Bahasa kekerasan tampaknya kian mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Keterbukaan informasi, memberi akses mudah bagi kita untuk menyaksikan kekerasan sebagai bahasa yang “ringan” digunakan, baik melalui liputan media di televisi, media cetak, maupun media online baik situs (portal) berita maupun jejaring sosial. Tawuran antar warga, tawuran pelajar, bentrok warga dan aparat, adalah bahasa kekerasan yang mudah kita lihat. Adakah semua tontonan kekerasan itu telah dijadikan “tuntunan” oleh siswa untuk melakukan bullying terhadap sesama pelajar di sekolah.
Bullying adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan pelajar di lingkungan sekolah, selain tawuran antar pelajar. Perilaku agresif pelajar dalam bentuk tawuran, mendapat perhatian yang cukup, baik dari pendidik, orang tua, pemerintah dan aparat kepoisian. Sedangkan bullying, meskipun sebenarnya sudah lama terjadi di lingkungan pendidikan, tampaknya tidak mendapat perhatian yang memadai.
Mungkin karena bullying dianggap sebagai hal yang tidak serius, karena “hanya” dalam bentuk mengintimidasi temannya, memalak, mengucilkan, sehingga siswa yang menjadi korban malas pergi ke sekolah. Pelaku bullying di sekolah ternyata bukan hanya siswa, tetapi juga berpotensi dilakukan oleh guru. Sebagai contoh, seorang guru di Watapone Sulawesi memukul muridnya setelah sebelumnya melempar anak didiknya dengan menggunakan sandal. Seorang guru di Situbondo Jawa Timur, menempeleng satu siswanya. Di Bengkulu, seorang guru menempeleng 30 siswanya. Kasus-kasus tersebut, berujung ke ranah hukum.
Bullying dapat terjadi pada semua tingkatan sekolah, mulai dari TK sampai dengan SMA, bahkan sampai dengan Perguruan Tinggi. Pada tingkat SLTA bullying paling sering terjadi yaitu dalam bentuk tawuran antar pelajar. Pada tingkat ini sering terjadibullying, karena dalam usia remaja (sebagai masa transisi dalam perkembangan manusia), tidak jarang muncul adanya dorongan dalam diri remaja untuk ingin kelihatan lebih dihargai, memiliki kekuasaan dan ingin memperlihatkan jati dirinya.
Terminologi Bullying
Kata “bully” dapat
dilacak sejauh ini hingga tahun 1530 (Harper, 2008). Pada dasarnya, ini
menyangkut perilaku dua orang atau lebih yang mengancam atau
mengintimidasi seorang korban mereka. Penyalahgunaan ini menggunakan
kekuatan fisik. Bullying muncul ketika manusia Neanderthal digantikan
oleh Homo Sapiens yang lebih kuat dan lebih berkembang. Tema
utama yang terekam dari berbagai sejarah mengenai perilaku bullying adalah
eksploitasi yang lemah oleh yang kuat, bukan secara tidak sengaja, namun secara
purposif atau bertujuan.
Bullying merupakan kata serapan dari
bahasa Inggris (bully) yang berarti menggertak atau mengganggu
orang (pihak) yang lemah. Bullying sebenarnya bukan hanya
terjadi di lembaga pendidikan/sekolah, tetapi juga di tempat kerja,
masyrakat, bahkan komunitas virtual). Luasnya cakupan bullying juga
menyebabkan munculnya pelbagai definisi.
Sekalipun telah sejak berabad-abad
lalu bullying menjadi masalah, namun bullying tidak
mendapatkan perhatian penelitian yang signifikan sampai tahun 1970-an
(Olweus, 1978). Dan Olweus adalah ilmuwan pertama yang memfokuskan diri pada
topik bullying, dan mengkontribusikan data ilmiahnya pada
literatur bullying. Riset-riset Olweus memberi
penjelasan, mengapa beberapa anak melakukanbullying dan mengapa
beberapa lainnya menjadi korbannya. Namun yang terpenting
adalah, Olweus menunjukkan bahwa bullying di
sekolah dapat direduksi secara signifikan.
Penelitian di Norwegia dan Swedia
pada tahun 1980-an yang dilakukan Olweus, mengarah pada kampanye intervensi
nasional pertama untuk menentang bullying. Riset itu kemudian memotivasi
negara-negara lain seperti Finlandia, Inggris, dan Irlandia untuk meneliti
bullying (Ross, 2002; Smith&Brain, 2000). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
pada akhir tahun 1980 mulai melaksanakan penelitian-penelitian lintas
bangsa setiap empat tahun sekali, berkenaan dengan perilaku sehat pada
anak-anak usia sekolah. Sampel usia 11, 13, dan 15 tahun dari berbagai dunia
dinilai, dan bullying dimasukan sebagai suatu aspek penting dari penelitian
tersebut.
Jepang menjadi pelopor di Asia
yang melakukan upaya-upaya untuk memahami bullying dan
mengembangkan cara-cara untuk mencegahnya. Jepang menggunakan kata ijime untuk
menerjemahkan “bullying”. Menurut Kawabata (2001), ijime merujuk
pada bullying yang menyebabkan hasil-hasil dalam trauma dan
dalam beberapa kasus fobia sekolah. Tanaka ( 2001) menggambarkan, shunning sebagai
suatu tipe bullying yang khas ditemukan di Jepang. Shunning merupakan
tindakan sekolompok teman sebaya secara kolektif yang mengabaikan dan
mengeluarkan seorang korban dari kelompoknya.
Bullying menjadi isu yang serius
di Amerika Serikat. Menurut Ross (2002), bullying dianggap
bentuk agresi yang paling dominan yang ditemukan di sekolah-sekolah Amerika,
dan berpengaruh kuat pada sebagian besar para siswa apabila dibandingkan
dengan bentuk-bentuk kekerasan lain.
Menurut Rigby (2005; dalam
Anesty, 2009) merumuskan bahwa bullying merupakan sebuah
hasrat untuk menyakiti, yang diperlihatkan dalam aksi sehingga menyebabkan
seseorang menderita. Aksi tersebut dilakukan secara langsung oleh
seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat dan tidak bertanggung jawab.
Tindakan bullying dilakukan secara berulang-ulang dan dengan perasaan senang
(Retno Astuti, 2008: 3).
Pakar lain menilai, bullying bukan
hanya sekedar keinginan untuk menyakiti orang lain. Ahli yang tak sepakat
dengan definisi tersebut di atas mengatakan, bahwa antara
“keinginan untuk menyakiti seseorang” dan “benar-benar menyakiti seseorang”
adalah dua hal yang jelas berbeda. Para ahli psikologi behavioral kemudian
menambahkan, bahwa bullying merupakan sesuatu yang dilakukan
bukan sekedar dipikirkan oleh pelakunya, keinginan untuk menyakiti orang lain
dalam bullying selalu diikuti oleh tindakan negatif.
Dalam hal school bullying, Olweus, mendefinisikan tingkah-laku bullying sebagai: “A student is being
bullied or victimized when he or she is exposed, repeatedly and over time, to
negative actions on the part of one or more other students” (Olweus,
2001). Peter K Smith, seorang periset dari Inggris menambahkan
mengenai school bullyingbahwa: “a systematic abuse of power”
(Smith & Sharp, 1994), and that the repeated intentional aggression is
brought against an individual who cannot defend him or herself (Smith,
2004). Craig dan Pepler (1998) mempertegas, bullying sebagai
“tindakan negatif secara fisik atau lisan yang menunjukkan sikap permusuhan,
sehingga menimbulkan stress bagi korbannya, berulang dalam kurun waktu
tertentu dan melibatkan perbedaan kekuatan antara pelaku dan korbannya.”
Riauskina, Djuwita, dan Soesetio
(2001) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif
kekuasaan terhadap siswa yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/kelompok
siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa lain yang lebih lemah dengan
tujuan menyakiti orang tersebut.
Tipe Bullying
- Physical bullying (Kontak fisik langsung): memukul, mendorong, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimliki orang lain.
- Verbal bullying (kontak verbal langsung): mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name–calling), sarkasme, merendahkan (put-down), mencela/mengejek, mengintimidsi, mengejek, menyebarkan gosip).
- Non Verbal bullying (Perlaku non-verbal langsung): melihat dengan sinis, menjulurkan lidah menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam, biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal).
- Indirect non verbal (Perilaku non verbal tidak langsung): mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
- Social Alienation (Alienasi sosial): mengecualikan seseorang dari kelompok, seperti dengan menyebarkan rumor, dan mengolok-olok.
- Cyber bullying (Bullying elektronik): merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan pelakunya dengan menggunakan sarana elektronik seperti komputer, handphone, internet, website, chatting room, e-mail, SMS dan sebagainya. Tujuannya, meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman video atau film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan. Bullying jenis ini biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman cukup baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bullying
Bullying dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain: temperamen dan kepribadian dengan control yang rendah.
Perilaku agresif dan impulsivitas sering diasosiasikan dengan perilaku
Bullying. Ketidak-pedulian serta rendahnya self esteem dan
kurangnya assertion (ketegasan) sering diasosiasikan dengan victimation (Boyle,
1996, dalam Trevi, 2010).
Faktor keluarga yang
menyangkut faktor kualitas hubungan orang tua dengan anak,
yang penggunaan hukuman fisik di rumah, dinilai sangat signifikan dengan
faktor resiko terjadinya bullying (Olweus, dalam Trevi, 2010).
Olweus juga melaporkan adanya ketidakacuhan maternal, pendekatan disiplin yang
permisif serta orang tua yang mengunakan hukuman fisik, sering diasosiasikan
dengan frekuensi tinggi munculnya perilaku agresif yang terjadi pada berbagai
situasi.
Anak yang sering terkena bully,
mempunyai kecenderungan hubungan yang tidak harmonis pada lingkungan
keluarganya. Anak tersebut biasanya bermasalah dalam menjalin komunikasi
yang baik. Padahal, hal ini dapat membantu anak untuk mengembangkan pikiran
yang positif tentang dirinya dan mempunyai kemampuan berinteraksi dengan
sesamanya (Noller &Clan, dalam Trevi, 2010).
Rigby (2002, dalam Trevi, 2010) dalam
penelitiannya membuat kesimpulan, bahwa ketika komunikasi antar keluarga minim,
anak akan terlibat dalam Bullying dan dapat menjadi korban. Rigby juga
mengatakan bahwa sebagian besar pelaku bully itu berasal dari keluarga yang
tidak harmonis dimana sering dikarakteristikan dengan kurangnya kasih sayang
dan dukungan penuh dari keluarga. Selanjutnya, Bowers (dalam Trevi, 2010) juga
mengatakan bahwa struktur tingkat hirarki yang tinggi tepatnya ketika seorang
ayah menghukum anaknya dengan kekerasan fisik dapat memicu anak menjadi pelaku
Bullying. Biasanya keluarga yang seperti ini tidak mengawasi pergaulan anaknya
sehingga anak dapat memasuki pergaulan dengan teman sebaya yang sifatnya
negative dan cenderung mempunyai sifat perilaku anti sosial.
Dalam skema kognitif korban yang
diteliti oleh Riauskina dkk menyebutkan, korban mempunyai persepsi bahwa pelaku
melakukan bullying karena a) Tradisi, Balas dendam karena dia
dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), b) Ingin menunjukkan
kekuasaan, c) Marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang
diharapkan, d) Mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan), e) Iri hati
(menurut korban perempuan).
Menurut Riauskina, Djuwita, dan
Soesetio, adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi
korban Bullying karena a) Penampilan menyolok, b) Tidak berperilaku
dengan sesuai, c) Perilaku dianggap tidak sopan, dan menganggap ini adalah
Tradisi (Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, 2005, dalam Trevi, 2010).
Juwita dan Mellor (dalam Trevi,
2010) juga mengatakan bahwa Bullying dapat terjadi akibat faktor lingkungan,
keluarga, sekolah, media, dan peer groupnya. Astuti (2008, dalam Trevi, 2010)
mengatakan, bullying disebabkan oleh lingkungan sekolah yang
kurang baik, senioritas yang tidak pernah diselesaikan, guru memberikan contoh
yang kurang baik pada siswa, kehidupan yang kurang harmonis di rumah, dan
karakter anak itu sendiri.
Kompleksifitas masalah keluarga,
seperti misalnya ketidakhadiran ayah, ibu menderita depresi, kurangnya
komunikasi antara orang tua dan anak, perceraian atau ketidakharmonisan orang
tua, dan ketidakmampuan sosial ekonomi, merupakan faktor penyebab tindakan
agresi yang signifikan (Wolf dalam pearce, Elliot, ed., 1997, dalam Trevi,
2010).
Situasi keluarga yang penuh dengan
permasalahan, membuat anak merasa tertekan. Malah, dalam situasi seperti
itu orang tua tak jarang memberikan hukuman fisik kepada anak-anaknya.
Hal itu dapat memicu anak untuk menjadi korban maupun pelaku bullying.
Bullying juga terjadi jika
pengawasan dan bimbingan etika dari para guru rendah, sekolah dengan
kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak, dan peraturan yang
tidak konsisten. Perbedaan kelas, seperti senioritas, etnis, ekonomi, dan agama
menjadi salah satu pemicu terjadinya Bullying. Tradisi senioritas seringkali
diperluas oleh siswa sendiri sebagai kejadian yang bersifat laten, bagi mereka
keinginan untuk melanjutkan masalah senioritas ada untuk hiburan, penyaluran
dendam, irti hati, atau mencari populatritas, melanjutkan tradisi, atau untuk
melanjutkan kekuasaan (wawancara dengan pelaku Bullying, astuti, 2008, dalam
Trevi, 2010).
Media massa juga bisa menjadi faktor
penyebab terjadinya bullying. Penelitian yang dilakukan oleh Anderson seperti
dikutip oleh Rigby, 2002, menyimpulkan bahwa kekerasan melalui televisi atau
film, serta video game mejadi bukti konkret untuk memicu terjadinya bullying baik
dalam kurun waktu yang cepat ataupun lama. Efeknya juga akan terlihat berupa
bentuk perilaku bullying mulai dari yang sifatnya ringan
sampai dengan yang dapat menelan korban jiwa.
Di Indonesia terdapat kasus bullying yang
disebabkan oleh tayangan sinetron ditelevisi yang mengangkat kisah tentang
kebrutalan, kekerasan (perkelahian) yang secara tidak langsung memberikan
dampak yang negative bagi masyarakat terutama remaja yang masih duduk dibangku
sekolah. Tontonan televisi tampaknya menjadi alat paling ideologis
yang dapat mempengaruhi karakter serta paradigma berfikir para siswa untuk
meniru adegan-adegan kekerasan yang ada dalam televisi tersebut. (www.kompas.com).
Karakter anak sebagai pelaku umumnya
adalah anak yang selalu berprilaku agresif, baik secara fisikal maupun verbal,
anak yang ingin populer, anak yang tiba-tiba sering membuat onar atau selalu
mencari kesalahan orang lain dengan memusuhi umumnya termasuk dalam kategorti
ini. Anak ini biasanya menjadi salah satu panutan dalam kelompoknya. Anak
dengan perilaku agresif ini telah menggunakan kemampuannya untuk mengungkapkan
ketidaksetujuannya pada kondisi tertentu korban, misalnya perbedaan etinis/ras,
fisik, golongan/agama, jender. Selain itu ada juga karakter anak yang
pendendam atau iri hati, anak pendendam atau iri hati sulit dideteksi
perilakunya, karena belum tentu ia anak yang agresif. perilakunya juga tidak
terlihat secara fisikal maupun mental, namun dalam penelitian Astuti, (2002,
dalam Trevi, 2010) ditemui bahwa ada anak yang menaruh dendam pada korbannya
sehingga ia melakukan Bullying.
Merasa merasa tertekan,
terancam, terhina, dendam dan sebagainya. Keadaan lingkungan keluarga yang tidak
harmonis, dapat membentuk kepribaian seseorang menjadi agresif dan
kurang mampu mengendalikan emosi, sehingga memicu munculnya aksi bullying.
Keluarga yang berantakan, menurut Psikolog dari Jagadnita Counseling,
Clara Wriswanto, dapat mendorong seseorang menjadi pelaku
“bullying”.
Faktor lain adalah, kondisi
kehidupan sosial (terutama di kota-kota besar) yang mengidap
penyakit frustasi sosial, menyebabkan terjadinya adult oriental di
masyarakat, sehingga dapat mendorng terjadinya bullying. Orang
tua kurang memberi perhatian terhadap anak, sehingga membuat anak mencari
perhatian (caper) dari orang lain. Disoreintasi mendorong anak melakukan
kekerasan, agar selalu mendapat perhatian orang lain.
Masalah gender sebagai
laki-laki dengan kecenderungan untuk berkelahi. Orang tua menekankan agar
anak laki-lakinya itu harus kuat, tidak boleh kalah dalam
persaingan. Sayangnya, orang tua tidak memberi contoh dari hal-hal yang
diajarkan itu, sehingga anak salah dalam memahami makna “kuat” itu bagaimana,
menang dari persaingan itu seperti apa.
Faktor psikologis dari orang tua,
dimana orang tua yang memiliki kesehatan mental dan jiwa yang kurang baik
berpotensi besar memiliki anak yang melakukan tindakanbullying. Anak
memiliki riwayat korban kekerasan. Biasanya, anak yang pernah mengalami
kekerasan khususnya dari orang tua lebih cenderung ‘balas dendam’ pada temannya
di luar rumah. Faktor ingin mendapat pujian dari orang lain, seperti
kadang-kadang “berkelahi”. Dia beranggapan, hal itu untuk membuktikan,
bahwa kekuatan bisa menjadikan seseorang ketagihan untuk tetap
melakukannya. Bisa jadi, siswa berkelai karena mereka senang memperoleh
“pujian” (sesat) banyak orang.
Korban siklus bullying. Pelaku bullying sangat boleh jadi sebelumnya adalah korban dari pelaku bullying sebelunmnya. Ketika menjadi korban, mereka membentuk skema kognitif yang salah, bahwa bullying bisa dibenarkan. Bullying juga terjadi karena seseorang ingin menujukkan, bahwa ia punya kekuatan, atau ingin mendapat kepuasan, iri hati.
Korban siklus bullying. Pelaku bullying sangat boleh jadi sebelumnya adalah korban dari pelaku bullying sebelunmnya. Ketika menjadi korban, mereka membentuk skema kognitif yang salah, bahwa bullying bisa dibenarkan. Bullying juga terjadi karena seseorang ingin menujukkan, bahwa ia punya kekuatan, atau ingin mendapat kepuasan, iri hati.
BERSAMBUNG....