tahan yang
baik dalam menghadapi masalah.
Kemampuan
mengekspresikan emosi yang dilakukan baik secara lisan maupun tulisan dapat
membantu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan psikologis dan fungsi fisik pada
seseorang saat mengha-dapi peristiwa traumatik dalam hidupnya dan membantu
mengatasi distres psiko-logis (Greenberg & Stone, 1992; Mendolia &
Kleck, 1993; Strobee, Stroebe, Schut, Zech, & Bout, 2002).
Thompson
(1994), membagi aspek-aspek regulasi emosi yang terdiri dari tiga macam:
a.
Kemampuan
memonitor emosi (emotions monitoring) yaitu kemampuan individu untuk
menyadari dan memahami keseluruhan proses yang
terjadi didalam dirinya, perasaannya, pikirannya dan latar belakang dari
tindakannya.
b.
Kemampuan mengevaluasi
emosi (emotions evaluating) yaitu kemampuan individu untuk mengelola dan
menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan untuk mengelola emosi
khususnyan emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam dan benci
akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh secara mendalam yang dapat
mengakibatkan individu tidak dapat berfikir secara rasional.
c.
Kemampuan memodifikasi
emosi (emotions modification) yaitu kemampuan individu untuk meruba
emosi sedemikian rupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu
berada dalam putus asa, cemas dan marah. Kemampuan ini membuat individu mampu
bertahan dalam masalah yang sedang dihadapinya.
3.
Variabel X2: Kualitas
Persahabatan (Quality of Friendship)
A. Pengertian
persahabatan dan kualitas persahabatan
Persahabatan merupakan hubungan emosional antar dua individu atau lebih,
baik antara sejenis maupun yang berbeda jenis, yang didasari saling pengertian,
menghargai, mempercayai antara satu dan lainnya (Dariyo dalam Purwanita,
2010).Persahabatan juga didefinisikan oleh Baron & Byrne, (2009) sebagai
hubungan yang membuat dua orang menghabiskan waktu bersama, berinteraksi dalam
berbagai situasi tidak mengikutkan orang lain dalam hubungan tersebut, dan
saling memberikan dukungan emosional.
Setiap orang dalam menjalin sebuah persahabatan, tidak akan terlepas dari
adanya kuantitas persahabatan, yaitu berupa popularitas, jumlah hubungan
sahabat, jumlah teman yang tercantum (Demir & Urberg, 2004).
Sedangkan kualitas persahabatan mereka sehingga mereka dapat memahami lebih
mendalam antara satu sama lain. Dalam beberapa literatur sahabat yang baik
didefinisikan sebagai individu yang memiliki persahabatan dengan kualitas yang
tinggi (Berndt,2002).
Berndt (2002) juga menyatakan bahwa sebuah
persahabatan yang berkualitas tinggi dicirikan oleh
tingginya tingkat perilaku prososial, keintiman, dan
fitur positif lainnya,serta rendahnya tingkat konflik, persaingan, dan
fitur negatif lainnya. Selain itu, oleh Lansford dkk,
(2006) kualitas persahabatan didefinisikan dengan suatu hubungan yang
memiliki afeksi yang timbal- balik (reciprocal affection), keterbukaan
yang intim (intimate disclosure), tetap bersama (validation),
memberikan support diantar kedua individu (support between two individuals),
dan saling menerima antara anggota sebaya dalam kelompok.
Berdasarkan definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa quality
of friendship adalah suatu keadaan untuk melihat seberapa baik hubungan
persahabatan timbal balik yang terjadi melalui aspek-aspek tertentu.
Berndt
(2002) mengistilahkan ciri-ciri persahabatan yang positif dan negatif sebagai
kualitas persahabatan. Ciri-ciri positif dari kualitas persahabatan yang
dimaksud yaitu pembukaan diri {self disclosure), keakraban (intimacy), dukungan
dalam harga diri (Self esteem support), kesetiaan (loyality) dan pcrilaku
sosial (prosoeial behavior). Sedangkan ciri-ciri negatif dari kualitas
persahabatan menurut Bemdt (2002) yang dimaksud adalah persaingan dan konflik.
B.
Aspek-Aspek Kualitas Persahabatan
Menurut Parker dan Asher (1993) terdapat enam aspek
kualitas persahabatan yaitu:
a.
Dukungan dan kepedulian (validation and caring), sejauh
mana hubungan ditandai dengan kepedulian, dukungan dan minat.
b.
Pertemanan dan rekreasi (companionship and
recreation) adalah sejauh mana menghabiskan waktu bersama dengan teman-teman
baik di dalam maupun di luar lingkungan akademik atau kerja.
c.
Bantuan dan bimbingan (help and guidance), sejauh
mana teman-teman berusaha membantu satu sama lain dalam menghadapi tugas-tugas
rutin dan menantang.
d.
Pertukaran yang akrab (intimate change), sejauh
mana hubungan ditandai dengan pengungkapan informasi pribadi dan perasaan.
e.
Konflik dan penghianatan (conflict and betrayal), sejauh
mana hubungan ditandai dengan argumen, perselisihan, rasa kesal, dan
ketidakpercayaan.
Aspek-aspek yang mendukung kualitas persahabatan menurut Asher & Parker
(dalam Purwanita, 2010) , yaitu :
a)
Dukungan dan kepedulian (validation
and caring). Dukungan dan perhatian merupakan derajat hubungan yang
dikarakteristikkan oleh saling peduli antara satu sama lain, dukungan
yangdiberikan (support) dan minat satu sama lain.
b)
Konflik dan penghianatan (conflict
and betrayal). Konflik dan penghianatan dalam suatu hubungan dilambangkan
perbedaan pendapat (argumen), ketidaksetujuan, gangguan/ kejengkelan, serta
kecurigaan/ ketidakpercayaan.
c)
Berkawan dan rekreasi (companionship
and recreation). Menghabiskan waktu bersama di luar sekolah dan di dalam
sekolah.
d)
Pertolongan dan bimbingan (help
and guidance). Ditandai dengan tingkat usaha teman untuk membantu dan
membimbing satu sama lain dalam rutinitas atau tugas-tugas yang menantang.
e)
Perubahan keakraban (intimate
exchange). Aspek ini ditandai dengan terbukanya informasi pribadi dan
perasaan satu sama lain.
f)
Pemecahan masalah (conflict
resolution). Aspek ini ditandai dengan pemecahan masalah (kesalahpahaman)
dalam hubungan persahabatan terselesaikan secara efisien dan adil.
4.
Pengaruh Regulasi Emosi Terhadap Perilaku Cyberbullying
Regulasi emosi adalah cara individu mengolah emosi yang mereka miliki,
kapan mereka merasakannya dan bagaimana mereka mengalami atau mengekspresikan
emosi tersebut. Ketidakmampuan mengolah dan mengekspresikan emosi secara benar
akan menghantar individu pada perilaku negatif, salah satunya adalah dengan
melakukan bullying. Karena dibatasi oleh suang dan waktu individu yang
bersangkutan lalu menggunakan media cyber
untuk meluapkan emosi negatifnya. Dengan demikian terdapat hubungan antara
regulasi emosi dengan perilaku cyberbullying,
dimana regulasi emosi yang rendah menjadi salah satu faktor timbulnya cyberbullying.
5.
Pengaruh Kualitas Persahabatan Terhadap Perilaku Cyberbullying
Perilaku cyberbullying dapat
terjadi karena kualitas persahabatan yang rendah. Hubungan yang negatif (stain)
dapat menjadi pemicu timbulnya sikap saling merendahkan, permusuhan, persaingan
tidak sehat dan ketidakharmonisan serta ketidakmampuan menyesuaikan diri secara
psikososial. Sangat sedikit yang mengetahui bagaimana risiko secara psikososial
keterlibatan pelaku maupun korban dalam praktik cyberbullying (Mawardah dan Adiyanti, 2014). Kualitas persahabatan
yang negatif ini cenderung memberi peluang bagi timbulnya cyberbullying.
Dari kesimpulan ini dapat dilihat bahwa dengan meningkatkan kualitas
persahabatan perilaku cyberbullying dapat dihindari.
Daftar Pustaka
Baron, Robert A. & Byrne,
Donn. (2008). Social Psychology (10th
ed.). Jakarta: Erlangga.
Berndt, Thomas J. (2002). Friendship Quality and Social
Development (journal). EBSCO. American Psychological
Society.
Garber, J., &
Dodge, K. A. (2004). The Development of
Emotion Regulation and Dysregulation. New York: Cambridge University
Press
Kostiuk, L. M., &
Gregory T. F. (2002). Understanding of emotions and emo-tion
regulation in adolescent females with conduct problems: a qualitatif analysis.
The Qualitative Reports, 7(7).
Narpaduhita, Rr. Putri Danirmala &
Suminar, Dewi Retno. (2014). Perbedaan Perilaku Cyberbullying Ditinjau
Dari Persepsi Siswa Terhadap Iklim Sekolah Di SMK Negeri 8 Surabaya. Jurnal
Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. Volume 03 No.3
Mawardah, Mutia & Adiyanti,
MG. (2014). Regulasi Emosi dan Kelompok Teman Sebaya Pelaku Cyberbullying. Jurnal
Psikologi. Volume 41. No.1
Hinduja, S. & Patchin, J. W. (2008). Cyberbullying: an Exploratory Analysis of Factors Related
to Offending and Victimation. Deviant
Behavior. 29: 129-156
Hinduja, S. & Patchin, J. W. (2010). Cyberbullying
and Self-Esteem. Journal of School
Health. 80 (12), 614-621
Hinduja, S. & Patchin, J. W. (2011). Traditional
and nontraditional bullying among youth: A test of general strain theory.
Youth and Society, 43(2),
727-751.
Hinduja, S. & Patchin, J. W. (2014). Cyberbullying:
Identification, Prevention & Response. Cyberbullying Research Center. www.cyberbullying.us
Rahayu, Florensia Sapty (2012). Cyberbullying
Sebagai Dampak Negatif Penggunaan Teknologi Informasi, Journal of
Information Systems, Volume 8, Issue 1
Price, M dan Dalgeish,
J. (2009). Cyberbullying: Experinces, Impacts and Coping Strategy as
Described by Australian Young People. Journal Youth Studies Australian, 29(2), 51-59.
Santrock, J.W. (2002). Life-Span
Development, jilid 2, Jakarta: Erlangga
Willard,
Nancy, (2007). Educator’s Guide to Cyberbullying and
Cyberthreats. Journal Research Presss, United State.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini