Selasa, 25 Februari 2014

MEDIA MASSA ; WAHANA KOMUNIKASI DAN WACANA POLITIK BEBAS KEPENTINGAN (ELITIS)

 “Demam Pemilihan Umum”! Inilah ungkapan yang boleh dibilang Pas dengan situasi kita saat ini dan beberapa bulan ke depan hingga memasuki paruh pertama tahun 2009 sebagai puncak dari sebuah proses politik atas nama demokrasi. Kata demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yakni demos yang berarti pemerintahan dan kratein yang berarti  rakyat. Maka secara harafiah demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat. Artian ini memberi sebuah gambaran pemahaman yang secara inheren mengakui dimensi persamaan kedudukan warga Bangsa dan Negara. Konsep persamaan dan demokrasi memiliki hubungan yang erat dan saling mensyaratkan. Maka adalah sebuah kontradiksi intern apabila dalam praksis terjadi diskriminasi manusia secara nyata dalam sebuah Negara demokratis.

            Persamaan dalam konteks politik lebih sering disebut persamaan partisipasi politik. Dalam Negara-negara demokrasi modern, partisipasi rakyat dalam proses membuat keputusan tidak dapat dilakukan secara langsung tetapi lewat representasi (para wakil rakyat) yang dipilih oleh rakyat secara langsung,bebas dan rahasia dengan kejujuran nurani. Akan tetapi dalam kenyataan kehidupan perpolitikan kita justeru telah terjadi krisis partisipasi politik. Krisis partisipasi politik ini dipicu oleh perilaku para dewan perwakilan atau organisasi sosial politik atau penguasa yang tidak menyalurkan aspirasi masyarakat yang diwakili atau dipimpin secara benar, yang teraktualisasi dalam perilaku koruptif, kolusif dan nepotis demi kepentingan pribadi dan kroni. Perilaku ini telah menodai “kesucian” sebuah prinsip demokrasi yang menjamin persamaan dan peri hidup yang layak bagi masyarakat. Perilaku tak terpuji ini sedang “dimainkan” diantara penguasa dan pengusaha/pemilik modal.

 Asumsi di atas mengisyaratkan bahwa telah terjadi “persekongkolan dan perselingkuhan” antara dua kekuatan yang semestinya terpanggil oleh kehendak dan kesepakatan bersama demi membangun komitmen kemanusiaan yang menjunjung persamaan sejati menuju sebuah bonum commune. Semangat persamaan sejati sama sekali tidak mengimplikasikan bahwa setiap orang harus memerintah atau bahwa tak seorangpun harus diperintah melainkan mengandung asas  mentaati atau memerintah orang yang sederajat dengan kita dalam keluhuran martabatnya. Gambaran ini secara terentu telah mendatangkan sebuah antipati terhadap eksistensi dan kewibawaan lembaga perwakilan dan pemerintahan. Meski demikian masih tersemat harapan tersisa dari sebuah sumbu demokrasi dalam ranah perpolitikan yang kian redup yakni Pers (Media Massa).

Pers (Media massa), ibarat “dian” yang dipasang di atas kaki gantang untuk menerangi ruang demokrasi yang kian terseret dalam kegelapan pengabaian kehendak baik dari rakyat. Pers hadir sebagai pemberi suluh demokrasi dengan menegaskan prinsip persamaan sejati yang demokratis. Pers menjadi titian yang menjembatani jurang pemisah yang tengah mengangah di hadapan kita. Pers menghadirkan diri untuk menengahi krisis partisipasi politik yang hampir mengarah pada dua ekses berikut : Pertama, semangat ketidaksamaan yang menimbulkan aristokrasi atau monarki sekalipun secara tersamar. Kedua, semangat persamaan yang ekstrim yang menimbulkan kekuasaan sewenang-wenang. Pers diharapkan tidak terjerumus dalam salah satu ektrim ini, melainkan mengemban “misi” penghargaan akan persamaan dalam kehidupan berdemokrasi dalam menata hidup bersama sebagai satu bangsa.

Dalam gagasan di atas, telah diketengahkan krisis partisipasi politik yang tengah mewarnai kehidupan berdemokrasi bangsa kita. Krisis partisipasi politik tersebut telah merenggangkan hubungan saling percaya antara rakyat dengan para wakilnya atau pemimpinnya. Rakyat sepertinya sedang membangun sikap bungkam. Untuk mencairkan kebekuan ini, pers (media massa) mempunyai andil yang sangat berarti. Pers menjadi voice of the voiceless. Pers menjadi pilihan satu-satunya  yang berani menyuarakan prinsip kebenaran dan kebaikan bersama dengan pilihan-pilihan fundamental sebagai landasan atau pijakan demokrasi. 

Pilihan fundamental yang menjadi landasan dan pijakan demokrasi sebagai system pemerintahan harus menempatkan rakyat pada posisi teratas karena rakyat yang berdaulat atas kekuasaan yang sedang dilegitimasi oleh kehendak baik rakyat melalui proses politik dalam payung demokrasi. Maka sangat naïf apabila  kedaulatan rakyat dibalikkan. Rakyat dijadikan sebagai penonton dan pemeran pinggiran dalam dinamika drama politik Indonesia. Anggapan ini didasarkan atas pemikiran bahwa rakyat tidak tahu apa-apa, rakyat kurang mampu dan tidak becus. Rakyat harus dibebaskan dari kegiatan politik.

Peran rakyat yang tidak diperhatikan, kurang atau tidak adanya interaksi antara system dan kehidupan praktis, serta dominasi system yang monogal, telah membuahkan berbagai kemungkinan negative dan penyelewengan. Di sana sini terjadi tekanan, penindasan, ketidakadilan, paksaan dan sejenisnya. Kekuasaan rakyat beralih secara stereotip ke tangan para eksekutif, para pelaksana pemerintahan Negara, karenanya hubungan pemerintah-rakyat tidak lagi fungsional dan sebagai satu strategi untuk mengatur hidup bersama, melainkan hanyalah sebuah relasi antarapengusa dan yang dikuasai.

Model kehidupan politik demikian secara praktis hanya bersifat formal yang terwujud dalam pemilihan umum. Rakyat hanya memilih anggota legislative atau pemimpin selanjutnya hasil pemilihan itu jauh dari control. Artinya tidak ada interaksi antara demokrasi sebagai system dan dunia kehidupan nyata yang actual dan praktis dari masyarakat. Maka Pers senantiasa muncul untuk membuka ruang kritis dan komunikasi antara masyarakat yang berdaulat dan pemimpin yang dilegatimasi. Pers perlu membongkar dogma kemapanan statusquo yang memarginalisasi rakyat, dengan terus mendorong upaya pendidikan politik melalui suara-suara kritis demi transformasi politik menuju tataran “pengilmiahan politik”, seturut cita-cita Habermas.

“Pengilmiahan politik” menegaskan kesadaran rational yang mengimbangi kehendak baik masyarakat. Dengan kesadaran rational, sekurang-kurangnya memberikan pertimbangan-pertimbangan bagi keputusan kehendak politis. Di sini mengindikasikan bahwa rationalitas politik menciptakan masyarakat demokratis atas dasar hubungan antarpribadi yang merdeka dan memulihkan  kedudukan manusia sebagai subjek-subjek yang mengelola sejarahnya.

Rasionalisasi kekuasaan (rakyat yang berdaulat dan pemimpin yang dilegitimasi), pada gilirannya mengangkat isu demokrasi dalam arti bentuk-bentuk komunikasi umum dan public yang bebas dan terjamin secara institusional. Ruang komunikasi umum dan public ini secara tertentu dibuka dan diberi tempat oleh Media massa. Dalam arti tertentu Media massa menjadi acuan yang meliput dan membingkai wilayah kehidupan sosial dengan terus mengangkat opini-opni public. Semua warga masyarakat pada prinsipnya boleh masuk dalam wahana tersebut , karena masyarakat adalah orang-orang privat, bukan orang dengan kepentingan bisnis atau professional, bukan pejabat atau politikus, di mana percakapan mereka membentuk suatu opini public, sebab bukan soal-soal pribadi mereka yang dibicarakan, melainkan soal-soal kepentingan umum yang dibicarkan tanpa paksaan. Media massa seakan membentuk suatu dunia public, dimana menciptakan suatu situasi dan ruang bagi orang-orang privat untuk menyatakan serta mengumumkan opini-opini mereka secara bebas.

            Dalam ide tentang dunia public yang dirangkul oleh Media Massa, “melahirkan” mediasi bagi dua pihak yang dibedakan secara analitis sebagai “Negara” dan “masyarakat”. Ide ini menjadi potensi bagi tumbuhnya sebuah lingkungan dan suasana komunikatif yang memungkinkan demokrasi dalam masyarakat dengan banyak anggota yang berbhinneka.

Komunikasi kritis antara forum public dan para politikus melaui media massa dalam model pragmatis, mau tidak mau berakar pada system-sistem nilai yang berakar dalam masyarakat. Model ini berhubungan dengan public secara komunikatif. Komunikasi kritis selalu bersifat ilmiah, dalam arti didiskusikan dengan pertimbangan-pertimbangan rational, tetapi tak bisa lepas dari proses komunikasi yang sudah senantiasa ada pada taraf pra-ilmiah, komunikasai dalam kehidupan dunia sosial. Dalam demokrasi, jenis komunikasi macam itu, tak boleh disingkirkan, malah selayaknya diinstitusionalisasikan dalam bentuk diskusi public di antara para warga Negara. Secara keseluruhan dapat dibayangkan adanya komunikasi antara para politikus dan para ilmuan berdasarkan riset-riset, dan mereka berusaha menerjemahkan soal-soal praktis kedalam persoalan-persoalan yang dirumuskan secara ilmiah dan proses sebaliknya, menerjemahkan informasi ilmiah ke dalam persoalan-persoalan praktis. Dan proses penerjemahan ini mesti dihubungkan dengan opini public, sebab hubungan ilmu-ilmu dengan opini public ini mendasari bagi pengilmiahan politik Di sini pengetahuan dan kecakapan teknis dikonfrontasikan dengan pemahaman diri yang terikat pada tradisi dan nilai-nilai. Pengwahanaan diskusi public ini mendapat salah satu ruang apresiasi dan pengejawantahannya melalui media massa sebagai jejaring pendidikan politik yang simple, terbuka dan efektif karena menjangkau seluruh lapisan masyarakat hingga pelosok-pelosok.

Telah diketengahkan bahwa Media Massa (pers), menjadi wahana komunikasi kritis yang membuka ruang bagi diskusi publik atas problem-problem kehidupan berdemokrasi. Akan tetapi, hal mendasar yang harus diperhatikan adalah rationalitas komunikatif dan kebebasan. Rationalitas komunikatif, selalu berkaitan dengan bahasa sebagai tempat pengungkapan pengalaman rasionalitas. Mengenai pengungkapan rationalitas melalui bahasa, ada empat klaim yang perlu diajukan yakni bahwa pembicaraan yang dikomunikasikan itu jelas, benar, jujur dan betul. ”Jelas” artinya apa yang diungkapkan itu tepat sasar dengan maksud yang tepat pula. ”Benar” artinya apa yang dikatakan itu yang memang harus diungkapkan. ”Jujur” artinya apa yang dikatakan bukan manipulasi atau bohong. Dan ”betul” artinya apa yang dikatakan itu wajar adanya (bukan suatu kebetulan tapi kepastian). Keempat klaim yang mendasari suatu rationalitas komunikatif ini, hanya dapat berjalan dan berhasil bila pembicara mempunyai ruang kebebasan yang benar. Maksudnya bahwa pembicaraan yang dikomunikasikan itu bebas dari paksaan dengan segala ancaman dan tekanan apalagi dicap subversib. Maka komunikasi yang berhasil adalah tempat di mana manusia menyadari apa artinya sebuah situasi di mana hubungan kekuasaan tidak mempan.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana seseorang memperoleh kompetensi komunikatif itu? Ada beberapa wilayah pengalaman yang harus diperhatikan secara verbal dalam proses belajar komunikasi yang rational yakni; alam luar, orang belajar mengatakan apa yang sesuai dengannya, artinya yang benar. Masyarakat, orang belajar mengatakan apa yang seharusnya dan wajar. Alam batinnya, artinya orang mengungkapkannya sendiri dengan jujur. Dengan demikian orang perlu membuktikan klaim-klaim itu dalam sebuah diskursus. Melalui diskursus orang belajar untuk berkomunikasi secara rational. Komunikasi rational ini merupakan ”disposisi subjek-subjek yang mampu berbahsa dan bertindak”. Disposisi ini diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan masyarakatnya karena melalui masyarakat  rationalitas individu tertanam dan bertumbuh. Proses perkembangan sebuah masyarakat terjadi melalui proses-proses belajar dalam dua dimensi ; dimensi kognitif-teknis dan moral-komunikatif. Suatu tambahan pengetahuan kognitif dan teknis, hanya bisa menghasilkan perkembangan dalam hubungan antara manusia dan dalam kerangka institusional masyarakat sesudah terjadi proses belajar dalam dimensi moral-komunikatif.

Dua dimensi dari proses belajar tersebut di atas, terkonstruksi melalui wacana-wacana. Dalam hubungan dengan kehidupan politik dan demokrasi, sangatlah penting disoroti tingkah laku para elit melalui wacana-wacana. Ada tiga tipe wacana tentang tingkah laku manusia yakni, pertama; wacana deskriptif, yang berhubungan dengan fenomenologi dan analisis bahasa. Di sini, insan pers (media Massa) dan para pejuang demokrasi semestinya membangun opini publik dengan mengetengahkan fenomen yang tengah dimainkan oleh para elit politik dan segala ungkapan bahasa yang seringkali dilontarkan (hal ini sangat nampak saat kampanye). Wacana yang disoroti seharusnya kembali mengingatkan masyarakat atas perilaku elit politik yang tidak lagi peka, sehingga masyarakat terbantu membaca track record para politisi secara benar lantaran tidak tertipu lagi dalam proses demokrasi dan politik membangun bangsa.Masyarakat terbantu untuk membuat putusan politis yang dipertanggungjawabkan secara nurani Kedua; wacana dialektika. Wacana ini menggunakan langkah mediasi dan totalisasi. Wacana ini tidak membatasi dirinya pada analisis tingkah laku yang didasarkan motivasi pelaku, melainkan berusaha untuk memahami hubungan antara tingkah laku yang bermotivasi dengan tingkah laku yang rational, antara alasan-alasan yang praktis dan yang teoritis, antara keinginan individual dan kolektif. Wacana dialektika ini sangat nyata diangkat oleh pers (media massa) melalui iklan autobiografi para politisi. Dan melalui wacana ini, masayarakat terbantu  untuk menilai politisi yang telah membangun gambaran diri, visi dan misi perjuangannya, dengan cara membangun opini kristis sebagai tanggapan balik dengan merumuskan kelemahan dan kelebihan yang terjadi dalam disposisi praktis dan teoritis. Disini persepesi masyarakat  diarahkan untuk melihat motivasi politisi dalam perjuangannya. Walaupun wacana ini baik dan nampak utuh, namun pers (media massa) harus melangkah lagi untuk membangun wacana yang ketiga yakni wacana hermeneutika.

  Wacana hermeutika ini memungkin daya interpretasi yang didasarkan pada prinsip distansiasi. Maksudnya bahwa wacana hermeneutika ini dibangun untuk memapukan masyarakat mengambil jarak atas tingkah laku para politisi dengan cara melakukan perbandingan dengan peristiwa atau tokoh tertentu entah yang terjadi di daerah/bangsa lain ataupun yang terjadi dalam daerah atau bangsa sendiri di masa lampau. Perbandingan ini mesti mengemukakan baik sisi positifnya maupun sisi negatifnya. Kedua sisi ini membantu masyarakat untuk membangun jarak (distansi) lalu dikonfrontasikan dengan kenyataan kehidupan berdemokrasi yang sedang terjadi, agar masyarakat memberi penilaian secara objektif dan mampu mengambil sikap dan keputusan pilitis yang baik dan benar sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai warga negara dan bangsa.

Komunikasi dan wacana politik yang dibangun oleh media massa (pers) sebagaimana disinyalir dari konsepsi di atas, sangat nampak terlihat dalam kolom opini-opini dan analisa politik selain kolom-kolom lain. Menarik bahwa Harian Kompas salah satu media massa Nasional selalu memberi ruang bagi analisa polotik dari para tokoh-tokoh yang berkompeten dalam bidang politik atau sosial kemasyarakatan. Kolom ini memberikan banyak pemikiran kritis yang menjadi proses pendidikan politik bagi masyarakat.

Media Massa (pers), merupakan salah satu jejaring pendidikan politik yang dapat dipercaya dan diharapkan oleh masyarakat, karena elit politik yang menjadi representasi masyarakat telah kehilangan daya pikat dan ”roh” kerakyatannya. Cita-cita dan kebenaran dari kehidupan berbangsa yang demokratis telah dikangkangi bahkan ”diperkosa” oleh para elit politik yang seharusnya menjadi corong suara rakyat dalam menata kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan bersama.

Dalam segala keterbatasannya, media massa (pers), tampil untuk menata kembali keadaban demokrasi yang telah bergeser dari nilai luhurnya dengan suara-suara kritis dari orang-orang dan insan pers sendiri yang mencintai dan mencita-citakan suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Media massa (pers) secara tertentu mendorong masyarakat untuk membangun rationalitas demokrasi dengan mengembangkan komunikasi politik yang dapat dipertanggungjawabkan. Media massa (pers) membuka segala kebobrokan selain kebaikan yang dimainkan oleh para elit politik, lantas menjadi isyarat bagi masyarakat untuk memberi penilaian atas perilaku para elit sebagai sebuah awasan untuk perbaikan. Daya kontrol masyarakat melalui media massa (Pers) dengan sistem dialektis akan mengubah pencitraan kehidupan demokrasi yang kini dimainkan oleh para politisi secara tidak bertanggungjawab. Media massa memungkinkan partisipasi politik dari masyarakat dengan membuka ruang publik bebas kepentingan (elitis) seraya mendorong masyarakat untuk mengkomunikasikan kehendak kolektif dan nilai luhur demokrasi melalui wacana –wacana politik yang menjadi sorotan publik. Media massa ibarat mercuar di tengah lautan lepas bagi ”kapal” demokrasi yang hampir karam diterpa prahara pengingkaran kebaikan bersama oleh para politisi yang berperilaku ”busuk”.

 

 

 

Sumber Referensi :

Dr. Afandi A. Khosin (Penerj.), Filsafat Bahasa dan Hermeneutik, untuk penelitian Sosial, (Surabaya ; Visi Humanika : 2005).

Majalah Basis, Demokrasi Deliberatif untuk Indonesia, edisi 75 tahun Jurgen Habermas, No. 11-12, Tahun ke- 53, 2004.

Majalah Vox, Demokrasi Mengalir, seri 40/4 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Segala kritik dan saran silahkan diposkan di sini