Bertolak dari acara televisi.
Nongkrong di warung burjo dekat kos, selain untuk mengisi
amunisi fisik berwujud aneka macam makanan khas burjo, juga menjadi cara
mendapat informasi aktual – tak jarang informasi lama yang diupgrade menjadi
aktual lagi - yang tengah dibahas media massa. Minimal koran lokal yang selalu
ada setiap hari, juga aneka berita sampai gosip yang setia mengisi jadwal
tayang di TV.
Tentang media yang terakhir ini, beberapa kali, entah karena
berjodoh atau apa, selalu bertepatan dengan beberapa mata acara yang agak lucu-lucu
menjijikkan. Ada sinetron yang ceritanya kurang lebih intinya sama sepanjang
dunia persinetronan menjadi suguhan menarik di televisi. Ceritanya dikemas
berbeda, tetapi intinya selalu yang berpenampilan religius selalu menjadi
pemenang. Belum lagi kalau ditambah bumbu yang religius itu hidup pas-pasan,
menjadi korban KDRT, tertindas secara sosial dan seterusnya. Yang lebih
menggelikan adalah acara reality show
atau sejenisnya. Saya sebutkan dua saja dari sekian jumlah acara itu.
Pertama, namanya Mikro*** Pelunas Utang. Acara ini merupakan
program sebuah stasiun televisi swasta. Katakanlah namanya TV-A. Dalam acara
ini, pesertanya – yang meskipun tidak disebutkan tetapi secara spontan dapat
diketahui kalau mereka harus berkriteria miskin dan (wajib) berhutang –
berusaha mendapatkan simpati dan empati dari tim penilai. Mereka yang
dinyatakan memenuhi kriteria yang ditentukan akan mendapat hadiah. Sebagaimana
namanya Pelunas Utang, hadiahnya adalah seluruh utang peserta yang menang akan
dibayar oleh juri, penyelenggara, dan tentu saja sponsor.
Kedua, sebuah acara lain yang tayang di stasiun televisi
berbeda. Sebut saja TV-B. Nama mata acaranya adalah Uang Terkejut. Acara ini
adalah reality show yang menghadirkan Tuan Uang sebagai tokoh murah hati yang
berkeliling mencari sasaran untuk bagi-bagi uang. Dengan gaya yang disetting
agar memunculkan kesan sebagai orang kaya yang dermawan, Tuan Uang mendatangi
sasaran, memberikan sejumlah uang dan si sasaran harus membelanjakan uang
tersebut dalam tenggat waktu tertentu. Dengan didampingi penjaga waktu, si
sasaran harus membelanjakan uang tersebut.
Eksploitasi Kemiskinan.
Sadar atau tidak, beberapa acara televisia kita telah
menjadikan realitas kemiskinan sebagai komoditas. Acara yang dikonsepkan
sebagai cara membantu orang miskin ini cenderung tendensius. Apa yang menarik
dari acara semacam ini? Tak ada yang lebih dari selain menjual kemiskinan orang
lain. Dengan banyak settingan, kemiskinan diangkat ke panggung, menjadi tayangan
yang mengundang empati. Namun tak hanya di situ, tayangan seperti ini juga
menjadi hiburan bagi pemirsa, sekaligus menjadi sumber pendapatan bagi stasiun
televisi tertentu. Tayangan realitas dengan sajian utama kehidupan masyarakat
kelas bawah menjadi sumber pendapatan.
Yang patut disayangkan, masyarakat kita yang kebanyakan awam
soal industri televisi menerima ini dengan gembira. Banyak yang menaruh simpati
lalu menganggap stasiun televisi bersangkutan telah memberi andil dalam
mengentas kemiskinan, bahwa mereka adalah kelompok dermawan yang sangat peduli
dengan orang-orang dari kelompok ekonomi lemah di negara ini. Belum lagi kalau
tayangan tersebut ditambahi bumbu sedekah atas nama ajaran agama. Masyarakat
kita yang sangat agamis ini langsung lumer. Masyarakat kita lupa bahwa di balik
tayangan yang itu, justru yang paling diuntungkan adalah pihak stasiun televisi
penyiar sendiri.
Tayangan-tayangan reality show yang mengeksploitasi
kemiskinan menduduki kategori tinggi dalam hal mendapat rating tayangan. Dengan
rating yang tinggi, nominal pendapatan yang diperoleh dari iklan sekali tayang,
yang tak sampai satu menit saja, dihargai kurang-lebih limapuluh juta rupiah.
Bayangkan berapa banyak dan berapa kali iklan ditayangkan dalam satu episode
reality show semacam ini. Artinya dengan iklan yang sekali tayang saja,
keuntungan yang diperoleh sudah dua, bahkan tiga sampai empat kali lipat
nominal yang diberikan kepada orang-orang yang dikategorikan tidak mampu secara
ekonomi dalam acara tersebut.
Coba kita hitung secara kasar. Misalnya dana yang disediakan
sebagai jatah menolong orang miskin pada satu episode adalah 10 juta rupiah.
Satu produk barang/jasa diiklankan pada saat itu dengan durasi sekali tayang 30
detik dihargai 50 juta rupiah. Dalam satu episode acara, iklan ditayangkan
sebanyak 5 kali, maka diperoleh 250 juta rupiah. Misalnya lagi, dalam satu
episode itu terdapat 5 produk barang/jasa yang diiklankan. Dengan perhitungan
yang sama, maka keuntungan yang didapat pihak penyelenggara acara adalah 1,250
M. Bayangkan, apa arti 10 juta untuk nominal yang lebih dari 1M?
Dalam industri, termasuk industri siaran televisi, tak ada
tempat murni untuk menolong. Yang ada hanyalah memanfaatkan segala cara untuk
mendapatkan untung sebanyak mungkin. Eh, omong-omong, kemiskinan juga menjadi tema yang enak
dijual setiap musim pilkada tiba. Oke, nantikan tulisan selanjutnya tentang
itu.